Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Aku Janji
...•••Selamat Membaca•••...
Leo begitu murka mendengar Maula dibawa oleh Rayden. Sepandai-pandainya pria itu bersembunyi, Leo jauh lebih teliti lagi dan mata-matanya kali ini tidak pernah lengah jika menyangkut Maula.
Leo yang mengetahui markas Rayden langsung menuju ke sana, perasaannya mulai tak karuan lagi. Baru saja sampai di sana, Leo sudah menodongkan pistolnya kepada orang-orang Rayden. Mereka mengetahui siapa Leo, jadi tidak ada yang berani melawan.
Leo mendobrak pintu kamar Rayden, pria itu langsung terbangun dan kaget melihat Leo sudah diambang pintu.
Melihat Maula hanya ditutupi selimut tipis, pikiran Leo sudah jauh ke mana-mana. Dia mendekati Rayden dan memegang kerah baju Rayden dengan kuat.
“Apalagi yang harus aku lakukan untuk membuat kau jauh dari putriku hah? Kau sangat keras kepala ya, Ray.” Rayden mencoba tenang, sementara Maula yang tadi bangun karena kaget tidak bisa berbuat apapun selain menarik selimut tipis untuk menutupi seluruh tubuhnya.
“Papa,” lirihnya penuh rasa takut.
“Maula, ayo pulang, kamu masih ada jadwal sore ini kan?” Leo berkata dengan tegas dan dibalas anggukan oleh Maula.
“Papa tunggu di luar.” Leo menarik Rayden dan keluar dari kamar, dia menghajar Rayden habis-habisan karena benar-benar sangat kesal dengan sikap pria itu.
“Saya hanya merindukan istri saya, Tuan. Itu bukan suatu kesalahan.” Rayden membela diri tapi Leo tak peduli.
“Istri? Kau bahkan tidak meminta dia baik-baik padaku, aku akan mengurus perpisahan kalian secepatnya. Dan jangan harap kalau dia akan menjadi milikmu, sialan.” Leo mendorong Rayden agar menjauh dan tak lama Maula keluar dengan pakaian lengkap.
Tanpa menunggu lama, Leo menarik Maula pergi dari tempat itu. Maula tak lagi menoleh ke belakang, dia pergi tanpa banyak bicara bersama Leo.
Di dalam mobil, hanya keheningan yang terjadi saat ini. Hingga Maula tiba di depan kampus. “Papa akan menunggu kamu sampai selesai di sini, nanti malam kita perlu bicara.” Maula hanya mengangguk dan keluar dari mobil dengan patuh.
Rayden mengompres lebam di wajahnya dengan es batu, pikirannya terus tertuju pada Maula, istrinya. Bagaimana kalau Leo benar-benar memisahkan dia dengan Maula? Tapi bukan Rayden namanya jika dia menyerah begitu saja.
...***...
Malam harinya, Leo bicara berdua dengan Maula di dalam kamar gadis itu. Sementara Maureen sedang menemani Thalia belajar, ini merupakan suasana baru bagi Thalia sejak dia ikut pindah ke Madrid.
Sofia juga menemani Thalia dan mengajarkan beberapa kosa kata Spanyol agar Thalia lebih lancar komunikasi dengan teman-temannya nanti.
Suasana di dalam kamar Maula cukup tegang, Leo duduk di hadapan putrinya yang kini memangku sebuah bantal dan menunduk takut.
“Bagaimana cara membuat kamu itu mengerti, nak? Papa sendiri sudah habis akal memintamu menjauh dari Rayden.” Maula menjawab tanpa menatap mata Leo, suaranya pelan nyaris tersapu angin, “Aku mencintai Rayden, Pa.”
Leo menghela napas dan mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengatur napas lalu kembali melanjutkan dengan penuh kehati-hatian.
“Selama ini, Papa selalu mementingkan keluarga ini, menjadikan kalian prioritas utama dan mati-matian membuat kalian aman dari siapapun. Apa pernah aku meminta balasan darimu?” Maula mulai terisak dan menggeleng lemah. Kemudian Leo melanjutkan lagi.
“Kalau memang dia yang kau jadikan prioritas, silakan pergi dengannya dan anggap saja kami sebagai keluargamu telah mati. Dengan sikapmu begini, kau tidak lagi memikirkan perasaan kami Maula. Kau hanya mementingkan dirimu dan cintamu tanpa kau bisa menoleh pada cinta kami berdua sebagai orang tuamu. Aku tidak membenci Rayden, aku justru menyukai dia jika bersamamu tapi posisinya saat ini membuat kau dalam bahaya. Aku menangis setiap saat ketika kau hancur dan terluka Maula, aku sakit ketika kau sakit. Tidakkah kau paham dengan cinta yang aku berikan padamu? Lihat Maureen, istriku. Dia mati-matian menjaga kamu sampai seperti ini, berharap kau aman, sehat dan sukses tapi apa yang kau balas padanya? Kekhawatiran setiap saat bahkan rasa sakit akan kehilangan lagi. Itu yang ada di benak Mamamu.” Leo tak bisa lagi membendung air mata, dia menangis dalam isakan tertahan dan itu membuat Maula semakin bersalah.
“Dengan menikah diam-diam, menjadi istri pria yang selalu membawa kau dalam bahaya. Kau sudah menempatkan kami berdua dalam jurang neraka. Kini terserah padamu, kalau kau tetap ingin bersama Rayden, pergilah! Papa izinkan dan Papa akan membawa Mama serta Thalia kembali ke Indonesia. Kami akan mulai hidup tanpa memikirkan kamu lagi dan jangan pernah berharap kau bisa menemui kami.” Leo mempertegas ucapannya lalu berjalan keluar kamar.
Tangis Maula pecah, tak sanggup berkata lagi karena apa yang dikatakan Leo benar adanya.
Leo kembali ke dalam kamar, dia menatap Maureen sejenak lalu masuk. Maureen peka dengan suaminya, Leo sedang tidak baik-baik saja.
“Sofia, Tante titip Thalia dulu ya.”
“Iya Tante.”
Maureen melangkah menuju kamar mereka dan mengunci pintu, Maureen berlutut di depan suaminya yang tampak begitu lelah dan kecewa.
“Sudah, cukup. Kalau memang Maula tidak bisa diberi pengertian, ayo kita pulang! Dia sudah dewasa dan bisa menjaga diri, aku tidak mau melihatmu terbebani sepanjang waktu, Leo.” Leo tak banyak berkata, ia memeluk Maureen untuk menumpahkan segala kegundahan hatinya.
“Bersiaplah, besok pagi kita akan pulang. Aku tidak peduli lagi dengan Maula, aku lelah Maureen, sangat lelah. Dia dan Rayden akan terus berusaha untuk bersama dan kita berdua akan terus mendengar kabar buruk dari anak kita.” Maureen mengangguk.
***
Keesokan paginya, sekitar pukul 6 pagi, Maula tidak melihat lagi adik dan kedua orang tuanya. Di meja makan hanya ada Sofia.
“Mama sama Papa mana Sof? Biasanya udah di meja makan.”
“Mereka udah pergi ke bandara, sekitar lima belas menit yang lalu. Katanya mau pulang ke Indonesia.” Maula tersentak lalu meninggalkan rumah dan memacu mobil menyusul Leo ke bandara.
Di pertengahan jalan, dia melihat mobil kedua orang tuanya dan menghadang mobil tersebut. Maula segera keluar dan mengetuk kaca mobil, Leo mau pun Maureen tidak menggubris sama sekali, mereka diam menatap ke depan tanpa peduli dengan teriakan Maula di luar.
“Pa, tolong buka Pa, jangan pergi.” Maula terus memukul kaca mobil dan akhirnya Leo membuka.
“Mau apalagi kamu? Bukannya kamu mau bebas?” Leo berkata tanpa menatap anaknya itu.
“Jangan pergi, Ma, Pa. Aku akan mendengarkan kalian, kumohon tetaplah di sini. Aku akan berpisah dari Rayden, aku janji, aku tidak akan membangkang lagi.” Mendengar perkataan putrinya itu, hati Leo sebagai seorang ayah akhirnya luluh dan Maureen memegang tangan suaminya.
“Apa ucapanmu itu bisa dipercaya?” Maula mengangguk.
“Papa bisa buktikan semuanya, aku akan minta cerai pada Rayden. Aku akan menjauhi dia, Pa.” Maula menahan tangan ayahnya.
“Oke. Masuklah, mobilmu biar sopir yang bawa.” Maula masuk dan duduk di bangku depan, kali ini Leo yang mengemudi dan mobil Maula dibawa oleh sopir.
...•••Bersambung•••...