Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Drama pagi hari
"Hm, baiklah. Aku mengerti," cicit Kanaya lesu. Suaranya pelan sekali, nyaris hilang di kamar yang luas itu.
Arjuna tidak menggubrisnya. Ia bahkan tidak menoleh, hanya langsung berbalik menuju lemari pakaian walk-in miliknya. Wajahnya kaku dan dingin.
Arjuna menyambar setelan jas. Ia sempat melirik kemeja putih bersih yang sudah Kanaya siapkan di atas tempat tidur, tapi ia sengaja mengabaikannya. Ia malah menarik kemeja biru gelap dari tumpukan bajunya sendiri. Gerakannya cepat dan kasar, jelas sekali menunjukkan kalau ia tidak suka Kanaya ikut campur.
"Kenapa kamu masih berdiri di situ?" bentak Arjuna. Suaranya memantul di dinding. Ia masih membelakangi Kanaya, sibuk mengancingkan kemejanya. "Pergi! Aku tidak mau terlambat karenamu!"
Nada bicaranya tajam, tidak ada sopan santun sama sekali.
Kanaya kaget dan buru-buru pergi, nyaris berlari keluar kamar. Ia meninggalkan Arjuna yang mendengus kesal. Di lorong, Jesika, yang rupanya sedari tadi menguping, tersenyum menyeringai.
Lima menit kemudian, Arjuna turun. Ia melangkah cepat menuju garasi, tapi langkahnya terhenti. Di ruang tamu, ia melihat Kanaya duduk kaku di sofa, berhadapan dengan Ibu Ratih.
Jesika juga ada di sana, duduk santai di sofa tunggal dengan kaki disilangkan, tampak asyik men-scroll ponselnya. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai. Lipstik merah menyalanya membuat penampilannya terlihat mencolok dan provokatif.
"Wah, pas sekali, Arjuna! Mama dari tadi sedang membicarakanmu dengan Kanaya," kata Ibu Ratih. Senyumnya terlihat dipaksakan.
"Dia tadi mau berangkat kerja duluan, tapi Mama larang. Mama suruh dia menunggumu… Kamu tidak berniat meninggalkan istrimu, 'kan? Mengingat kemarin kamu begitu membela gadis kampung ini, masa kamu biarkan dia pergi sendirian."
Jesika menyela, akhirnya mengangkat wajah dari ponsel. "Iya, Kak Arjuna. Sayang banget mobil mewahnya cuma diisi satu orang. Boros bensin, tahu! Oh iya," ia menoleh pada Kanaya, memandangnya dari atas ke bawah. "Kak Kanaya kerja sebagai office girl di perusahaan kita, 'kan? Jadi, Kakak harus berangkat lebih pagi supaya Kak Kanaya tidak telat... buat bersih-bersih kantor." Suaranya sengaja dibuat keras, terdengar manis tapi penuh ejekan.
Arjuna menatap Kanaya yang menunduk dalam-dalam. Jengkel sekali rasanya. Perempuan ini bilang apa saja ke Ibuku?
"Anu, Ma ... sepertinya Kanaya pergi sendiri saja," ucap Kanaya, suaranya sedikit gemetar. Ia meremas-remas tangannya di pangkuan. "Kanaya ada urusan sama teman pagi ini. Ada ... ada sesuatu yang harus dikerjakan sebelum ke kantor, dan Kanaya sudah janji."
Arjuna hanya mendengus, tidak berkomentar. Menyebalkan. Padahal ia sudah bilang pada Kanaya jangan berurusan dengan ibu dan adiknya.
"Tidak, Kanaya! Kalian itu suami istri. Mama tahu kalian mungkin masih canggung, Mama maklum," kata Ibu Ratih, nadanya jelas meremehkan. "Namanya juga kamu dari kampung, tahu-tahu jadi nyonya bos di tempatmu bekerja."
Jesika menyikut pelan lengan Ibunya, lalu berbisik, "Biarkan saja, Ma. Biar seru pagi ini."
"Arjuna, kamu juga tidak keberatan, 'kan, mengantar Kanaya ke tempat temannya? Kalian kan suami istri," lanjut Ibu Ratih, menatap Arjuna dengan tatapan mengejek. Bisa-bisanya putranya menikah dengan gadis udik ini tanpa persetujuannya. Dia harus membuat Arjuna sadar dan membuang gadis itu.
Jesika tersenyum penuh arti, menatap Kanaya dengan tatapan yang seolah ingin menerkam.
Arjuna kaget, tapi ia cepat-cepat memasang wajah datar. Ia tak ingin menimbulkan kecurigaan di depan ibu dan adiknya.
"Arjuna, kenapa kamu diam saja?" desak Ibu Ratih. Ia ingin sekali melihat reaksi putranya. Ia tahu Arjuna bukan orang yang sembarangan menikah. Putranya itu Casanova kelas kakap yang biasanya hanya mengincar gadis-gadis kaya.
"Ma, Kanaya benar-benar tidak masalah kalau berangkat sendiri. Lagi pula—" Arjuna mencoba bicara, tapi langsung dipotong Jesika.
"Kak Arjuna, jangan gitu, dong. Kasihan Kak Kanaya. Kan sudah jadi istri, harus dijaga baik-baik. Jangan sampai dia kenapa-kenapa di jalan," potong Jesika. Suaranya dibuat seolah-olah prihatin, tapi matanya menyorot tajam. Sudut bibirnya berkedut, seperti menahan tawa.
"Ah, iya!" Tiba-tiba Arjuna tertawa pelan. Tawa yang sama sekali tidak sampai ke matanya. "Tentu saja aku tidak keberatan pergi sama Kanaya. Dia istriku. Jadi, kurasa kalian tidak perlu khawatir ... Benar, 'kan, Kanaya?"
Arjuna menatap Kanaya tajam. Di mata ibu dan adiknya, senyum itu mungkin terlihat hangat, tapi bagi Kanaya, rasanya seperti ditusuk.
"Baguslah kalau begitu! Mama senang mendengarnya! Ya sudah, cepat kalian berangkat ke kantor. Sudah siang ini, jangan sampai telat!" Ibu Ratih tampak puas.
Jesika tersenyum licik, lalu berbisik ke Kanaya saat mereka bangkit, "Selamat menikmati perjalanan, Kak!"
Arjuna berjalan mendekati Kanaya. Begitu membelakangi keluarganya, raut wajahnya langsung kembali dingin.
"Kanaya, ayo cepat! Aku tidak mau terlambat. Pekerjaanku yang kemarin masih banyak," perintah Arjuna, suaranya datar dan memerintah.
Kanaya gugup, buru-buru mengikuti Arjuna keluar. Ibu Ratih dan Jesika mengantar mereka sampai teras. Jesika melambaikan tangan, gerakannya sengaja dibuat lambat seperti di drama.
Di depan mobil sport hitam milik Arjuna, ia membukakan pintu depan untuk Kanaya. Terlihat sopan, tapi Kanaya tahu itu hanya sandiwara.
"Masuk," perintahnya singkat.
Begitu mereka berdua di dalam, Kanaya langsung menciut di kursinya.
"Mas, aku ... aku bisa duduk di belakang kalau kamu risih," kata Kanaya pelan, nyaris berbisik.
"Diam!" Arjuna menggeram. Ia bahkan belum menyalakan mesin. "Tetap duduk di situ. Aku bukan sopirmu!" Suaranya tertahan, tapi penuh amarah.
Kanaya langsung diam, ketakutan.
Dari balik jendela, Arjuna melihat Mama dan Jesika masih melambai. Ia terpaksa menyalakan mobil dan pergi. Suasana di dalam mobil begitu tegang dan dingin. Kanaya sampai merasa sulit bernapas.
Kenapa sikapnya berubah-ubah begini? Semalam dia sedikit ... beda. Hari ini dia kembali jadi monster, pikir Kanaya dalam hati.
Mobil melaju dalam diam.
"Di pertigaan depan, turun," kata Arjuna tiba-tiba, memecah kesunyian. "Naik angkutan umum ke kantor." Suaranya dingin, tidak mau dibantah.
Di pertigaan depan, Arjuna benar-benar menepikan mobilnya. "Turun," katanya singkat.
Kanaya menurut tanpa suara. Ia segera membuka pintu dan melangkah keluar, tidak berani menoleh ke belakang.
Saat Kanaya sudah berjalan menjauh, berbaur dengan orang-orang lain, Arjuna mengawasinya dari spion. Senyum sinis perlahan muncul di bibirnya.
Ia meraih amplop cokelat kecil dari laci dashboard. Isinya, beberapa lembar foto Kanaya—hasil rekaman CCTV.
"Permainan baru dimulai," gumamnya sambil menyeringai, tatapannya kosong menatap jalanan yang mulai ramai.
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin