Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.
Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan mimpi, tapi nyata.
Dua jam membersihkan unit Sadewa yang luas seorang diri, membuat tubuh Maha dilanda kelelahan. Ia memandangi hasil kerjanya, merasa puas meski tubuhnya terasa remuk.
“Pantes aja aku di bayar dua ratus juta sebulan. Kalau jadi asisten rumah tangga juga aku rangkap. Tapi kalau setiap malam harus kayak gini. Ya, jangan harap dua ratus juta itu cukup,” gumam Maha sambil mendudukkan dirinya di sofa, seakan tidak lagi memiliki energi. “Awas aja kalau besok aku di suruh bersih-bersih lagi. Aku bakalan minta tambahan gaji!” lanjutnya.
Sejenak, Maha menikmati kenyamanan yang ada. Sofa mewah yang mengelilingi ruang tamu terasa begitu nyaman setelah seharian bekerja penuh. Perlahan-lahan, keletihan mulai merasuki tubuhnya. Matanya pun terpejam, menikmati ketenangan dan kenyamanan yang jarang ia didapat. Mungkin karena terlalu lelah, Maha, pun akhirnya terlelap tanpa sadar. Tubuhnya terbenam dalam pelukan sofa yang empuk.
Lagipula, saat ini waktu juga sudah menunjukkan pukul 21.30, jam yang biasanya membuat Maha terlelap pulas di kamarnya. Namun, malam ini tiduran di sofa mewah dalam unit Sadewa cukup untuk membawanya ke alam mimpi.
Sementara Sadewa, ia baru saja selesai menyiapkan hidangan makan malam. Ia berniat mengajak Maha untuk menikmati makan malam bersama. Akan tetapi, saat melangkah ke arah ruang tamunya. Ia justru terhenti di tengah ruangan, terpesona oleh pemandangan yang begitu damai.
Maha tertidur pulas di sofa, bahkan suara dengkuran halusnya terdengar begitu tenang membuat hati Sadewa terlambat untuk merespon. Ia menatap Maha penuh dengan kekaguman, matanya terkunci pada wajah Maha yang terlihat begitu damai, tanpa beban. Tanpa sadar, bibir Sadewa mengulas senyum tipis, sebuah senyuman yang jarang ia tunjukkan dan begitu sangat tulus.
Sadewa berjongkok, matanya tak lepas dari wajah Maha yang sempurna menurutnya. Tanpa pikir panjang, ia mengulurkan tangannya untuk menyibakkan sehelai rambut yang menutupi wajah cantik Maha. Tindakan itu terasa begitu damai, seakan tubuhnya bergerak tanpa kendali, hanya untuk melihat wajah Maha tanpa gangguan sedikitpun.
Cantik sekali…
Bagi Sadewa, Maha tampak sempurna dalam tidurnya dan tanpa ia sadari, perasaan yang semula hanya sekedar permainan atau taruhan, kini mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Sebuah rasa yang sulit untuk diungkapkan, namun begitu nyata.
Sadewa yang biasanya mengatur segalanya dengan tangan dingin, kini tak bisa menahan dirinya untuk tidak memandang Maha dengan penuh perasaan.
Saka mungkin memberi tantangan untuk mendapatkan Maha, dan pada awalnya, itu hanyalah sebuah kontrak. Sebuah alibinya untuk mencapai tujuan pribadi. Namun, ditengah-tengah permainan ini. Sadewa, sadar ia telah jatuh cinta pada Maha—sejak awal. Dan sekarang kesempatan itu datang padanya, hanya satu tahun, sesuai kontrak. Tapi hatinya tahu, bahwa satu tahun itu mengubah segalanya.
Melihat Maha yang tampaknya kelelahan, hati Sadewa tergerak. Tanpa pikir panjang, perlahan ia mengangkat tubuh Maha, merasakannya begitu ringan dalam pelukannya. Tanpa sengaja, Maha mengendorkan tubuhnya untuk menyandarkan kepalanya di dada Sadewa. Hal itu cukup membuat jantung Sadewa berdebar-debar.
Sadewa merasa sangat gugup, terlebih pipi Maha yang hangat itu menyentuh dadanya. Pertahankan kewarasan mu, Sadewa! Jangan gila! Batinnya, mencoba menenangkan diri. Ia tidak tahu ini keputusan yang tepat atau tidak. Tapi yang jelas, ia ingin Maha merasa nyaman. Setidaknya untuk malam ini, ia ingin memberikan yang terbaik.
Sadewa membawa Maha menuju kamar, menyusuri lorong dengan langkah hati-hati. Sementara Maha tampak begitu tenang, seolah seluruh tubuhnya terlelap dalam keletihan yang sangat.
Sesampainya di ranjang, Sadewa dengan lembut meletakkan tubuh Maha diatas ranjang berukuran king size. Maha tidak terbangun, itu membuktikan betapa lelah tubuh itu. Kini, Sadewa menatap wajah Maha yang polos, dan kembali terpesona. Dengan hati-hati, Sadewa menarik selimut untuk menutupi tubuh Maha agar tetap hangat. Ia melakukannya dengan pelan, tidak ingin mengganggu tidur Maha yang begitu pulas.
Setelah tubuh Maha terbungkus hangat dalam selimut tebal dengan nyaman. Sadewa pun duduk di tepian ranjang, matanya terfokus pada Maha, ada kehangatan yang sulit dijelaskan menyelubungi perasaannya.
“Selamat malam, mimpi indah, Maharani.” bisik Sadewa, suaranya lembut dan penuh perasaan. Kata-kata yang keluar dari bibir Sadewa begitu alami, seolah berbicara kepada seseorang yang begitu berarti baginya. Setelah itu, dengan hati yang berat ia meninggalkan kamar itu. Membiarkan Maha tidur nyenyak di ranjangnya. Sementara Sadewa, ia lebih memilih tidur di kamar tamu. Mengalah untuk menjaga jarak, meski hatinya tidak sepenuhnya tenang.
...****************...
Sesudah menyantap makanannya seorang diri, Sadewa pun pergi ke kamar tamu, menyambut keheningan malam yang sudah datang. Aroma harum dari parfum Maha masih tercium samar-samar di bajunya, mengingatkannya pada momen-momen singkat tadi. Dengan langkah lambat, Sadewa berjalan menuju tempat tidurnya, kemudian berbaring dengan nyaman.
Namun, pikirannya tak lepas dari Maha. Bayangan Maha yang terlelap di gendongannya tadi masih menghantui pikirannya. Bagaimana Maha yang bersandar di dadanya, hangat tubuhnya, itu masih terasa sangat nyata. Sadewa mengusap dadanya, disana masih terasa kehadiran Maha—seperti sebuah bekas yang tidak bisa dihapus begitu saja.
“Maha milik saya, tidak boleh satupun pria mendekati Maha, termasuk Danu.” ucap Sadewa penuh tekad. Kata-kata itu keluar dengan keinginan yang kuat, seolah tidak ada ruang bagi siapapun untuk merusak apa yang telah ia rasa dan miliki. Dalam kesendirian itu, Sadewa tahu, perasaannya untuk Maha jauh lebih dalam dari yang ia kira.
...****************...
Pagi telah mengambil alih malam, membawa cahaya cerah yang menerobos melalui jendela kamar beraksen hitam elegan. Ranjang king size yang terbuat dari kayu mahoni itu terasa begitu nyaman dengan selimut bulu lembut yang menyelimuti Maha. Gadis itu tetap terlelap, wajahnya terlihat damai yang tertutup sebagian oleh helaian rambut yang jatuh di pipinya.
Semalam adalah malam yang begitu melelahkan bagi Maha, karena bersih-bersih unit apartemen Sadewa seorang diri yang luas seperti lapangan sepakbola. Tapi entah kenapa, ranjang yang begitu empuk itu seperti melunturkan rasa lelahnya, membawa Maha kedalam tidur yang nyenyak. Namun, kenyamanan itu terusik. Samar-samar, telinganya menangkap suara berat yang sudah tak asing lagi. Suara itu menyusup diantara mimpi dan kenyataan.
“Apakah kamu tidak berniat untuk bangun dan berangkat ke kantor hari ini, Maha?”
Nada tenang itu datang dari Sadewa yang berdiri di sisi ranjang. Pria itu sudah siap dengan pakaian formal—kemeja putih yang dipadukan dengan dasi hitam dan jas berpotongan rapi. Wangi parfumnya yang khas memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma lembut dari pengharum ruangan. Sementara itu, matanya menatap Maha yang masih meringkuk manja di bawah selimut. Seperti enggan melepas kehangatan yang membelenggu tubuhnya.
Maha mengerjapkan matanya perlahan, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyelinap melalui celah tirai kamar bernuansa hitam. Tubuhnya pun menggeliat kecil, menikmati kehangatan dari selimut bulu yang membalut tubuhnya. Namun, gumaman lirih muncul dari bibirnya.
“Kenapa suaranya, Sadewa, kayak nyata, ya? Padahal, 'kan, aku nggak lagi sama dia.”
Sadewa yang berdiri di sisi ranjang, pun tak bisa menahan tawa kecilnya saat mendengar gumaman itu. Tawanya lirih, nyaris seperti desahan. Namun, cukup menunjukkan rasa geli sekaligus puas. Ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Saat ia melihat Maha tidur di ranjangnya—ruang yang selama ini dia jaga ketat dari orang lain, seperti menemukan sisi lain dari dirinya yang jarang muncul.
Sadewa menghela nafas panjang, ia menatap Maha yang masih tampak setengah sadar. Wajahnya yang polos dan sedikit kusut itu seperti magnet yang berhasil menarik perhatiannya.
“Apakah saya harus menyeret mu keluar dari sini? Ini sudah siang, Maha. Cepatlah bangun, atau kita akan benar-benar telat!” Ucap Sadewa, kali ini suaranya terdengar lebih tegas yang menggema di ruangan itu.