tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjual Garam
Sepasang lelaki dan perempuan suami istri itu adalah pedagang garam, sebut saja Ki dan Nyai Karsa, garam pada masa ini adalah barang langka dan berharga, setiap beberapa kali dalam seminggu pasangan ini akan turun dari daerah mereka di lereng pegunungan Argopuro untuk datang ke desa Nelayan di pesisir pantai utara, membawa garam-garam dalam gendongan mereka untuk di jual atau dibarter dengan kebutuhan oleh penduduk sekitaran pegunungan, hampir semua penduduk mengenal pasangan suami istri ini.
Seperti biasa pagi itu kembali mereka berjalan menuruni bukit-bukit yang sudah mereka lalui sehari-hari, memintas jalan sehingga perjalanan mereka memang tidak sesuai rute yang biasa orang lalui untuk membawa hasil panen ke kota,karena jalan itu memakan waktu yang jauh lebih lama.
" Kau dengar sesuatu ki ?" Tanya nyai Karsa kepada suaminya.
suaminya mengangguk dan sebagai mantan prajurit pada jaman mudanya dulu, Ki Karsa tau kalau sedang ada pertarungan di sekitar mereka.
" kita lewat lewat jalur lain saja !" katanya, dengan kasar segera memegang tangan istrinya dan menyeretnya, tapi suara tangisan bayi membuat keduanya menghentikan langkah.
" Kau dengar juga nyai ?" mata mereka saling berpandangan keduanya tidak lagu mengabaikan pertarungan itu, keduanya mulai mengendap-endap untuk melihat apa yang terjadi.
Ki Karsa segera mengajak istrinya untuk merunduk, dan melihat dari jauh pertempuran itu, terlihat seorang lelaki menghadapi tiga orang pengeroyok dan posisinya terdesak, sedangkan di sisi yang lain seorang wanita menggendong bayi dengan kondisi yang juga sama saja, dan rupanya bayi di gendongan wanita itu yang menangis.
" mereka sepertinya akan kalah " gunam nyai Karsa, suaminya mengangguk mengiyakan
"Apakah mereka akan membunuh bayi itu juga ?" Tanya Nyai Karsa seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri, suaminya hanya diam, tapi sesuatu bergolak di jiwanya, pasangan itu sudah menikah berpuluh tahun dan tidak ada satupun putra atau putri yang mereka lahirkan.
di saat yang nyaris, Ki karsa yang selalu membawa katapel kemana-mana sekedar mengusir hewan buas yang berkeliaran sepanjang hutan, mengarah dengan tepat ke arah lelaki kurus yang mengayunkan pedang kepada perempuan itu.
Dengan kekuatan besar dan terukur peluru berupa batu itu membuat lubang menganga di tengkuk pria kurus itu, dengan cepat darah mengalir dan seketika pria itu roboh dengan tangan yang masih diatas,
Menur cukup kaget dengan kejadian cepat itu, bantuan datang padanya, terlepas dari lelaki kurus itu dia segera memberikan bentuan kepada suaminya, pertempuran dimulai lagi, kedatangan Menur cukup membuat suaminya kembali bersemangat, dan bantuan dari balik rerimbunan kembali beraksi, tanpa diduga kembali sebuah hantaman secepat peluru mengenai kepala salah satu dari penyerang,
lelaki tua itu terus saja menyerang kepala,
kembali seseorang tumbang, dengan luka bocor pada kepalanya, kemudian satu lagi sampai para pengeroyok sudah jatuh,
" terimasih bantuanya, tapi kami tidak bisa berlama-lama, tolong segera pergi dari sini, tempat ini tidak aman !" berkata Menur dengan cepat, dia tidak yakin tidak ada orang lagi di belakang.
" bayi itu menangis " kata Nyai Karsa sambil menunjuk bayi yang digendong menur.
Ada kegalauan dari mata Menur, dia perpikir tidak akan mampu membunuh bayi ini, kenapa tidak menyerahkan bayi pangeran ini kepada orang ini saja, kemudian membuat skenario bayi ini sudah terbunuh, toh siapa yang akan tahu kalau dia adalah putra raja dengan tinggal bersama orang dari desa,
" bawalah bayi ini, suatu hari kami akan menjemputnya, segeralah pergi dari sini " kata Menur kemudian menyerahkan bayi yang digendongnya kepada Nyai Karsa, dan Nyai Karsa tertegun
" tolonglah Nyai " kata Menur setengah memohon, dengan tergopoh Nyai Karsa segera membopong bayi itu, dan memberikan garam yang diberikanya, Menur segera menggendong garam itu sebagai pengganti bayi.
Beberapa orang terdengar dari kejauhan, tidak ada waktu bagi mereka, Nyai dan Ki Karsa segera berjalan dengan sedikit tergesa untuk kemudian menghilang di lebatnya hutan, sedangkan bayi itu menangis mungkin lapar, sambil di dekap Nyai Karsa memberikan punting susunya untuk dihisap bayi itu, tidak ada air susu yang keluar, tapi bayi itu diam dan merasakan damai.
rombongan pengejar melihat kelebat Menur dan bayi yang digendongnya ( garam ), terjadi aksi kejar-kejaran lagi, mereka bergerak ke arah utara arah yang menyimpang dari kedua pasangan pembawa bayi yang sesungguhnya.
Bayi itu dibawa ke rumah Ki Karsa, sehari dua hari, berganti minggu, berganti bulan bahkan tahun tapi bayi itu tidak pernah dijemput kembali.
mereka sama sekali tidak tahu asal usul anak ini, para tetangga mengira kalau Lakso adalah anak kerabat Ki Karsa yang hamil diluar nikah, dan pasangan ini mengadopsinya, dan pasangan ini membiarkan saja gosip seperti itu menguar, dan mereka berdua harus menyembunyikan bahwa bayi yang diberikan kepada mereka mempunyai asal yang tidak sederhana itu, dengan melihat pakaian dan perhiasan yang melekat di tubuhnya sudah membuktikan kalau kedua orang yang menggendong bayi itu ketika bertarung bukanlah pemilik asli dari bayi itu.
Sembilan tahun kemudian
" lariiiiiiii, ki Bajang datang !!" perintah Pono, aku yang masih berada diatas pohon panik seketika, sedangkan kedua temanku yang lain yang berada di bawah pohon sudah lari pontang-panting, Pono dan Darsin sudah hilang dari pandangaku, aku meneguk ludahku sendiri memandang Lakso yang juga berada di pohon yang sama,
kami berempat sudah mengincar pohon mangga di samping rumah Ki Bajang beberapa minggu, dan hari ini adalah hari eksekusi, seharusnya Ki Bajang akan mengairi ladangnya hari ini , Ki Bajang, istri dan anak lelakinya yang katanya seorang calon prajurit kademangan itu seharusnya tidak di rumah.
Tidak mungkin bagiku atau Lakso turun sekarang itu akan membuat kaki kami patah jatuh dari ketinggian, kami harus bertahan di atas sementara waktu mungkin saja Ki Bajang tidak tahu keberadaan kami, kalau ketahuan Nyai Bajang akan mengadukanku kepada emak atau nenek dan mereka berdua akan memukuliku dengan bergantian, demikian pula dengan Lakso Nyai Karsa akan menghukumnya kalau tahu dia mencuri mangga.
Tentu saja Ki Bajang tidak sebodoh itu, dengan sabit yang dipegangnya dia menunjuk ke arah kamu berdua diatas pohon.
" hai kalian berdua turun atau kuhajar !" teriaknya
kembali aku memandang Lakso, anak itu mengangguk dan aku tersenyum kecut dengan pelan kemudian kami berdua turun, menghadapi apapun konsekuensi yang akan kami terima.
" kalian pencuri kecil " kata Ki Bajang marah
" maaf paman " kata Lakso pelan, dan kami menunduk seketika, Ki Bajang menjewer telinga kami berdua rasanya sakit dan pedih.
" paman jewer saja aku, jangan jewer Gemi lagi " kata Lakso setengah memohon
" Kenapa tidak boleh dijewer ?" bentak Ki Bajang
" aku yang mengajaknya paman, aku yang merancang pencurian ini " aku Lakso, aku diam saja berharap Ki Bajang segera melepaskan tanganya di kupingku, rasanya sakit sekali, biar saja Lakso yang dijewer, bukankah anak lelaki harus lebih kuat dari anak perempuan, suruh siapa juga dia begitu bodoh mencari i formasi sampai-sampai kami ketahuan dan tertangkap.