Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Misteri di ruang musik
Hari Presentasi di mulai
Ruang kelas penuh dengan ketegangan. Kirana maju ke depan, membawa buku catatan dan salinan halaman dari perpustakaan.
“Selamat pagi. Hari ini, kelompok kami akan mempresentasikan cerita rakyat yang berasal dari wilayah Danau Setra, berjudul Putri Lulut.” ujar Kirana
Saat Kirana mulai bercerita, angin dingin tiba-tiba masuk dari jendela. Listrik bergetar. Suara pelan mulai terdengar, hanya bisa didengar oleh mereka yang peka.
“Aku... tidak pernah bersedia...” seru Lulut
Sontak beberapa murid menoleh ke belakang. Sebagian merasa merinding, sebagian mulai gelisah.
Kirana melanjutkan, membacakan isi dari catatan kuno itu, lalu berkata:
“Putri Lulut bukan hanya legenda. Ia adalah korban. Korban ketakutan, korban budaya, korban tradisi. Dan melalui kisah ini, semoga ia bisa tenang.”
Setelah Presentasi
Kelas hening. Tidak ada yang berani bersuara selama beberapa saat. Ibu Lestari akhirnya bertepuk tangan perlahan, diikuti oleh siswa lain.
“Sangat menyentuh dan berbeda. Terima kasih atas keberanian kalian mengangkat kisah yang belum pernah terdengar sebelumnya.”
Kirana menarik napas lega.
Malamnya, Lulut datang untuk terakhir kalinya.
“Terima kasih, Kirana,” katanya. “Sekarang aku bisa pergi...”
Lalu ia tersenyum. Dan cahaya lembut menyelimuti dirinya sebelum perlahan menghilang.
Sejak hari itu, Kirana tahu bahwa kemampuanku bukan kutukan.
Ia adalah amanah.
Selama masih ada arwah yang belum tenang, selama masih ada cerita yang terkubur, aku akan mendengarkan.
Dan mungkin... membagikannya
...----------------...
Sudah satu minggu berlalu sejak kisah Putri Lulut dari Danau Setra berhasil Kirana dn teman temanya presentasikan. Kisah itu tidak hanya membuat kelas mereka terpukau, tapi juga membuat Kirana semakin yakin bahwa kemampuan miliknya bisa digunakan untuk membantu mereka yang belum tenang.
Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Hari Kamis, saat matahari bersinar malu-malu dan langit mendung menggantung, sekolahku tiba-tiba diguncang kabar aneh.
Ruang musik yang selama ini jarang dipakai mendadak menjadi pusat perhatian.
Semua bermula dari cerita Pak Seno, penjaga sekolah. Ia dikenal sebagai pria yang tidak mudah takut, walaupun sering mendapat tugas ronda malam.
“Jam dua belas malam saya dengar suara gamelan dari ruang musik,” katanya saat ngobrol santai di kantin.
“Tapi waktu saya buka pintunya... kosong. Nggak ada siapa-siapa. Bahkan alat musiknya pun masih tertutup kain.”
“Ah, masa, Pak? Jangan-jangan Bapak ngantuk, jadi ngelindur?” sahut salah satu siswa, tertawa.
Namun Kirana tahu, dari caranya bercerita dan getaran suaranya, Pak Seno tidak mengada-ada.
Kirana mulai merasakan hawa yang tak biasa di sekitar gedung musik itu seperti desir angin yang terlalu dingin, dan bisikan pelan yang hanya bisa kudengar saat melewati lorong menuju ruang itu.
Niat Menyelidiki pun di lakukan oleh Kirana.
Sepulang sekolah, Kirana mengajak Nila dan Diriya serta Kezia kembali ke ruang musik.
“Apa kamu yakin ini ide bagus?” bisik Nila sambil melirik ke sekeliling lorong kosong.
“Kita hanya lihat-lihat sebentar saja,” jawab Kirana tenang, meski dalam hati ikut deg-degan.
Pintu ruang musik tua itu berderit saat dibuka. Bau debu dan kayu lapuk langsung menyergap hidung. Di dalamnya, berbagai alat musik tradisional tertata rapi. Ada gamelan, gong, angklung, bahkan sebuah kecapi yang diletakkan di atas meja kayu panjang.
Namun ruangan itu sangat... dingin. Tidak seperti ruang biasa. Nafas mereka berempat bahkan tampak membentuk uap tipis.
Diriya melangkah pelan ke arah gamelan, lalu membuka kain penutupnya.
“Kalian dengar itu?” bisik Kirana tiba-tiba.
mereka semua terdiam.
Deng... deng...
Bunyi gamelan pelan terdengar. Padahal tidak ada yang menyentuhnya.
Tiba-tiba, lampu ruangan berkedip. Dingin semakin menusuk. Dan dari arah sudut ruangan, kabut tipis mulai muncul.
Sebuah sosok muncul perlahan wanita muda berbaju kebaya warna merah, rambut disanggul, dan wajahnya... tidak utuh. Sebagian wajahnya tampak seperti hangus terbakar.
kirana mundur setapak, menahan napas.
“Siapa kamu?” tanya Kirana perlahan.
Sosok itu menoleh pada Kirana. Matanya yang putih kosong menatap Kirana dalam.
“Aku Ratna...” bisiknya.
“Apa yang kamu butuhkan?” tanya Kirana
Suaranya terdengar seperti pecahan kaca. “Aku... ingin gamelanku dibunyikan lagi. Aku tidak ingin dilupakan. Aku dulu pengajar musik di sekolah ini. Tapi... aku mati dalam kebakaran ruang musik.” serunya
Ratna mulai bercerita dalam potongan-potongan suara.
Beberapa tahun lalu, ia adalah guru musik yang sangat dicintai. Ia melatih murid-murid dengan penuh semangat, terutama dalam seni gamelan.
Namun suatu malam, terjadi korsleting di ruang musik. Api menyala begitu cepat, dan Ratna terjebak di dalam, saat tengah menyusun partitur gamelan untuk lomba seni tradisional.
Tidak ada yang tahu bahwa ia masih berada di dalam ruangan itu. Saat api padam, tubuhnya telah hangus, dan sejak itu... tidak ada lagi yang mengajar gamelan.
Dan lebih menyakitkan lagi namanya tidak pernah disebut. Tidak ada penghargaan. Tidak ada upacara perpisahan.
Ia lenyap begitu saja dari sejarah sekolah.
“Aku tidak minta banyak,” kata Ratna. “Aku hanya ingin satu malam, satu malam gamelanku dibunyikan. Agar aku bisa menyelesaikan lagu terakhirku.” ujarnya sedih
Kirana terdiam. Kirana tahu, jika permintaannya tidak dituruti, arwahnya bisa menjadi tidak terkendali.
Kirana juga tahu, membunyikan gamelan malam-malam bukanlah hal yang biasa. Bisa dianggap main-main dengan budaya.
Namun ada rasa iba dalam hatinya
“Nanti malam. Pukul sembilan. Kita akan datang kembali.” putus Kirana akhirnya
Kirana, Kezia, Nila, dan Diriya diam-diam membawa kunci cadangan ruang musik yang di pinjam dari Pak Seno dengan alasan "butuh untuk latihan presentasi seni".
Mereka datang kembali pukul sembilan malam. Sekolah gelap dan sepi, hanya suara jangkrik dan tiupan angin yang menemani.
Begitu pintu ruang musik terbuka, mereka langsung merasakan hawa berbeda. Ratna sudah menunggu di dekat gamelan.
Kirana duduk di depan saron, sementara Kezia, Nila dan Diriya duduk di belakangku dengan waspada.
Ratna mulai membimbing Kirana, bukan dengan suara, tapi dengan bisikan di dalam kepala.
Dang... ding... deng...
Irama demi irama mulai terdengar. Awalnya pelan, kemudian semakin lengkap. Gamelan itu seperti hidup kembali.
Ratna menari di tengah ruangan. Wujudnya berubah, kini tampak cantik dan utuh, tak lagi hangus. Ia menari seperti penari klasik Jawa, gerakannya anggun dan dalam.
Lagu yang ia mainkan adalah lagu perpisahan tentang seorang guru yang mencintai musik, murid, dan pekerjaannya.
Air mata Kirana menetes tanpa di sadari.
Saat lagu selesai, Ratna menunduk, lalu tersenyum kepada kitana. “Terima kasih, Kirana. Sekarang... aku bisa pergi.”
Dan dalam kilauan cahaya tipis, tubuhnya menghilang. Aroma dupa dan melati menyelimuti ruangan.
Keesokan Paginya
Berita tentang suara gamelan di malam hari tersebar. Tapi kali ini, tidak ada rasa takut. Hanya keheranan.
Kepala sekolah menemukan ruangan gamelan rapi, bahkan lebih bersih dari sebelumnya. Di atas meja kayu, seseorang entah siapa meninggalkan sebuah partitur lagu berjudul Lagu Pengabdian Guru Ratna.
Tidak ada yang tahu siapa yang menulisnya. Tapi kini nama Ratna kembali disebut.
Dan di papan pengumuman, sebuah pengumuman dipasang:
“Mulai bulan depan, akan dibuka kembali kelas musik tradisional. Kita hidupkan kembali semangat Bu Ratna.”
Kemampuan kirana mungkin masih akan mendatangkan rasa takut, tapi sekarang aku tahu setiap arwah hanya ingin dikenang.
Dan kirana... akan menjadi penghubung mereka.
Siap mendengar kisah siapa lagi yang terpendam dalam diam.
Bersambung
semangat Thor berkarya itu tidak mudah salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️🙂🙏
lanjutkan Thor semangat 💪 salam sehat selalu 👍❤️🙂🙏