Liliana, gadis biasa yang sebelumnya hidup sederhana, dalam semalam hidupnya berubah drastis. Ayahnya jatuh sakit, hutang yang ia kira sudah selesai itu tiba-tiba menggunung. Hingga ia terpaksa menikah i Lucien Dravenhart , seorang CEO yang terkenal dingin, dan misterius—pria yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.
Pernikahan ini hanyalah kontrak selama satu tahun. Tidak ada cinta. Hanya perjanjian bisnis.
Namun, saat Liliana mulai memasuki dunia Lucien, ia perlahan menyadari bahwa pria itu menyimpan rahasia besar. Dan lebih mengejutkan lagi, Liliana ternyata bukan satu-satunya "pengantin kontrak" yang pernah dimilikinya…
Akankah cinta tumbuh di antara mereka, atau justru luka lama kembali menghancurkan segalanya?
Cerita ini hanyalah karya fiksi dari author, bijaklah dalam memilih kalimat dan bacaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon boospie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 : Lucien Dravenhart
Langit perlahan menelan cahaya tapi tidak sedikit pun menyurutkan padatnya jalanan kota yang masih dipenuhi oleh roda besi berbagai rupa. Hingar bingar yang tercipta tidak lagi menjadi perhatian berarti. Dibalik salah satu kaca hitam mobil yang berjajar disana—seorang pria tenggelam dalam dunianya sendiri, headphone yang melekat dikepalanya, memisahkannya dari riuh dunia luar.
Layar tablet itu mampu mencuri perhatian seluruh dunianya, menyingkirkan apa pun yang tak relevan. Di balik cahaya biru yang memantul di wajahnya, diagram-diagram rumit berkelebat, mengusik pikirannya tanpa ampun. Perlahan, alis tebalnya menukik tajam, seolah pikirannya sedang bergulat dalam sunyi.
"Aehara corp telah terhitung bangkrut sejak enam tahun yang lalu, perjanjian yang telah disepakati saat itu dalam enam tahun akhir dari hutang. Apakah sudah ada informasi mengenai Aehara corp?" tanya pria dengan suara bariton khas pria usia 29 tahun.
Pahatan sempurna disetiap inci wajahnya seolah dibuat dengan penuh ketelitian dan tanpa cela. Lucien Dravenhart, ukiran nama yang terbentuk rapi disisi kanan jas hitam miliknya.
"Aku mendapat informasi jika baru-baru ini Montclaire jatuh sakit, mengenai hutang masih belum ada hal terbaru dari pihak mereka, kecuali terakhir kali Montclaire yang membayar setara harga satu unit apartemen," jelas Grack, sosok pria yang berusia lebih muda dari Lucien tapi memiliki jiwa layaknya seorang sekretaris.
"Sakit ya," gumam Lucien. Tangan dingin itu menutup tablet yang semula menjadi fokus utamanya.
Mata yang terkesan tajam itu menatap sisi tubuh Grack, "Batas waktu?"
"Satu bulan lagi."
Usai mendengar jawaban Grack, Lucien yang kerap orang terdekatnya menyapa Lux itu mengalihkan pandangan ke jalanan. Dengan segala kerumitan dikepalanya yang tak kunjung tuntas.
"Grack! Where is Lux? Dia bahkan mematikan ponsel, sangat menyulitkanku," seru seorang wanita tua dari balik layar head unit android yang terpasang di dashboard mobil.
Ketenangan Lux menjadi buyar hanya karena suara yang tercipta disana, neneknya. "Grack?"
Dengan tatapan seolah ingin membunuh Grack saat itu juga, dia berucap, "Why, eyang?"
"Come here! Mamamu dan aku tentunya ingin bertemu, kita berkumpul hari ini," ajaknya dengan tone suara yang energik. Sudah begitu jelas bukan karakteristik wanita tua itu.
"It's late," balas Lucien, mewakilkan dirinya yang tidak menginginkan perkumpulan antar keluarga. Hanya dipenuhi dengan orang orang yang ingin menonjolkan bagian dari pencapaian mereka, entah kekayaan, kecerdasan, dan yang pasti kekuasaan.
"Grack, bawa Lux kesini atau Lux kamu harus terima bahwa istri Grack harus menerima semua," ancam wanita itu dengan gampangnya.
Jelas Lux akan pergi ketempat itu, rasa empati yang tersisa dalam dirinya membuat ancaman itu menjadikan hal yang paling dia benci. Sungguh licik, mereka tidak memiliki ikatan apapun juga harus menanggung yang bukan tanggung jawabnya. Walaupun hanya sebuah ancaman tak serius, itu bukan hal yang pantas dilontarkan.
"End call." Panggilan itu terputus atas perintah ucapan Lux, kecanggihan teknologi saat ini yang semakin mempermudah banyak hal tapi juga mempersulit hal lain dalam satu waktu.
"Kita pergi."
Dalam dua puluh menit mobil itu sudah hampir memasuki kawasan mansion keluarga Dravenhart. Sampai dimana sebuah gerbang besar yang menjulang setinggi tiga meter dari bawah permukaan tanah masih tertutup, tak butuh waktu beberapa menit untuk gerbang itu terbuka sendirinya.
Halaman yang luas berlantai batu paras di sepanjang arah menuju mansion. Pohon pohon besar yang menutup hampir sebagian area mansion tidak mengurangi suasana redup, walaupun beberapa lentera sudah ditanam disetiap sisi jalan dengan tiang tiang lampu bergaya Victoria klasik.
Dari kejauhan, berdiri megah sebuah mansion dengan fasad rumah yang menampilkan arsitektur era Victoria klasik, dengan dikelilingi taman rapi membentuk cincin dan air mancur bertingkat 3 yang terbentuk dari bahan marmer dibagian tengah.
Mobil Lux terparkir tepat didepan pintu tinggi besar yang bisa diperkirakan tiga kali lipat dari tubuh Lux.
"Grack, untuk Aehara corp coba kamu cari tahu perkembangan mereka, jika dalam waktu seminggu sebelum jatuh tempo mereka masih tidak ada tindakan kita lakukan pergerakan," ucapnya sebelum pergi meninggalkan mobil.
Terlihat jelas pintu masuk besar, dari kayu mahoni yang dipernis mengilap, dihiasi dengan ornamen ukiran rumit di bagian atas kusen pintu, dan terdapat lampu gantung modern yang berbentuk logam besar.
Saat Lux baru saja menapakkan kaki didepan pintu, saat itu pula pintu terbuka seolah menyambutnya dengan anggun.
Interior dalam mansion tak kalah mewah—langit-langit tinggi, lampu gantung kristal yang bergoyang pelan di aula utama, dan tangga kayu melingkar yang melambai menuju lantai atas.
"My lovely Lux! Come here sayang," sambut sang nenek dengan penampilan glamour dan cetar yang selalu menjadi ciri khas wanita kepala 6 itu.
Lux berjalan dengan tubuh tegap dan gagahnya, salah satu alisnya naik seolah mempertanyakan hal yang dia lihat saat ini. Bagaimana tidak, seluruh keluarga besarnya berkumpul di meja makan saat ini, harapan yang dia pikir hanya nenek dan mamanya.
"Long time no see, brother, my Luxie!" salah seorang pria dengan penampilan urakannya yang duduk disamping kursi kosong tempat seharusnya Lux berada.
"Yeah nice too meet you, Jacob." Pria itu saudara sepupu Lux, anak dari adik mama Lux. Keberadaannya cukup dinilai memperburuk keluarga Dravenhart, tetapi bukan menjadi masalah besar baginya, ia hidup bebas tanpa adanya media yang mengetahui jika dia bagian dari Dravenhart.
"But don't call me Luxie again," bisik Lucien pada Jacob.
"So what? Luppie?"
"Hey, you wanna die?" Lux tertawa usai memberikan pukulan kecil pada bahu Jacob, mereka sudah tumbuh bersama sejak kecil, dan kepribadian Jacob yang bebas tidak menciptakan persaingan antara keduanya.
"Hai Lucien, remember me?" Seseorang yang lain duduk disebrang Lux, bentuk matanya lebih tajam, rahangnya begitu tegas.
"Of course Emric Bagus Dravenhart, aku ingat," jawab Lux dengan santai.
"And i know your girlfriend, Seraphina right?" sambung Lux seraya mengalihkan pandangannya pada gadis disamping Emric, dia seorang model papan atas, yang wajahnya sudah wara wiri di berbagai majalah dan banner iklan.
Perempuan dengan lesung pipi disisi kanan itu tersenyum dan mengangguk.
Suasana menjadi sedikit lebih sunyi setelah percakapan singkat yang terjadi antara keduanya, beberapa dari mereka mengerti jika ada persaingan tak terlihat yang terbentuk dari mereka.
"Baiklah, kita sudah berkumpul di sini. Dan Lux... yang harus aku paksa datang," ucapnya sambil berhenti sejenak, menatap ke arah Lux dengan tatapan sendu.
"Karena Emric akan segera melangsungkan pernikahannya. Itulah alasan dia membawa Seraphina untuk bergabung bersama kita malam ini," lanjutnya.
"Memang seharusnya, kan? Dia juga udah tua," celetuk seorang gadis yang duduk tepat di samping Jacob. Dia adalah Kim, adik kandung Jacob. Tidak sebebas kakaknya, tapi cukup berani untuk bicara blak-blakan.
Suasana sempat kaku, namun tawa kecil dari Jacob membuat ketegangan mereda.
"Kim…," ujar Jacob sambil menggeleng pelan, separuh geli, separuh bangga.
"Apa? Aku cuma bilang yang jujur," jawab Kim ringan, menyender santai di kursinya lalu menyuapkan steik ke dalam mulutnya.