DALAM TAHAP REVISI TANDA BACA
Jangan lupa follow IG Author : tiwie_sizo08
Karena insiden yang tak diinginkan, Zaya terpaksa harus mengandung benih dari seorang Aaron Brylee, pewaris tunggal Brylee Group.
Tak ingin darah dagingnya lahir sebagai anak haram, Aaron pun memutuskan untuk menikahi Zaya yang notabenenya hanyalah seorang gadis yatim piatu biasa.
Setelah hampir tujuh tahun menikah, rupanya Aaron dan Zaya tak kunjung mejadi dekat satu sama lain. perasaan yang Zaya pendam terhadap Aaron sejak Aaron menikahinya, tetap menjadi perasaan sepihak yang tak pernah terbalaskan, hingga akhirnya Aaron pun memilih untuk menceraikan Zaya.
Tapi siapa sangka setelah berpisah dari Zaya, Aaron justru merasakan perasaan asing yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Jatuh cintakah ia pada Zaya?
Akankah akhirnya Aaron menyadari perasaannya dan kembali bersama Zaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kenyataan
Dua hari setelah melahirkan, Zaya sudah diperbolehkan pulang. Semua orang menyambutnya di rumah dengan penuh suka cita. Nampak Bu Asma telah menyiapkan pesta kecil bersama para pelayan lainnya.
Zaya merasa sangat terharu. Para pelayan di rumah Aaron memang telah Zaya anggap sebagai keluarga. Merekalah yang telah menemani Zaya dan membuat Zaya tak terlalu kesepian di rumah besar itu. Hingga Zaya tak sungkan untuk membagi kesedihan dan kebahagiaan bersama mereka.
"Selamat, Nyonya. Sekarang Nyonya sudah jadi seorang ibu," ucap Bu Asma tulus. Ia nampak sangat bahagia dengan kelahiran putra tuannya itu.
Dulu saat pertama kali bekerja pada keluarga Brylee, Aaron masih berusia sekitar 5 tahun. Dan sekarang tuannya itu sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Bu Asma masih merasa seperti mimpi.
"Terima kasih, Bu," jawab Zaya haru.
Zaya kemudian menyodorkan Albern untuk digendong oleh Bu Asma. Tentu saja Bu Asma menerima Albern digendongannya dengan suka cita. Tampak bayi mungil yang sebelumnya tengah tertidur itu membuka matanya.
"Tuan muda tampan sekali, Nyonya. Wajahnya mirip Tuan Aaron, tapi matanya sama seperti mata nyonya," tutur Bu Asma antusias.
"Benar," sahut Zaya menyetujui. "Dia memang tampan seperti papanya. Namanya Albern. Kita bisa memanggilnya Al."
"Nama yang bagus," gumam bu Asma sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, Aaron datang menghampiri mereka.
"Segeralah istirahat, kau belum pulih benar. Aku akan kembali ke kantor," ujar Aaron pada Zaya.
"Kamu sudah mau ke kantor?" tanya Zaya.
"Iya. Sudah dua hari pekerjaanku dikerjakan orang lain. Aku tidak mau terjadi masalah," jawab Aaron.
"Baiklah." Zaya mengangguk. Ia pun lalu mengambil kembali Albern dari gendongan Bu Asma dan hendak masuk ke kamarnya. Tapi kemudian seorang pelayan datang dari arah ruang tamu dengan tergopoh-gopoh.
"Tuan, di depan ada Tuan dan Nyonya Besar." lapor pelayan tersebut sambil sedikit membungkuk kepada Aaron.
Zaya sedikit menautkan alisnya. Tuan dan nyonya besar? Apa maksudnya orang tua Aaron?
Astaga ....
Mata Zaya membulat sempurna.Tiba-tiba dia menjadi sangat tegang. Tapi belum sempat Zaya memikirkan apa-apa, kedua orang yang dimaksud tiba-tiba telah ada diruangan tempat Zaya dan yang lain berada.
"Selamat datang, Tuan dan Nyonya Besar." Bu Asma membungkukkan badannya ke arah dua orang itu, yang dibalas anggukan dari keduanya.
"Mama ... Papa ...." Aaron menyapa seolah sedang bergumam pada dirinya sendiri.
"Kenapa kau tampak sangat terkejut, Aaron?" tanya laki-laki paruh baya yang Aaron sebut papa itu.
"Apa kau tidak akan mempersilahkan kami duduk?" tanyanya lagi.
Tanpa diminta, lelaki itu menduduki sofa yang ada di ruangan tersebut, diikuti oleh wanita yang datang bersamanya.
Dia adalah Carlson Brylee, ayah kandung Aaron yang juga pemilik dari perusahaan Brylee group. Zaya pernah melihatnya di tv saat pemberitaan diangkatnya Aaron menjadi Direktur Utama hampir empat tahun yang lalu.
Di sebelah Carlson, tampak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik. Tubuhnya langsing terawat berbalut pakaian mahal nan elegan. Tangannya juga menenteng tas branded yang tentu saja punya harga selangit. Benar-benar perempuan yang anggun dan berkelas. Perempuan yang dipanggil Nyonya Besar oleh pelayan tadi, pasti dialah Nyonya Ginna yang pernah diceritakan oleh Bu Asma tempo hari, ibu kandung Aaron.
Aaron pun mendekat dan duduk disofa yang berseberangan dengan mereka.
"Selamat datang, Ma, Pa. Maaf tidak menjemput ke bandara. Aku tidak tahu kalian akan datang," ujarnya berbasa-basi.
"Memang sejak kapan kau peduli pada kami? Bahkan kau menikah pun tanpa meminta restu dari kami," sarkas Ginna.
Tampak Aaron sedikit menghela nafas.
"Bukankah aku sudah meminta restu, kalian saja yang tidak datang," elaknya kemudian.
"Kau hanya memberi tahu, bukan meminta restu," ralat Ginna.
"Bukankah itu sama saja?"
Kali ini Ginna yang menghela nafasnya kasar.
"Sudahlah." Carlson melerai. "Kami kesini untuk melihat cucu kami," ujarnya lagi pada Aaron.
Aaron tiba-tiba menoleh ke arah Zaya yang masih mematung di tempatnya. Sedangkan Bu Asma dan pelayan yang satunya lagi telah menyingkir sejak tadi.
"Kemarilah. Papa dan mama ingin melihat Albern," pintanya pada Zaya.
Zaya pun mendekat. Lalu memberikan Albern ke dalam gendongan Aaron.
"Duduklah di sampingku," pinta Aaron lagi. Dan seperti sebelumnya, Zaya hanya menurut tanpa menjawab.
"Ma, Pa, ini Zaya. Istriku." Aaron memperkenalkan Zaya.
Deg! Ini kedua kalinya Aaron menyebut Zaya dengan sebutan 'istriku'.
"Dan ini Albern, cucu kalian," sambung Aaron lagi.
Ginna tampak berbinar melihat Albern. Kekesalannya yang tadi tampak telah hilang entah kemana.
"Cucuku, dia tampan sekali. Apa boleh aku menggendongnya?" tanya Ginna dengan antusias.
Tanpa menjawab Aaron langsung beranjak dan memberikan Albern ke dalam gendongan Ginna. Lalu dia pun kembali duduk di sebelah Zaya yang masih terdiam.
"Dia benar-benar tampan. Aku jadi jatuh cinta padanya." Ginna bergumam sendiri sambil tersenyum. Lalu dia mendongak ke arah Zaya.
"Apa dia minum asi?" tanyanya pada Zaya.
Zaya pun mengangguk cepat.
"Iya," jawabnya.
Ginna yang mendengarnya nampak lega.
"Baguslah."
"Asi adalah yang terbaik," sambung Ginna kemudian.
Zaya mengangguk mengiyakan.
"Baiklah ...." Carlson beranjak dari duduknya. "Karena aku sudah melihat cucu dan menantuku, aku pergi dulu. Ada yang harus aku urus."
Carlson beralih pada zaya yang telah ikut berdiri.
"Aku pergi dulu, Zaya. Tolong jaga cucuku dengan baik," ujarnya pada Zaya.
Zaya mengangguk.
"Baiklah ... Tu ...." Zaya menggantung kalimatnya karena tidak tahu harus memanggil Carlson apa.
Carlson sedikit terkekeh.
"Kau menantuku sekarang, jadi panggil aku Papa," ujarnya sambil menepuk lembut bahu Zaya.
"I-iya, Pa," jawab Zaya canggung.
"Jaga dirimu juga. Aaron bukanlah orang yang mudah untuk dihadapi, jadi kau harus banyak bersabar." Carlson kembali terkekeh, kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.
Zaya masih sedikit mematung mendengar kalimat terakhir Carlson tadi. Kemudian ia kembali tersadar saat Ginna berdiri dan memberikan Albern kepadanya.
"Bawa Albern ke kamar, sepertinya dia sudah lapar dan ingin menyusu. Kau juga belum pulih dan harus banyak istirahat," ujarnya pada Zaya.
Zaya mengangguk patuh.
"Baiklah ... Ma," ujarnya, masih dengan nada canggung. Dia pun lalu meninggalkan Aaron dan Ginna menuju kamarnya.
"Mari ke ruang kerjamu, Aaron. Ada yang ingin aku bicarakan padamu," pinta Ginna dengan nada memerintah. Perempuan paruh baya itu lalu berjalan terlebih dulu dan masuk ke ruang kerja Aaron.
Aaron tampak bertanya-tanya. Tapi akhirnya dia pun menuruti perkataan Ginna dan menyusul masuk keruang kerja.
"Ada apa, Ma?" tanya Aaron sambil mendudukkan dirinya di hadapan Ginna.
"Dia terlihat masih sangat muda. Berapa umurnya?" tanya Ginna.
Aaron pun langsung tahu siapa yang Ginna maksud.
"Hampir dua puluh satu tahun," jawabnya.
Ginna tampak menghela nafas.
"Aku yang akan mengasuh Albern," ujarnya kemudian.
Aaron tampak mengerutkan keningnya.
"Apa maksud Mama?" tanyanya heran.
"Aku yang akan mengasuh dan mendidik Albern. Aku tidak bisa mempercayakan calon pewaris Brylee Group pada bekas pelayan sepertinya," tegas Ginna tajam.
"Mama?" Aaron membeliak tak percaya.
"Aku tahu semuanya, Aaron. Kau tak sengaja menghamili seorang gadis yatim piatu yang tak jelas asal-usulnya karena seseorang ingin menjebakmu. Bagaimana kau bisa begitu ceroboh?" Ginna menatap Aaron tajam.
Aaron hanya membuang nafas kasar dan tak menjawab.
"Apa kau akan menjadikan dia istrimu selamanya?" tanya Ginna lagi.
Aaron terdiam sejenak.
"Aku tidak tahu," jawab Aaron akhirnya.
"Dengar, Aaron. Kau bertanggung jawab dengan menikahinya, itu sudah benar, karena bagaimana pun Albern adalah anakmu. Tapi kau juga harus memikirkan nama baikmu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika sampai latar belakang istrimu terbongkar?" Ginna kembali menatap Aaron.
"Itu pasti akan mempengaruhi kedudukanmu di perusahaan," lanjutnya lagi.
Aaron masih tak menjawab. Meski tak sepenuhnya setuju, tapi dia merasa perkataan Ginna ada benarnya.
"Meski tidak sekarang, suatu saat kau tetap harus mencari pendamping yang pantas bersanding denganmu," tegas Ginna lagi.
"Aku tidak akan meminta persetujuanmu atas Albern. Kau setuju atau tidak, aku tetap akan mengasuhnya. Segala hal tentang Albern, aku yang akan mengurusnya. Aku tahu kau tak ingin menyakitinya istrimu itu, tapi apa dia bisa mendidik Albern agar bisa jadi pemimpin perusahaan sepertimu?" tanya Ginna telak.
Aaron tetap tak menjawab dan hanya menghela nafas kasar. Sesungguhnya dia juga meragukan Zaya. Semua kata-kata Ginna, meski tajam tapi memang benar adanya. Zaya dibesarkan dipanti asuhan. Tentu dia tidak tahu seperti apa tata krama golongan atas seperti dirinya.
Disisi lain, Ginna, meski seringkali bersikap dingin dan tak bersahabat, tapi kemampuannya dalam mendidik Aaron tidak diragukan lagi. Aaron yang memang cerdas menjadi semakin gemilang di bawah asuhannya.
"Baiklah." Aaron akhirnya membuka suaranya.
"Aku setuju untuk masalah Albern. Tapi, Ma, aku tidak bisa menceraikan Zaya. Tidak untuk sekarang. Dia baru saja melahirkan anakku," tambah Aaron lagi.
Ginna terlihat melunak.
"Aku mengerti, Aaron. Kau tidak perlu terburu-buru. Aku mengatakannya hanya untuk mengingatkan dirimu. Saat ini bahkan luka jahitannya pun masih belum kering."
Ginna terdiam sesaat.
"Sebenarnya aku merasa kasihan padanya. Dia gadis yang malang," ujarnya lagi.
"Dan satu hal lagi, Aaron. Selama dia menjadi istrimu, kau harus memastikan tidak ada yang mengetahui latar belakangnya," tambah Ginna.
Aaron kembali mendesah.
"Aku tahu," lirihnya kemudian.
Tanpa mereka sadari, seseorang tengah mendengarkan percakapan itu dari balik pintu dengan berurai airmata.
Ya. Zaya awalnya datang untuk membawakan minuman dan makanan kecil untuk ibu mertuanya. Tapi saat ia akan masuk, ia mendengar ibu mertuanya menyebut nama Albern dan terdengar serius, sehingga ia pun memilih tetap berdiri di depan pintu dan mendengarkan semuanya.
Hati Zaya hancur saat mendapati kenyataan bahwa Aaron sengaja menyembunyikan dirinya karena latar belakangnya, bukan karena ingin melindungi privasinya seperti yang Aaron katakan dihadapan banyak orang. Dan kenyataan lain yang membuatnya lebih hancur adalah saat ia mendengar jika suami dan ibu mertuanya itu tak ingin dia mengasuh putranya sendiri.
Zaya tahu dia bukan perempuan yang pantas menjadi ibu dari keturunan Aaron. Zaya sangat sadar akan keadaan dirinya dan segala keterbatasannya. Dia juga tahu apa yang mereka bicarakan barusan memang benar. Tapi dia tetap tidak bisa menahan hatinya untuk tidak terluka. Kenyataan ini terlalu menyakitkan untuknya.
Bersambung....
Like, please..❤❤❤
jangan sedikit-sedikit marah, menangis 😭 dan Mengabaikan suami.
bisa-bisanya mamanya dikasi. zombie
baru merasa kehilangan ya Aaron
waktu zaya kau menghina dan menyeretnya seperti sampah di rumah mu menyakiti nya di tempat tidur dia tetap memaafkan dan bertahan padamu.
dia tidak meminta hartamu Aaron hanya kasih sayang perhatian atau lebih tepatnya CINTA.
tapi setelah berpisah baru kau merasa kehilangan
masih waras kah Aaron?
karena zaya patut di perjuangkan
seganti g apapun laki-laki kalau tak bisa menghargai ya percuma