"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1 Tawaran Pernikahan
"Mbak ... ibu, Mbak." Tangis Syafa pecah begitu Maira datang.
"Iya, kamu tenang dulu, ya," ujar Maira menenangkan. Meski dia sendiri cemas, tapi ia harus jadi orang yang kuat untuk adiknya. Ia harus menjadi orang yang paling tenang dalam situasi ini.
"Sekarang kita duduk, kamu ceritakan pelan-pelan apa yang terjadi." Maira melepas pelukannya. Menuntun adiknya yang masih kuliah itu ke bangku tunggu.
Ia juga mengusap punggung Syafa untuk lebih membuat gadis itu tenang.
"Apa yang yang terjadi pada Ibu?" tanya Maira pelan-pelan.
Syafa mulai mengingat kembali kejadian di rumah tadi. Bagaimana ibunya mengeluh sakit pada dada kirinya, tak lama setelah itu ibunya ambruk.
"Aku nggak tahu, Mbak. Tiba-tiba ibu bilang sakit sambil megang dada kirinya , terus ...." Syafa cerita semua yang ia lihat di rumah tadi, sampai ia teriak meminta tolong tetangga untuk mengantar ibunya ke rumah sakit.
Maira terus mengusap punggung adiknya untuk menguatkan. Syafa terlihat sangat syok dengan kejadian ini.
"Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Ibu, Mbak?"
"Kita doakan yang terbaik buat Ibu, ya. Semoga Allah memberi pertolongannya untuk Ibu."
Syafa mengangguk. Ia kembali memeluk kakak satu-satunya itu. Wanita yang selalu ia anggap kuat dan mampu menyelesaikan segala masalah dalam hidupnya.
"Keluarga Ibu Kamilah," panggil seorang perawat yang baru keluar dari UGD.
"Iya, Sus." Maira menghampiri perawat itu, diikuti oleh Syafa.
"Dokter ingin bicara," ujar perawat itu lagi.
"Baik, Sus." Maira mengikuti perawat itu ke ruangan dokter. Sedang Syafa menunggui ibunya yang masih tidak sadarkan diri.
"Selamat sore, Dok," ujar Maira begitu masuk ke ruang dokter.
"Selamat sore. Dengan keluarga Ibu Kamilah?" tanya dokter dengan name tag Dr. Firman, Sp. KJ.
"Iya, Dok, saya putrinya," jawab Maira.
"Oh, siapa namanya?"
"Maira, Dok."
"Jadi begini, Mbak Maira, setelah melakukan observasi pada ibu Anda, Ibu Kamilah, kami selaku tim medis memutuskan untuk melakukan tindakan angioplasti, yakni tindakan operasi membuka pembuluh darah yang tersumbat. Dan itu harus dilakukan segera, demi keselamatan Ibu Kamilah," jelas sang dokter.
"Operasi, Dok?" Wajah Maira seketika pias dan tegang. Siapa yang tidak kaget mendengar kata operasi. Dalam hal medis kata itu begitu keramat dan ditakuti.
"Iya, Mbak, karena itu kami memerlukan persetujuan keluarga untuk melakukan tindakan tersebut."
"Apa tidak ada cara lain selain operasi, Dok," tanya Maira takut. Jujur ia tidak siap ibunya dioperasi. Bukan hanya soal biaya, tapi hal-hal buruk yang menyertai kata operasi itu sendiri. Pikiran Maira mendadak penuh dengan hal-hal negatif, soal operasi.
"Sayangnya, hanya itu cara terbaik untuk menyelamatkan ibu Anda, Mbak. Kalaupun ada pasti sudah kami lakukan demi keselamatan pasien."
Maira hanya bisa meremas tangannya yang saling tertaut. Ia tak tahu harus mengambil sikap bagaimana. Ia tak punya biaya kalau harus operasi, pasti biayanya mahal.
"Kira-kira, berapa biaya untuk operasi Ibu saya, Dok?" Maira haru memberanikan diri bertanya. Ia harus tahu berapa kisaran biaya yang ia butuhkan.
"Sekitar tujuh puluh sampai seratus juta," jawab dokter Firman.
Maira terbelalak. Meski ia sadar biaya operasi itu mahal, tapi tak pernah ia bayangkan jika akan semahal ini.
"Apa masih ada yang ingin ditanyakan?"
Maira menggeleng.
"Kalau begitu, silakan diskusikan dengan anggota keluarga yang lain, tapi pesan saya jangan terlalu lama karena kita akan kehilangan kesempatan baik untuk menyelamatkan ibu Anda. Kalau boleh saya sarankan, besok pagi beliau harus segera dioperasi."
Tak ada lagi pembicaraan antara Maira dan dokter Firman. Ia hanya mengucapkan terima kasih sebelum pamit keluar. Wajahnya tertunduk sendu. Pikirannya sedang bertarung mencari jalan keluar.
"Seratus juta, dari mana aku bosa dapat uang sebanyak itu dalam semalam?" Langkah Maira lesu, memasuki ruang UGD di mana ibunya terbaring tak sadarkan diri.
"Mbak, apa kata dokter, Mbak?" Syafa tak sabar untuk mendapat informasi tentang ibunya.
Maira menatap adik satu-satunya itu dengan cemas. Rasanya tak sampai hati haris berbagi berita duka seperti ini. Ia merasa tak pantas jadi anak sekaligus kakak. Ia tak bisa berbuat apa pun sekarang.
"Mbak," panggil Syafa lagi. "Dokter bilang apa?"
"Dokter bilang Ibu harus segera dioperasi, Dek."
Mata Syafa membola. "Operasi?"
Maira mengangguk.
"Ke-kenapa, Mbak?"
"Ibu terkena serangan jantung." Maira juga menjelaskan apa yang tadi dokter katakan padanya.
Syafa seketika menangis. Ia tak menyangka kondisi ibunya akan seburuk ini. Tadi ia pikir ibunya hanya pingsan biasa, nyatanya ibunya terkena serangan jantung. Ia sangat merasa bersalah.
"Dari mana kita bisa dapat uang sebanyak itu, Mbak?" Syafa memeluk kakaknya.
"Mbak, juga nggak tahu, tapi Mbak yakin pasti ada jalan." Maira tak yakin dengan apa yang ia ucapkan, tapi ia tak bisa membiarkan adiknya terpuruk dan merasa bersalah. Syafa yang melihat secara langsung ibunya pingsan, pasti itu menimbulkan trauma tersendiri bagi gadis itu.
Keduanya hanya bisa saling peluk, saling menguatkan satu sama lain.
Dering ponsel Maira berbunyi. Memaksa mereka mengurai pelukan.
"Ibu Rosmala?" gumam Maira usai melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Mbak keluar dulu, ya," pamit Maira pada adiknya.
"Assalamualaikum, selamat sore, Ibu," sapa Maira begitu panggilan diangkat.
Rosmala adalah bos di mana Maira bekerja sebagai admin penjualan produk skincare. Tidak biasanya bosnya itu menghubunginya. Sebab ia tahu Rosmala begitu sibuk dengan bisnisnya.
"Baik, Bu, saya akan segera ke kantor," ujar Maira sebelum mengakhiri pembicaraan.
Sebelum pergi Maira pamit pada Syafa untuk menjaga ibu mereka. Meski berat meninggalkan ibu yang tengah sakit, tapi Maira juga punya tanggung jawab pada pekerjaannya.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di kantor R.o.$.e Skin. Nama brand milik Ibu Rosmala.
"Selamat sore, Ibu," sapa Maira usai mengetuk pintu ruangan owner kantornya.
"Selamat sore," jawab Rosmala ramah. Ia pun mempersilakan Maira masuk dan duduk.
"Ada apa Ibu memanggil saya?" tanya Maira sopan.
"Aku ingin kamu buat laporan tentang data penjualan satu semester terakhir."
Maira cukup kaget dengan apa yang diminta Rosmala. Pasalnya selama ini laporan penjualan selalu dibuat setiap bulan oleh Desi yang merupakan kepala admin penjualan. Sedang dirinya hanya mengerjakan laporan penjualan harian hingga mingguan, yang datanya ia serahkan pada Desi selaku kepala admin.
"Kamu tidak usah kaget begitu, lakukan saja apa yang aku suruh. Tapi jangan sampai kamu kasih tahu Desi tentang tugas ini, juga jangan minta data sama dia. Kamu buat dengan mengumpulkan data yang kamu miliki sendiri."
Maira mulai bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Pikiran akan penyelewengan tak bisa ia elakkan. Apa Desi ada main di belakang?
"Itu saja yang ingin saya bilang, saya mau kamu buat laporan itu secepatnya."
Maira mengangguk patuh. "Baik, Bu."
Ia berdiri hendak pamit. Namun, tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu tentang ibunya di rumah sakit. Ia pun balik badan, dan memberanikan diri untuk mengutarakan niatnya.
"Maaf, Bu, sebelumnya, bolehkan saya bicara sebentar pada Ibu?"
Rosmala juga sedikit heran, tapi ia persilakan Maira kembali duduk.
"Hari ini Ibu saya masuk rumah sakit, Bu. Dokter bilang ia harus segera dioperasi, dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit."
Rosmala menyimak setiap kata yang Maira ucapkan. Meski ia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan Maira pada akhirnya. Tapi ia tahu Maira gadis yang jujur.
"Jadi kamu mau pinjam berapa?"
Maira terkejut dengan pertanyaan Rosmala yang to the point.
"Saya ...." Berat sekali Maira berucap. Sebab ini bukan nominal wajar.
"Saya mau pinjam seratus juta, Bu."
Rosmala cukup terkejut, tapi ia berusaha untuk tetap bersikap biasa saja. Meski angka di rekeningnya ada dua belas digit, tapi uang seratus juga tidak sedikit.
"Kamu yakin pinjam segitu?"
Maira mengangguk ragu.
"Lalu, dengan apa kamu akan membayar nanti?"
"Potong gaji, Bu."
Rosmala tertawa kecil. "Maira, gaji kamu itu berapa, terus berapa lama kamu bisa melunasinya?"
Maira tahu ini, tapi ia tak punya pilihan lain lagi. Ia pun tak tahu harus ke mana lagi. Satu-satunya jalan yang terpikir olehnya hanya bosnya ini. Semua jalan ini mendadak muncul saat perjalanan menuju kantor tadi. Sebuah ide yang ia sendiri tak yakin akan berhasil atau tidak, tapi ia tetap harus mencoba.
Maira tak berani menjawab. Ia tak punya keberanian untuk itu.
Rosmala yang sejak tadi melihat gerak-gerik Maira, tiba-tiba berkata, "Saya akan berikan kamu uang, bahkan tanpa harus meminjam, dengan syarat kamu mau menikah dengan Arka."
Ucapan Rosmala bagai petir di siang terik. Tanpa mendung, tiba-tiba menggelegar di langit. Menikah dengan Arka?
Pria yang ia ketahui sebagai putra semata wayang bosnya ini mau dijodohkan dengannya?
Apa Maira tak salah dengar?