"Hai, aku gadis matematika, begitu Sora memanggilku."
Apa perkenalan diriku sudah bagus? Kata Klara, bicara seperti itu akan menarik perhatian.
Yah, selama kalian di sini, aku akan temani waktu membaca kalian dengan menceritakan kehidupanku yang ... yang sepertinya menarik.
Tentang bagaimana duniaku yang tak biasa - yang isinya beragam macam manusia dengan berbagai kelebihan tak masuk akal.
Tentang bagaimana keadaan sekolahku yang dramatis bagai dalam seri drama remaja.
Oh, jangan salah mengira, ini bukan sekedar cerita klise percintaan murid SMA!
Siapa juga yang akan menyangka kekuatan mulia milik laki-laki yang aku temui untuk kedua kalinya, yang mana ternyata orang itu merusak kesan pertamaku saat bertemu dengannya dulu, akan berujung mengancam pendidikan dan masa depanku? Lebih dari itu, mengancam nyawa!
Pokoknya, ini jauh dari yang kalian bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jvvasawa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 | SEBUAH PERAN
Harap bijaksana dalam membaca, karya ini hanya lah fiksi belaka, sebagai hiburan, dan tidak untuk ditiru. Cukup ambil pesan yang baik, lalu tinggalkan mudaratnya. Mohon maaf atas segala kekurangan, kecacatan, dan ketidaknyamanan, dan terima kasih yang sebanyak-banyaKnya atas segala dukungan; like, vote, comment, share, dan sebagainya, Jwasawa sangat menghargainya! 💛
Selamat menikmati, para jiwa!
...
Seperti hari-hari biasa dalam kehidupan sekolahku, tiap pagi lorong sekolah ini selalu ricuh, terutama kalau ketiga laki-laki itu lewat; Bian, Nero, Zofan.
Aku mendecakkan lidah dengan kepala menggeleng pelan beberapa kali. Meski sudah menyaksikan hal serupa hampir tiga tahun lamanya, tetap saja aku tak habis pikir.
Pernah tidak, kalian menonton drama, atau seri-seri remaja, berlatar tempat sekolah, dimana ada perkumpulan siswa populer yang jadi pusat perhatian dan sering memancing perbincangan antar siswi di sekolahnya? Atau, paling tidak, terkenal di satu angkatannya?
Berlebihan, bukan? Aku kira juga begitu, dan lebih mengira kalau itu hanya akan terjadi di dalam layar, di depan kamera, tapi ternyata benar-benar ada versi nyatanya. Yah, contohnya yang sedang berlangsung di lorong depan kelasku saat ini.
Oh, tapi tentu ada perbedaannya dari yang ada dalam kebanyakan cerita. Perbedaan yang paling jelas adalah, aku bukan peran utamanya.
Maksudku, tentu saja aku punya peran super penting di hidupku, tapi aku tidak terlibat dengan mereka, begitu pula sebaliknya. Walau aku belum menemukan alur ceritaku sendiri, tapi aku yakin soal itu.
Kami saling mengenal, tapi sebatas teman satu angkatan, tidak lebih dari itu. Jangan lupa digarisbawahi! Bahkan untuk mengobrol pun bisa dianggap tidak pernah. Lagipula, kami beda kelas, jadi tidak ada alasan juga untuk berinteraksi, dan aku harap aku tidak perlu berurusan dengan mereka.
Perbedaan lainnya, mereka bukan sekumpulan manusia sombong yang memamerkan harta, apalagi yang menuntut kekuasaan dan semacamnya. Mereka juga bukan tipe yang tebar pesona. Meski sekali mungkin ada, tapi, tidak senarsis itu.
Untungnya juga, mereka bukan tukang buat onar. Yah, walau bukan siswa teladan juga. Selayaknya kebanyakan murid laki-laki saat berada di lingkungan sekolah, begitu lah mereka.
Soal ketampanan? Bisa dibilang tampan, sih, tunggu - bukan hanya 'bisa dibilang', mereka jelas termasuk yang paling tampan di sekolah ini, tapi tentu tidak setara aktor pemeran dalam cerita yang kubandingkan.
Mereka tidak dikagumi hanya dari tampang, tapi juga dari kemampuan.
Ah, jika kalian belum tahu, di dunia tempatku hidup ini, setiap manusia punya kekuatannya masing-masing, dan banyak ragam macamnya. Mulai dari yang normal sampai yang unik, dari yang umum sampai yang langka.
Seperti halnya minat dan bakat, kekuatan pun berada di tingkat serupa, yang harus dikembangkan dan diasah untuk bisa dikuasai dengan mantap.
Nah, meski kemungkinan ada orang lain yang memiliki kekuatan lebih hebat dari ketiga laki-laki ini, tetap saja milik mereka pasti akan jadi yang paling mencolok.
Selain mustahil luput dari atensi, mereka juga tidak ada niat menutupinya seperti kebanyakan orang, dan lagi, kekuatan mereka cukup berguna dalam keseharian, sehingga tak ada alasan untuk mereka menyembunyikannya.
Seperti Bian yang bisa mengendalikan sejumlah air, Nero yang bisa memanipulasi sebagian elemen tumbuhan dan menyuburkan tanah, dan Zofan dengan kemampuan berbahasa asingnya secara instan.
Kemampuan mereka bertiga ini jelas menguntungkan pihak sekolah, terutama saat ada kegiatan reboisasi, pasti Bian dan Nero akan sangat sibuk menjadi panitia, atau saat pihak sekolah butuh relawan atau penerjemah untuk membantu serta mempromosikan kegiatan lainnya demi meningkatkan akreditasi sekolah, maka mereka akan membujuk Zofan.
Kadang pun, Zofan akan mengikuti lomba-lomba pidato dalam berbagai bahasa, baik yang diselenggarakan antar sekolah, maupun di luar sekolah.
Jadi, bukan kekuatan yang membahayakan, seharusnya.
Dari ketiganya, menurutku kekuatan Zofan yang paling tidak biasa. Berdasarkan pengamatan singkatku, tak banyak yang mampu mengimbangi level Zofan.
Ibarat memasak mi instan, berbahasa asing secara instan pun pasti ada instruksi yang harus diikuti, bahkan mengolah makanan dengan bumbu instan pun masih butuh media dan bahan utamanya, tidak secara ajaib langsung jadi dalam satu kedipan mata, dan ini menjadi faktor penyebab beberapa ahlinya malas mengembangkan kemampuan mereka.
Tentang bagaimana Zofan mengatasi dan menguasainya, biar dia yang tahu, membayangkannya saja aku tak mampu.
∞
Kita lanjut soal perbandingan tadi.
Jika ada perbedaan, maka ada persamaan.
Persamaannya adalah, aku salah satu dari para siswi yang tidak tertarik dengan pesona mereka.
Duduk di pinggir lorong hanya karena bosan di dalam kelas, sementara jam pelajaran belum dimulai. Atas nama apa pun, dalam hatiku sama sekali tidak ada niat ingin melihat mereka, apalagi menunggu kehadiran mereka.
Memang benar, mereka yang paling tampan di sekolah ini, tentu aku akui itu, hanya saja bukan seleraku.
Hei, jangan protes! Aku berkata jujur di sini. Bukannya aku terlalu pemilih atau apa, tapi, ini kan sudut pandangku? Sudah sepantasnya aku bebas mengungkapkan apa yang aku pikir dan rasakan. Setiap orang pasti punya tipenya masing-masing, begitu pun aku. Jadi, wajar, kan?
Tidak! Standarku tidak setinggi itu, sungguh. Aku pernah, kok, bertemu dengan seseorang yang masuk ke dalam kriteriaku, dia berhasil melengkapi beberapa poin tipeku.
Kami pertama kali bertemu di acara tahunan yang diadakan sekolah lain, sekitar setahun lalu. Sama-sama peserta kompetisi, tapi di beda bidang, dan lucunya, itu juga terakhir kalinya kami bertemu. Miris sekali, kan? Padahal sejauh ini, dia satu-satunya yang paling mendekati!
Memang bukan jodoh, mungkin.
Dia orang yang sopan dan menenangkan, dia juga menjaga tutur katanya dengan baik. Suaranya lembut dan memabukkan. Aku tahu itu saat pernah bicara dengannya, sekali.
Kesempatan emas, karena kebetulan salah satu teman kelasku menjadi peserta di bidang yang sama dengan laki-laki itu.
Lihat lah, dia bahkan bersikap ramah dan sopan pada saingannya sendiri. Sungguh mendambakan, sampai rasanya jantungku mau melompat keluar menerobos tulang rusukku.
Sebegitu menariknya lah dia, di mataku yang sudah usang menunggu dimanjakan visual menawan. Manis sekali.
Sayangnya, dia dari sekolah di luar kota, yang mana kemungkinan berpapasan di jalan tentu sangat kecil, tapi untungnya, kami sempat bertukar nama akun media sosial, jadi sekarang kami secara tidak langsung 'berteman'.
Tidak pernah interaksi lagi, sih, semenjak itu. Hanya sebatas penonton dari masing-masing postingan. Hah.
Baiklah, kembali lagi ke topik awal kita.
Mari lihat persamaan lainnya antara drama sekolah tentang ketiga siswa terkenal di sekolahku ini, dengan yang ada dalam kebanyakan cerita yang sedang kita bahas.
Persamaan lainnya yang kuketahui, siswi yang sekarang menjadi kekasih salah satu dari ketiga laki-laki itu juga pernah ditindas, dan dirundung, dulu.
Siswi itu jelas bukan aku, tapi aku mengenalnya. Bukan juga teman dekat, tapi di masa-masa ia mendapat perundungan, aku sempat menemaninya.
Tidak, aku tidak ikut ditindas, aku justru secara tidak langsung mengurangi kesempatan mereka menindas.
Wah, kalau bicara begini, aku rasanya seperti pahlawan, ya? Padahal aku tidak melakukan apa pun selain berada di sampingnya, sesekali.
Beberapa kali pasti ada kecolongan yang tidak terelakkan, jika aku sedang tidak di sisinya. Mau bagaimana lagi? Aku, kan, juga punya tanggung jawab terhadap diriku sendiri, tidak selalu menjadi figuran di cerita orang lain.
Sekarang, aku dan perempuan itu sudah tidak terlalu dekat, karena menurutku dia sudah aman.
Aku tidak ingin terlalu dekat yang ujung-ujungnya jadi saling bergantung dan terikat dengan orang lain, itu merepotkan, aku punya pengalaman kurang mengenakkan tentang itu. Pun, aku bukan tipe yang hanya dekat dengan segelintir orang.
Aku, berinteraksi dengan semua orang, tanpa memandang bulu.
Sebentar, mungkin pengecualian untuk orang-orang yang menjengkelkan, tak tahu diri, dan menyia-nyiakan waktuku.
Tapi, apa daya? Katanya, kau menarik apa yang kau hindari.
∞
Benar-benar baru setengah jam yang lalu aku membicarakan mereka di dalam kepala, sekarang mereka muncul di dalam kelasku.
Untuk menggangguku? Haha, tidak, tidak. Mereka sepertinya hanya bosan dengan jam kosong dan akhirnya berburu kelas yang kosong pula. Hal yang biasa di kalangan para siswa.
Kebetulan kelasku juga sedang tidak ada guru, jadi, di sini lah mereka sekarang, bersenda gurau dengan siswa-siswa lain di kelasku.
Sudah, sampai di situ saja, kalian jangan mengharap yang lain-lain. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyukaiku, aku berani jamin! Melirikku pun tak pernah terlintas di kepala mereka, kurasa.
Lalu, karena ini seharusnya cerita tentang aku, maka kita sudahi saja membicarakan mereka. Tak ada lagi dari mereka yang perlu kalian ketahui.
Astaga, aku sampai lupa memperkenalkan diriku! Namaku-
...
Bersambung