NovelToon NovelToon
Di Jual Untuk Sang CEO

Di Jual Untuk Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: RaHida

Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22# Kedatangan Nyonya Cantika

Dengan penuh percaya diri, Nyonya Cantika melangkah memasuki gedung utama Buenavista Company. Gaun mewah yang ia kenakan berkilau terkena cahaya lampu kristal megah di lobi, membuat beberapa pasang mata otomatis menoleh ke arahnya.

Setiap langkahnya terdengar mantap di lantai marmer putih yang mengkilap. Dagu terangkat, tatapan mata penuh keangkuhan—seolah seluruh gedung megah itu sudah menjadi miliknya.

Begitu tiba di meja resepsionis, Nyonya Cantika melemparkan senyum tipis yang lebih terasa seperti sebuah perintah.

“Aku ada janji dengan Nadeo,” ucapnya dingin, matanya menatap resepsionis tanpa benar-benar peduli.

Resepsionis muda itu sempat menelan ludah, lalu dengan sopan menjawab, “Selamat siang, Nyonya. Mohon menunggu sebentar, saya akan menghubungi lantai atas untuk memastikan.”

Nyonya Cantika mengibaskan tangannya anggun, seolah waktu orang lain tak ada artinya baginya. “Cepatlah. Aku tidak punya banyak waktu untuk hal-hal kecil seperti ini.”

Orang-orang di sekitar lobi mulai berbisik pelan, sebagian mengenali sosok wanita penuh aura itu, sebagian lagi hanya terpesona oleh wibawa dan keanggunannya.

Resepsionis meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, lalu berdiri dengan sopan.

“Silakan, Nyonya. Saya sudah mendapatkan izin dari ruangan Tuan Muda Nadeo. Mari saya antar ke lantai 30.”

Dengan angkuh, Nyonya Cantika mengibaskan rambutnya lalu melangkah mengikuti resepsionis. Suara hak sepatunya berirama tegas di lantai marmer lobi.

Saat tiba di depan lift, resepsionis menekan tombol lift umum. Pintu logam mengkilap itu berbunyi ting, siap terbuka. Namun tiba-tiba tangan halus Nyonya Cantika menahan gerakan resepsionis.

“Kenapa kita harus naik lift ini?” tanyanya dengan nada merendahkan. Tatapannya menyorot ke arah lift lain yang berada di ujung lorong, terlihat lebih mewah dengan ukiran emas di sisinya. “Aku tidak suka lift berdasarkan seperti ini. Kenapa tidak naik lift itu saja?”

Resepsionis menundukkan kepala dengan canggung. “Maaf, Nyonya… lift yang itu khusus untuk Tuan Muda Nadeo, Sekretaris Mark, dan klien resmi yang memang diundang langsung oleh perusahaan. Untuk tamu lain dan staf, hanya diperkenankan menggunakan lift umum.”

Wajah Nyonya Cantika menegang. Ia menyipitkan mata, sorotnya penuh ketidaksukaan. “Hmm… jadi menurutmu aku hanya tamu biasa?”

Resepsionis tercekat, keringat dingin mulai muncul di keningnya. “Bukan begitu maksud saya, Nyonya. Aturan perusahaan memang seperti itu. Mohon pengertiannya.”

Dengan helaan napas berat, Nyonya Cantika akhirnya melangkah masuk ke dalam lift umum, namun gerak-geriknya masih menunjukkan rasa tidak terima. Sambil melipat tangan di dada, ia bergumam lirih, cukup keras untuk membuat resepsionis mendengarnya,

“Seharusnya aku diperlakukan berbeda. Cepat atau lambat, semua orang di sini akan tahu siapa sebenarnya aku.”

Di dalam lift, suasana sempat hening beberapa detik. Namun tiba-tiba, Nyonya Cantika melirik resepsionis yang berdiri di sampingnya. Suaranya terdengar pelan tapi penuh rasa ingin tahu.

“Apakah kamu mengenali istri Nadeo?” tanya Nyonya Cantika, matanya menyipit seolah menguji.

Resepsionis terkejut dengan pertanyaan itu, tapi tetap menjaga sikap sopan. “Saya hanya pernah melihatnya sekali, Nyonya… saat pernikahan Tuan Muda Nadeo.”

Alis Nyonya Cantika terangkat sedikit. “Bagaimana menurutmu?”

Resepsionis ragu sejenak sebelum menjawab. “Istri Tuan Muda Nadeo… cantik, dan saya rasa ia seorang pekerja keras.”

Nyonya Cantika tersenyum miring, senyuman yang lebih terasa sebagai ejekan daripada persetujuan. “Hmm… cantik, pekerja keras. Tapi itu tidak cukup untuk menjadi pasangan Tuan Muda.”

Lift kembali hening beberapa detik sebelum Nyonya Cantika kembali bertanya, suaranya dingin.

“Apakah dia pernah datang ke sini? Ke perusahaan ini?”

Resepsionis menggeleng cepat. “Tidak pernah, Nyonya. Selama saya bekerja di sini, saya tidak pernah melihat istri Tuan Muda Nadeo hadir di perusahaan ini.”

Nyonya Cantika tertawa kecil, penuh kepuasan. “Bagus. Berarti tempat ini masih bersih dari jejak perempuan kampungan itu.”

Resepsionis hanya bisa menunduk, tak berani memberi komentar apa pun.

Setelah sampai di lantai 30, resepsionis mempersilakan Nyonya Cantika keluar terlebih dahulu. Dengan langkah angkuh, wanita itu melangkah di koridor panjang yang dipenuhi kaca besar dan hiasan dinding elegan.

Akhirnya mereka tiba di depan sebuah pintu ganda berukuran besar dengan ukiran mewah berlapis emas di sisinya. Hanya melihat bagian luarnya saja sudah jelas, ruangan di balik pintu itu adalah simbol kekuasaan sekaligus kejayaan Buenavista Company.

Resepsionis menunduk sopan, lalu mengetuk pintu dengan hati-hati. Suasana terasa hening sejenak sebelum terdengar suara tegas dari dalam.

“Masuk.”

Pintu perlahan terbuka. Nyonya Cantika melangkah masuk dengan penuh percaya diri, matanya langsung menyapu seisi ruangan.

Di dalam, terlihat ruang kerja yang begitu besar dan megah. Lantai marmer hitam berkilau, meja kerja dari kayu jati dengan ukiran elegan, serta rak buku tinggi yang dipenuhi dokumen dan literatur bisnis. Di sisi lain, dinding kaca menjulang memperlihatkan panorama kota dari ketinggian.

Dan di balik meja besar itu, duduklah Tuan Muda Nadeo. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam menatap setiap gerakan yang masuk ke ruangannya. Disampingnya berdiri Sekretaris Mark.

Kamu bisa kembali bekerja,” ucap Tuan Muda Nadeo dingin tanpa menoleh pada resepsionis.

“Baik, Tuan Muda,” jawab resepsionis itu sopan, lalu undur diri meninggalkan ruangan.

Begitu pintu tertutup rapat, suasana ruangan kembali hening. Tuan Muda Nadeo menegakkan tubuhnya di kursi kerja, jemarinya bertaut di atas meja, memperhatikan wanita di depannya dengan tatapan penuh perhitungan.

“Silakan duduk, Nyonya Cantika.”

Dengan angkuh, Nyonya Cantika melangkah mendekat, lalu menjatuhkan diri di atas sofa empuk seolah ruangan itu miliknya. Senyum tipis yang penuh kepongahan tersungging di bibirnya.

“Kamu tahu apa yang membuat saya memanggilmu ke sini?” suara Tuan Muda Nadeo terdengar tegas, datar, namun penuh tekanan.

Nyonya Cantika menaikkan dagunya, menatap Nadeo dengan tatapan penuh percaya diri.

“Kalau bukan karena masalah perempuan kampungan itu, untuk apa lagi kamu memanggilku? Aku rasa kamu sudah menyadari sendiri… betapa memalukan punya istri seperti dia.”

“Kamu pasti memintaku untuk menyuruh Clara kembali kepadamu, dan kamu pasti menyesal telah menikahi wanita jalang seperti istrimu itu,” ucap Nyonya Cantika dengan nada meremehkan, bibirnya melengkung angkuh.

Tatapan Tuan Muda Nadeo berubah tajam, dingin bagai pisau.

“Dari mana Nyonya tahu kalau istri saya berbuat onar di luar sana?” suaranya datar, namun jelas penuh peringatan.

Nyonya Cantika tersenyum sinis.

“Nadeo, apakah kamu lupa kalau foto istrimu itu sudah beredar di mana-mana? Semua orang sudah melihatnya. Semua media menyorotinya. Apa kamu masih bisa menyangkal? Dia sudah mencoreng nama baik keluargamu, mencoreng nama besar Buenavista Company.”

Nadeo mengepalkan tangan di atas meja, rahangnya mengeras. Ia tidak suka cara Nyonya Cantika menyudutkan Aliza, terlebih dengan nada merendahkan. Namun ia tahu wanita di depannya bukan orang sembarangan—ia licik, berpengaruh, dan sulit ditaklukkan dengan kata-kata biasa.

Tuan Muda Nadeo mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapannya menusuk tajam menembus keangkuhan Nyonya Cantika. Suaranya rendah, tapi setiap kata yang keluar seperti cambuk.

“Anda mengabaikan istri saya, menyebutnya jalang…” Nadeo berhenti sejenak, bibirnya melengkung sinis. “Apa bedanya dengan putri Anda di luar negeri sana? Hidup dengan lelaki bule tanpa ikatan pernikahan.”

Wajah Nyonya Cantika seketika menegang. Senyumnya memudar, berganti kilatan amarah yang ia coba sembunyikan.

“Jangan pernah memandang orang lain sebelum Anda berani bercermin pada diri sendiri,” lanjut Nadeo, nadanya semakin menusuk. “Apa perlu saya tunjukkan video dan foto anak Anda selama tinggal dengan lelaki itu? Semua ada di tangan saya, Nyonya.”

Nyonya Cantika terdiam. Jemarinya mengepal erat di pangkuannya, menahan gejolak emosi. Ia tidak menyangka Nadeo akan berani menyerangnya balik dengan rahasia yang ia kira tak ada seorang pun yang tahu.

Nadeo menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tenang, tapi tatapannya tak lepas sedikit pun dari Nyonya Cantika. Senyumnya tipis, penuh sindiran.

“Saya juga tahu Anda yang mengambil foto istri saya dengan Pak Adrian… sengaja mengatur sudut seolah mereka sedang berciuman.”

Nyonya Cantika tersentak, wajahnya menegang, lalu buru-buru bersuara lantang.

“Kamu jangan memfitnah saya, Nadeo! Apa kamu pikir aku punya waktu untuk hal rendahan seperti itu?”

Nadeo tak menjawab, hanya melirik ke arah pintu. “Mark.”

“Silakan tunjukkan rekaman CCTV di restoran itu”

Mark segera menyalakan layar besar di ruangan itu, menampilkan rekaman jelas dari sudut-sudut restoran. Di sana terlihat jelas bagaimana Nyonya Cantika berada di tempat kejadian, memainkan ponselnya, lalu mengarahkan kamera diam-diam ke arah Aliza dan Pak Adrian.

Wajah Nyonya Cantika memucat. Tangannya meremas tas di pangkuannya, mencoba tetap tenang meski keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

“Masih mau menyangkal?” suara Nadeo rendah, dingin, namun mengguncang jiwa.

Ketegangan memenuhi ruangan itu. Dua pasang mata saling menantang—satu dipenuhi kesombongan yang terguncang, satunya lagi dipenuhi kuasa dan ancaman yang nyata.

Nadeo menatap Nyonya Cantika dingin, napasnya teratur seperti orang yang sudah lama menahan amarah—tetapi setiap kata yang keluar bagai palu yang menghantam meja kayu.

“Setelah Anda mendapat foto itu, Anda menyuruh seseorang untuk memperingatkan seolah-olah Anda tidak terlibat,” ucap Nadeo pelan, tajam. “Anda lupa—mudah bagi saya untuk melacak sumber-sumber murahan seperti itu. Saya ingatkan pada Anda: jika Anda berani lagi mengusik kehidupan istri saya, saya tidak akan segan-segan menghancurkan reputasi perusahaan keluarga Anda… dan memperlihatkan foto serta video anak Anda ke publik.”

Wajah Nyonya Cantika memerah, namun ia segera menutupinya dengan tawa sember yang dipaksakan. “Kamu mengancam keluarga saya di ruang kerjamu sendiri? Sungguh berani, Nadeo.” Suaranya bergetar sedikit, jelas wanita itu mulai kehilangan pijakan.

Nadeo bangkit, tubuhnya menjulang, bayangan tajamnya jatuh di sofa. “Ini bukan ancaman kosong,” ujarnya tenang namun berat. “Ini peringatan terakhir. Jangan pernah berpikir Anda bisa mengatur hidup orang lain demi ambisi pribadi.”

Diam sejenak, kemudian Nyonya Cantika berdiri dengan susah payah—harga dirinya terluka, marahnya menyala di mata. “Kamu belum mendengar kata terakhir dariku,” ia mendesis sambil melangkah menuju pintu. Namun langkahnya terhenti di ambang, ia menoleh sekali lagi, penuh dengki: “Ingat, Nadeo — keluarga saya tak akan kalah begitu saja.”

Pintu menutup di belakangnya. Ruangan kembali sunyi; hanya sisa-sisa ketegangan yang menggantung di udara. Nadeo menenangkan diri, lalu kembali duduk, matanya menatap ke luar jendela kaca yang memperlihatkan kota—sebuah kota yang kini terasa lebih rumit dari sebelumnya.

1
partini
baca jadi ingat novel tahun 2019 daniah sama tuan saga ,, good story Thor 👍👍👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!