Dimana masih ada konsep pemenang, maka orang yang dikalahkan tetap ada.
SAKA AKSARA -- dalam mengemban 'Jurus-Jurus Terlarang', penumpas bathil dan kesombongan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AKSARA 32
"Berani kalian ganggu Ibrahim atau warga di sini lagi, saya gak keberatan balik lagi ke sini cuma buat bikin bengkok tulang kalian!"
"Sialan!" Satu orang menggeram di posisi yang sama sekali tidak bagus. Tersungkur di tanah sembari memegangi wajah yang baru saja mendapat hadiah bogeman Saka. "Ayo cabut!" dia mengajak dua temannya yang juga dalam keadaan nahas.
Selain wajah yang bonyok, perut yang kebas, satu orang di antaranya berdiri susah payah lalu berjalan dengan kaki pincang.
Ketiganya melarikan diri setelah sesaat menatap Saka dengan sorot mata yang bermakna 'awas lu ya, Bocah! Lain kali gua bales kelakuan lu!'.
"Anjeeerrr vibes lu udah kek ketua gangster, Sak!" Jono merangkulkan lengan di pundak Saka sembari menatap punggung tiga orang preman itu menjauh.
Ibrahim ikut mendekat. "Lu keren banget, Sak. Ampe bedebar dada gua, serius."
"Kenapa lu? Jatuh cinta sama gua?" canda Saka sembari mengusap bagian lengannya yang kotor penuh debu.
"Kalo jadi cewek, gua gak akan ngelak. Ke bulan juga lu pasti gua kejar."
"Pret!" cibir Saka. "Dah lah, balik yok."
Keduanya temannya mengangguk. Gerobak pikul kembali ke pundak Ibrahim.
Sepanjang jalan menuju tempat bos Ibrahim, ketiganya tak henti membicarakan kejadian barusan tentang para preman sialan. Cerita Ibrahim, tiga orang itu memang acapkali meresahkan masyarakat. Saat ada yang melapor, sebelum polisi datang, yang melapor sudah membatalkan tuntutan lebih dulu karena ancaman balik yang tak main-main dari para preman.
Karena itu saat melihat mereka, Ibrahim sudah ketar-ketir duluan.
Untungnya seperti yang dikatakan Jono, 'kan ada Saka'.
Ya, kalimat itu bukan hanya ajian, Saka bukan judul sebuah mantra, tapi sosoknya memang sangat bisa diandalkan dalam banyak hal.
Selang beberapa saat setelah Ibrahim mendapat bonus dari bosnya karena melariskan dagangan lebih cepat, dia dan kedua temannya menuju pulang ke kediaman.
Sempat Ibrahim tak setuju karena cemas Saka dan Jono akan kena damprat ayahnya lagi, tapi Saka memaksa karena mengatakan ada hal penting yang ingin dia bicarakan, tidak hanya dengan Ibrahim, tapi juga dengan bapaknya yang ternyata memiliki nama: Amsar Supardi.
Sampai di rumah.
Benar, sambutan yang ada dalam bayangan Ibrahim benar-benar terjadi.
"Kenapa sudah pulang jam segini? Kamu gak jualan gara-gara maen sama mereka?!"
Wajah garang Amsar Supardi sudah menguasai seluruh pandangan.
"Baim jualan kok, Pak," jawab Ibrahim.
"Terus kenapa sudah pulangー"
"Udah abis, Pak!" Ibrahim memungkas cepat. "Karena Saka sama Jono bantuin Baim jualan. Bapak juga gak perlu marah karena mereka gak minta upah sama sekali. Baim kasih juga mereka nolak. Jadi uang buat bayarin utangnya Bapak masih utuh nggak kecubit buat apa pun di tangan Baim." Dia merogohkan tangan ke dalam tas kecilnya, lalu .... "Nih!" Upah dagangnya dia letakkan di tangan sang bapak yang nampaknya cukup terkejut.
Ibrahim sangat malu pada Saka dan Jono, tapi apa mau dikata, mereka juga sudah terlanjur tahu.
Sebentar Amsar Supardi menatap uang di telapak, lalu menatap Ibrahim juga kedua temannya dengan sorot tetap saja tak bersahabat meski Ibrahim menjelaskan peran hebat dua temannya. Tidak ada makna atau sekedar ucapan terima kasih yang dangkal.
Sekarang sosok itu malah berbalik badan lalu berjalan ke pintu untuk menyusupkan diri di dalam kamar yang membuatnya nyaman untuk menganggur sementara waktu.
Namun Saka mencegah dengan, "Sebentar, Pak! Saya mau bicara sama Bapak!"
Ibrahim dan Jono sontak menoleh anak itu bersamaan dari kiri dan kanan, sementara Amsar Supardi berbalik kembali lalu menatap Saka.
"Mau bicara apa kamu sama saya?"
Bukan hanya bapaknya, Ibrahim dan Jono yang juga tak tahu apa pun sama-sama penasaran apa yang akan dibicarakan Saka.
"Bisa kita ngomong sambil duduk, Pak?"
Kembali semua tatapan menusuk Saka.
Dan Ibrahim yang tanggap cepat, "Masuk, Sak." Anak secerdas dirinya jelas paham, jika sudah menyangkut duduk, maka apa yang akan dibicarakan Saka pasti sangat serius dan membutuhkan waktu, tidak nyaman saat dibawa sambil berdiri.
Dengan mau tidak mau, Amsar Supardi duduk sejajar anak-anak itu di permadani jadul ruang tamu rumahnya.
"Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Amsar tak sabar.
"Begini, Pak ...." Saat Saka akan memulai kata, sosok Naimah, ibunya Baim muncul dari arah luar dengan sebuah box yang berisi sisa dagangannya, pecel kuah dan goreng-gorengan.
"Ada tamu," katanya dengan senyuman teduh.
"Bu."
Buru-buru Saka dan Jono juga Ibrahim menyalami wanita paruh baya itu.
"Bisa cepat jelaskan apa yang mau kamu bicarakan? Sekiranya tidak penting mending tidak usah."
Ibunya Ibrahim menatap lekat suaminya penuh tanya, lalu pada anaknya dan dua teman yang nampak semakin tak nyaman dengan sikap Amsar Supardi. "Ini ada apa, ya?"
Saka tersenyum. "Ibu juga boleh duduk. Saya mau ngomong penting," katanya.
Naimah kemudian menurunkan tubuh, duduk di samping suaminya yang tidak bagus rupa itu.
Saka memulai lagi, "Jadi begini, Pak, Bu ... Tentang sekolahnya Ibrahim ...."
Akan ada beasiswa yang menyokong hingga Baim lulus, begitu kesimpulan yang dijelaskan Saka dengan kalimat panjang lebar yang cukup berbobot.
Yang paling terkejut tentu saja Ibrahim. "Sak!"
Saka tersenyum saja dulu menyikapi wajah Ibrahim yang kompleks ekspresi.
"Jadi Ibrahim bisa jualan Sabtu dan Minggu saja untuk bekal ongkos dia sekolah tanpa memberatkan. Sementara Bapak bisa fokus bekerja dan melunasi utang piutang tanpa perlu memikirkan tambahan biaya, uang jajan dan ongkos sekolah Baim."
Tatapan mata Amsar tajam menatap Saka lalu pada putranya. "Kamu cerita-cerita sama orang lain soal utang-utang bapakmu?"
Ibrahim tergagap. "I-ituー"
"Benar, Pak. Ibrahim memang cerita sama kami, karena kami bertanya dan butuh alasan jelas kenapa sampai harus dia berhenti sekolah." Saka kembali mengambil peran. "Dengan demikian kami teman-temannya bisa upayakan apa pun, dan beasiswa ini solusinya."
Jono melengak pada pada Saka, padahal dia tidak tahu apa pun soal beasiswa itu, tapi Saka menyebutnya dengan 'kami teman-temannya', itu sungguh membuat haru.
Tidak melembut tatapan mata Amsar Supardi sama sekali.
"Udahlah, Pak. Cukup dengan kekukuhan Bapak. Kalo Baim sekolahnya lulus, meskipun gak bisa kuliah, seenggaknya nanti dia bisa kerja yang lebih baik dibanding mikul dagangan bakso."
Saka dan Jono mengangguki setuju ucapan Naimah ibunya Baim, lalu kemudian pandangan wanita itu beralih ke wajah Saka. "Tapi, beasiswa itu ... beneran kan, Nak?"
"Tentu aja, Bu," jawab tegas Saka.
"Alhamdulillah, ya Allah ...." Penuh syukur, segera wanita itu meraup tubuh anaknya dan membawa dalam pelukan. "Kamu bisa sekolah lagi, Im."
Ibrahim mengangguk dan menangis di pelukan ibunya. "Iya, Bu."
Jono menepuk bahu Saka dengan senyuman bangga. "Thanks, Sak."
Saka membalas senyum.
Tapi kebahagiaan itu tak lantas dirasakan juga oleh Amsar Supardi. "Siapa yang bilang saya akan setuju?"
Lag-lagi melengakkan semua orang di hadapannya. Pelukan Ibrahim dan ibunya langsung terlerai.
"Maaf, Pak. Jadi maunya Bapak gimana?" Saka ingin tahu.
"Saya tidak bilang setuju dengan beasiswa yang kamu bicarakan! Ibrahim harus tetap bekerja rutin! Kalau utang sudah lunas, dia bisa melanjutkan dengan paket nantinya. Sama saja!"
Habis sudah kesabaran Saka.
"Bapak malu dan takut dengan utang-utang Bapak kalau sampai nggak terbayar, apalagi rumah sampai tersita, tapi Bapak gak malu udah mengorbankan masa depan anak sendiri. Bapak gak malu Ibrahim dicibir orang-orang karena gak sekolah cuma buat jualan. Sementara Bapak santai -santai di rumah menunggu Baim sama Ibu pulang dari kerja keras mereka. Sebagai seorang kepala keluarga ... Bapak adalah seorang pengecut yang gagal menghadapi diri sendiri!"