"Aku terbangun di dunia asing. Tanpa ingatan, tanpa petunjuk, tapi semua orang memanggilku Aqinfa—seolah aku memang gadis itu."
Namun, semakin lama aku tinggal di tubuh ini, semakin jelas satu hal: ada sesuatu yang disembunyikan.
Wajah-wajah yang tampak ramah, bisikan rahasia yang terdengar di malam hari, dan tatapan pria itu—Ziqi—seolah mengenal siapa aku sebenarnya... atau siapa aku seharusnya menjadi.
Di antara ingatan yang bukan milikku dan dunia yang terasa asing, aku—yang dulu hanya Louyi, gadis sederhana yang mendambakan hidup damai—dipaksa memilih:
Menggali kebenaran yang bisa menghancurkanku, atau hidup nyaman dalam kebohongan yang menyelamatkanku.
Siapa Aqinfa? Dan… siapa sebenarnya aku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amethysti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
terbangun ditempat Asing
Bagaimana mungkin ini terjadi?
Hidupku yang sederhana, penuh ketenangan... kini hancur begitu saja. Tiba-tiba aku terbangun di sebuah gudang gelap dan dingin, dikelilingi suara serangga yang membuat bulu kuduk merinding.
“Di mana aku…?” bisikku ketakutan.
Bukankah tadi aku baru saja pulang kerja dan duduk di sofa? Karena lelah, aku memejamkan mata sebentar… Lalu—gelap.
Ekspresiku bingung. Kepalaku berdenyut memikirkan apa yang sedang terjadi.
Aqinfa—aku—terus bertanya dalam hati, Apa ini hanya mimpi buruk?
Tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat, pelan tapi mantap, menuju ruangan tempatku berada.
"Ada seseorang!" pikirku penuh harap. "Mungkin dia bisa membantuku keluar dari sini. Bagaimanapun caranya, aku harus keluar!"
Pintu berderit terbuka perlahan. Di ambang pintu, berdiri seorang pria. Wajahnya menyeringai... bukan ramah, tapi seolah menikmati kebingunganku.
Siapa dia? Kenapa ekspresinya seperti itu? Apakah dia yang mengurungku di sini? Aku harus bertanya langsung padanya!
Dengan ekspresi marah, aku bertanya lantang,
“Siapa kau?!”
Dia terkekeh. “Hah. Kau bertanya siapa aku? Serius? Ini semacam tipuan kecil darimu?”
“Apa maksudmu? Sudahlah, berhenti bermain-main! Katakan yang sebenarnya!” bentakku.
Pria itu mengangkat alis, mendekat dengan percaya diri. “Apa kau lupa pada seseorang yang sangat kau cintai? Bahkan dari jauh kau selalu mengenaliku… tanpa suara.”
Apa?!
Emosiku meledak. “Bagaimana mungkin aku mengenalimu jika wajahmu saja tak bisa kulihat jelas?!”
Dia tertawa kecil. “Baiklah… aku akan mendekat. Lihat baik-baik wajah tampanku ini.”
Ia melangkah maju, membawa lilin yang redup namun cukup untuk memperlihatkan wajahnya. Tatapanku membeku.
Wajah yang sempurna. Hidungnya mancung, alisnya tebal, dan bibirnya segar seperti baru saja tersenyum padaku.
Dia menatap tepat di depan wajahku.
“Bagaimana? Sudah mengenaliku?”
Dalam hati, aku bergetar. Aku… tidak mengenalnya. Tapi dia berbicara seolah sangat dekat denganku… lebih parah, dia bilang aku mencintainya?
Tunggu… jangan-jangan… aku merasuki tubuh orang lain? Dia mengenalku karena aku sekarang berada dalam tubuh yang bukan milikku?
Dengan suara ragu, aku bertanya, “Kau… tahu siapa aku?”
Pria itu tampak heran, tapi masih tersenyum santai. “Fafa, aku ini Yayue. Kakakmu. Lebih tepatnya, aku menganggapmu seperti adik. Jadi, otomatis, aku kakakmu. Aqinfa, kau kenapa? Semakin hari bicaramu makin ngawur saja. Apa kau baik-baik saja?”
Yayue? Fafa? Aqinfa?!
Siapa itu? Astaga… Apa yang terjadi padaku?
Aku berada di tubuh orang lain! Ini bukan mimpi… dan aku tidak tahu harus bagaimana… Sialan! Aku tidak tahu siapa aku di sini, dan aku tidak tahu apa pun tentang hidup orang ini.
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Kau… datang kemari untuk membebaskanku?”
“Ya. Hukumanmu sudah habis. Ayo, ikut aku. Aku akan mengantarmu kembali ke kamarmu,” jawabnya sambil berbalik dan berjalan perlahan.
“Baiklah…” sahutku, ikut melangkah di belakangnya.
Suasana di antara kami dingin dan sunyi. Tapi langkah kami mantap hingga tiba di depan sebuah kamar.
“Sudah sampai. Aku pulang sekarang. Hari sudah malam. Selamat malam,” kata Yayue sambil tersenyum tipis.
“Terima kasih,” balasku, sedikit membungkuk.
Ia berjalan menjauh. Aku masih berdiri di depan pintu kamar, termenung. Semua ini… membingungkan.
Aku masuk ke kamar dengan kepala penuh pikiran yang kusut.
“Lebih baik aku beristirahat,” gumamku, lalu merebahkan tubuh.
Tak butuh waktu lama. Aku pun terlelap.