Liliana, gadis biasa yang sebelumnya hidup sederhana, dalam semalam hidupnya berubah drastis. Ayahnya jatuh sakit, hutang yang ia kira sudah selesai itu tiba-tiba menggunung. Hingga ia terpaksa menikah i Lucien Dravenhart , seorang CEO yang terkenal dingin, dan misterius—pria yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.
Pernikahan ini hanyalah kontrak selama satu tahun. Tidak ada cinta. Hanya perjanjian bisnis.
Namun, saat Liliana mulai memasuki dunia Lucien, ia perlahan menyadari bahwa pria itu menyimpan rahasia besar. Dan lebih mengejutkan lagi, Liliana ternyata bukan satu-satunya "pengantin kontrak" yang pernah dimilikinya…
Akankah cinta tumbuh di antara mereka, atau justru luka lama kembali menghancurkan segalanya?
Cerita ini hanyalah karya fiksi dari author, bijaklah dalam memilih kalimat dan bacaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon boospie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 : Sebuah Tawaran
Hujan deras mengguyur kota Semarang saat seorang gadis dengan celemek yang masih menempel ditubuhnya itu berlari menyusuri lorong rumah sakit, napasnya memburu dan jantungnya berdebar hebat. Tangannya gemetar saat membuka pintu ruang ICU. Di balik kaca bening, ia melihat sosok Ayah terbaring tak sadarkan diri, dengan alat bantu pernapasan dan berbagai kabel medis yang menempel di tubuh renta itu.
"Terjadi pendarahan otak yang menyebabkan koma, diperlukan CT Scan atau MRI dan kemungkinan operasi, silahkan segera mengurus administrasi untuk dilakukan penanganan selanjutnya." kata dokter singkat, sebelum pergi memeriksa pasien lain.
Liliana Montclaire berdiri terpaku, menatap wajah ayahnya yang tampak lelah. Dunia seakan runtuh dalam sekejap. Ia masih sulit percaya bahwa hanya dalam hitungan jam, hidupnya berubah drastis. Satu satunya keluarga yang dimiliki saat ini hanyalah ayah, tetapi saat ini ia terpaksa sendirian melihat keadaan ayahnya yang entah masih akan ada hari esok atau tidak untuk bisa bertemu lagi.
Perlahan langkah kakinya membawa dekat dengan sang ayah, helaan napas terdengar berat, menyimpulkan bahwa dirinya pasrah. Tangannya melepas celemek dalam sekali tarikan. Dengan lembut menyentuh kulit tangan yang kian keriput, beliau tak lagi muda.
"Ayah," panggilnya pelan dengan suara bergetar menahan tangis.
Tak lama setelah itu, seorang pria paruh baya datang menghampirinya. Pria itu bernama Hendra — sahabat sekaligus mantan rekan bisnis ayahnya. Wajahnya tampak serius, dan ia membawa map cokelat tebal.
"Lili, ada sesuatu yang harus kamu ketahui," katanya pelan. "Utang ayahmu... belum selesai. Bahkan bertambah."
Liliana menggenggam surat tagihan di tangannya, tangannya gemetar. Jumlahnya fantastis. Lebih dari lima miliar. Dan itu harus dibayar dalam satu bulan.
Liliana menahan napas. "Tapi... bukankah semuanya sudah dibayar tahun lalu?"
Pak Hendra menggeleng. "Tidak semuanya. Beberapa aset sudah dijual, tapi ternyata ada satu pinjaman besar yang jatuh tempo bulan ini. Satu-satunya aset yang tersisa hanya rumah tempat kalian tinggal, dan nilainya tidak mencukupi untuk melunasi seluruh utang yang jatuh tempo. Jika dalam satu bulan ke depan utang ini tidak diselesaikan, rumah itu akan disita. Dan lebih dari itu, kamu sebagai ahli waris bisa dikenakan tuntutan hukum untuk menanggung sisa kewajiban ayahmu."
Liliana merasa lututnya lemas. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Bahkan rumah peninggalan neneknya yang saat ini ia tinggali itu harus dijual. Pekerjaannya yang hanya seorang pekerja dibagian dapur restoran itu tidak cukup untuknya bisa menutup seluruh utang dalam satu bulan.
Pak Hendra menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Beberapa waktu lalu, sebelum ayahmu jatuh sakit, beliau sempat berusaha mencari jalan keluar untuk menyelesaikan utang-utang itu. Salah satu yang ia temui adalah Lucien Dravenhart — CEO Zetther Holdings yang cukup berpengaruh. Awalnya ayahmu berniat untuk bernegosiasi soal penjadwalan ulang pembayaran, tapi... pihak Lucien justru menawarkan sesuatu yang lain."
Ia menatap Liliana, ragu untuk melanjutkan.
"Itu bukan tawaran biasa, dan ayahmu langsung menolaknya. Katanya, itu terlalu tidak masuk akal... terlalu personal. Aku kurang tahu apa penawaran itu, yang jelas ayahmu membawa pulang dari pertemuan itu hanyalah selembar kartu nama tetapi ia membuangnya."
"Aku mengambil kembali, kupikir jika masih dibutuhkan suatu saat," ucapnya seraya menyerahkan kartu nama tersebut.
Liliana menerima kartu nama dari tangan Pak Hendra—berwarna hitam pekat, dengan tulisan timbul berwarna perak: Lucien Dravenhart. Tidak ada alamat. Tidak ada jabatan. Hanya nama dan nomor, seolah itu sudah cukup untuk menunjukkan siapa dia.
Liliana mengerutkan kening. Ia memang sering mendengar nama itu di berita bisnis. Lucien, pemilik grup perusahaan yang tengah naik daun. Pria berdarah campuran Indonesia— Amerika ini dikenal ambisius dan tak pernah bermain setengah-setengah.
"Baiklah om, akan aku pikir pikir kembali, terima kasih sudah membantu ayah sejauh ini," ucap Liliana lalu membungkukkan badannya tanda ia hormat dan berterima kasih.
"Tidak apa apa Lili, kamu sudah om anggap sebagai anak om juga. Ayahmu juga sudah om anggap saudara kandung om sendiri, tidak perlu berterima kasih, jika ada yang bisa om bantu pasti om bantu kamu," jelas Hendra yang merasa iba melihat kondisi Liliana.
Gadis itu tumbuh hanya bersama ayahnya, dan kini ayahnya harus terbaring entah seberapa lama dia akan bangun. Membebankan sisa sisa hutang yang masih banyak itu pada dirinya, begitu malangnya Liliana.
Criett..
Pintu ICU terbuka, petugas administrasi datang dan menatapnya dengan wajah datar, mungkin memang fitur wajahnya terlihat seperti itu.
"Permisi kak, keluarga atas nama James Montclaire bisa untuk ke tempat administrasi, terima kasih," ucapnya dengan ramah kemudian membalikkan tubuh dan pergi.
Ah~ administrasi ayah. Liliana dengan tubuh lemas yang perutnya belum terisi apapun itu berjalan keluar dari ruang ICU, entah apa yang bisa dia lakukan sekarang.
Setibanya Liliana ditempat administrasi, salah satu petugas menyodorkan tagihan yang jumlahnya membuat jantungnya hampir berhenti saat itu juga—ironis.
Tepat saat itu juga Hendra menghampiri Liliana, ia tahu jika gadis itu bisa saja kesulitan disaat saat seperti ini.
Dengan mata yang sudah berkaca kaca, Liliana berucap, "Om, ayah dulu pernah buat asuransi kan, Lili masih ingat mungkin bisa ngebantu."
"Sayangnya ayahmu tidak bisa lagi membayar premi, dia sudah tidak memiliki asuransi," ungkap Hendra.
Tangannya gemetar saat menerima lembar tagihan itu. "Tapi… saya benar-benar tidak punya uang sebanyak ini."
"Apakah bisa hanya membayar uang muka?"
Dengan suara pelan namun tegas petugas berkata, "Untuk perawatan ICU, kami butuh uang muka minimal lima belas juta rupiah. Setelah itu baru bisa kami lanjutkan proses rawat inap."
Sejenak, pikirannya kosong. Lima belas juta dari mana ia dapat uang sebanyak itu, pikirannya semakin kacau. Kalaupun hari ini dia pergi menemui Lucien, itu hanya menyelesaikan hutang dan bukan persoalan rumah sakit. Tabungan miliknya saja hanya tujuh juta.
Liliana membutuhkan waktu untuk berpikir ia berkata pada petugas, "Sebentar ya kak, saya siapkan nominal uangnya."
Ia pergi ke kursi panjang yang tersedia tidak jauh, diikuti oleh Hendra yang menatapnya penuh rasa bersalah. Pria tua itu juga tidak bisa membantu sepenuhnya sementara hidupnya juga sama sulitnya saat ini.
"Lili, Mau om kasih pinjam 1 juta dulu? mungkin bisa meringankan kamu?"
"Tapi om masih ada tante sama anak om, mereka gimana?" tanya Lili yang juga mengkhawatirkan keadaan keluarga Hendra.
"Om masih ada tabungan lain buat mereka, om kira tante juga akan menyuruh om buat lakuin hal yang sama ketika di tahu kamu sedang kesulitan," jelas Hendra seraya mengusap surai gelap Liliana dengan lembut.
"Lili janji akan balikin om, makasih banget om," ucapnya diikuti dengan air mata yang mulai mengalir yang segera ia hapus.
Dengan tangan gemetar dan penuh keraguan, ia mencari nama seseorang di pencarian data panggilan. Sebelum akhirnya menunggu dering ponsel itu berubah menjadi suara seseorang.
"Sorry, gua gak tau harus minta tolong ke siapa, gua harus ketemu sama lo sekarang."
Helaan napas berat kembali terdengar usai panggilan itu berakhir.
.
.
.
Terimakasih buat yang sudah membaca :)
Maaf jika ada kesalahan penulisan atau alur yang tidak sesuai, dan silahkan jika ada saran dan kritik yang membangun
Jika suka enjoy to reading tapi kalau tidak suka boleh diskip ceritanya...