🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳
Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.
Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.
Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.
Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?
Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Jangan Sentuh Aku
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan" suara Gus Sahil mantap melafalkan akad nikah.
"Alhamdulillah," serentak semua orang mengucap syukur. Suara di bawah tenda-tenda besar itu bergemuruh, masing-masing berdecak kagum karena sang mempelai pria berhasil mengucapkan akad dengan lancar dalam sekali percobaan.
Tak terkecuali di ndalem, tepatnya di dalam kamar Ning Hafsa, putri pimpinan pondok pesantren Bahrul Ulum yang menjadi tokoh utama pada hari ini.
"Selamat ya nduk, akhirnya kamu jadi istri orang,"
"Selamat Ning, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah,"
Hafsa tersenyum sumringah. Ah, alangkah bahagianya. Boleh tidak ia berharap hari ini bisa terjadi selamanya?
Berjalan dengan anggun, Hafsa dikelilingi beberapa wanita bergaun senada keluar dari dalam kamar. Dengan cepat membuat semua orang menoleh. Menuai decak kagum karena kecantikannya yang sempurna.
Ah, itu dia. Suamiku.
Hafsa menerima uluran tangan Gus Sahil. Gus Sahil tersenyum, mencium kening Hafsa, membaca doa. Semua orang berseru menggoda, anak-anak muda sibuk mengabadikan momen itu, memotret dengan ponsel masing-masing.
Hari itu melelahkan, tapi bagi Hafsa, itu adalah hari yang membahagiakan.
Saat malam tiba, Hafsa segera membersihkan diri. Merias kembali wajahnya agar terlihat lebih cantik natural, memakai gaun malam yang sudah dipersiapkan. Agak terbuka memang, tapi tak apa demi ia persembahkan kepada sang suami.
Tanpa menunggu lama, Gus Sahil membuka pintu kamar. Terkesima melihat penampilan Hafsa.
"Cantik sekali istriku,"
"Terimakasih Gus," Hafsa tersipu.
"Aku mencintaimu Hafsa, jadilah milikku malam ini,"
Meski malu-malu, Hafsa mengangguk. Ia melingkarkan tangan pada leher Gus Sahil, menyambut ciuman pertama yang memang ia jaga selama ini, khusus ia berikan kepada sang suami kelak.
Tapi, tunggu, sepertinya ada yang salah.
Bukankah ini semua terlalu indah? Bukankah, ini semua terasa tidak nyata?
"Apa yang kamu fikirkan, Sa?" Gus Sahil menatap keheranan. "Kenapa memikirkan hal lain saat ada aku disini?"
"Saya merasa ini mimpi, Gus. Saya merasa ini tidak nyata,"
Gus Sahil tersenyum, "Biar aku buat semuanya terasa nyata,"
Gus Sahil meraih tubuh Hafsa, membimbingnya menaiki tempat tidur. Mulai mencium kening, mata, hidung hingga ke bibir ranumnya.
Tepat saat ciuman Gus Sahil mulai mendekati leher nya, saat jari jemari Gus Sahil perlahan membuka gaun malamnya, mata Hafsa seketika terbuka.
"Astaghfirullahalazim," Hafsa terperanjat dari tidurnya.
Tidak ada Gus Sahil yang tersenyum sambil menciumnya, tidak ada sentuhan lembut yang mendekap tubuhnya, hanya langit-langit kamar yang baru dicat putih dan ranjang besar tanpa ada siapapun di sisinya.
Hafsa mengusap wajahnya. Ya Alloh, jadi semua itu cuma mimpi? Apa sebegitu besar harapannya untuk dicintai oleh suaminya sendiri?
Allahuakbar.. Allahuakbar..
Suara adzan subuh berkumandang. Baiklah, tidak usah memikirkan yang tidak-tidak. Ayo lekas berwudhu agar hilang semua bekas mimpi-mimpi itu.
Kaki Hafsa menuruni peraduan. Alangkah kagetnya ia saat pandangannya mendapati seorang laki-laki tertidur di atas lantai kamar beralaskan karpet.
"Gus Sahil?" Hafsa menggumam lirih. Astaga, sejak kapan laki-laki itu tertidur di sana? Begitu hinakah dirinya sampai Gus Sahil pun tidak sudi tidur di sampingnya? Apakah karpet dingin itu jauh lebih baik daripada harus satu kasur dengan istrinya sendiri?
Hafsa berniat mengabaikannya, kata-kata tajam Gus Sahil semalam masih menyayat hatinya. Namun, demi melihat laki-laki bertubuh gagah itu meringkuk kedinginan, ia jadi merasa tidak tega. Dengan hati-hati, ia meraih selimut dari atas dipan, menyelimuti tubuh Gus Sahil.
"Loh, kok keluar sendiri Sa? Suamimu mana?" Umi Hana yang melihat Hafsa turun dari tangga sendirian bertanya keheranan.
"Gus Sahil masih tidur Mi, capek kayanya," Hafsa memberi alasan.
"Loh, loh, loh, ya dibangunin to nduk. Ini para santri loh nungguin suamimu jadi imam. Sudah sana cepat dibangunkan!"
Hafsa ragu-ragu kembali menaiki anak tangga. Umi Hana memberikan kode mengusir, seolah berkata 'hush hush cepat sana!'
Mau tidak mau Hafsa menuruti perkataan sang ibunda meski sebenarnya sangat enggan. Aduh, bagaimana caranya dia membangunkan Gus Sahil?
Hafsa duduk diam di sebelah suaminya. Lama sekali.
"Gus.." bisiknya lirih. "Bangun Gus sudah subuh,"
Tidak ada reaksi. Gus Sahil sama sekali tidak bergeser dari tempatnya satu senti pun.
"Gus," perlahan, Hafsa mengulurkan tangan. Menepuk lembut bahu sang suami.
"Gus, bangun Gus," bisiknya lagi.
"Iya Brur, lima menit lagi.." Gus Sahil meracau. Sepertinya ia mengira yang membangunkannya adalah Mabrur, santri sekaligus supir pribadi di pondok pesantrennya yang sering mengikuti kemana-mana.
"Ini Hafsa Gus, Umik suruh bangunkan Gus buat jadi imam sholat para santri,"
Lima menit berlalu tanpa ada reaksi. Selanjutnya, Gus Sahil tampak bangun dengan terburu-buru.
"Kenapa tidak bangunkan aku dari tadi?!"
"Gus kelihatan capek banget, jadi saya tidak berani bangunkan njenengan,"
"Sudahlah," Gus Sahil beranjak, agak berlari menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar.
"Oh ya satu lagi," Gus Sahil masih sempat melongokkan kepala dari balik pintu kamar mandi, menatap Hafsa dengan tatapan menusuk. "Aku tidak pernah setuju kamu menyentuhku tanpa izin. Dengan alasan apapun, jangan pernah mencoba menyentuhku,"
"Tapi Gus, saya cuma—"
Belum sempat Hafsa menjawab, Gus Sahil menutup pintu kamar mandi rapat-rapat.
...****************...
Sholat subuh berjamaah berakhir dengan khusyuk. Abah Ali dan Umi Hana tidak henti-henti memuji kemampuan membaca Alquran Gus Sahil yang sangat merdu dan fasih. Gus Sahil yang mendengar pujian itu hanya senyam-senyum saja, merasa malu sekaligus bangga.
"Ayo ikut Abah keliling asrama para santri,"
Gus Sahil mengangguk, mengikuti sang mertua dari belakang.
Pondok Pesantren Bahrul Ulum adalah pusat hafalan Alquran yang cukup terkenal di daerah tersebut. Santrinya sudah bukan di level ratusan lagi, sudah hampir mencapai sepuluh ribu. Tidak heran jika asrama yang dibangun berdiri di atas tanah yang cukup luas. Dengan masjid pondok sebagai pembatas antara asrama putra dan putri.
"Nduk Hafsa paling suka ngajar di sana," Abah Ali menunjuk sebuah saung yang berdiri di sekitaran masjid pondok. "Katanya hawanya adem, bikin perasaan jadi nyaman,"
Gus Sahil menoleh ke arah yang ditunjuk Abah Ali. Tampak Hafsa sedang duduk di antara para santri putri, menyimak hafalan Alquran mereka.
"Hari ini adalah hari terakhir istrimu mengabdi di pesantren ini. Besok-besok, dia akan gantian mengabdi di pesantren mu,"
Gus Sahil menganggukkan kepala, matanya masih tertuju pada Hafsa di sana.
"Kalau kamu sudah tidak ada lagi rasa cinta pada Hafsa, kembalikan saja dia pada kami nak,"
Gus Sahil sontak terkejut mendengar kata-kata itu, menatap Abah Ali dengan tatapan penuh tanya.
"Hafsa itu putri kami satu-satunya. Benih yang kami tunggu sedari lama selama sepuluh tahun, dan sekarang saat telah dewasa kami serahkan dia padamu,"
"Maka orangtua ini ingin meminta tolong padamu nak, tolong bahagiakan Hafsa. Tolong jagalah dia dengan sebaik-baiknya,"
"Kelak, ada masanya saat kau mungkin mulai bosan padanya. Saat itu tiba, tolong jangan sakiti Hafsa, kembalikan saja dia pada kami disini,"
Jantung Gus Sahil serasa jatuh ke tanah. Perkataan mertuanya jelas langsung menohok ke hatinya yang terdalam.
"Saya.. akan berusaha membahagiakan Hafsa Bah,"
Gus Sahil bahkan tidak tahu. Apakah perkataan itu adalah janjinya atau hanya sekedar pemanis mulut untuk menyenangkan hati mertuanya. Dia tidak tahu, apakah bisa memenuhi perkataan itu, atau malah sudah melanggarnya sejak malam setelah pernikahan.