"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meninggalkan rumah
Pulang dari kantor, Aryan merasakan tubuhnya begitu sangat lelah. Saat tiba di rumah, suasana terasa begitu sangat sepi.
Tak ada sambutan hangat seperti yang biasa dia dapatkan. Tak ada yang membantunya membuka jas yang masih dipakai. Tak ada yang memijat kaki dan tangannya saat dia duduk di sofa.
Kini, Aryan benar-benar sadar jika rumahnya tidak memiliki nyawa saat Anjani tak ada. Namun, penyesalan itu sudah tak berguna lagi.
Hubungannya dan Anjani sudah terlanjur rusak. Dan, tersangka utamanya bukan orang lain, melainkan Aryan sendiri.
"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Anjani?" gumam Aryan sembari duduk di sofa sambil menatap langit-langit ruangan.
Ia merasa telah mengambil keputusan yang salah. Namun, mau bagaimana lagi? Janji tetaplah janji. Dia harus menunaikan janji itu kepada Luna.
Tak! Tak! Tak!
Suara langkah kaki yang menuruni tangga sontak membuat Aryan jadi menegakkan punggungnya kembali. Dia menoleh.
Dalam sepersekian detik, tubuhnya mematung.
"Anjani? Kamu pulang?" seru Aryan kaget sekaligus bahagia.
Tanpa pikir panjang, dia langsung berdiri dan menghambur memeluk sosok Anjani. Dipeluknya wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu sambil tersenyum bahagia.
Segala penat dan lelah yang semula terasa, kini langsung luruh. Anjani benar-benar menjadi obat yang sangat mujarab untuk Aryan.
"Bagaimana keadaan kamu? Apa kamu baik-baik saja, sekarang? Kenapa pulang tidak bilang-bilang, hm?"
Aryan mencecar Anjani dengan banyak pertanyaan. Ia memeriksa keadaan Anjani dengan seksama. Matanya berbinar, saat menyadari jika Anjani yang ada dihadapannya memang benar-benar nyata.
"Minggir," desis Anjani.
Saat itulah Aryan sadar jika tangan kiri Anjani sedang memegang sebuah koper. Perasaan Aryan langsung berubah jadi tak karuan.
"Kamu... mau kemana?" tanya Aryan dengan suara yang tercekat di tenggorokan.
"Setelah satu bulan, perceraian kita akan otomatis disahkan oleh pengadilan. Jadi, mulai sekarang kita harus tinggal terpisah. Aku akan keluar dari rumah ini."
"Anjani..." Mulut Aryan tampak terbuka. Tapi, dia tidak tahu harus melanjutkan kata-katanya dengan kalimat seperti apa.
"Kenapa kamu buru-buru ingin pergi?" Akhirnya, hanya kata-kata itu yang berhasil Aryan pikirkan.
"Karena aku tidak tahan tinggal bersama orang seperti kamu," jawab Anjani dengan sorot kebencian yang memenuhi sepasang matanya.
"Memangnya, aku orang yang seperti apa?" tanya Aryan dengan dada yang terasa berdenyut nyeri sekali.
"Jahat," balas Anjani seraya tersenyum miring.
Langkah Aryan surut ke belakang. Cara Anjani mengucapkan kata-kata itu sangat menyakitinya.
"Anjani... sejak kapan aku berbuat jahat kepadamu? Aku tidak pernah seperti itu, Anjani."
Plak!
Anjani langsung menampar Aryan. Sebenarnya, dia sudah menahan diri sedari tadi. Namun, tetap saja emosi menang melawan akal sehatnya.
"Jangan berpura-pura baik di sini, Aryan! Kamu pikir, aku akan memaafkan kamu, hah?" geram Anjani penuh amarah.
"Sebenarnya, apa salahku?" tanya Aryan dengan tatapan memelas.
Anjani mengerjap sebentar. Dia menarik kerah jas Aryan dengan kuat.
"Kenapa kamu merantai Mama ku?" tanya Anjani dengan sorot mata tajam penuh amarah.
Wajah Aryan seketika jadi pias. "A-aku..."
"Mama ku manusia, Aryan. Tapi, kenapa kamu memperlakukannya seperti binatang, hah?" potong Anjani penuh emosi.
"Anjani..." lirih Aryan. "Aku melakukannya karena terpaksa. Aku hanya tidak ingin Tante Mariana menyakiti kamu lagi."
"Siapa yang memberimu hak untuk memperlakukan Mama ku seperti itu, hah? Siapa yang memberimu hak untuk mengikat Mama ku dengan rantai besi? Dia bukan anjing. Dia manusia, brengsek!" teriak Anjani sambil mendorong dada Aryan.
Aryan mundur beberapa langkah akibat dorongan Anjani. Sang istri benar-benar marah. Bahkan, Aryan dibuat takut oleh amarah Anjani saat ini.
"Aku minta maaf. Tolong maafkan aku. Aku tidak tahu jika hal itu akan menyakitimu, Anjani," ucap Aryan penuh penyesalan.
Niatnya hanya untuk memberi sedikit pelajaran pada Mariana karena telah tega melukai putrinya sendiri. Mana Aryan tahu jika ternyata perbuatannya itu malah membuat Anjani semakin murka kepadanya. Padahal, Aryan melakukan hal itu demi Anjani juga. Dia hanya ingin membalas perbuatan Mariana yang menurutnya sudah sangat keterlaluan.
"Aku hanya berusaha membela kamu. Aku hanya tidak ingin Tante Mariana melukai kamu lagi."
Aryan kembali melangkah maju. Dia berniat memeluk perempuan itu.
"Mundur!" teriak Anjani. "Jangan dekati aku!" ucapnya dengan tegas.
Tangan Aryan menggantung di udara. Perasaannya semakin tak karuan. Kali ini, dia mengaku kalah. Kali ini, dia benar-benar mengakui bahwa dirinya sudah jatuh cinta pada Anjani.
"Anjani... Maafkan aku. Aku menyesal. Jangan marah lagi! Aku mohon," pinta Aryan memelas.
"Dengar ini baik-baik! Aku pasti akan membalas dendam pada kamu, Luna, Anton, dan juga Sandra. Kalian semua pasti akan mendapatkan balasan atas perbuatan jahat kalian!" desis Anjani.
Aryan tidak tahu lagi harus membujuk Anjani dengan cara seperti apa. Sungguh! Dia menyesal telah melakukan semua itu kepada Ibu mertuanya sendiri.
Seharusnya, dia tahu jika Anjani tak pernah bisa terima jika Ibunya yang diusik. Anjani selalu bersedia bersabar jika hanya dirinya yang diganggu. Tapi, jika yang diganggu adalah sang Ibu, maka Anjani akan langsung berubah menjadi begitu buas.
Dengan sedikit kerepotan, Anjani menggeret kopernya untuk keluar dari rumah itu. Hubungannya dengan Aryan sudah selesai. Yang tersisa diantara mereka tinggal benci yang harus mendapatkan pelampiasan.
"Anjani, jangan pergi!" teriak Aryan. Dia berlari. Memeluk Anjani dari belakang dengan begitu erat.
"Tolong jangan tinggalkan aku. Aku... aku mencintaimu," ucap Aryan yang akhirnya menyerah pada dirinya sendiri.
Membohongi diri sendiri ternyata tidak berhasil. Di detik-detik perpisahan, Aryan justru merasa tak rela jika Anjani benar-benar keluar dari dunianya.
"Cinta?" Anjani tertawa. "Berhenti membual, Aryan! Tidak akan ada yang tertipu dengan kata cintamu yang murahan itu," imbuhnya sambil menginjak kaki Aryan dengan keras.
Reflek, Aryan mengaduh kesakitan lalu melepaskan tubuh ramping Anjani. Kesempatan itu pun segera diambil Anjani untuk segera kabur.
"Anjani, tunggu! Jangan keluar dari rumah!"
Aryan masih berusaha mengejar meski sebelah kakinya terlihat pincang.
"Biar aku saja yang keluar. Kamu... Tetaplah tinggal di sini," pinta Aryan memohon.
Namun, Anjani tak peduli sama sekali. Tepat didepan gerbang, sebuah mobil Bentley berwarna hitam ternyata sudah menunggunya.
Ketika melihat kedatangan Anjani, sang supir langsung keluar kemudian membantu memasukkan koper Anjani ke dalam bagasi.
"Anjani, kamu mau pergi kemana? Apa kamu punya tempat tujuan selain rumah ini?" tanya Aryan yang tetap kekeuh mengejar Anjani.
Anjani tak menoleh sama sekali. Ia masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apa-apa kepada Aryan.
"Dia..." lirih Aryan tertahan. Sekilas, dia dapat melihat sosok pria yang tak asing di matanya didalam mobil yang dinaiki oleh Anjani.
"Dia laki-laki yang di rumah sakit itu, kan?" tebak Aryan.
Ingin sekali dia memastikan siapa sebenarnya pria itu. Namun, terlambat! Mobil Bentley hitam itu sudah bergerak meninggalkan tempat tersebut.
"Tunggu! Anjani!" teriak Aryan. Dia berusaha mengejar mobil itu namun tidak berhasil.
"Sial!! Sebenarnya, siapa laki-laki itu? Kenapa dia bisa sedekat itu dengan Anjani? Atasan? Heh, mana ada atasan yang bebas mengelus kepala bawahannya seperti itu," gerutu Aryan yang merasakan dadanya kembali panas seperti terbakar api.
"Semua ini gara-gara Om Anton," lanjut Aryan dengan penuh emosi.
Malam itu juga, dia langsung menuju ke rumah keluarga Permana. Aryan harus melampiaskan kemarahannya pada Anton.
lanjut lagi Thor 🙏🙏🙏