Terjerat Pesona Tuan Muda

Selesai makan, Fiona dan kedua gengnya mengajak Brian untuk keliling kampus. Brian masih tidak percaya, bisa di sambut ramah oleh Fiona, mahasiswi paling populer di kampus. Fiona menjelaskan dengan sabar dan sangat detail. Membuat Brian merasa langsung nyaman bersama Fiona. Dan lagi, kedua sahabat Fiona juga sangat welcome terhadap Brian.

"Lihatlah, semua pria menatapmu, Fiona."

"Semua wanita juga menatapmu, Brian. Pasti kamu juga sangat terkenal di kampus."

"Ya, begitulah. Mereka memberiku julukan the rich Brian."

"WOW! Julukan untuk seseorang yang kaya tentunya."

"Ya, begitulah." Singkat Brian.

Namun saat hendak menuju laboratorium, mereka berpapasan dengan Ghea, Roni dan Lula, sahabat Ghea juga.

"Oh, rupanya lo sama dia, Pur?" celetuk Ghea saat melihat Brian bergabung dengan Fiona.

"Pur? Siapa yang lo panggil, Pur?" tanya Fiona dengan ketus.

"Nah, itu cowok di samping lo. Namanya kan Purnama."

"Hhh, lo kenal sama Brian?"

"Kebetulan kita satu kelas."

"Berhenti panggil aku, Pur. Aku biasa di panggil Brian." Brian merasa kesal karena Ghea selalu memanggilnya 'Pur'. Panggilan itu membuat Brian seolah kehilangan auranya.

"Heh, cewek jadi-jadian, lo bisa kan manggil orang dengan nama yang baik. Lo ngiri kan sama kita karena nggak deket sama Brian?" sahut Siska.

"Ngiri? Hah... sorry ya, kagak ngaruh. Kalian bertiga bisa pacarin Raymond pun, gue nggak ngiri sama sekali. Dasar geng penindas."

"Heh, jaga mulut lo! Kita ini princess ya, mana mungkin nindas orang." Sanggah Fiona.

"Oh ya? Kalian pinter cuci tangan dan mengancam musuh sih," sindir Ghea.

"Ghe, udahlah jangan ladenin princess berhati jahat ini. Buang-buang energi," sahut Lula, gadis berkacamata tebal berkepang dua.

"Heh, culun! Diem lo, nyamber aja," ketus Salsa.

"Pur, kalau mereka tahu siapa lo, lo juga bakalan di hempas. Sekarang susah nyari pertemanan yang tulus." Ucap Ghea yang berusaha memperingatkan Brian.

"Sudahlah, kita juga tidak kenal dekat. Jadi, kamu tidak usah terlalu ikut campur." Ucap Brian dengan kesal.

"Ya udah, suka-suka lo, bye!"

"Lupa diri, lo." Sahut Roni sambil menatap kesal pada Brian. Ghea dan kedua sahabatnya kemudian berlalu melewati geng Fiona.

"Jangan dengerin cewek nggak jelas dan urakan seperti itu, Brian." Kata Fiona yang berusaha menenangkan Brian.

"Iya, aku santai saja kok."

"Oh ya, nanti malam ke cafe, yuk!" ajak Fiona sembari melanjutkan kembali room tour kampus.

"Boleh, jam berapa?" tanya Brian dengan semangat. Ia kembali lupa kalau dirinya sudah tidak kaya lagi.

"Jam 8 ya. Di rose cafe nanti aku share alamatnya ya. Atau mau aku jemput ke rumah?"

"Hah? J-jemput?" Brian terkejut sampai membuatnya tergagap.

"Iya. Kenapa tidak, Brian?"

"Tidak usah, Fiona. Aku tidak mau merepotkanmu. Kita bertemu di sana saja ya"

"Oke, baiklah kalau begitu."

"Duh, mau ke cafe tapi tidak ada modal. Aku dapat uang darimana?" gumam Brian dalam hati.

Sepulang dari kampus, Brian memilih untuk segera pulang. Jangan sampai ketahuan ia pergi dengan motor bututnya. Begitu sampai di rumah, Brian segera menelepon sang kakak, untuk meminta bantuan.

"Halo, Hyung?"

"Iya, ada apa? Sudah dapat pekerjaan?" tanya Arsen diseberang sana.

"Belum dan uang ku habis, Hyung."

"Sudah aku duga. Pasti untuk clubbing lagi."

"I-iya sih. Habisnya aku bosan, aku capek. Tidak ada teman juga disini."

"Brian, aku sudah tidak bisa membantumu lagi. Kamu silahkan usaha sendiri ya. Aku disini sudah berjuang untuk kesehatan Papa dan juga mengurusi masalah semua ini. Jual saja apa yang bisa kamu jual selagi ada. Ponselmu, masih lumayan untuk dijual, sisanya bisa kamu pakai untuk makan dan biaya hidup sehari-hari. Jam tangan dan baju branded atau sepatumu juga masih laku kan?"

"I-iya masih laku, Hyung. Terus, aku harus pakai apa kalau aku jual? Aku mohon, Hyung."

"Kamu sama sekali tidak peduli dengan kesehatan Papa dan juga kondisi kita semua. Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Jangan egois, Brian! Terima kenyataan. Jangan gengsi dan ingat pesanku, cari teman yang tulus."

"Hyung, aku tidak butuh nasihat tapi butuh uang."

"Kerja Brian, kerja! Kamu punya tangan dan kaki, jadi gunakanlah untuk bekerja." Arsen kali ini naik pitam. Kesabarannya habis karena Brian sama sekali tidak ada rasa peduli dan jera.

"Aku sibuk, mau berangkat bekerja. Jaga dirimu." Sambung Arsen seraya mengakhiri panggilannya.