NovelToon NovelToon
Tua Dalam Luka

Tua Dalam Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Beda Usia / Pelakor / Suami Tak Berguna
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab

Aku sedang berdiri di dapur, mengaduk sayur lodeh yang kumasak dan lauk ikan segar kesukaanku. Tiba-tiba suara pintu depan terbuka. Suamiku datang.

Ia menatapku dengan wajah lelahnya. Mata yang sedikit sembab, kemeja yang kusut, dan keringat yang masih menempel di pelipisnya. Biasanya, aku akan buru-buru mengambil handuk kecil dan menyodorkannya. Tapi tidak hari ini. Tidak setelah semua yang ia lakukan.

Aku langsung membuang wajahku ke arah lain.

Aku tak sudi melihat wajah lelahnya saat ini.

"Bu, kamu masak apa?" tanyanya, tapi aku masih diam dan fokus mengaduk sayur kesukaanku. "Bu? Bapak lapar." keluhnya, sayangnya aku tidak peduli. Dulu, ucapan seperti itu akan membuatku panik—bergegas ke dapur, memanaskan lauk, menyeduhkan teh, bahkan mencarikan baju gantinya. Tapi sekarang, aku hanya diam.

Tanganku masih menggenggam sendok sayur, tapi tubuhku seperti membatu. Aku dengar jelas keluhannya, tapi aku tak peduli.

Kenapa aku harus peduli?

Setelah semua luka yang ia torehkan, setelah dengan entengnya ia membagi cintanya ke perempuan lain, kenapa aku harus terus menjadi pelayan yang setia?

Dia hanya berdiri di sana, diam, sambil menatap makanan yang aku buat, alu dengan suara pelan dan ragu ia berkata,

“Boleh aku makan?”

Nada suaranya seperti orang asing. Seperti seseorang yang tahu bahwa kehadirannya sudah tak diinginkan, tapi tetap mencoba mengetuk pintu yang sama.

Aku tak langsung menjawab. Hanya menatap panci yang masih hangat, lalu kembali menunduk. Hatiku penuh sesak, tapi wajahku tetap datar.

"Bu, aku--"

Tanpa mendekat, aku menjawab dengan suara pelan namun tajam,

“Bukankah kamu nggak suka sayur lodeh buatan aku?”

Ia diam. Seketika wajahnya menegang. Aku menahan senyum getir.

Lucu saja, dulu ia pernah bilang, "Sayur lodeh buatanmu itu hambar, beda sama yang itu."

"Itu." Perempuan yang ia sembunyikan di balik segala dalih kesibukan.

Sekarang dia datang ke rumah ini dengan perut lapar dan hati kosong, berharap aku menyuapi kembali sesuatu yang dulu ia anggap tak layak.

“Kalau nggak suka, nggak usah dimakan. Mungkin di sana, masakannya lebih enak,” kataku pelan, lalu berjalan pergi sebelum air mataku tumpah.

Kali ini aku tak bisa menahan lagi. Suara dari dalam dadaku akhirnya keluar juga, datar tapi menghujam.

“Kenapa nggak suruh istri mudamu saja yang masak aja?”

Aku menatapnya tajam. “Sudah nikah lagi, tapi masih aja pulang-pulang ke sini minta makan. Dibiarkan kelaparan begitu sama istri mudamu?”

Ia diam.

Sejenak ruangan ini hening. Ia membeku, dan aku bisa lihat matanya menghindari tatapanku.

“Harusnya kamu nggak usah capek-capek ke sini cuma buat nyari nasi. Aku ini istri tua, bukan warung cadangan waktu dia lagi nggak sempat masak.”

Tanganku gemetar, tapi suaraku tetap stabil.

Aku sudah terlalu sering menyimpan amarah dalam diam. Sudah terlalu sering jadi tempat pelarian, sementara kebahagiaannya ia nikmati di tempat lain.

“Kalau dia bisa kamu nikahi, harusnya dia juga bisa ngurus kamu. Jangan cuma pintar merebut, tapi nggak bisa ngasih makan.”

“Dia udah berbulan-bulan nggak mau masak…”

Suaranya pelan, seperti pengakuan. “Katanya… uang yang aku kasih nggak cukup buat belanja.”

Padahal aku tahu, suamiku bukan kekurangan uang. Bukan juga sedang bangkrut.

Dia hanya… sedang dibodohi oleh cinta buta. Karena uang yang ia hasilkan dari kerja kerasnya ada padaku.

“Itu sudah resiko, mau cukup atau tidak itu urusan kamu."

Aku menggeleng pelan.

“Kamu nggak sedang lapar, Pak. Kamu sedang dipermalukan… oleh pilihanmu sendiri.”

Dia menunduk. Mungkin malu, mungkin marah. Tapi aku tak peduli.

Aku berjalan ke arah meja, mengambil mangkuk berisi sayur lodeh yang tadi kubuat. Uapnya sudah tak hangat lagi. Seperti hatiku. Sudah terlalu lama didinginkan oleh pengkhianatan.

Sebelum aku melangkah ke kamar, aku berhenti di ambang pintu dan menatapnya sekali lagi.

“Kamu bilang dia nggak mau masak karena uang belanja kurang?”

Aku menghela napas pendek, lalu berkata dengan suara pelan tapi tajam,

“Kalau pulang nanti… tolong bilang sama dia.”

Ia mendongak, menatapku. Aku melanjutkan tanpa berkedip.

“Ingatkan istrimu itu… suamimu bukan cuma untuk digandeng waktu senang, dipamerin waktu punya uang. Tapi diterima juga waktu susah, waktu capek, waktu pulang tanpa sepeser pun di dompet.”

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menahan air mataku sendiri.

“Aku pernah nerima kamu di masa paling sulit. Tanpa emas, tanpa rumah, tanpa tanah. Aku yang masak pakai kayu bakar, aku yang numpang hidup di rumah orang tuaku demi kamu. Tapi aku nggak pernah sekali pun bilang lapar.”

Dia terdiam. Muka lelaki itu menegang. Tak ada jawaban.

Aku angkat mangkukku, lalu berkata pelan,

“Bilang sama dia… jangan cuma minta gelar istri. Tapi belajarlah jadi istri. Seperti aku dulu.”

Dan tanpa menunggu respon darinya, aku masuk ke kamar. Menutup pintu.

Bersama luka yang masih belum sembuh, tapi kini tak lagi ingin kupendam diam-diam.

Kubiarkan dia sendirian di ruang makan.

Dengan piring yang tak lagi mengepul, dan rumah yang tak lagi hangat seperti dulu.

Aku tak peduli. Biarlah dia seperti itu. Duduk diam, mengunyah perlahan, menelan rasa pahit yang dia tanam sendiri.

Karena semua ini… bukan salahku.

Semua ini adalah ulahnya—yang dulu memilih bermain api di belakangku, saat aku sibuk menjaga rumah dan marwahnya sebagai suami. Saat aku tak pernah menuntut lebih, tapi dia justru memberi yang tak pernah kuminta: pengkhianatan.

Biarkan dia di luar sana.

Biarkan dia belajar…

Bahwa tak semua istri akan terus menunggu. Tak semua luka bisa ditambal dengan pulang dan keluhan lapar.

Aku masih ingat.

Siang itu aku menyusulnya karena ada warga bilang dia sering terlihat masuk ke sebuah gang sempit dekat pasar, masuk ke kontrakan kecil.

Dan entah apa yang mendorongku hari itu. Mungkin firasat, mungkin luka yang belum sempat terbuka.

Langkahku gemetar waktu itu. Tapi aku teruskan.

Dan saat kusibakkan tirai kusam di pintu kontrakan itu—aku melihatnya.

Dia.

Lelaki yang bersumpah setia di hadapanku puluhan tahun lalu.

Duduk bersisian dengan seorang perempuan.

Janda beranak dua.

Perempuan yang bahkan menatapku dengan pandangan tak tahu malu, seakan-akan akulah yang tak tahu tempat.

Aku membeku.

Sementara dia—lelaki yang dulu menggenggam tanganku setiap malam—hanya berdiri di sana dengan wajah panik, tak bisa menjelaskan apa pun.

“Rukayah, ini… bukan kayak yang kamu kira,” katanya waktu itu.

Kalimat klasik. Murahan.

Yang lebih menyakitkan dari pengkhianatan itu sendiri.

Perempuan janda itu, dengan pakaian yang sudah terbuka sebagian, tanpa rasa malu sedikit pun.

Dia tersenyum sinis, seolah dunia ini miliknya.

Aku terdiam. Napasku tertahan.

Tubuhku gemetar bukan karena dingin, tapi karena rasa sakit yang menusuk lebih dalam dari yang pernah kubayangkan.

Suamiku mencoba berkata sesuatu, tapi kata-katanya tercekat.

Aku hanya bisa memandang mereka berdua, seolah seluruh duniamu runtuh dalam sekejap.

1
kalea rizuky
lanjut donk
kalea rizuky
laki tua g tau diri
kalea rizuky
kapok
kalea rizuky
laki dajjal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!