"Hanya memberinya seorang bayi, aku dapat 200 juta?"
***
Demi menyelamatkan nyawa putrinya yang mengidap penyakit jantung bawaan—Arexa Lyn Seraphine—terpaksa mencari pinjaman uang sebesar 200 juta dan ia hanya punya waktu semalam.
Tak ada pilihan lain, semesta mempertemukannya dengan Raffandra Mahendra, CEO dingin yang dikenal kejam dalam urusan bisnis. Arexa memberanikan diri mengajukan permohonan yang mustahil pada pria itu.
"200 juta? Jumlah yang sangat besar untuk kamu pinjam. Apa yang bisa kamu gadaikan sebagai jaminan?"
"Rahim saya, Tuan."
Tuntutan sang Mama yang memintanya untuk segera menikah dan juga rumor panas yang mengatakan dirinya bukan pria normal membuat Raffa akhirnya menyetujuinya dengan sebuah syarat.
"Bahkan uang ini akan menjadi milikmu, jika dalam waktu 6 bulan kamu berhasil mengandung anakku." ~Raffa
Apa yang akan terjadi dalam waktu 6 bulan itu? Di tambah rahasia Arexa yang terkuak membuat hubungan keduanya semakin rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam
Arexa merasa gelisah dalam tidurnya. Ketakutan seolah menghantui dirinya tanpa ampun. Napasnya terdengar memburu, keningnya mengerut dalam, dan keringat membasahi pelipis serta lehernya. Tubuhnya sesekali bergerak tanpa kendali, seolah berusaha melawan sesuatu yang tak terlihat dalam alam mimpi.
Akibat gerakannya yang berlebihan, Raffa terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh dan menatap istrinya yang tampak sangat gelisah. Tanpa pikir panjang, ia segera menyalakan lampu tidur dan mencoba membangunkan wanita yang terlihat diliputi mimpi buruk itu.
“Arexa, Arexa! Bangunlah!” seru Raffa dengan suara panik, sembari mengguncang tubuh istrinya pelan.
Arexa tersentak bangun. Napasnya memburu dan d4danya naik turun cepat. Matanya terbuka dengan sorot ketakutan yang masih tersisa, dan jantungnya berdegup kencang tanpa irama yang stabil. Raffa dengan sigap membantunya untuk duduk dan meraih segelas air dari nakas.
“Minumlah,” ucapnya tenang namun tegas.
Arexa menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia hanya meneguknya sedikit sebelum menolak dengan halus dan mendorong gelas itu menjauh. Raffa mengangguk paham, meletakkan gelas kembali ke atas nakas, lalu menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya.
Ia bisa merasakan tubuh Arexa bergetar. Cengkeraman tangan istrinya begitu erat di lengan Raffa, seolah ingin memastikan bahwa dirinya benar-benar terjaga dari mimpi yang menghantuinya.
“Kamu mimpi buruk?” tanya Raffa pelan, mengelus punggung wanita itu.
Arexa mengangguk pelan. Ia tetap diam, tak bersuara, hanya memeluk lengan Raffa erat-erat dengan ketakutan yang masih menyelimutinya. Dengan lembut, Raffa memeluknya lebih erat, membaringkan tubuh mereka bersama di ranjang. Ia berharap pelukannya mampu menenangkan kegelisahan dalam hati Arexa.
“Bukan … bukan aku yang melakukannya ... bukan aku ...,” lirih suara Arexa terdengar lirih di antara helaan napasnya yang masih berat.
Raffa mendengar jelas bisikan itu. Ia menatap dalam wajah istrinya yang kembali tertidur dengan perlahan. Hatinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ia lihat dalam mimpi itu? Apakah hanya sekadar mimpi buruk ataukah kenangan yang ingin dikubur?
.
.
.
.
Pagi Harinya, matahari mulai meninggi ketika Raffa terbangun. Ia merasa gerah meski AC masih menyala. Ia membuka selimut yang menyelimuti tubuhnya, lalu menoleh ke arah Arexa yang masih berada di dalam pelukannya. Saat tangannya menyentuh punggung wanita itu, Raffa menyadari asal panas yang ia rasakan.
“Arexa?” panggilnya khawatir.
Ia segera duduk dan menempelkan telapak tangannya ke dahi istrinya. Panas. Bahkan sangat panas. Wajah Arexa tampak pucat, bibirnya kering, dan napasnya terdengar berat.
“Arexa, Arexa! Kamu dengar aku?” Raffa mencoba membangunkannya dengan cemas, tapi Arexa hanya bergumam pelan tanpa membuka matanya.
Dengan panik, Raffa bangkit dari ranjang, mengenakan bathrobenya, dan segera menghubungi dokter kepercayaannya.
“Tolong, cepatlah datang! Istriku demam tinggi, dia enggak meresponku sejak tadi!” ucapnya tergesa-gesa di telepon.
Setelah menutup panggilan, Raffa kembali ke ranjang dan mencoba membangunkan Arexa lagi. Untungnya, wanita itu akhirnya membuka matanya perlahan dan menatapnya dengan pandangan lemah.
“Kak … kepalaku pusing sekali …,” lirihnya.
“Istirahatlah, aku sudah memanggil dokter ke sini,” ucap Raffa lembut. Ia segera membantu istrinya mengenakan pakaian yang layak sebelum dokter datang.
Tak berselang lama, seorang dokter datang dan segera memeriksa kondisi Arexa. Raffa berdiri di sisi tempat tidur, cemas, sementara dokter bekerja dengan tenang dan penuh fokus.
“Istri Anda mengalami radang. Saya akan berikan resepnya, Anda bisa menebusnya di apotek terdekat,” ujar sang dokter sambil mencatatkan obat-obatan yang diperlukan.
Raffa menerima resep itu dan mengantar sang dokter ke luar kamar. Namun, begitu ia kembali ke kamar, ia mendapati Meira, sudah berada di atas ranjang dan menyentuhkan tangan mungilnya ke dahi bundanya yang ditutupi kain basah.
“Mei, sudah bangun?” Raffa menghampiri, terkejut melihat anak itu sudah ada di sana.
“Bunda cakit … Bunda lepot ulucin mei yah … hiks …,” bibir mungil Meira mencebik ke bawah, dan matanya tampak basah menahan tangis.
Melihat itu, Raffa segera menggendongnya, menenangkannya dengan pelukan lembut. Meira masih menangis, menatap Arexa yang tampak lemah di tempat tidur. Ia berpikir, bahwa bundanya sakit karena terlalu lelah mengurus dirinya.
“Bukan, Bunda terlalu banyak minum es, jadi sakit. Sama seperti Mei, kalau Mei makan makanan sembarangan, nanti Mei juga bisa sakit,” bujuk Raffa.
“Tapi tanpa makanan Mei nda belnapas hiks…”
Raffa terdiam. Dalam tangis polos itu, ada kebenaran sederhana yang terasa menyentuh. Benar, tanpa makanan, siapa yang bisa hidup? Namun makanan yang salah juga bisa membawa penyakit.
“Bunda minum ael kulkas teluuus yah?” tanya Meira, mulai memahami sesuatu.
“Ya, karena itu Bunda sakit,” jawab Raffa.
Meira berpikir keras, lalu berteriak lantang, “Buang aja kulkasnya, bial Bunda nda cakiiit!”
Raffa berdehem pelan, hampir tersedak oleh logika sederhana anak itu. “Y-ya enggak bisa dibuang dong. Nanti simpan sayurnya di mana? Kan ada makanan yang harus disimpan di kulkas.”
Meira kembali mencebikkan bibirnya, matanya berkaca-kaca lagi. “Ayah lebih cayang cayulaaan dali pada Bunda Mei hiks,”
Raffa mel0ng0, tak tahu harus menjawab apa. “Ya-ya enggak gitu maksudnya …,”
“Benel kata bu Lomlah, cemua laki-laki itu celalu buat cakit pelempuaaan hiks …,”
Raffa memandang Meira tanpa ekspresi. Kali ini, ia benar-benar kehabisan kata. Kenapa para perempuan selalu punya logika yang tak bisa dijangkau pria?
Siang Hari, Arexa terbangun dari tidurnya. Pandangannya sedikit kabur, namun cukup untuk mengenali sekeliling. Ia beranjak duduk perlahan, gerakannya membuat kain basah yang menempel di dahinya jatuh. Ia menatap kain itu sebentar, lalu menoleh ke samping dan melihat Raffa tertidur di sofa dengan posisi menyender, terlihat kelelahan.
Ia melirik ke jam dinding. Sudah pukul dua siang. “Kenapa dia masih ada di rumah?” gumamnya.
Tak lama, terdengar suara sesuatu yang nyaring dari perut Arexa. Suara itu cukup keras hingga membuat Raffa terbangun dari tidurnya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangan yang masih buram, lalu segera menoleh ke arah Arexa.
Arexa tersadar bahwa suara itu berasal dari perutnya sendiri. Ia langsung duduk dengan cepat, lalu mengusap wajahnya kasar karena malu. Raffa yang sudah sepenuhnya terjaga tersenyum simpul melihat ekspresi istrinya.
“Sudah bangun? Kamu lapar ya?” tebak Raffa sambil mengangkat alis. “Aku ambilkan makanan buat kamu. Jangan kemana-mana.”
"Aku mau ke kamar mandi dulu sebentar," ucap Arexa dengan suara pelan. Kepalanya masih terasa berat, namun tubuhnya mulai merasa lebih baik. Meskipun begitu, ia tetap heran dengan sikap Raffa yang sejak tadi tampak begitu panik dan cemas.
“Oh. Ayo,” jawab Raffa cepat, langsung turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri istrinya.
Saat hendak menggendongnya, Arexa justru menepuk bahu Raffa cukup kencang. “Aku bisa jalan sendiri!” protesnya dengan nada ketus.
Raffa tidak terkejut, justru ia menghela napas pelan dengan nada bersikeras. “Aku gendong saja. Kalau kamu jatuh, aku yang repot nanti.”
Tanpa menunggu persetujuan, Raffa tetap mengangkat tubuh Arexa dengan perlahan namun penuh kehati-hatian. Seolah sedang membawa sesuatu yang sangat berharga dan rapuh. Ia tahu betul, kadang wanita itu terlalu keras kepala untuk mengakui kelelahannya.
Arexa sempat diam. D4da pria itu terasa hangat saat bersandar padanya. Sekuat apapun ia ingin membantah, kenyamanan yang diberikan Raffa membuatnya memilih untuk diam. Ada ketenangan dalam pelukan itu, yang mungkin tak bisa ia temukan di tempat lain.
Raffa menurunkannya perlahan di atas closet. Ia masih berdiri di sana, bersandar pada kusen pintu kamar mandi, menunggu tanpa berniat meninggalkan tempatnya.
Arexa memandangnya heran. Kedua alisnya bertaut, menatap pria itu dengan bingung. “Terus ... Kakak ngapain masih di sini?” tanyanya.
“Nemenin kamu,” jawab Raffa santai, menyilangkan tangan di d4da sambil menatapnya.
Arexa memejamkan matanya sejenak. Ia mendengus pelan, menahan rasa kesal yang bercampur malu. “Ngapain ditemenin? Udah sana keluar! Masa Kakak mau intipin aku buang air?!”
Wajah Raffa tetap datar. Dengan nada selow dan ekspresi polos, ia menjawab tanpa ragu, “Emang kenapa? Semuanya udah aku lihat. Apalagi yang belum aku lihat dari tubuhmu?”
“Heuh?!”
Arexa mendelik, wajahnya memerah antara malu dan jengkel. Ia mengangkat sandal yang terletak di samping kloset, hendak melemparnya ke arah suaminya yang masih berdiri tanpa salah di ambang pintu.
Melihat itu, Raffa tertawa kecil dan buru-buru keluar dari kamar mandi. “Oke, oke! Aku tunggu di luar!” katanya sambil menutup pintu.
Dari balik pintu, Arexa bisa mendengar suara langkah kaki suaminya yang menjauh, disertai tawa kecil yang masih terdengar samar. Ia menatap cermin kecil di depan nya, melihat bayangan dirinya yang pucat tapi ... ada sedikit senyum di sana.
"Dia tidak bekerja karena khawatir denganku?" lirihnya dengan perasaan bahagia membuncah.
________________
Panjang kaaaaaan😆
Awas kalau sampe skip like, Mei gigit nanti🤓
Meira: "Beldusta kaliii otholnya🧐"
😘😘😘😘😘😘💪💪💪💪😘😘😘
Makasih udah doble up-nya othorkuh.. kukirim kopi ya biar ga ngaaaanntuk
ow ow ada yg danger nih hihii 😁