Seorang gadis remaja yang kini duduk di bangku menengah atas. Ia bernama Rona Rosalie putri bungsu dari Aris Ronaldy seorang presdir di sebuah perusahaan ternama. Rona memiliki seorang kakak lelaki yang kini sedang mengenyam pendidikan S1 nya di Singapore. Dia adalah anak piatu, ibunya bernama Rosalie telah meninggal saat melahirkan dirinya.
Rona terkenal karena kecantikan dan kepintarannya, namun ia juga gadis yang nakal. Karena kenakalan nya, sang ayah sering mendapatkan surat peringatan dari sekolah sang putri. Kenakalan Rona, dikarenakan ia sering merasa kesepian dan kurang figur seorang ibu, hanya ada neneknya yang selalu menemaninya.
Rona hanya memiliki tiga orang teman, dan satu sahabat lelaki somplak bernama Samudra, dan biasa di panggil Sam. Mereka berdua sering bertengkar, namun mudah untuk akur kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosseroo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lawan pembully, jangan lemah!
Beberapa hari berlalu, Claudia sudah bisa ceria sejak kejadian tempo hari. Ia merasa sosok Rona sangat berpengaruh di sekolah ini, membuatnya iri. Mungkin karena ia anak konglomerat, juga donatur terbesar di sekolah ini, membuat siswa yang lain enggan mencari ribut dengannya. Kecuali, Erina.
Siang itu, halaman sekolah ramai oleh suara siswa yang berhamburan keluar kelas. Claudia berjalan dengan langkah anggun sambil membetulkan rambutnya yang ikal terurai rapi. Namun, tiba-tiba tubuhnya ditabrak seseorang yang berlari terburu-buru.
"Aduh!" seru Claudia, matanya langsung melotot pada gadis yang menabraknya.
Lala terhuyung, kacamatanya hampir terlepas, rambut dikuncir dua itu sedikit berantakan. "M-maaf... aku nggak sengaja," ucapnya gugup sambil menunduk.
Claudia menyilangkan tangan di dada, menatap sinis. "Astaga, ternyata yang nabrak cuma gadis cupu. Kacamata segede itu, nggak bisa lihat orang di depannya! Kurang tebal kah kacamata mu, sampai nggak lihat-lihat?"
"Ma-maafkan saya,"
"Rambut sudah aneh, kacamata segede matahari masih aja nggak jelas. Kamu nggak lihat, semua anak menatap mu aneh. Minimal dandan lah yang cantik, kaya aku ini. Huhh."
Lala menggigit bibir, wajahnya memerah menahan perasaan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menunduk dan lari, air matanya mulai jatuh. Claudia hanya mendengus kecil sambil melanjutkan langkahnya, seakan merasa puas.
Disisi lain, Samudra menghampiri Rona yang hendak pergi dengan membawa tasnya. "Sayang, mau kemana?"
"Ke kantor ayah, bosen." jawabnya malas.
"Udah izin guru?"
"Udah tadi,"
"Hati-hati di jalan ya, aku mau latihan basket dulu." kata samudra mengelus pipi Rona. Ia kembali berlatih, sedang Roba melanjutkan langkah kakinya.
Di garasi sekolah, Lala terhenti. Matanya terbelalak melihat sepeda tua, satu-satunya alat transportasi ke sekolah—sudah ringsek. Ban depannya penyok, setangnya bengkok. Beberapa anak lelaki berdiri di dekatnya sambil terkekeh.
"Hahaha, lihat tuh! Sepeda rongsokan itu akhirnya nyerah juga," salah satu dari mereka berseru.
Lala terisak. Ia berjongkok, mencoba menyentuh sepeda yang sudah rusak parah. "Kenapa... kalian tega banget." suaranya bergetar.
Tawa mereka pecah lagi, sepertinya mengerjai lala memang hobby para pembully. Namun, tawa itu tiba-tiba mereda ketika suara langkah sepatu terdengar mendekat.
"Ada apa ini?" suara dingin itu membuat semua menoleh. Rona berdiri di sana dengan tangan terlipat, tatapannya tajam menusuk.
Rona menoleh pada sebuah sepeda yang telah hancur di depan Lala, "Tch.. Seberapa kaya kalian, sampai berani merusak milik orang?"
Salah satu anak mencoba tertawa kecil, dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Cuma... bercanda, Na. Nggak serius kok—"
"BERCANDA?" Rona mendengus, mendekat selangkah. "Kalian pikir merusak milik orang lain itu bercanda? Membuat teman kalian nangis itu lucu? Dengar ya, di sekolah ini nggak ada yang boleh berulah dan sombong, kecuali gue!"
Aura dingin Rona membuat mereka semua kaku. Tatapannya bagaikan pisau, membuat anak-anak itu ciut. Mereka saling pandang, lalu buru-buru berlari pergi sebelum sempat meminta maaf.
Suasana kembali hening. Rona menoleh pada Lala yang masih berjongkok dengan mata sembab. Ia menatap Lala, "Loe, si gadis waktu itu. Lala?"
Pertanyaan Rona membuat lala menoleh, "Ka-kamu masih mengenaliku?" tanya Lala dengan terisak, mencoba berdiri walau gemetar.
"Udah, jangan nangis lagi. Mereka pengecut, beraninya cuma sama yang lemah. Nanti ku belikan yang baru."
Lala mengusap air matanya, "Ti-tidak usah Rona." berusaha menolak.
"Ku belikan skuter matik. Tidak ada penolakan! Jika mereka tahu, itu skuter matic dari ku. Tak akan ada yang berani merusak."
Lala tersenyum meski suaranya masih parau. "Terimakasih banyak, Rona."
Rona menghela napas, lalu menepuk bahu Lala. "Mulai sekarang, kalau ada yang mengganggumu lagi, harus loe lawan! Asal loe tahu, orang lemah, akan selalu jadi sasaran empuk para pembully."
Lala hanya bisa menganggukan kepala nya lemah. Ia ingin seperti Rona yang berani, namun ia juga tak memiliki kekuasaan. Seberani apapun, akan tetap di tindas karena bukan dari keluarga berada bukan?
Rona pergi meninggalkan Lala, ia beranjak masuk ke dalam mobil hitamnya yang sudah menunggu. Bersama sopir pribadi, Rona pergi menuju kantor ayahnya. Padahal jam pelajaran belum usai. Yah, dia memang selalu se-enaknya. Tapi ia tetap menjadi juara di sekolah.
"Maafkan aku Rona." sesal nya, Lala merasa bersalah karena ia telah diam-diam menguntit Rona dari belakang.
***
Malamnya, di rumah Lala, Levinson duduk dengan mengangkat kedua kakinya di atas meja. Ibu Lala sudah tertidur setelah minum obat.
"Udah gue transfer uang buat berobat ibu loe lagi. Sekarang, mana nomor Rona?"
"A-aku belum dapet Lev."
"Gimana sih! Cuma minta nomor saja, susah amat. Loe satu sekolah, satu angkatan pula. Apa segitu susahnya meminta nomornya?"
"Rona, bukan gadis biasa yang mudah di dekati Lev."
"Gue nggak mau tahu ya, besok loe harus dapet. Kalau nggak, tahu sendiri akibatnya." Brakk! Levinson membanting pintu rumah Lala saat keluar.
Paginya, pintu rumah Lala di ketuk berkali-kali. Seorang pria dari dealer mendatangi rumahnya. "Apa benar, ini rumah Lala marisa?"
"Be-benar,ada apa ya pak?" ia merasa bingung.
"Nona Rona Rosalie menyuruh saya mengantarkan sebuah skuter matik keluaran terbaru dari dealer kami ke rumah anda." Lala termanga, ia di kejutkan dengan skuter matik yang sudah nongkrong di depan rumah. Lala sungguh tak bisa berkata-kata.
"Ada apa, Lala?" tanya sang ibu, yang baru saja keluar dari kamar. "Loh, itu skuter matik milik siapa?" tanya nya bingung.
Seorang pria dari dealer itu memberikan sebuah surat-surat penting kendaraan, beserta kuncinya. "Beliau bilang, ini hadiah untuk anda. Semoga anda menyukainya."
"Te-terimaksih banyak pak." ucap Lala terharu, lelaki itu mengangguk, lalu pergi.
"La, dari siapa?" tanya ibunya lagi.
"Te-teman Lala bu, namanya Rona. Kemarin sepeda Lala di rusak sama temen-temen sekolah, terus Rona nolongin Lala. Malah beliau menggantikan nya dengan ini."
"Astaga, baik sekali teman mu itu. Pasti bukan orang sembarangan. Lain kali, ajaklah kemari. Akan ibu buatkan sop buntut istimewa."
"Iya bu." jawabannya ragu, lalu menatap skuter matik yang pernah jadi impiannya dulu.
~Haii para reader, mampir juga ke karya teman ku yuk 🥰👇
Judul : Penyesalan Tiada Arti
Author : Widia Ningsih
Menceritakan tentang seorang istri soleha yang di paksa agar menyetujui keinginan suaminya untuk berpoligami. Keinginan itu sungguh membuat hancur hati san istri, demi suami.
~Mau tahu kelanjutan ceritanya yang lebih seru, buruan mampir 🤗
Peka dikit
terimakasih sudah di promosikan