NovelToon NovelToon
Menggapai Langit Tertinggi

Menggapai Langit Tertinggi

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Romantis / Epik Petualangan / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.1M
Nilai: 4.8
Nama Author: DANTE-KUN

Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.

Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.

Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 : Jiang Shen

Kota Jinan selalu ramai oleh derap langkah para pedagang dan suara bising transaksi. Kereta kuda keluar masuk, aroma rempah, kayu, dan keringat bercampur menjadi satu.

Di jalan utama, ada sebuah kamar dagang kecil bernama Paviliun Qingshan, tempat puluhan kuli angkut bekerja setiap hari. Bangunannya tidak megah, tapi cukup untuk menampung gudang besar berisi beras, gandum, teh, dan barang dagangan lain yang datang dari desa sekitar.

Di halaman belakang, seorang remaja kurus dengan wajah pucat kelelahan terlihat sedang memanggul sebuah karung gandum yang hampir lebih besar dari tubuhnya sendiri. Tubuhnya berguncang setiap kali melangkah, tapi giginya terkatup rapat, menahan rasa sakit dari pundak yang memar. Dia adalah Jiang Shen, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang sudah merasakan pahitnya hidup jauh sebelum usianya dewasa.

Ayahnya telah tiada sejak ia masih kecil, meninggalkan hanya ibunya seorang. Wanita desa sederhana yang kini berusia hampir lima puluhan, bekerja sebagai buruh tani di desa Qinghe, sebuah desa miskin di pinggiran kota.

Setiap hari, ibunya harus membanting tulang di sawah orang lain demi mendapat upah sekedar untuk membeli beras murahan. Jiang Shen tahu, tanpa dirinya bekerja di kota, ibunya mungkin sudah tak sanggup lagi bertahan hidup. Maka meski tubuhnya masih rapuh, ia memilih menjadi kuli angkut di Paviliun Qingshan, menanggung hinaan dan cemooh demi bisa mengirim beberapa koin tembaga pulang setiap akhir pekan.

Namun, penderitaan Jiang Shen bukan hanya karena kerja berat yang melumat fisiknya. Seolah hidup ingin benar-benar menguji, di kamar dagang itu ada seseorang yang sangat menikmati melihatnya menderita. Wei Liang, anak pemilik Paviliun, seorang remaja sebaya dengan Jiang Shen, namun bertolak belakang dalam segala hal. Berpakaian rapi, wajah penuh kesombongan, langkahnya angkuh. Baginya, Jiang Shen hanyalah seorang budak desa, penghibur gratis yang bisa ia perlakukan sesuka hati.

“Cepatlah, Jiang Shen! Angkut dua karung sekaligus. Kau pikir di sini tempat anak desa main-main? Kalau tidak bisa, pulang saja ke sawah, urus bebek dan ayam ibumu!” Wei Liang berseru keras, sengaja agar semua pekerja lain mendengar.

Tawa meledak di sekeliling mereka. Para kuli lain, meski hidupnya juga keras, justru ikut menjadikan Jiang Shen sebagai sasaran ejekan. Beberapa bersiul, ada yang bersorak mengejek, seakan penderitaan anak itu adalah hiburan di tengah hari yang melelahkan.

Tubuh Jiang Shen hampir roboh. Napasnya terengah, peluh menetes deras membasahi wajahnya yang masih muda. Bahunya sakit, lututnya bergetar, tapi tatapan matanya tetap keras. Dia menggigit bibirnya, menahan semua hinaan itu. Dalam hati kecilnya, Jiang Shen tahu satu hal: kalau dia berhenti, kalau dia menunjukkan kelemahan, semua orang akan semakin menginjaknya.

Namun, yang paling perih bukanlah sakit di tubuhnya, melainkan saat Wei Liang melangkah mendekat dan menepuk karung gandum yang sedang dipanggulnya.

“Kau tahu kenapa aku suka menyuruhmu, Jiang Shen?” Wei Liang menyeringai, tatapannya penuh penghinaan. “Karena kau tidak berharga. Kau hanyalah anak yatim miskin yang seharusnya bersyukur bisa bekerja di sini. Tanpa ayah, dengan ibu yang cuma buruh tani … hah, nasibmu memang layak untuk diinjak-injak.”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pisau. Jiang Shen terdiam, matanya sedikit bergetar. Hatinya panas, tapi lidahnya kelu. Bukan karena ia setuju, tapi karena ia tahu—dalam dunia ini, kata-kata orang kuat lebih keras dari suara kebenaran.

Dalam diam, ia menahan semua itu. Setiap hinaan, setiap ejekan, ia biarkan meresap ke dalam hatinya. Seperti bara kecil yang belum meledak, tapi suatu hari akan membakar habis semua yang meremehkannya.

...

Kota Jinan bukanlah kota kecil sembarangan. Letaknya di jalur dagang utama, menjadikannya tempat persinggahan pedagang dari berbagai arah. Jalanan pusat kota selalu dipenuhi gerobak beras, kain sutra, obat-obatan, dan logam berharga. Dengan penduduk sekitar empat puluh lima ribu jiwa, sebagian besar masyarakatnya adalah pedagang dan petani yang datang dari desa-desa sekitar untuk menjajakan hasil bumi mereka.

Namun, Jinan bukan hanya soal pasar dan perdagangan. Di baliknya, berdiri beberapa sekte dan klan berpengaruh yang menguasai sebagian besar wilayah. Nama mereka dihormati sekaligus ditakuti. Semua bergerak di bawah pengawasan ketat pihak Kerajaan Phoenix, kekuatan besar yang mengendalikan seluruh provinsi dengan tangan besi. Bagi rakyat kecil seperti Jiang Shen, sekte-sekte itu bagai dunia lain—tempat para pendekar hebat lahir, tempat impian untuk lepas dari penderitaan bisa menjadi nyata.

Sayangnya, pintu menuju dunia itu tidak terbuka untuk semua orang. Untuk bisa mengikuti tes masuk sekte, setiap orang harus membayar lima koin emas sebagai biaya administrasi. Jumlah yang sepele bagi keluarga kaya atau anak bangsawan, namun bagi seorang kuli miskin seperti Jiang Shen, itu ibarat jarak langit dan bumi.

Setiap bulan ia hanya menerima tiga koin perak dari kerjanya di Paviliun Qingshan. Jumlah itu bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan ibunya, apalagi menabung menuju angka lima koin emas. Butuh bertahun-tahun baginya untuk bisa mengumpulkan biaya itu, itupun kalau semua uang ditabung tanpa sepeserpun terpakai.

Meski begitu, Jiang Shen tetap berjuang. Ia memilih menahan lapar, hidup seadanya, dan mengirim hanya sedikit uang untuk ibunya, agar sisanya bisa ia sisihkan. Bagi Jiang Shen, impian untuk masuk sekte bukan sekadar mimpi kosong—itu satu-satunya jalan agar hidupnya dan hidup ibunya bisa berubah.

Tapi di tengah tekad itu, penderitaan sehari-hari selalu menamparnya kembali pada kenyataan. Di Paviliun Qingshan, ia bukan hanya kuli biasa. Ia adalah sasaran empuk bagi Wei Liang dan teman-temannya.

“Bangun, dasar sampah! Kau pikir boleh istirahat?!” teriak salah satu pengikut Wei Liang sambil menendang Jiang Shen yang sedang duduk kelelahan di pojok gudang.

Tubuh Jiang Shen terhuyung. Punggungnya yang kurus terkena hantaman kayu, lalu gelak tawa meledak di sekelilingnya. Wei Liang muncul tak lama kemudian, melangkah angkuh dengan senyum miring di bibirnya.

“Lihatlah dia. Bahkan untuk mengangkat satu karung pun hampir roboh. Dasar pecundang. Hei, pukul lagi! Aku ingin lihat wajahnya hancur hari ini!”

Beberapa pekerja muda yang ingin cari muka pun langsung menuruti perintah itu. Tinju mendarat ke pipi Jiang Shen, satu tendangan menghantam perutnya. Ia terjerembab ke tanah, darah segar mengalir dari sudut bibirnya. Namun meski tubuhnya sakit, meski penglihatannya berkunang, Jiang Shen tidak pernah mengeluarkan teriakan minta tolong. Ia hanya mengepalkan tinjunya di tanah, menahan semua rasa sakit itu sendirian.

Setelah puas, Wei Liang tertawa keras. “Ingat, kau hanyalah alat. Kau bekerja, aku senang. Kau menderita, aku lebih senang. Jangan pernah bermimpi jadi lebih dari itu, Jiang Shen.”

Semua orang tertawa, lalu pergi, meninggalkan Jiang Shen yang terkapar.

Di sudut gudang yang dingin, pemuda itu terbatuk keras, darah segar mengalir lagi dari bibirnya. Tubuhnya remuk, tapi matanya tetap terbuka menatap langit-langit usang. Dalam tatapan itu, ada sesuatu yang bergejolak. Sebuah tekad yang tumbuh semakin kuat setiap kali ia dihina, dipukul, diinjak.

“Suatu hari nanti … aku akan membalas semua perbuatan mereka.” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Ia sadar, jalannya panjang. Lima koin emas terasa mustahil untuk dicapai. Tapi justru karena itu, ia tak boleh berhenti. Baginya, impian masuk sekte adalah cahaya satu-satunya di ujung lorong gelap kehidupan. Dan tak peduli berapa kali ia dijatuhkan, ia bersumpah akan terus berdiri.

Hari-harinya di Jinan mungkin penuh luka, tapi justru luka itulah yang menempanya. Kelak, dunia akan tahu, bahwa Jiang Shen bukan sekadar anak miskin yang dijadikan samsak tinju.

Dia akan berdiri lebih tinggi dari siapapun yang pernah meremehkannya.

1
Ahmad R Laros
💪💪💪💪💪
Ahmad R Laros
gombal thooor
Ahmad R Laros
baguuuuussss
Ahmad R Laros
raja 5 mau lawan raja 6 apalgi jiang shen raja 8 mustahil
Ahmad R Laros
ceritanya alurnya sungguh mengesankn terkadang merinding membacanya
Ahmad R Laros
jooos
Ahmad R Laros
kaisar langit mantab
Ahmad R Laros
la piye iki hitam dan putih menyatu
Ahmad R Laros
kalhh💪💪💪💪
Ani Sumarni
Lanjut
Ani Sumarni
Kamu Jiang Shen harus semangat
Berjuang untuk menaklukkan Raja Naga Kalau kamu Mati siapa yang menjaga Ibumu dan Wanita yang menjadi pilihan hatimu Putri/Peri Jinan 😄😄
A 170 RI
akhirnya PilJa (Pemilihan Raja) juga..😀😀
Ani Sumarni
💪💪 lawan balik Jiang Shen keluarkan Ilmu Petie bawaanmu serap
Petir 2yang Menyerang mu ke dalam tubuhmu Jiang Shen Pokus
Ani Sumarni
Mungkinkah Jiang Shen tersedot ke
Dunia Lain/Dimensi/Dunia Kecil semoga membawa keberuntungan
Ani Sumarni
💪💪👍👍 Luar biasa Jiang Shen Pemuda Jenius/Kultivator Sejati
Semoga apa yang menjadi tujuan/Mimpinya menjadi kenyataan
Ani Sumarni
Cepatlah sembuh Xuenyin pulih kembali seperti sediakala Aamiiin
Dan cepat pulang ke rumah/Sekte
Untuk berkultivasi bermeditasi menyerap energi Qi Batu Giok Spiritual Jambrut Hijau untuk meningkatkan Ranah ke yang lebih tinggi
Ahmad R Laros
lambat bunuh zhen huang
budiman_tulungagung
asih satu mawar 🌹 gass keun..
Ani Sumarni
Cepatlah pulang dan langsung Kultivasinya untuk menyerap Energi Qi dari Batu Giok Spiritual Hijau Jambrut itu Jiang Shen dan Xuenyin biar cepat Menerobos ke Ranah berikutnya
warono surakarta
sungguh sangat luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!