Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.
Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.
Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kali Ini Pulang Malem
Malam itu jalanan sudah mulai lengang. Lampu jalan berjejer, menebar cahaya kuning temaram yang memantul di aspal basah bekas hujan sore tadi. Angin malam menusuk lembut, membuat Nayla sedikit menggigil meski jaketnya sudah rapat.
Ardi melirik dari spion, senyum tipis muncul di wajahnya. “Lo kedinginan, Nay?”
“Dikit sih… tapi nggak apa-apa kok.” Nayla menjawab pelan, tangannya refleks merapatkan tas di pangkuannya.
Ardi hanya mendengus kecil. Lalu tanpa bilang apa-apa, ia meraih tangan Nayla yang tadinya kaku di depan, menariknya pelan supaya melingkar ke pinggangnya. “Udah, gini aja. Biar nggak dingin.”
Nayla terkejut, jantungnya langsung berdebar kencang. “Ardi… jangan gitu—”
“Kenapa? Gue lagi nyetir, bahaya kalo tangan lo cuma diem aja. Pegang gue, biar seimbang.” Ardi menjawab santai, tapi nadanya tegas.
Nayla akhirnya pasrah. Dengan wajah memanas, tangannya menempel di pinggang Ardi, merasakan hangat tubuh cowok itu menembus kain kaos tipis yang ia pakai di balik jaket.
Suasana jadi hening, hanya suara motor dan deru angin malam yang menemani. Tapi di dalam hati Nayla, semua terasa gaduh.
Ardi tiba-tiba bersuara, nadanya agak dalam, nyaris tenggelam oleh angin. “Lo tau nggak, Nay… gue pengen momen kayak gini nggak cuma sekali.”
Nayla terdiam. “Maksudnya?”
“Maksud gue… duduk berdua di kafe tadi, ngobrol santai, pulang malem naik motor kayak gini. Simpel sih, tapi rasanya beda.” Ardi tersenyum miring. “Boleh kan… kalo lain kali gue ajak lo lagi?”
Deg. Nayla bisa merasakan hatinya ditarik turun ke dasar. Ia mencoba menahan senyum, tapi suaranya terdengar lirih. “Lihat nanti aja, Ardi.”
Ardi tertawa kecil, seolah puas dengan jawaban setengah malu itu. “Jawaban lo nggak jelas, tapi gue anggap iya.”
Motor terus melaju di jalanan yang mulai sepi. Sesekali, angin malam membuat rambut Nayla terurai dan menyentuh leher Ardi. Cowok itu sempat menahan napas, lalu berucap lebih pelan lagi.
“Nay… lo nyaman kan, sama gue?”
Pertanyaan itu membuat Nayla tercekat. Ia menutup mata sebentar, merasakan detak jantung yang berpacu terlalu cepat. Lalu, dengan suara nyaris berbisik, ia menjawab, “Iya, nyaman.”
Ardi mengangkat sudut bibirnya, lalu memperlambat laju motor. Malam itu, tanpa mereka sadari, jarak di antara keduanya makin tipis—bukan hanya secara fisik, tapi juga di hati.
Motor Ninja itu akhirnya berbelok masuk ke gang rumah Nayla. Suasana makin sepi, hanya ada suara jangkrik dan beberapa lampu teras rumah tetangga yang menyala redup. Angin malam masih menusuk, tapi entah kenapa Nayla tidak merasa kedinginan lagi—karena kehangatan dari tubuh Ardi yang sedari tadi ia peluk.
Ardi memperlambat laju motor lalu berhenti tepat di depan pagar rumah Nayla. Ia menurunkan standar, mematikan mesin, lalu menoleh sedikit ke belakang. “Udah nyampe.”
Nayla cepat-cepat melepaskan tangannya dari pinggang Ardi. Ia turun dengan sedikit kikuk, lalu menepuk-nepuk roknya yang agak kusut. “Makasih ya, Di… udah nganterin.”
Ardi menurunkan helmnya, melepaskannya, lalu tersenyum tipis. “Bukan masalah. Gue malah seneng bisa bareng lo.”
Nayla merasa wajahnya panas. Ia menghindari tatapan itu, pura-pura sibuk membuka pagar. Tapi sebelum sempat masuk, Ardi tiba-tiba bersandar di motornya, memanggil pelan.
“Nay.”
Nayla berhenti, menoleh. “Hm?”
Ardi menatapnya dalam, suaranya lebih pelan tapi penuh arti. “Gue serius sama omongan tadi. Gue pengen bisa kayak gini lagi sama lo.”
Deg. Nayla menggigit bibir bawahnya, lalu menunduk. Ia tidak menjawab, hanya memberi senyum kecil yang samar.
Ardi tersenyum tipis melihat itu, lalu menambahkan dengan nada menggoda, “Yaudah, gue anggap itu ‘iya’ lagi.”
Nayla mendengus kecil, tapi tidak membantah. Ia hanya berkata lirih, “Hati-hati di jalan pulangnya, Di.”
Ardi mengangguk, lalu menyalakan motornya lagi. Sebelum benar-benar melaju, ia sempat menatap Nayla sekali lagi, sorot matanya tajam tapi hangat. “Tidur yang nyenyak, Nay.”
Nayla berdiri di depan pagar, menatap motor hitam itu melaju perlahan menjauh, meninggalkan suara knalpot yang bergema di jalan lengang. Hatinya masih berdebar tak karuan, dan malam itu ia baru menyadari—ada sesuatu yang berbeda antara dirinya dan Ardi. Sesuatu yang tidak lagi bisa ia abaikan.
Nayla masih berdiri di depan pagar cukup lama, menunggu suara motor Ardi benar-benar hilang. Jantungnya masih berdetak kencang, wajahnya belum sepenuhnya reda dari hangat yang ditinggalkan Ardi. Tapi begitu ia menoleh ke rumah, rasa gugupnya berubah jadi waswas.
Lampu ruang tamu masih menyala. Artinya, entah ayahnya, ibunya, atau kakaknya—Bima—mungkin masih terjaga. Nayla menggigit bibir, menunduk sebentar sambil menarik napas panjang. Kalau sampai ketahuan pulang jam segini, bisa kacau…
Ia mendorong pagar dengan sangat hati-hati, menahannya agar engsel tidak berdecit. Suara sepatu sekolahnya pun sengaja ia seret pelan agar tidak menimbulkan bunyi. Begitu masuk ke teras, ia menunduk sambil menahan degup jantung. Dari balik jendela kaca buram, terlihat bayangan samar seseorang lewat di ruang tamu.
Nayla refleks menahan napas. Itu pasti kakaknya.
Ia melirik ke arah pintu belakang. Pilihan satu-satunya: lewat dapur. Dengan langkah hati-hati, ia berputar ke sisi rumah, mengangkat rok seragamnya agar tidak tersangkut di semak. Keringat dingin mulai bercucuran meski udara malam menusuk.
Begitu sampai di pintu dapur, ia mencoba memutar gagang perlahan. Klek. Sedikit berdecit, membuatnya terhenti panik. Nayla menahan diri, menunggu. Tidak ada tanda-tanda orang mendekat. Ia lalu masuk dengan sangat hati-hati, menutup pintu pelan sekali, sampai hampir tidak ada suara.
Gelap. Hanya cahaya lampu dari ruang tamu yang tembus samar ke arah dapur. Dengan hati-hati ia melepas sepatu, menggenggamnya agar tidak menimbulkan bunyi, lalu berjinjit menuju kamarnya.
Namun baru beberapa langkah, suara televisi terdengar mengecil. Jantung Nayla seakan meloncat ke tenggorokan. Ia buru-buru mempercepat langkah ke arah tangga, hampir tersandung, lalu menahan tawa gugup sendiri.
Begitu sampai di depan pintu kamarnya, ia membuka pelan, masuk, lalu menutup rapat. Baru di sana ia berani mengembuskan napas panjang, menempelkan punggungnya ke pintu. “Ya Tuhan… hampir aja…” bisiknya sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri.
Ia lalu melempar tasnya ke kasur, dan menunduk sambil tersenyum kecil—bayangan Ardi kembali muncul di kepalanya. Tadi senyumnya, tatapannya, dan ucapannya sebelum pulang.
Nayla menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menahan senyum yang tak bisa ia cegah. Walau waswas hampir ketahuan, ada rasa lain yang jauh lebih kuat menyelimuti dirinya: degup hangat karena Ardi.