NovelToon NovelToon
Bukan Sekolah Biasa

Bukan Sekolah Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Misteri / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Light Novel
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Vian Nara

Sandy Sandoro, murid pindahan dari SMA Berlian, di paksa masuk ke SMA Sayap Hitam—karena kemampuan anehnya dalam melihat masa depan dan selalu akurat.

Sayap Hitam adalah sekolah buangan yang di cap terburuk dan penuh keanehan. Tapi di balik reputasinya, Sandy menemukan kenyataan yang jauh lebih absurb : murid-murid dengan bakat serta kemampuan aneh, rahasia yang tak bisa dijelaskan, dan suasana yang perlahan mengubah hidupnya.

Ditengah tawa, konflik, dan kehangatan persahabatan yang tak biasa, Sandy terseret dalam misteri yang menyelimuti sekolah ini—misteri yang bisa mengubah masa lalu dan masa depan.

SMA Sayap Hitam bukan tempat biasa. Dan Sandy bukan sekedar murid biasa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vian Nara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1 : Sekolah Baru

Pernahkah kamu berpikir bahwa mempunyai kemampuan hebat itu menyenangkan Apalagi jika kekuatan tersebut adalah melihat masa depan, tertarikah kamu? Bisa melihat apa yang akan terjadi sebelum itu terjadi, lalu mengambil tindakan pencegahan jika yang datang adalah hal buruk, menarik bukan?

Jika jawabanmu iya, maka aku tidak. Kenapa? Karena melihat apa yang seharusnya belum terjadi dan melihat rekaman apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan begitu saja—ditambah apalagi kalo hal tersebut sangat mengerikan, pikiran pasti akan terus terganggu dan lebih buruk lagi.

Hal tersebut akan terus menghantui kita.

Sejak usiaku lima tahun—Entah kenapa kemampuan melihat masa depan bisa ada padaku. Semua berawal sejak Papah, Mamah, dulu mengajakku pergi bertamasya. Di saat kami hendak pergi—beberapa saat sebelumnya, aku menatap mata kedua orang tuaku, kami saling bertatapan dan saat itulah pertama kali aku menunjukkan kemampuanku.

“Jangan pergi, Mah, Pah—nanti di sana akan turun hujan besar.” Aku menarik pelan baju Papah dan Mamah. Umurku memang lima tahun, tapi aku sudah lancar berbicara.

Anak kecil tetaplah anak kecil, orang dewasa mana yang mudah sekali percaya dengan anak usia lima tahun yang masih polos dan tak berdaya? Mamah dan Papah hanya tersenyum serta tertawa mendengar penjelasan dariku—ditambah wajahku yang masih terlihat gemas, sekali lagi siapa yang akan percaya?

“Tidak mungkin sayang. Berita tadi di TV sudah menjelaskan, kalo nanti—hari ini tidak akan turun hujan.” Mamah berjongkok lalu mengelus kepalaku perlahan sembari menatapku dengan senyuman.

Apa yang aku lihat benar terjadi Sesampai di sana—saat kami menggelar tikar, awan mendung telah mengepung dari segala arah, kemudian hujan pun turun dengan derasnya di sertai petir. Aku beserta Mamah dan Papah cepat-cepat kembali ke dalam mobil untuk berteduh.

“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Hujan deras? Sungguh di luar dugaan. Berita salah memprediksi cuaca sepertinya.” Papah mendengus kesal.

“Seharusnya kita dengarkan anak kita untuk tidak berangkat hari ini.” Papah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Mamah mencoba menenangkan papah yang kesal. Aku hanya menatap bingung kedua orang tuaku dengan tatapan polos.

Kejadian ini terus berlanjut—dari yang awalnya seru—berubah tiga ratus enam puluh derajat menjadi mengerikan. Semakin aku tumbuh besar, semakin banyak keputusan dan risiko yang menghantuiku karena kemampuanku sendiri. Bahkan lingkunganku pun mulai menjauhiku saat menginjak remaja.

Aku menjadi dikucilkan oleh teman-temanku—baik di sekolah ataupun di lingkungan rumah—hanya ada satu alasannya—karena kemampuanku yang mengerikan.

“Semua ini tidak akan terjadi, jika kamu tidak ada!”

“Monster! Pergi sana!”

“Jika saja kamu tidak memenangkan kompetisi ini, kita tidak akan bernasib sial. Dasar Manusia terkutuk!” Begitulah kira-kira yang aku dengar hampir tiap hari dari setiap orang.

Cara kerja kekuatanku sangat mudah. Ketika mataku dan mata orang lain saling bertatapan selama tiga detik, maka kemampuanku tersebut akan aktif. Mataku akan menangkap gambar orang tersebut lalu di simpan dalam pikiranku.

Kemudian otakku akan mulai bekerja seperti rekaman foto yang menjelaskan tentang apa yang akan terjadi pada orang tersebut dalam bentuk potongan acak dan terus-menerus hingga menyusunnya menjadi sebuah rekaman video utuh.

Namaku Sandy—Aku salah satu manusia dengan kemampuan istimewa, dimana aku bisa melihat masa depan hanya dengan kontak mata dalam dua puluh detik.

***

Hujan mengguyur jalanan kota pagi ini. Rincikan air hujan bagai melodi yang indah bagi seorang monster yang dijauhi sepertku. Buku catatan baru, seragam baru, dan mungkin aku yang baru. Inilah awal segalanya—tempat aku bisa menulis ulang ceritaku yang lebih baik. Apakah itu mungkin?

Maksudku, lihatlah bangunan sekolahku yang baru ini. Hujan yang mengguyurnya terlihat tampak seram—lantai bertingkat lima, warna cat bagunan yang pudar, dan lapangan sekolah beserta tumbuh-tumbuhannya yang tak terurus. Aku bahkan sampai mengira sekolah ini seperti latar dalam film zombie—penuh sekali kekacauan.

Aku melangkah masuk melewati gerbang yang tak jauh dari situ ada pos satpam. Jas hujan biru yang kugunakan menarik perhatian Pak Satpam di dekat pos.

“Kamu anak pindahan ya?” Pak satpam tersenyum ramah padaku.

“I-iya pak” Aku ragu-ragu menjawabnya. Pandanganku langsung kualihkan kembali guna mencegah kemampuanku aktif.

“Segera kau masuk ke sekolah. Hujan ini bisa membuatmu sakit meskipun kau memakai jas hujan.” Pak Satpam menyuruhku agar cepat-cepat masuk ke bangunan sekolah.

Aku mengangguk membalas dengan

senyuman ramah, kakiku berjalan dengan cepat meninggalkan gerbang berserta pos satpam tersebut. Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang kulihat ketika memasuki lobby sekolah.

‘SMA SAYAP HITAM’ Tulisan nama sekolah terukir indah di dinding lobby dengan ukuran besar. Selain itu, ternyata aku keliru dengan sekolah baruku ini.

Apanya yang buruk? Sekolah ini justru bersih sekali—kecoak pun tidak akan mungkin menginjakkan kakinya disini. Jangankan kecoak—debu saja tidak mau hinggap di setiap sudut tembok dan lantai.

“Kamu pasti anak pindahan yang baru, benar kan?” Suara wanita memecah kekagumanku seketika.

Aku berbalik badan, seorang guru wanita berdiri di belakangku dengan mengenakan kacamata dan rambut panjangnya sedikit berantakan.

“Anak baru, saya bertanya padamu. Apa benar kau anak pindahan bernama Sandy Sandoro itu?” Guru itu bertanya kembali.

“I-iya bu.....saya Sandy Sandoro.” Aku mengangguk pelan. Sama seperti sebelumnya, pandanganku langsung kualihkan tanpa menyinggung perasaan orang lain.

“Perkenalkan, saya Ibu Mariska—wali kelas kamu. Kamu masuk kelas sebelas MIPA 2. Mari, Ikuti saya.” Bu Mariska menuntun jalan di depanku.

Mataku kembali melihat sekeliling—lorong kelas yang panjang luas serta bersih, membuatku nyaman untuk saat ini. Aku gugup sekali, tak pernah berhenti berpikir seklipun tentang teman-teman seperti apa nanti yang akan aku temui nanti.

Tak terasa aku berjalan begitu jauh. Kelasku ternyata berada di lantai tiga, aku menatap tanda kelas yang tergantung di dekat pintu ‘XI MIPA 2’ belum sempat menarik napas lega—mataku menemukan tulisan aneh di jendela ‘Rajanya Absurd dan Keributan (Kandang Anomali)‘ begitulah yang terlihat.

Aku menelan ludah, Bu Mariska membuka pintu kelas—masuk terlebih dahulu ke dalam kelas. Suara nyaring bagaikan satwa liar terdengar saat pintu di buka.

“Woi, Bu Mariska datang! Yang punya drone bisa beresin alat bekas perbaikannya gak sih?!”

“Meja yang ditumpuk cepat di beresin, woi!”

“Tali rapia buat jemur-jemurannya di lepasin juga!”

“Jangan lanjutin eksperimen kimianya oi! Bu Mariska datang tar meledak, kelas kacau, kita mati kena amuk!”

Suara gaduh itu terus terdengar. Sekejap ketika Bu Mariska berdiri sempurna di depan tengah kelas, semuanya jadi hening.

“Beruntung sekali kalian hari ini. Kali ini ibu gak akan ngasih kalian semua hukuman. Seharusnya kekacauan yang telah kalian perbuat tadi patut di beri hukuman, tapi karena ada murid baru yang akan bergabung ke kelas ini, jadinya tidak jadi.” Kelas masih hening—hanya suara Bu Mariska yang terdengar.

“Murid baru! Silakan masuk!” Bu Mariska berseru memanggilku.

Aku menghela napas panjang—menenangkan diriku. Aku masih memakai seragam SMA asalku, SMA Berlian.

Sebisa mungkin aku bersikap normal saat memperkenalkan diri. “Nama saya Sandy Sandoro, mohon bantuannya.”

Aku menatap seisi kelas, kabel-kabel menggantung di langit-langir kelas, rak-rak dipenuhi barang-barang aneh bahkan muridnya pun aneh. Ada cowok ketutupan tudung hoodienya lagi tidur, Cewek lagi melukis dengan atmosfer seniman asli—bahkan sampai eksperimen kimia dan masak mie di kelas pakai kompor portable? Sungguh? Ini sekolah atau tempat nongkrong?

“Sandy, silakan duduk di samping Bora.” Ibu Mariska menunjukkan tempat untuk aku duduk.

“Baik, Ibu.” Aku menangguk pelan, kemudian perlahan melangkah menuju mejaku yang baru.

“Sebentar lagi, guru sejarah akan datang. Jadi, ibu mohon....JANGAN SAMPAI ADA KELUHAN DARI GURU LAIN LAGI......KALO TIDAK—.” Ibu Mariska tidak menyelesaikan ucapannya, tapi ia menatap dengan wajah seram kepada seisi kelas. Dia pergi begitu saja dengan potongan kata tersebut, tapi sepertinya itu memberi efek cukup serius pada kelas.

Di saat Ibu Mariska benar-benar sudah pergi, semua murid menatap ke arahku—seperti melihat makhluk asing yang datang.

“Pindahan dari mana bro?"

“Aku bisa nulis tentang kamu gak? Semua hal?”

“Lu malah kayak stalker kocak.”

“Apa indomie favoritmu, wahai kisanak?”

“Mau jadi kelinci percobaan penemuanku tidak?”

Aku terkejut. Plot twist sekali. Biasanya jika dalam novel atau film-film yang aku lihat—Murid pindahan selalu menjadi bahan celaan di hari pertamanya.

Tiba-tiba teman satu bangkuku berdiri, “Hentikan semua!” Suaranya kencang hingga bergema dalam kelas.

“Biarkan saya yang menjadi juru penghubung antara anak baru ini dengan kalian, penghuni asli kelas,’ ujarnya seperti pemburu setan.

“Namaku, Bora. Aku seorang atlet bela diri terbaik. Entah itu dengan pedangku, tongkat ataupun tangan kosong.” Bora mengulurkan tangannya.

Aku ragu-ragu menyambut jabat tangannya. "Aku, Sandy Sandoro."

"Yeah, kamu sudah bilang tadi."

“Kalo kamu yang jadi juru penghubungnya nanti akan seperti tahun lalu. Muridnya salah paham sampai pindah sekolah lagi.” Salah satu murid menyangkal.

“Bukan salahku, tapi salahkan lah Rio dan dronenya.”

"Lah, kok nyalahin gua?" Orang yang dibicarakan langsung mendengarnya.

"Waktu itu, droneku cuman lagi penyesuaian nada bicara cerdas." Rio mendengus kesal.

"Lihat, nih! Droneku sudah sangat bagus, kini alat ini siap beraksi."

Drone mendesing terbang ZINGG! Bentuknya menurutku sangat aneh. Bentuk drone seperti botol dengan sayapnya dari sendok?

ZINGG! BOOM! tanpa aba-aba drone itu meledak sendirinya. Rio terdiam, kemudian remaja lelaki tersebut tertunduk dramatis.

"Kita sudah melalui banyak hal, wahai sahabatku." Rio memegangi pesawat tanpa awak ciptaannya tersebut.

"Lebay, ciptaaan lu biasanya emang aneh sama gampang rusak semua," Salah satu murid berkomentar.

Aku mulai sedikit risih. Sejatinya, sekolahku yang sebelumnya tidak ada perlakuan seperti ini. Mungkin mereka belum tahu tentang kemampuanku. Pada akhirnya pasti mereka semua akan menjauhi. Tapi, aku keliru. Semua ini adalah awal dimana kegilaan dan keabsuran dimulai.

“Anak baru pasti kau senang olahraga. Tanpa basa-basi, ayo kita melakukan push up dengan beban.”

"Kamu beneran kuat?" Aku menatap ngeri murid atletis di kelasku. Bagaimana mungkin dia bisa mengangkat tubuhnya saat push up jika ada meja yang menambah bebannya?

"Tenang saja Sandy. Ini pasti pertama kali dalam hidupmu melihat anak-anak dengan tingkah paling absurd di dunia ini." Bora menepuk pundakku "Omong-omong nama dia, Fahri—Si atlet atletik yang ga pernah juara."

"Enak banget, tuh mulut bicara. Aku ini sudah menjadi juara sejati," ujar Fahri bangga. Dia masih melakukan push up yang bisa aku bilang masuk kategori latihan berat.

"Dalam mimpimu." Bora nyengir mengejek.

Fahri hanya mendengus kesal. Dia menjadi tidak mood untuk mengobrol dan melanjutkan apa yang sedang dikerjakannya.

"Nah, semuanya! Aku harap kalian mengantri satu per satu untuk bertanya tentang anak baru ini, yaitu : Sandy." Bora menunjuk ke arahku.

Perasaanku mulai tidak enak. Orang yang susah sekali berbaur dengan orang lain sepertiku ini, akan sangat terkuras energinya.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah murid lain. Salah satunya adalah perempuan berambut pendek.

Mata kami saling memandangi satu sama lain. Dia seperti familiar bagiku, tapi saat aku berpikir keras—murid lelaki di sampingnya menatapku dengan tatapan sadis Tatapannya membuatku tidak nyaman—Aku pun jadi kembali fokus kepada gerombolan anak kelas yang sedang heboh bertanya tentangku.

Tapi, sekilas saat aku dan perempuan itu saling bertatapan. Aku sedikit melihat masa depannya. Itu tidak aku sengaja. Kesakitan, Hancurnya impian dan tidak ada semangat hidup.

Dalam kehancuran itu, dia menangis. "Se-seorang, siapa saja, aku tidak ingin sendiri. Aku hanya ingin mencari potongan yang hilang."

Aku langsung menyadarkan kepalaku dan mencoba melupakannya. Apa itu?

***

Waktu berlalu lebih cepat dari yang kuduga. Kelas baruku mendapat jam kosong lama. Guru sejarahnya tidak bisa hadir. Alasannya aneh sekali. Kata ketua kelasku yang bernama Alex, gurunya tidak bisa hadir karena ayamnya tersangkut di belakang lemari. Sangat di luar prediksi—bahkan BMKG belum tentu bisa memperkirakan kejadian tersebut.

Jam kosong tersebut aku pakai untuk keliling sekolah. Bukan ideku, tapi teman satu bangkuku, Bora. Dia sangat gigih membujukku. Padahal energiku baru saja habis menghadapi banyak pertanyaan dari satu kelas.

“Banyak sekali pertanyaan. Aku harus pulang." Aku menyerah.

"Kesenangan baru dimulai, kau harus lebih semangat, Sandy." Bora mencoba memotivasiku. Beberapa waktu yang singkat, tapi kami berdua berhasil akrab.

"Kebetulan yang sangat epik, guru sejarah tidak bisa hadir. Jadi aku bisa leluasa memberimu tur sekolah ini. Kita akan segera sampai pada tujuan akhir. Atap sekolah."

"Memangnya perlu?" Tanyaku.

"Tentu saja. Kau harus mengenal sekolah ini lebih baik sebelum kau mati. Ini sekali seumur hidup. Kapan lagi, kau bisa mengenal sekolah paling aneh dan buruk reputasinya?"

"M-Mati?" Aku susah payah menelan ludah. Perasaanku berkata 'sudah waktunya'

"Mati dalam artian kewarasanmu." Bora memberitahu makna sebenarnya. Aku pun bernafas lega.

Kami akhirnya sampai di atap sekolah. Sekolah baruku ini lumayan bagus dibanding sekolahku yang sebelumnya. SMA BERLIAN.

Pot-pot tanaman berjajar rapi menghiasi atap gedung. Berbagai jenis tumbuhan—tumbuh dengan baik dan indah. Ada bunga anggrek, pohon tomat, bayam dan masih banyak lagi. Tidak hanya itu, atap sekolahku yang baru ini lebih luas. Ada tempat berteduh untuk orang-orang duduk. Pokonya, menurutku ini tempat bagus. Belum puas aku menatap sekitar, seseorang membuyarkan kesenanganku.

"Kenapa kalian kesini, hah?!" Suara lelaki. Dia tinggi, rambutnya jatuh (kalo di tiup angin kayak MC di film-film romance) wajahnya tampan, tapi sifatnya tak ramah.

"Oh, Raga. Kami hanya sedang melihat—"

"Pergi! Kau tidak lihat kami sedang apa, hah?!" Wajah Raga merah padam. Dia menunjuk seseorang sambil marah-marah.

Aku menatap ke arah sosok yang di tunjuk oleh Raga, dia gadis yang aku lihat di kelas tadi. Gadis itu berambut pendek, wajahnya cantik sekali—auranya seperti putri-putri di negeri dongeng.

"Aku tahu. Kau sedang makan siang dengan Nayyara, bukan? Makan siang bersama, ini itu layaknya orang pacaran padahal ada hal lain yang sebenarnya." Bora menjawab santai dengan wajah riang.

Raga mencengkram kerah baju seragam sekolah Bora dengan kuat dan penuh emosi, matanya hingga melotot sadis—sedangkan orang yang terancam malah santai sekali seakan itu bukan ancaman.

"Baiklah, sepertinya kamu tidak ingin di ganggu. Lagipula......aku sedang mengajak anak baru ini yang sekarang sudah resmi menjadi keluarga XI MIPA 2." Bora melepas cengkraman kuat Raga dengan teknik yang tidak pernah aku lihat.

"Ayo, Sandy. Kita harus mengakhiri tur sekarang. Orang ini akan sangat merepotkan, jika kita membuatnya semakin marah." Bora melangkah pergi duluan. Tak lama aku menyusulnya.

Sebelum menutup pintu atap, aku dan gadis berambut pendek bernama Nayyara tersebut—saling menatap satu sama lain. Sadar akan hal tersebut, aku langsung memalingkan wajahku dengan cepat. Sekilas aku melihatnya tersenyum lembut dan ramah kepadaku. Entah tidak sadar, aku baru tahu kedua tangan Nayyara memakai sarung tangan berwarna putih.

Aku dan Bora berjalan kembali ke kelas kami berada. Aku masih. Bertanya-tanya tentang masa depan yang aku lihat dari mata Nayyara. Hanya aku saja yang mengetahuinya. Ini sangat mengerikan bagiku. Lenggang.

"Bor, apa maksudmu tadi 'hal lain yang sebenarnya' aat kau berbicara dengan Raga?" Aku membuka obrolan yang lenggang sangat lama.

"Aku, tidak bisa menjelaskan detailnya. Terlalu rumit."

"Namun, garis besarnya adalah masalah.....politik.....Ayah Raga adalah seorang pengusaha besar sekaligus aktif dalam dunia politik."

"Oh, iya..........Sandy.......ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Kau telah melihatnya, kan? Kau menggunakan anugrah yang ada padamu, bukan? Masa depan Nayyara, kau telah melihatnya, kan? Terutama di kelas tadi?" Bora menatapku masih dengan wajah riang, namun sangat mengerikan.

Badanku terhenti mendadak. Seketika keringat mengucur deras dari tubuhku. Aku sangat gugup. Aku menjawab dengan nada gelagapan.

"A-Apa yang kau bicarakan, Bora?" Aku bertanya.

"Sudah kuduga. Seharusnya ini diungkap perlahan seiring berjalan waktu, tapi berhubung kau—" Bora menjeda ucapannya.

"Kau?" Desakku agar Bora meneruskan ucapannya.

"Tidak......bukan apa-apa." Bora menghembuskan nafas panjang

"Biarkan nanti dia saja yang menjelaskannya. Sekarang kita kembali ke kelas. Aku akan tunjukkan aktivitas absurd dari anak-anak yang lain."

Kami kembali berjalan. Aku menatap heran Bora dari arah belakang. Sangat tidak terduga. Siapa yang di maksud dia oleh Bora? Kenapa dia bisa tahu kemampuanku? Sekolah yang memiliki reputasi buruk, SMA SAYAP HITAM, nampaknya masih menyimpan banyak pertanyaan dan misteri yang belum aku ketahui. Dan masalah sulit yang tak lama akan datang menghampiriku.

1
Vian Nara
menarik
sang kekacauan
lanjut
sang kekacauan
kalau 80 berapa ro aku mulai aktif membaca kembali
sang kekacauan
nggak konsisten
Vian Nara: Maaf ya, karena sulit untuk konsisten bagi saya karena saya mengidap penyakit mental yang di mana lamuna sedikit saja sudah membuat cerita yang baru serta kompleks jadinya sulit /Frown/
sekali lagi mohon maaf
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!