Kanaya hidup dalam gelembung kaca keindahan yang dilindungi, merayakan tahun-tahun terakhir masa remajanya. Namun, di malam ulang tahunnya yang ke-18, gelembung itu pecah, dihancurkan oleh HUTANG GELAP AYAHNYA. Sebagai jaminan, Kanaya diserahkan. Dijual kepada iblis.Seorang Pangeran Mafia yang telah naik takhta. Dingin, cerdik, dan haus kekuasaan. Artama tidak mengenal cinta, hanya kepemilikan.Ia mengambil Kanaya,gadis yang sepuluh tahun lebih muda,bukan sebagai manusia, melainkan sebagai properti mewah untuk melunasi hutang ayahnya. Sebuah simbol, sebuah boneka, yang keberadaannya sepenuhnya dikendalikan.
Kanaya diculik dan dipaksa tinggal di sangkar emas milik Artama. Di sana, ia dipaksa menelan kenyataan bahwa pemaksaan adalah bahasa sehari-hari. Artama mengikatnya, menguji batas ketahanannya, dan perlahan-lahan mematahkan semangatnya demi mendapatkan ketaatan absolut.
Bagaimana kelanjutannya??
Gas!!Baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nhaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka pertama
... "Dia bukan milikmu lagi. Dia jaminan. Dia milik Volkswagen sekarang," suara dingin Artama adalah hal terakhir yang kudengar sebelum kegelapan merenggut ku.
Aku nggak dapet kado ulang tahun. Aku dapet penculikan. Dan aku dapet pemilik baru.
Aku kemudian terbangun dengan sensasi mual yang parah dan kepala pusing tujuh keliling.Setelah perlahan membaik,aku menyapu pandangan ke seluruh penjuru ruangan itu.Hal pertama yang kurasakan adalah dingin. Dinginnya AC yang keterlaluan. Hal kedua? Tempat yang asing.
Aku nggak di rumah. Jelas.Karena di sini terlihat sangat asing.
Aku berada di tempat tidur super king size dengan seprai sutra hitam yang lembutnya keterlaluan. Ruangan ini gede banget, kayak suite hotel bintang lima yang harganya bisa buat bayar kuliahku setahun,mungkin??.Interiornya terlihat monochrome, didominasi warna abu-abu gelap, hitam, dan perak. Mewah? Banget. Tapi vibes-nya? like...Penjara. Penjara yang fancy
Aku pun mencoba bergerak. But,Nope. Pergelangan kakiku terasa sakit. Saat ku singkapkan selimut sutra, aku lihat sepasang gelang perak antik yang mengikat pergelangan kakiku ke tiang ranjang yang fancy. Rantainya cukup panjang, sih, tapi jelas membatasi gerakku.
"Br3ngsek!" Aku teriak, mencoba menarik rantai itu. Percuma. Kuat banget.
"Nggak usah buang-buang energi, Little Scar."
Suara itu,terdengar dingin, familiar, dan sukses bikin darahku langsung mendidih. Aku menoleh ke sumber suara.
Artama Volkswagen.
Dia duduk santai di kursi single di sudut ruangan, di balik meja kerja kaca. Lagi sibuk dengan laptop dan beberapa dokumen. Dia sudah berganti jas.Dan sekarang cuma pakai kemeja silk hitam yang lengannya digulung ke siku. Seriously, kenapa dia harus hot banget kalau attitude-nya kayak gini?
"LO APAIN GUE?! DI MANA INI?!" Aku nggak peduli lagi sama sopan santun. Aku cuma mau keluar.
Artama ngangkat dagu sedikit, tanpa mengalihkan pandangan dari laptop. "Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja, kamu ada di Penthouse-ku. Dan kamu ada di sini karena kamu adalah milikku."
"Milikmu?!huh!! Aku bukan 4njing! Ayah gue—"
"Ayahmu? Oh, dia sweet sekali. Dia menukar putrinya yang fresh ini untuk memastikan lehernya nggak jadi koleksi pribadi klan Volkswagen," potong Artama, suaranya tetap datar. "Dia sudah tidak punya hak atas dirimu. Sekarang, hak itu beralih padaku."
Mendengar itu,aku pun langsung merasa mual lagi. Dadaku sesak banget. Dijual. Oleh Ayahku sendiri.
"ARTAMA!I HATE YOU!!! Lepasin gue! Sekarang!" Aku menarik rantai itu lagi, kali ini lebih brutal, sampai pergelangan kakiku lecet.Muncul goresan merah.
Artama pun akhirnya menutup laptopnya, slow motion. Dia bangkit. Gerakannya pelan, tapi setiap langkahnya terasa seperti ancaman yang mendekat.
"Kamu sedang mengalami fase penyangkalan, Kanaya. Wajar," katanya, sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana slim fit-nya. "Tapi aturan di sini tak bisa dinego. Kamu sandera. Kamu properti. Dan properti yang berharga harus dijaga. Bahkan dari dirinya sendiri."
Dia berada berdiri tepat di samping ranjang. Tingginya, auranya, semuanya mendominasi. Perbedaan usia 10 tahun itu terasa seperti jurang kekuasaan yang nggak mungkin bisa ku jangkau.
"Terserah lo mau bilang apa! Gue nggak akan nurut sama lo! Lo nggak bisa maksa gue!" Aku menatapnya nyalang.
Mata Artama yang abu-abu itu menyipit. Itu bukan kemarahan emosional. Itu adalah kemarahan yang dingin, terukur, dan mematikan. Kemarahan seorang penguasa yang ditantang oleh mainannya.
"Maksa?" Artama membungkuk, wajahnya mendekat ke wajahku. Aroma cologne mahal dan bahaya langsung menusuk hidungku. "Aku tidak perlu 'memaksa' kamu, Kanaya. Aku hanya perlu mengingatkan di mana tempat kamu berada."
PLAKK!!!
Aku langsung menampar wajahnya dengan rasa berani yang sedikit.Aku merasa sangat marah."lo pantes dapetin itu!!".Artama menatapku tajam.
Dia menjentikkan jarinya ke udara. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka, dan dua pria sangar berjas hitam,pengawalnya,masuk.
"Bawa Nona Eden!," perintah Artama..Aku menciut.
"Bawa ke mana?!" Aku panik. "Jangan sentuh gue!"
Aku berteriak kencang dan menampar tangan salah satu pengawal yang coba mendekat. Aku sempat berhasil. Pria itu sedikit terkejut. Good. Dan aku masih punya tenaga buat melawan.
Artama cuma melihat show pemberontakan ku dengan tatapan datar sambil menyentuh pipi nya yang memerah karena tamparan ku. Tapi sepertinya kenekatan ku itu malah memicu sesuatu yang gelap dalam dirinya.
"Kamu pikir kamu siapa?" Artama mendesis, suaranya mendadak berubah sangat rendah, penuh ancaman. Dia menjulurkan tangan besarnya, mencengkeram rahangku dengan cukup kuat, memaksaku menatap matanya.
"Dengar, Little Scar. Kamu baru t(_)juh b3las Dan Aku dua puluh tujuh. Aku Raja di dunia mu, dan kamu cuma pawn yang Ayahmu tukar dengan nyawanya. Kamu tidak punya hak suara, tidak punya hak memilih, dan apalagi, tidak punya hak untuk memberontak."
Dia melepaskan cengkeramannya, dan aku langsung mundur.
"Sekarang, aku kasih kamu pilihan. Kamu bisa menurut dan tetap di kamar mewah ini, atau....." Artama memberi jeda dramatis, lalu menoleh ke pengawalnya.
"Gua gak bakal nurut!!lo bukan siapa-siapa gue!!.Rahang Artama terlihat mengeras.
"Bawa dia ke Ruangan Kaca di lantai bawah. Biarkan dia melihat apa yang terjadi pada 'properti' yang mencoba memberontak melarikan diri dari Volkswagen."
"Ruangan Kaca?" Aku gemetar. Itu terdengar seperti penyiksaan.
"Pilihan yang buruk," Artama menghela napas, seolah aku baru saja mengecewakannya. "Bawa dia."
Para pengawal itu langsung bergerak. Karena kakiku masih terikat di ranjang, aku nggak bisa lari. Aku ditarik paksa dari tempat tidur. Rantai gelang perak di kakiku bergemerincing keras, suara itu kayak soundtrack buat keputusasaan ku.
"LEPASIN GUE! ARTAMA! LO BR3NGS3K!I HATE YOU!!F(_)ck YOU!!" Aku berteriak, menendang-nendang. Ini adalah level yang real.
Artama tidak bergeming. Dia hanya bersandar di tiang ranjang, menyilangkan tangan di dada, melihat semua drama itu dengan ketidakpedulian yang mengerikan.
"Biarin dia berteriak. Besok, dia akan tahu. Di dunia ini, bekas luka datang sebelum kebebasan," gumamnya, cukup keras untuk kudengar.
Aku tahu mereka nggak akan menyakitiku secara fisik, karena Artama butuh 'jaminan' ini tetap utuh. Tapi ketakutan psikis itu jauh lebih buruk.
Setelah didorong keluar dari kamar, Artama memerintahkan pengawalnya untuk membawaku ke ruangan yang berbeda. Itu bukan ruang penyiksaan.Namun,itu adalah perpustakaan super besar dengan dinding kaca dari lantai ke langit-langit.
"Tinggalin dia di sini. Sendirian," perintah Artama.
Saat pintu ditutup, aku buru-buru berlari ke jendela kaca. Dari ketinggian itu, aku bisa lihat sebagian kota yang gelap. Tapi di kejauhan, di lantai yang lebih rendah, ada pemandangan yang membuat jantungku mencelos.
Di sebuah warehouse tua di seberang jalan, yang jendelanya terbuka sedikit, aku melihat pertumpahan d4rah. Aku melihat dua pria tersungkur di lantai. Dan aku melihat Artama, yang ternyata meninggalkan kamarnya dan pergi ke sana, berdiri di atas mereka. Dia nggak pakai sarung tangan. Dia hanya megang senj4ta.
Itu bukan adegan film. Itu adalah eks3kusi. Dunia gelap Artama.
Aku langsung mundur dari kaca, perutku sangat mual. Napas ku tersengal-sengal.
Aku dic(_)lik. Aku dijadikan jaminan. Aku diju4l. Dan sekarang aku tahu, pemilik baruku adalah pem6unuh yang kejam.
Aku kembali ke kamar. Malam itu, aku nggak tidur. Aku cuma bisa menangis di sudut ruangan, menyentuh pergelangan kakiku yang lecet karena gelang perak, bekas luka pertama di penjara sementaraku.
Pagi harinya, aku pun terbangun. Lampu kamar sudah menyala. Rantai di pergelangan kakiku hilang,dan Aku bisa bergerak bebas.
Tapi di nakas, ada sebuah kotak kecil diatas nya. Isinya dress baru berwarna hitam. Dan secarik kertas.
"Selamat ulang tahun yang ke Dlapan b3las, Kanaya. Sekarang kamu legal. Tapi ingat, kamu masih milikku. Berpakaian lah. Kita punya pertemuan penting. Melawan berarti pertumpahan darah. Jangan ulangi kesalahan semalam.
— Artama."
Aku pun sekarang nggak lagi teriak. Aku nggak lagi berontak. Aku cuma berdiri, memandangi dress hitam itu. Bekas luka pertama di pergelangan kakiku sudah ada. Tanganku mengepal dengan kuat. Bekas luka jiwa-ku baru saja dimulai.
"Artama....gue gak bakal nurut!!".
Gue bakal cari cara buat keluar dari sini!!!!