 
                            Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Aresa Alfarisi.
Bukan, bukan hanya itu. Ia adalah seorang perempuan berusia dua puluh dua tahun yang telah menyelesaikan studi S2-nya dengan gelar ganda di salah satu universitas ternama di Spanyol. Ia anak terakhir dari empat bersaudara dan satu-satunya anak perempuan dalam keluarga. Sekarang, ia bekerja di sebuah perusahaan motor ternama sebagai ahli telemetri, dan ia juga terikat kontrak selama lima belas tahun. Ia bekerja di lingkungan dan tim yang mayoritas didominasi kaum pria.
Saat libur musim panas, ia memutuskan pulang ke Indonesia. Sejak saat itu, hidupnya berubah—sejak seorang perwira tampan mencoba mendobrak pintu hatinya. Di matanya, pria berseragam adalah hal yang biasa. Ia tidak tergila-gila, wajar saja, sebab ayahnya adalah seorang purnawirawan polisi. Paman dari pihak ayahnya seorang purnawirawan TNI, dan kakak sepupunya juga seorang TNI aktif.
Hidup di asrama bukan hal baru baginya. Sejak kecil ia sudah terbiasa berpindah-pindah mengikuti ayahnya yang sering bertugas ke berbagai daerah. Namun, sejak SMP, ia tak lagi ikut orang tuanya berpindah tempat. Ia menetap di Sleman, Yogyakarta, bersama Mbah ibu, nenek dari pihak ayah. Dengan kecerdasannya, ia berhasil mengikuti kelas akselerasi dan lulus SMP dalam waktu dua tahun.
Setelah lulus SMA, Aresa melanjutkan pendidikannya di sebuah pondok pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia juga menempuh pendidikan formal di madrasah aliyah yang masih satu yayasan dengan pondok tersebut. Selama tiga tahun di sana, ia jarang pulang karena jarak yang jauh. Saat liburan tiba, ia hanya pulang ke rumah bibi atau kakeknya yang tinggal di Sidoarjo. Kakek dari pihak ayahnya memang asli Sidoarjo, dan setelah bercerai dengan neneknya, beliau kembali ke kampung halaman dan menikah lagi.
****
Di mata publik, Aresa dikenal cerdas, disiplin, dan rajin. Namun, di depan keluarga, ia justru dikenal sebagai si pemalas dan tukang tidur.
Setelah menempuh penerbangan panjang, akhirnya Aresa menginjakkan kaki di tanah air. Di pintu kedatangan, ia melihat Arian, kakak keduanya, melambaikan tangan. Aresa berlari menghampiri sang kakak. Mereka langsung berpelukan erat; kehangatan yang lama dirindukannya seakan kembali hadir.
“Mas Arian, aku kangen!” seru Aresa sambil menepuk punggung kakaknya.
“Gila, Dek. Kamu makin kurus aja sih. Di sana makan apa?” goda Arian sambil menarik koper adiknya.
“Ya makan yang ada, Mas. Namanya juga merantau,” jawab Aresa sekenanya.
“Langsung aja yuk, panas banget. Takut kulit mas gosong dek,” canda Arian.
“Kulit udah item gitu belagu banget, Mas. Padahal aku pengin langsung jalan-jalan muterin Jakarta bareng mas,” ujar Aresa sambil tertawa.
“Muter-muter nya besok aja. Mas ngantuk, mau tidur siang. Yuk, pulang,” ajaknya sambil menarik koper Aresa.
“Ya udah, ayo. Aku juga ngantuk,” jawab Aresa sambil memonyongkan bibir.
“Nggak usah monyong gitu, nanti kalau mau jalan-jalan mas suruh Vero nemenin kamu. Mas lagi sibuk banget, habis ini ada kelas,” ucap Arian menenangkan.
****
Mereka tiba di apartemen Arian yang mewah.
Begitu sampai, Aresa langsung ke kamarnya dan tidur. Sementara sang kakak bergegas ke kampus karena ada kelas dadakan.
Malam harinya, sambil menikmati teh hangat, mereka mengobrol panjang. Arian bercerita tentang kesibukannya sebagai dosen dan CEO. Ya, Arian Alfarisi—kakak kedua Aresa—adalah pria yang sangat dekat dengannya. Ia dosen di universitas ternama di Jakarta sekaligus CEO Alfarisi Group, perusahaan keluarga mereka.
Sementara Aresa bercerita tentang dunia kerjanya di dunia balap yang serba cepat. Ia menyukai kedekatan mereka yang tak berubah, meski jarak dan waktu memisahkan.
“Besok aku mau ke tempat Mas Vino, di batalyonnya,” kata Aresa.
Alvino Alfarisi atau yang biasa dipanggil Vino adalah kakak sepupu Aresa.
“Tumben kamu mau ke tempat panas begitu?” Arian menaikkan alis. “Bukannya kamu paling malas ke tempat kayak gitu? Katanya ribet ini itu?”
Aresa tertawa. “Kan aku udah janji, mau ketemu Gio.”
“Ketemu Gio atau mau tebar pesona sama ‘halo dek’, hahahaha?” ledek Arian.
“Apaan sih, cuma mau ketemu Mas Vino sama keluarganya. Ngapain tebar pesona ke ‘halo dek’? Seleraku itu bule, loh, Mas. Masa lama di Spanyol nggak dapet bule,” sahut Aresa kesal.
“Lho, bukannya kamu deket sama pembalap Spanyol itu?” tanya Arian penasaran.
“Hehe, iya. Tapi kan Mas tahu sendiri, benteng kita tinggi. Apalagi sekarang Bapak udah jadi pengasuh pesantren Mbah Kakung. Ya makin susah buat bersatu sama dia, Mas. Tinggi banget bentengnya,” jawab Aresa sedih.
Arian lalu bersenandung sambil berdiri menuju kamarnya,
“Nyari yang seiman aja biar nggak mangu... Jangan salahkan, pahamku kini tertuju...”
“Siapa yang tahu? Siapa yang mau? Kau di sana, aku di seberangmu... Cerita kita sulit dicerna, tak lagi sama cara berdoa...”
“Awas, lo, Mas. Lo aja jomblo kok sombong banget,” sahut Aresa gemas.
****
Keesokan harinya, Aresa pergi ke batalyon tempat sepupunya bertugas. Ia naik taksi online karena tidak memiliki kendaraan di Jakarta.
Setibanya di gerbang utama, seorang provost gagah langsung mencegat taksinya.
“Tujuan? Keperluan? Sudah buat janji?” tanyanya tanpa senyum.
Raut wajahnya yang serius membuat Aresa agak gugup. Ia hendak menjawab, tapi tiba-tiba Alvino muncul di samping taksi.
“Izin, Provost! Beliau sepupu saya,” ucapnya sigap.
Provost itu langsung memberi hormat.
“Siap, Kapt!” katanya sambil mempersilakan taksi masuk.
Aresa menatap sepupunya heran.
“Kamu Kapten, Mas? Kukira masih Letnan, hahaha.” ucap Aresa dengan tawa.
“Naik pangkat tiga bulan lalu, Res. KTP-mu mana? Walaupun kamu sepupuku, tetap wajib lapor ya,” ujar Alvino sambil menadahkan tangan.
Setelah izin selesai, mereka menaiki sepeda motor menuju rumah dinas Alvino.
Rumah dinasnya sederhana, tapi rapi dan nyaman. Aresa segera masuk dan menyalami Ayu, istri Alvino.
“Halo, Mbak! Aku kangen banget,” ucap Aresa sambil memeluknya.
“Mbak juga kangen, Res. Gimana, udah kecantol bule belum?” goda Ayu.
“Apaan sih, Mbak. Jangan ngeledek deh,” cemberut Aresa.
“Ganti baju sana, di kamar Gio. Mbak mau masak buat makan siang,” ujar Ayu.
“Iya, Mbak. Nanti aku bantuin... kalau nggak ketiduran, hehe,” jawab Aresa sambil tertawa.
Setelah berganti pakaian dengan kaus dan celana kulot yang nyaman, Aresa merebahkan diri di sofa depan televisi.
Saat hendak memejamkan mata, Alvino tiba-tiba masuk.
“Eh, Res. Sebaiknya kamu pakai jilbab, ya,” katanya.
Aresa langsung duduk dan menatapnya kesal.
“Ada apa, Mas? Tumben banget,” tanyanya.
“Temanku sebentar lagi datang. Dia orangnya tegas dan galak. Lebih baik kamu pakai jilbab kalau mau di sini. Atau ke kamar aja sana,” jelas Alvino cemas.
“Males banget, Mas. Aku mau tidur, capek,” jawab Aresa.
Alvino hanya menghela napas. Ia tak ingin memperpanjang. Aresa kembali merebahkan diri, memejamkan mata, menikmati keheningan.
Namun, tak lama kemudian, pintu tiba-tiba terbuka. Suara langkah tegap terdengar mendekat. Ia tetap memejamkan mata, berpura-pura tidur. Lalu, terdengar suara tawa—dan ia buru-buru membuka mata.
Di seberang sofa, seorang pria berseragam gagah duduk berhadapan dengan Alvino. Tatapannya tajam, misterius, dan sulit diartikan.
Mata mereka bertemu sejenak. Jantung Aresa berdebar tak karuan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke kamar, meninggalkan pria itu dan kebingungan di ruang tengah. Ia tidak tahu bahwa tatapan itu akan menjadi awal dari kisah yang tak pernah ia bayangkan.
kalau dia punya pilihan