NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Sahabat

Menikah Dengan Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.

Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.

Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.

Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 2

Nina berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri. Wajahnya yang dulu selalu ceria beberapa hari kini tampak kusam, matanya sembab, dan sorot matanya kosong. Sudah hampir seminggu berlalu sejak Devan mengucapkan kalimat mengejutkan itu. Kalimat yang membuat jantung Nina berhenti berdetak sesaat.

“Kalau lo mau, gue bersedia nikah sama elo.”

Ia belum memberi jawaban. Hatinya terlalu ragu. Ia mengenal Devan seumur hidupnya, tapi pernikahan? Itu bukan sesuatu yang bisa diputuskan hanya karena ingin menutupi aib. Terlebih, bagaimana jika pernikahan itu merusak persahabatan mereka selamanya?

Namun, pagi ini, pertimbangannya semakin rumit. Ia mendengar percakapan Mama dan Papa di ruang makan.

“Kita sudah undang ratusan tamu, bahkan pejabat dan kolega penting. Apa mereka pikir kita keluarga tak punya harga diri?” Papanya menggeram marah, bahkan membanting sendok di atas piring.

Kalau sampai pernikahan ini gagal ia juga yang malu, namanya akan tercoreng.

“Nina mempermalukan kita! Batal menikah seminggu sebelum hari H? Semua orang akan bicara!”

"Tapi pa, kasihan Nina, dia juga korban" sang mama berusaha memberikan pengertian, terlebih anaknya memang korban di sini.

Sang papa berdecih sinis. "Dia bukan korban! Tapi itu karena dia terlalu bodoh! Kalau saja dia pandai memilih calon suami, kita tidak akan pernah menghadapi situasi seperti ini!" Pekik dan papa berapi-api.

"Pa, sebelumnya juga papa yang duluan suruh Nina menikah sama Arvin, kan? Papa bilang Arvin cocok, jadi kenapa–"

"Cukup ma!!! Mama selalu membela Nina. Jadi ngelunjak kan dia! Sampai dia hanya bersikap santai sementara nama papa jadi taruhannya!" Sela papanya marah. Setelah itu terdengar bangku berderit, pria itu pergi tanpa mau menghabiskan sisa makanannya.

"Aku pergi! Naik darahku lama-lama di rumah!"

Sang mama hanya menghela nafasnya kasar, mendengar ucapan sang suami.

Ucapan Papa itu menusuk dada Nina lebih tajam dari sembilu. Ia tahu papanya sangat kecewa. Tapi apa papanya tak tahu betapa hancurnya dirinya?

Nina yang hendak turun dan makan urung, ia berjalan kembali menaiki tangga hendak menuju ke kamarnya.

Tidak lama kemudian, suara ketukan lembut di pintu terdengar.

“Nina, lo sudah siap? Ada undangan reuni SMA sore ini. Gue dengar Arvin juga datang tuh sama calonnya,” suara kakaknya terdengar datar, nyaris seperti sindiran.

Nina hanya diam. Tapi entah kenapa, ia justru berdiri dan mengganti pakaian. Mungkin, ia ingin menantang dirinya sendiri. Mungkin, ia ingin menunjukkan bahwa dirinya belum kalah.

"Aku harus datang, aku harus tunjukkan kalau aku nggak kenapa-kenapa." Ucap Nina..

*

Tempat reuni itu diadakan di sebuah café semi-terbuka di daerah Kemang. Dihiasi lampu gantung dan alunan musik akustik yang hangat, tapi bagi Nina, semuanya terasa dingin dan menyesakkan.

Saat ia masuk, beberapa teman SMA langsung menghampiri, menyalaminya hangat. Tapi tatapan mereka menyiratkan sesuatu. Simpati yang terasa seperti belas kasihan. Bisik-bisik kecil yang hanya bisa didengar separuh tapi cukup untuk membuat hatinya meradang.

Dan di sudut ruangan, berdiri dua sosok yang sangat dikenalnya –Arvin dan Tiara.

Nina menahan napas. Tubuhnya menegang, tapi ia memaksa langkahnya tetap tegak.

Arvin tertawa saat melihatnya, lalu menatap Tiara yang menggandeng tangannya.

“Lihat siapa yang datang. Wah, Nina. Masih bisa jalan juga, ya? Kukira kamu akan mengurung diri seumur hidup setelah ditinggal calon suami,” kata Arvin dengan nada mengejek.

Tiara ikut terkikik. “Ah, jangan gitu, Vin. Dia kan kuat. Katanya punya sahabat sejati yang bisa dia andalkan kapan aja, kan, Na?”

Nada suara Tiara seperti racun—manis tapi mematikan.

Nina menahan air mata. Ia ingin pergi. Tapi di saat yang sama, ia tidak ingin kalah.

“Gue memang punya sahabat sejati. Seseorang yang tidak pernah mengkhianati gue seperti kalian berdua,” jawab Nina tenang, meski dadanya bergetar.

“Ah, sahabat. Jangan bilang kamu mau nikah sama si Devan itu? Hahaha... ya ampun, desperate banget, Nina,” ejek Arvin sambil tertawa.

Nina menatap mereka dengan mata penuh kebencian, matanya sudah berkaca-kaca tapi ia memaksa diri untuk tak menunjukkan luka.

Nina tersenyum sinis. "Bangga banget kayaknya jadi perusak hubungan orang?" Kata Nina pedas membuat tawa Tiara luntur, Tiara menatap Nina sengit dan ada geraman tertahan terlebih beberapa temannya sudah mengalihkan atensi ke arah mereka.

"Ini nih jaman sekarang, nggak heran, dia yang jadi perusak hubungan orang tapi dia yang bangga, dan malah nunjukin kalau dia hebat," Nina tertawa terbahak-bahak.

Tiara melotot begitupun dengan Arvin yang terkejut dengan keberanian mantan tunangannya itu.

"Kau–" Tiara bahkan sudah ingin menampar Nina, namun Nina tidak takut sama sekali.

"Mau tampar? Yakin? Gue bahkan bisa laporin elo ke kantor polisi, dengan pasal tindakan kekerasan, dan setelahnya elo di penjara dan nggak bisa bersama sampah yang udah gue buang ini." Nina melirik ke arah Arvin. Ia benci sekali dengan pria itu, pria yang sudah berucap manis dan berjanji banyak, namun semuanya hanya bualan semata.

"Nina!!!" Marah Arvin dengan wajah merah padam, sedangkan Tiara sudah menahan tangis.

Nina mengangkat dagunya, "dan ini sampah yang memang nggak bisa di daur ulang lagi,"

"Kau–"

Saat Arvin ingin menampar Nina, Devan maju, pria tampan itu menghadangnya.

"Jangan sesekali berani menyakiti Nina, mati elo di tangan gue." Ancam Devan.

Arvin melengos, beberapa temannya sudah menyorakinya, ia langsung menggandeng tangan Tiara dan mengajaknya pergi.

Sedangkan Devan, ia menghela nafasnya kasar, ia menoleh ke arah Nina.

"Nin,"

"Gue mau pulang aja Van, gue ngantuk"

Devan mengangguk, ia tidak menahan Nina lagi. Ia tau Nina pasti sakit hati.

Sesampainya di rumah, Papa sudah menunggu di ruang tamu, wajahnya merah padam.

“Dari mana kamu?!” bentaknya.

“Dari reuni SMA,” jawab Nina lirih.

Papa muncul dari balik koran, suaranya dingin. “Apa kamu tahu apa yang orang-orang katakan? Bahwa kita keluarga gagal mendidik anak! Bahwa kamu terlalu pemilih! Bahwa kamu... tidak laku!”

"Pa sudah" sang mama menengahinya, namun suaminya tidak bisa diam saja.

Nina mengatupkan rahangnya. “Aku yang dikhianati, bukan aku yang berbuat salah.”

“Tapi kamu yang membatalkan pernikahan!” Papa menukas. “Kita sudah keluarkan uang, reputasi, kehormatan keluarga! Kamu kira itu semua bisa dibayar dengan air mata?!”

Nina tidak tahan. Ia berdiri, menatap kedua orang tuanya. “Kalian lebih peduli dengan kata orang daripada perasaan anak kalian sendiri. Kalau kalian mau, aku akan menikah. Tapi jangan salahkan aku kalau aku menikah bukan karena cinta.”

“Siapa?” tanya Papa tajam.

Nina diam sejenak, lalu menjawab, “Devan.”

Kedua orang tuanya terdiam sejenak, saling berpandangan. Lalu sang kakak tertawa sinis. “Sahabatmu itu? Ya Tuhan, kamu bercanda?”

“Tidak,” jawab Nina, tegas. “Dia pria yang lebih jujur dan lebih tulus dari siapa pun. Dan kalau kalian hanya butuh pernikahan untuk menutup malu kalian, maka aku akan menikah. Tapi jangan harap aku akan bahagia dengan paksaan ini.”

Nina berlari ke kamarnya. Air matanya mengalir deras, bukan karena ejekan Arvin atau kemarahan keluarganya, tapi karena hatinya benar-benar tak tahu lagi ke mana harus berlabuh.

Malam itu, ia duduk lagi di atas sajadahnya. Namun doanya kini berbeda.

“Ya Allah...

Jika ini jalan yang Kau pilihkan...

Maka kuatkan aku.

Kuatkan hatiku menerima seseorang yang mungkin bisa menyembuhkan luka ini.

Jika Devan adalah obatnya,

Maka izinkan aku mencintainya perlahan...”

1
Eva Karmita
masyaallah bahagia selalu untuk kalian berdua, pacaran saat sudah sah itu mengasikan ❤️😍🥰
Julia and'Marian: sabar ya kak, aku kemarin liburan gak sempat up...🙏
total 1 replies
Eva Karmita
semangat semoga semu yg kau ucapkan bisa terkabul mempunyai anak" yg manis ganteng baik hati dan sopan ya Nina
Eva Karmita
semoga kebahagiaan menyertai kalian berdua 😍❤️🥰
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
Herman Lim
selalu berjuang devan buat dptkan hati nana
Eva Karmita
percayalah Nina insyaallah Devan bisa membahagiakan kamu ❤️
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
Julia and'Marian: hihihi buku sebelumnya Hiatus ya kak, karena gak dapat reterensi, jadi males lanjut 🤣, makasih ya kak udah mampir 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!