NovelToon NovelToon
Jangan Salahkan Aku, Ibu

Jangan Salahkan Aku, Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / Bullying dan Balas Dendam / Hamil di luar nikah / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Widhi Labonee

kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan

Gadis kecil itu tertunduk lemas, tangan mungilnya memegangi pagar pembatas Taman Makam Pahlawan yang didalamnya hanya menampilkan barisan nisan yang terdiam membisu. Air mata tak henti menetes di pipinya yang sedikit tirus. Matanya nanar mencari dimana letak makam Bapak yang sangat dicintainya itu. Sebuah sentuhan di pundaknya membuat dirinya mendongak, dilihatnya wajah sang Ibu yang juga kuyu penuh air mata mencoba memaksa untuk tetap tersenyum padanya.

"Sudah ya, kita pulang, Bapak sudah tenang di Surga, ayok, hari semakin siang akan semakin panas," ajak sang Ibu dengan menarik lengan kecilnya untuk segera beranjak dari tempat itu.

"Nggak mau, Tiwi mau ketemu Bapak dulu, Tiwi mau peluk Bapak dulu, Tiwi kangen Bapak Buuu..." dan tangis yang sempat ditahannya sedari tadi pun pecah. Suaranya begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Wanita berusia tiga puluhan yang berdiri disamping gadis kecil itu pun akhirnya memilih untuk berjongkok menyamakan tinggi nya agar bisa memeluk tubuh ringkih anak kecil yang sedang terisak hebat itu.

"Iya, ibu tau Nak. Tapi pintu masuknya sudah dikunci, kita tidak bisa sembarangan masuk kedalam Nak. Ayo kita pulang saja. Nanti di lain hari kita akan kembali menjenguk Bapak, jika waktunya tepat," ujar wanita itu kepada anaknya.

"Biarkan saja Tiwi masuk Mbakyu, kasihan dia. Mungkin salahku yang terlambat memberitahu kalian mengenai kepergian Mas Effendi yang mendadak ini," sebuah suara membuat kedua ibu dan anak yang sedang berpelukan itu menoleh.

"Paman Tisna.." raung Tiwi menghambur ke pelukan lelaki sebaya ibunya itu. Dia adalah adik dari Bapaknya, yang baru saja datang menyusul ke makam karena khawatir dengan keponakan kecilnya ini.

"Ssstt, sudah, jangan nangis lagi. Tiwi ingin bertemu Bapak kan? Ayo kita ke sana, paman antar yok," Ujar Tisna sembari mengusap air mata yang masih terus mengalir dipipi gadis berusia enam tahun ini.

Tiwi pun berusaha menghentikan isaknya, dia menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan, kemudian mencoba tersenyum meski getir, " Aku sudah tidak menangis lagi Paman. Ayo antarkan aku ke tempat Bapak."

"Mau lewat mana Tis? Bukankah pintu masuknya di gembok?" tanya Bu Riyanti yang mengikuti langkah adik iparnya yang sedang menggendong putrinya itu.

"Kita coba lewat samping Mbak, ada pagar yang tidak terlalu tinggi dibagian sana. Aku akan mengajak Tiwi memanjat dari situ. Mbak tunggu saja di luar," ucap pria berkemeja kotak-kotak kecil warna krem itu sambil menurunkan gadis kecil di gendongannya diatas pagar tembok yang agak pendek, hanya sebatas dada orang dewasa. Kemudian dia melompat keatas tembok itu juga, dan turun di area dalam makam, menyuruh keponakannya agar mengikuti jejaknya melompat ke bawah dimana dia akan menangkapnya.

Bugh. Hup. Tiwi pun mendarat di pelukan sang Paman. Keduanyasegera berjalan diantara deretan nisan, menuju ke satu makam yang masih basah dan oenuh dengan karangan bunga. Pada nisannya tertulis nama Mayor Jendral N.A Effendi wafat 19/04/199x. Tiwi yang menyadari itu adalah nama Bapaknya segera menghambur memeluk batu nisan itu, tangisannya kembali pecah.

"Bapaaaaaaaaakkk..!! Mengapa Bapak tinggalin Tiwi? Terus Tiwi sekarang tidak bisa ketemu Bapak lagi, Tiwi tidak punya Bapak lagi... Siapa yang akan peluk Tiwi kalau Bapak pulang bertugas? Siapa yang akan bonceng Tiwi lagi di vespa? Huwaaaaaaa...Jangan tinggalin Tiwi Paaakk... Bapak jahaatt, Tiwi mau ikut Bapak saja."

Dan Gadis kecil itu pun mulai mengamuk, di buangnya semua bunga diatas kubur yang masih basah itu, dia ingin menggali kembali dan ingin ikut masuk kedalam untuk menemani Sang Bapak. Tisna segera memeluk keponakan kecilnya itu, berusaha menenangkannya. Sementara Riyanti menyaksikan semuanya dari luar pagar dengan hati yang sangat hancur.

"Eh, ssshhh.. jangan Nak. Jangan dirusak makam Bapakmu. Nanti beliau marah dan kecewa loh. Beliau sudah tenang di dalam sana. Nanti bila saatnya tiba, kita semua akan bertemu kembali dengan beliau, berkumpul dan bahagia bersama lagi Nak. Ssshh.. jangan menangis lagi ya. Tiwi anak pintar kan? Tiwi anak Bapak yang paling cantik kan?"

Dan Tiwi pun semakin tergugu di pelukan sang Paman. Hatinya sangat sakit, hari ini dia baru benar-benar merasakan sebuah arti kata kehilangan. Dimana dia tidak akan pernah lagi dapat bertemu dengan Bapaknya, bergurau bersama, kejar-kejaran dengan Lupus, Boy dan Melky. Ah, andai saja kematian itu tidak pernah ada, tentu dia masih bisa merasakan kebahagiaan bersama Bapaknya.. Kemarin saat sang Paman datang ke rumah dan mengabarkan jika Bapaknya meninggal mendadak karena serangan jantung, dia masih belum faham. Tiwi hanya ikutan menjerit dan menangis seperti ibunya yang pingsan di sofa ruang tamu. Dia hanya berpikir mungkin Bapaknya masih bisa dia temui suatu saat nanti. Tapi ternyata kenyataan pahit yang dia dapati. Sang Bapak telah terkubur di dalam tanah, di dalam peti dengan upacara militer dan penghormatan tembakan salvo. Mendapat tempat pemakaman di area Taman Makam Pahlawan ini karena Bapaknya adalah salah seorang Jendral TNI yang disegani dan banyak berjasa untuk negara ini. Dan yang pasti beliau tidak akan pernah pulang ke rumah lagi menemui Tiwi.

Setelah puas menangis, memeluk batu Nisan dan menciumi kubur Bapaknya, akhirnya Tiwi mau diajak pulang oleh Pamannya. Kembali mereka harus melompati pagar tembok yang tadi. Sementara sang Ibu masih setia menunggu di luar pagar seperti tadi.

"Mari kita ke rumah makan terdekat Mbak, ada yang ingin saya sampaikan pada Mbak terkait almarhum," ajak Tisna yang berjalan disisi kakak iparnya dan masih menggendong Tiwi yang kini kepalanya terkulai lemah di pundak kirinya itu. Isakan kecil masih terdengar lirih di telinga Tisna, tangannya pun mengusap lembut punggung keponakan yang sangat disayangi oleh almarhum sang kakak ini.

...----------------...

Sampai di sebuah rumah makan sederhana, mereka bertiga duduk di sebuah meja dengan empat kursi kosong yang mengelilinginya. Setelah memesan minuman sekalian makan siang, Tisna pun mengawali pembicaraan.

"Jadi mas Effendi kemarin lusa itu pulang dari Mabes Jakarta Mbak. Itu pun mendadak, karena di kabari Mbak Rini yang memberitahukan jika Novi putri semata wayang mereka minggat dari rumah. Sesampainya di rumah, dibantu oleh Ajudan dan anak buahnya, Mas berhasil menemukan Novi dirumah kost milik temannya. Setelah dipaksa untuk kembali pulang ke rumah, akhirnya Novi mengakui jika dia nekad pergi dari rumah karena habis bertengkar hebat dengan ibunya. Mbak Rini marah besar mengetahui Novi hamil diluar nikah Mbak, dan lelaki yang menghamilinya kabur tidak mau bertanggung jawab. Mas Effendi yang mendengar hal itu, langsung kaget dan mendapat serangan jantung mendadak setelah sempat menampar Novi dengan keras dan meluapkan amarah nya dengan menggebrak meja. Begitu dibawa ke Rumah Sakit oleh Safri sang Ajudan, disana dinyatakan jika Mas telah meninggal dalam perjalanan akibat gagal nafas. Dan beliau tidak sempat meninggalkan pesan apapun buat Mbak Riyanti dan Tiwi, maafkan Mas ku ya Mbak..." Tisna berkata sembari menundukkan kepalanya.

Riyanti yang mendengar itu semua hanya bisa menarik nafas dalam. Selama ini dia memang mendengar cerita dari almarhum suaminya itu jika Novi sang anak kesayangan yang selalu dimanjakan oleh ibunya yaitu Rini si istri pertama itu memang bandel. Sudah berkali diingatkan agar tidak gonta-ganti pacar, tetapi tetap saja nakal. Dan akhirnya hamil diluar nikah, mengakibatkan sang Bapak kaget hingga meninggal.

Tiwi yang ikut mendengarkan cerita itu pun hanya diam tak mengerti. Siapa itu Mbak Rini, Novi? Mengapa Bapak sampai marah hingga sakit dan meninggal. Ah, rasanya otaknya yang kecil ini tidak mampu mencernanya.

"Dan karena otomatis Uang Bela sungkawa dari Kesatuan serta uang pensiun nanti diterimakan ke Mbak Rini, maka dengan amat sangat menyesal, saya tidak bisa membantu mbak Riyanti untuk menuntut hak mengenai harta Mas almarhum buat Tiwi. Apalagi perkawinan kalian kan hanya dibawah tangan, dan Mbak Rini tidak pernah mengetahuinya. Maafkan saya ya Mbak, saya tidak bisa membantumu terlalu jauh," ungkap Tisna dengan nada penuh penyesalan.

"Tidak apa Dek, aku menyadari posisiku sebagai istri siri Mas Fendi, aku tidak pernah mengharap apapun dari beliau. Biarlah beliau tenang di alam sana. Aku akan membesarkan Tiwi dengan caraku sendiri. Aku rasa aku pasti sanggup. Terimakasih telah mengenal kami selama ini. Semoga kamu masih mengingat keponakan kecilmu itu saat dia besar nanti. Sekali lagi terimakasih atas bantuanmu Dek," Riyanti berkata sambil mengusap rambut lebat milik Tiwi yang duduk disampingnya ini.

Tisna hanya bisa menatap mantan kakak iparnya dengan sendu. Andai sekali saja Riyanti mau memandangnya sebagai lelaki, bukan hanya sekedar mantan adik ipar, maka dia akan nekad mengajaknya menikah. Biarpun dia hanya seorang Tentara dengan pangkat rendah, tapi dia sanggup untuk membahagiakan perempuan berparas ayu di depannya, dengan kulit hitam manis dan rambut dibawah bahu yang bergelombang indah itu.

1
Widhi Labonee
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!