NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:974
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

7

Ara membeku.

Tubuhnya tidak bergerak, tidak melawan. Seolah jiwanya tertinggal di belakang saat semua ini terjadi. Ketakutan memenjarakannya, membuatnya seperti patung dingin di bawah sentuhan yang tak diinginkan. Jari-jarinya mengepal, namun lemah—tidak ada tenaga untuk menolak. Tidak ada suara untuk berteriak.

Domias tidak peduli.

Ciumannya semakin dalam, seakan menuntut sesuatu yang tidak pernah ditawarkan. Dan dalam hening yang mengerikan itu, hanya satu suara yang mulai mendekat, cepat dan penuh amarah—

Langkah seseorang menggema di antara rak-rak buku tua.

Langkah yang familiar. Langkah yang Ara kenal. Langkah yang selalu membawa rasa takut… tapi kini, mungkin, untuk pertama kalinya, ia berharap itu benar-benar dia.

Kael.

“Lepaskan dia,” suara itu datang dari balik rak buku, dingin seperti embun musim gugur yang membekukan tulang. Nada yang tak meninggi, tak berteriak—tetapi menyimpan ancaman yang terlalu jelas untuk diabaikan.

Kael berdiri di ambang bayangan, mata peraknya memaku pemandangan di hadapannya. Cahaya jendela tua membelah wajahnya separuh gelap, separuh terang—dan seluruh tubuhnya memancarkan sesuatu yang berbahaya, namun terkontrol.

Domias mengangkat kepalanya perlahan, dan senyum tipis muncul di wajahnya. Ia tidak segera melepaskan genggamannya dari Ara. Hanya bibirnya yang berhenti menjajah, meninggalkan jejak napas panas di pipi gadis itu.

“Oh. Kael,” gumamnya ringan, seperti menyambut teman lama dalam pesta dansa. “Kukira kau masih sibuk bersikap suci.”

Wajah Ara sudah sepucat kain perban. Bibirnya bergetar, matanya membelalak namun kosong, dan tubuhnya—masih terjepit di antara rak tua dan dada pria itu—bergetar hebat. Tangannya menekan dinding di belakangnya, namun tak mampu mendorong.

Kael melangkah mendekat. Setiap langkahnya terasa seperti gema dari kematian perlahan. Tatapannya tidak bergeser, seolah menembus daging Domias untuk menyentuh inti jiwanya.

Tangan dinginnya menyambar pergelangan tangan Ara dengan gerakan cepat dan pasti, seperti pencuri yang mengambil kembali barang miliknya.

Ara tersentak. Tapi ia tidak melawan.

Tubuhnya hanya mengikut, tanpa pertanyaan. Seolah-olah semangatnya sudah menguap, dan satu-satunya kekuatan yang tersisa hanya cukup untuk melangkah… mengikuti tarikan tangan Kael.

Dia seperti kerbau yang tercocok hidungnya. Terpaku pada genggaman itu, tak berani menoleh ke belakang, tak mampu berpikir, hanya berjalan. Kakinya lemah tapi tetap mengikuti setiap langkah Kael, seakan pria itu adalah satu-satunya poros di dunia yang sedang runtuh.

Domias tak menyusul. Ia hanya berdiri di tempatnya, mengangkat alis sedikit, lalu tertawa kecil—tawa ringan, penuh makna, seperti seseorang yang baru saja menemukan permainan baru yang menarik.

Langkah Kael tak melambat. Tak satu kata pun terucap di sepanjang lorong. Tapi genggamannya tak pernah lepas dari tangan Ara. Dan gadis itu… ia tak berani bicara. Tak berani bertanya.

Hanya berjalan. Terlalu takut untuk menoleh. Terlalu syok untuk menangis.

Dan terlalu sadar bahwa sesuatu… baru saja berubah.

...****************...

Begitu mereka tiba di lorong belakang gedung tua—sebuah tempat sepi yang jarang dilalui siapa pun—Kael akhirnya melepaskan genggamannya.

Tanpa genggaman itu, tubuh Ara langsung kehilangan sisa kekuatannya. Lututnya lemas, dan ia jatuh terduduk di lantai berdebu. Napasnya tercekat, tubuhnya gemetar hebat. Seolah ketakutannya baru benar-benar meledak saat tak ada lagi siapa pun yang menyentuhnya.

Tangannya terangkat, tapi bukan untuk melindungi diri. Ia hanya berusaha melihat sendiri bagaimana jari-jarinya begitu gemetar hebat, seperti ranting diterpa badai.

Dan akhirnya… air matanya jatuh.

Bukan karena ciuman itu. Bukan hanya karena Domias.

Tapi karena sesuatu—seseorang—yang wajahnya tiba-tiba memenuhi benaknya saat Domias mencium paksa bibirnya.

Wajah dari masa lalu. Wajah yang pernah mendekatinya dengan senyum lembut, lalu mencuri segalanya darinya.

Pria itu…

Senyumnya… suaranya… sentuhannya… semuanya seperti hantu yang merasuk ke dalam tubuh Ara, menjadikan ciuman tadi sebagai pemicu dari segala trauma yang pernah ia kubur dalam-dalam.

Ara memeluk dirinya sendiri.

Kael diam. Tak ada satu pun kata keluar dari mulutnya. Tapi tatapannya tajam, seperti ingin merobek dunia.

Ara tak berani melihatnya. Bahkan suaranya pun tertahan. Yang bisa ia lakukan hanya menangis… dalam ketakutan yang jauh lebih dalam dari apa yang baru saja terjadi.

...****************...

“Apa yang terjadi?”

Suara Elvero terdengar nyaris panik saat ia membuka pintu dan melihat ruang tamu dalam keadaan gelap, sepi, dan dingin. Tak ada aroma makanan. Tak ada suara dari dapur. Hanya Kael—berbaring santai di sofa tamu, dengan satu tangan menutupi matanya, seolah seluruh dunia bisa menunggu.

Elvero menurunkan tasnya dengan wajah mengeras. “Kael.”

Tak ada jawaban. Hanya dengusan pelan.

“Aku tidak bisa menghubungi Ara seharian. Dia tidak menjawab pesan, tidak mengangkat panggilan. Dan sekarang rumah gelap begini? Apa yang—”

“Dia di kamar,” Kael memotong tanpa melihat ke arah Elvero. Suaranya datar, tanpa niat menjelaskan lebih dari itu.

Elvero melangkah cepat ke arah tangga, namun berhenti sejenak, melirik Kael tajam.

“Kenapa dia mengurung diri?”

Kael akhirnya menurunkan lengannya dan menatap langit-langit. “Karena seseorang menyentuhnya.”

Seketika, dunia Elvero seakan berhenti.

“Apa maksudmu… ‘menyentuh’?”

Kael menoleh lambat ke arah Elvero, menatapnya tajam. Tidak ada emosi di wajahnya, tapi sorot matanya seperti pisau yang berkilat di kegelapan.

“Domias.”

Elvero memucat.

Kael kembali memejamkan mata. “Aku datang tepat waktu,” gumamnya, hampir seperti penyesalan… atau ancaman yang tertahan.

Elvero tidak menunggu lebih lama. Langkahnya tergesa menaiki tangga, dan saat sampai di depan kamar Ara, ia langsung mengetuk keras.

“Ara… ini aku. Buka pintunya,” katanya setengah mendesak, setengah memohon.

Tak ada jawaban.

Ketukan berubah menjadi pukulan. “Ara! Kau mendengarku?”

Masih sunyi. Tak ada suara dari dalam, seolah kamar itu tak berpenghuni.

Pikiran buruk langsung memenuhi kepalanya. Ketakutan mulai menggrogoti logikanya.

“Ara! Aku masuk!” teriaknya.

Tanpa pikir panjang, Elvero mundur satu langkah, lalu menghantamkan kakinya ke pintu dengan keras. Sekali. Dua kali. Sampai akhirnya kayu itu terayun terbuka dengan hentakan kasar, membentur dinding dengan suara nyaring.

Dan di dalam sana, dia menemukannya.

Ara terduduk di sudut kamar, berselimut hingga ke dagu meski cuaca panas. Matanya sembab, wajahnya pucat. Tangannya mencengkeram erat bantal, seolah itu satu-satunya pelindung dunia yang masih tersisa.

Begitu melihat Elvero masuk, Ara hanya menunduk lebih dalam—tak menangis, tak bicara. Tapi tubuhnya gemetar seperti daun di tengah badai.

Ketika Elvero mendekat, ia menatap Ara sesaat dalam diam. Tatapan itu penuh kekhawatiran yang tidak diucapkan, seperti badai yang tertahan di balik mata gelapnya.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan, suara serak namun lembut, seperti seseorang yang menahan marah sekaligus cemas.

Ara mengangguk kecil. “Ya…” bisiknya nyaris tak terdengar.

Elvero duduk perlahan di tepi ranjang. Ia menyibak rambut lembap yang menempel di wajah Ara, jari-jarinya sehangat pelindung—meski tak bisa menyembuhkan retakan yang baru saja terbuka dalam jiwa gadis itu.

“Dia Domias,” ucap Elvero akhirnya, suara lirihnya bergetar. “Kakak laki-laki Kael. Dia…”

Ara memejamkan mata, dan untuk sesaat Elvero mengira gadis itu akan tetap diam. Tapi kemudian bahunya bergetar pelan, seperti sedang menahan sesuatu yang nyaris pecah dari dalam dadanya.

“Dia… seperti Caleb,” bisik Ara akhirnya. Suaranya retak. “Cara dia menyentuhku. Cara dia melihatku. Cara dia memaksaku diam. Itu… sama.”

Elvero mematung. Nafasnya membeku di tenggorokan. Ia tahu nama itu. Caleb. Nama yang selama ini tak boleh disebut, tak boleh disentuh. Luka lama yang disembunyikan Ara jauh-jauh, seolah tak pernah ada. Tapi sekarang—dibuka paksa oleh seseorang yang bahkan belum mereka kenal sehari penuh.

Ara menarik nafas dengan susah payah. “Aku baik-baik saja,” katanya lagi, kali ini seperti meyakinkan dirinya sendiri. “Sudah setahun berlalu. Ini tidak seperti waktu itu…”

Namun gemetar di suaranya, tangan yang mengepal di atas selimut, dan sorot matanya yang kosong—semuanya berkata sebaliknya.

Tampaknya Kael sudah memesan makanan. Aroma hangat sup dan roti panggang memenuhi ruang tamu, menggoda bahkan perut yang paling keras kepala. Tapi ketika Elvero berdiri dan berkata, “Aku akan melihat sesuatu yang bisa kau makan,” suara Ara langsung memotongnya.

“Aku tidak lapar,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Elvero menghentikan langkahnya, lalu perlahan menoleh ke arahnya. Mata hitamnya tajam, namun yang terpancar di balik sorot itu bukan kemarahan—melainkan sesuatu yang lebih mirip luka yang tertahan terlalu lama.

“Ini rumahku,” katanya akhirnya, nada suaranya tetap lembut tapi penuh tekanan. “Kau harus patuh… atau aku akan melemparmu ke jalanan.”

Kata-kata itu terdengar kejam, tapi hanya bagi orang yang tidak mengenal Elvero. Bagi Ara, itu adalah caranya berkata: aku tidak tahu bagaimana menghiburmu, jadi makanlah, agar aku tahu kau masih di sini.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!