SWL 9

Aku berjalan mengelilingi barisan buku-buku yang tertata rapi di setiap rak.

Sepulang sekolah tadi, aku di ajak oleh Nana dan Deca untuk mampir sebentar ke toko buku. Ya, setidaknya menghilangkan stres setelah mengerjakan tugas fisika tadi.

"Alina, sini geh!" seru Deca membuat aku menghampirinya, "keren gak?" ujar Deca.

Aku mengerutkan keningku membaca judul novel yang Deca tunjukkan, "Angan?"

Deca tersenyum, "Ini novel buatan sepupu aku tau," ucapnya.

Aku terperangah karena kagum, "Oh ya? Kok kamu gak cerita-cerita Ca kalau sepupu kamu penulis?"

Deca terkekeh, "Aku aja baru tau kemarin. Makanya aku ajakin kalian ke sini, sekalian mau liat karyanya."

"Ngomong-ngomong, gimana novel kamu Na? Udah selesai?" tanya Nana.

Aku mengangguk dan tersenyum, "Berkat Kavin, novelnya selesai."

Nana dan Deca terperangah, "Kavin? Cowok yang kata kamu tengil itu?" tanya Nana dan Deca secara kompak.

Aku tertawa, "Ternyata di balik ketengilannya, dia baik banget."

Deca terkekeh, "Awas loh, nanti kamu naksir sama dia. Ya gak Na?" goda Deca dan di setujui oleh Nana.

"Mana mungkin. Ngelupain satu orang aja sulit, gimana mau buka hati lagi." Aku tertawa renyah dan melangkah melihat buku-buku lain.

Deca dan Nana berjalan mengekoriku, "Nah, dengan cara kamu buka hati lagi siapa tau kamu bisa lupain Rafa," ujar Deca yang lagi-lagi di angguki oleh Nana.

Aku menghela napas, "Udah ah, kalian mikirnya kejauhan."

"Na, jangan lupa beli novel sepupuku ya?" ucap Deca dan ku acungi jempol.

Aku pun meraih novel yang Deca maksud dan kembali berjalan sembari mencari buku Latihan-latihan untuk Ujian nanti. Karena tak terasa, tinggal hitungan minggu aku sudah menghadapi Ujian Sekolah, lalu Ujian Nasional.

"Na, Na," Nana mengikutiku sampai barisan buku pelajaran.

"Kenapa Na?" tanyaku padanya.

Nana senyum-senyum sendiri sebelum mengatakan sepotong kata padaku. Aku hanya menggelengkan kapala dan melanjutkan langkahku mencari buku.

"Ih, Alina mah. Malah di tinggalin," ucap Nana mengejarku.

Aku memutar bola mata dan menatapnya datar, "Wae? Wae? Wae?" tanyaku menggunakan bahasa korea.

Nana tersenyum lagi membuatku ingin ber-istigfar.

"Aku balikan sama Anan," ucapnya membuatku terkejut.

"SERIUS?" tanyaku tak menyangka. Tapi, ya memang seharusnya mereka berdua cepat balikan. "Kapan dia ngajak balikannya? Dia nge-chat duluan awalnya? Atau gimana?"

Nana menggeleng, "Jadi kemaren kan aku di suruh Mamaku ke minimarket. Nah, aku perginya ke minimarket yang deket sama rumah Anan."

"Jauh banget! 'Kan minimarket deket rumah kamu, ada."

Nana tertawa, "Ya, supaya bisa ngelewatin rumah Anan. Tapi pas aku lewat depan rumahnya, kayanya sih gak ada orangnya. Soalnya tutupan gitu. Nah, pas aku sampai di minimarket, taunya Anan ada disana juga." Nana menjelaskannya dengan senyum yang tak henti-hentinya mengembang.

Aku pun ikut tersenyum mendengar ceritanya.

"Terus tau gak Na? Pas aku masuk ke dalam minimarket itu, 'kan dia lagi antri di kasirnya ya. Nah, aku pura-pura gak liat dia gitu. Terus abis aku selesai belanja, 'kan aku keluar tuh. Dan taunya, Anan nungguin aku dong di parkiran. Astaga! Seneng banget aku, Na."

"Terus dia langsung ngajak balikan, gitu?" tanyaku.

Nana menggeleng, "Dia ngajak aku duduk dulu, terus ngobrol-ngobrol masalah gak penting gitu. Ya, basa-basilah, nanya kabar gitu. Terus pas aku pamit mau pulang, dia bahas soal perasaan, Na. Dia ngajak balikan, dong!" ucap Nana dengan senyum bahagia.

Aku ikut tersenyum dan memeluknya, "Selamat ya. Jangan berantem-berantem mulu."

Nana mengacungkan jempolnya, "Siap! Yaudah sana kamu cari buku kamu. Aku mau cari buku tips supaya hubungan awet, hehe."

Aku menggelengkan kepalaku melihatnya seperti itu. Aku pun kembali melanjutkan niat awalku untuk mencari buku mengenai latihan ujian.

Brukhh!

Aku tak sengaja menabrak seseorang hingga buku yang orang itu bawa terjatuh. Aku pun meraih bukunya yang jatuh dan memberikannya padanya.

"Maaf ya, aku gak sengaja," ucapku padanya.

Ia tersenyum lalu melangkah pergi lebih dulu. Namun, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Ya, aku seperti pernah melihat perempuan itu. Tapi dimana?

"Na, pulang yuk!" teriak Nana dan Deca.

Aku mengangguk dan berjalan menghampiri mereka sebelum menuju kasir. Begitu kami sampai di kasir, perempuan yang aku tabrak tadi masih di sana. Ia juga sedang mengantri di kasir untuk membayar bukunya. Aku memperhatikan perempuan itu terus menerus. Sampai akhirnya ia menoleh ke belakang dan mata kami bertemu. Dan di situlah aku ingat siapa dia.

Dia adalah perempuan yang saat itu bersama Rafa. Karena perempuan itulah hubunganku dengan Rafa hancur.

Setelah perempuan itu membayar bukunya ia pun berjalan pergi.

Aku meraih dompetku dan mengeluarkan beberapa lembar uang, "Na, Ca, tolong bayarin novel ini ya. Aku ada perlu sebentar." Aku menyerahkan novel dan uang kepada Nana. Lalu melangkah pergi mengikuti perempuan tadi.

Perempuan itu berdiri di pinggir jalan. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang menjemputnya.

Dan, benar!

Sebuah motor hitam berhenti tepat di depannya. Jelas aku sangat mengenali motor itu. Terutama seseorang yang mengendarainya.

Rafa melepaskan helm-nya dan mencium tangan perempuan itu. Aku tersenyum kecut melihatnya. Itukah cara Rafa memperlakukan manis perempuan itu? Dasar, laki-laki!

Aku diam mematung saat perempuan itu naik ke motor Rafa dan keduanya pun mulai menjauh dari pandanganku.

Setelah keduanya pergi, aku pun kembali menghampiri kedua temanku yang masih di dalam.

Drrttt!

Baru saja aku akan masuk, namun ponselku bergetar. Rupanya Kavin lah yang menelpon. Aku menggeser tombol hijau dan menempelkan ponselku ke telinga.

"Na, lo dimana? Nyokap lo nanyain ke gue nih. Katanya lo belum balik."

Ucapan Kavin membuatku teringat kalau aku belum izin ibu akan pulang terlambat.

"I-iya, Vin. Bentar lagi gue pulang. Bilangin kalau gue masih di toko buku." Aku menutup sambungan lau menghampiri Deca dan Nana di dalam.

"Assalamualaikum," salamku saat aku melangkah masuk ke dalam rumah.

"Wallaikumsalam," jawab Kavin yang ternyata masih di rumahku.

Aku mengerutkan keningku, "Lo dari tadi di sini? Ngapain?"

"Apel sore," jawabnya enteng.

Aku memutar bola mataku malas mendengar jawabannya. Di waktu yang bersamaan, Ibu keluar dari dapur dan menghampiri kami.

"Kamu kemana aja, Na? Ibu kira kamu lupa arah jalan pulang." Ucapan Ibu sontak membuat Kavin tertawa dan menatapku dengan tatapan mengejek.

Aku menatap Kavin tajam dan beralih ke Ibu, "Iya Bu. Soalnya tadi peta Alina ilang. Mau pinjem punya Dora, gak di kasih."

"Krik! Krik!" ucap Kavin membuat Ibu tertawa dan keduanya pun mengejekku.

Aku mengerucutkan bibirku, "Anak Ibu, aku atau Kavin sih?"

"Maaf Na, kali ini Ibumu adalah Ibuku." Kavin memeluk Ibu dan Ibu pun merangkul Kavin membuatku semakin kesal.

"Suka gak tau diri emang Kavin ini," Aku meletakan tasku dan mendudukan diriku di kursi dengan wajah cemberut yang terpasang.

Kavin tertawa dan mendudukan dirinya di sampingku, "Elah, gitu aja ngambek. Sini, Kavin peluk, sini."

"Hey, gak boleh!" Ibu menatap Kavin tajam.

Kavin terkekeh dan menampilkan gigi ratanya, "Iya-iya, maaf Bu."

"Ayah mana Bu?" tanyaku.

"Ayah kamu lagi kerja," jawab Ibu.

Aku terkejut sekaligus mengembangkan senyumku, "Ayah udah dapet pekerjaan lagi?" Jujur, aku sangat senang mendengar kabar ini.

Ibu mengangguk, "Papanya Kavin yang bantuin Ayah untuk mengungkap kebenarannya. Dan orang yang fitnah Ayahmu sudah tertangkap, Na. Sekarang Ayahmu kembali bekerja lagi disana."

Aku tersenyum senang mendengar berita ini. Dan menoleh kea rah Kavin, "Vin, bilangin bokap lo, makasih banyak ya?"

Kavin tersenyum dan mengangguk. Ibu pun ikut tersenyum.

"Oh ya, kamu capek gak? Ibu mau minta tolong kamu antarkan kue ya ke Rumah Bu Nurma."

Aku terbatuk mendengar Ibu menyebut Bu Nurma, "Bu Nurma? Mamanya Rafa?"

Ibu mengangguk, "Katanya Kavin mau nemenin kok," ucap Ibu.

"Iya. Gue temenin kok." Kavin tersenyum miring dan sebelah alis yang ia naikkan.

Aku menghela napas hingga akhirnya mengiyakan permintaan Ibu.

"Yaudah, Ibu ambilin kuenya dulu ya." Ibu kembali ke dapur dan mengambil kue pesanan milik Bu Nurma, Mama Rafa.

Setelah Ibu menyerahkan kuenya padaku, aku pun berangkat dengan Kavin. Selama perjalan, aku membayangkan bagaimana jadinya saat aku mengantarkan kue, Rafa dan perempuan itu ada disana.

"Ah, enggak-enggak, gue gak bisa!" ucapku membuat Kavin menatapku bingung melalui kaca spionnya.

"Ngapa sih?"

Aku menghela napas, "Vin, gue gak sanggup mau ngasih kue ini ke rumah Rafa."

Bibir Kavin membentuk huruf 'o'. "Yaudah, kalau gitu gue aja."

"Terus, kalau lo ditanyain, 'Loh kok laki-laki yang nganterin? Kamu siapanya Bu Raisa?' terus lo mau jawab apa, bege?" tanyaku kesal.

"Ya tinggal bilanglah, 'Saya calon menantunya.' dah gitu aja kok repot!" jawab Kavin seenak jidat.

"Calon menantu, calon menantu, gundulmu! Lo fikir lulus ini gue nikah sama lo?"

"Ya kalau jodoh," Kavin mengedikan bahunya, "mau di gimanain?" lanjutnya.

Aku mendumal, "Ogah banget gue nikah sama lo. Kenal sama lo aja udah cukup bikin gue setres. Apalagi kalau nikah? Haduh gak bisa bayangin gue."

Kavin tertawa, "Jangan dibayangin, nanti jadi kepengen."

Rasanya ingin muntah aku mendengar ucapan Kavin tersebut, "Dah, ah. Males gue bahas-bahas nikah, berasa tua ntar. Yaudah deh, lo aja yang ngasihin nih kue," ucapku membuat Kavin menggelengkan kepalanya dan tertawa.

Perjalanan menuju rumah Rafa memang jauh, tak sedekat rumah Kavin yang tinggal terbang langsung sampai.

Kavin memperlambat lajunya saat kami sampai di pertigaan, "Belok mana Na?"

"Kanan," jawabku.

"Kira-kira, Rafa ada di rumah gak ya?" tanya Kavin tiba-tiba.

"Ngapain lo nanyain Rafa?" Aku menghela napas, "oh ya Vin, lo tau gak? Tadi gue ketemu selingkuhan Rafa di toko buku."

"Bukan selingkuhan lagi gong, kan lo udah putus sama Rafa." Ucapan Kavin membuatku tersenyum getir. Benar, perempuan itu bukan selingkuhannya, melainkan pacarnya. Dan sedangkan aku, aku hanya sebatas mantannya.

Aku berniat untuk melanjutkan ceritaku tadi kepada Kavin, "Dan lo tau gak apa yang lebih menyakitkan siang tadi? Rafa jemput perempuan itu dong!"

Kavin menatapku melalui kaca spionnya, "Terus?"

"Ya gue sakit hatilah!" ucapku kesal.

Kavin berdecak dan menghentikan lajunya. Ia turun dan menatapku, "Sampai kapan sih Na?"

"Hah?" Pertanyaan Kavin tadi membuatku tak mengerti.

Kavin menghembuskan napas secara kasar, "Sampai kapan lo kaya gini? Gak capek apa?"

Aku terdiam. Aku tak mampu mengatakan satu kata pun.

Kavin meraih tanganku dan di genggamnya, "Na, jawab. Gak capek apa?"

Aku menghembuskan napasku gusar. Tak tahu mengapa rasanya aku ingin menangis saat ini juga. Dadaku terasa sesak. Aku merasa oksigen mulai menipis. Aku tak mampu membendung air mataku lagi. Akhirnya air mata itu lolos begitu saja.

Melihatku menangis, Kavin pun segera menarikku ke dalam pelukannya. "Jangan nangis, malu."

Aku melepas pelukan Kavin dan segera menyeka air mataku. "Kalau ditanya capek enggak, gue capek Vin. Pura-pura bahagia depan dia, pura-pura punya pacar baru, pura-pura udah lupain semuanya, semuanya pura-pura Vin!" Air mataku turun lagi namun segera ku seka.

Kavin terdiam dan menatapku, hal itu membuatku malu dan segera membuang tatapanku ke arah lain.

Kavin ikut membuang tatapannya namun kembali menatapku serius, "Banyak laki-laki di luaran sana yang pengen dapetin lo. Kalau lo kaya gini mulu, yang ada lu cuma nyakitin diri lo sendiri."

"Gimana caranya Vin? Semua udah gue lakuin, tapi apa? Sama aja."

Kavin tersenyum, "Ada satu hal yang belum lo lakuin."

Aku mengernyit, "Apa?"

"Buka hati lo untuk gue,"

Aku terdiam. Aku tak pecaya Kavin mengatakan ini dengan raut wajah serius. Apa dia tidak sedang bercanda? Aku menatapnya dan mencari kebohongan disana. Namun, aku tak menemukannya.

Kavin kembali meraih tanganku dan menggenggamnya. "Gue cinta sama lo, Na. Gue tau lo gak ada rasa sedikit pun ke gue. Tapi gue pengen lo sedikit buka hati lo untuk gue."

Aku terdiam, tak mampu bicara. Karena, perasaanku bukan untuk Kavin. Masih ada nama Rafa di hatiku. Meskipun aku tahu, aku tak pantas lagi menyimpannya.

"Gue gak akan maksain lo. Tapi, tolong kasih gue harapan." Kavin menatapku membuatku semakin sulit bernapas.

Aku menghela napas panjang dan mengangguk. Sontak hal itupun membuat Kavin tersenyum. Bukan Kavin saja yang tersenyum, aku pun.

"Besok gue ada tanding basket, lo nonton ya?" pintanya dan ku angguki.

Kavin tersenyum lebar hingga menampilkan lesung pipinya membuatnya terlihat tampan. "Makasih," ucapnya.

"Untuk?"

"Kesempatannya," jawabnya membuatku tersenyum malu dan kami pun tertawa bersama.

Terima kasih, Vin!

Setelah meletakkan pakaian yang sudah ku lipat ke dalam lemari, aku berjalan menuju kasur dan merebahkan tubuhku di sana. Aku meraih ponselku dan membuka aplikasi Wattpad.

Aku tertawa terbahak-bahak saat membaca cerita romance komedi. Bisa sekali penulis itu membuatku ikut terhanyut dalam ceritanya.

Drrtt!

ORANG JELEK DILARANG MASUK

Kavin Artana telah membuat grup "ORANG JELEK DILARANG MASUK"

Kavin Artana menambahkan Anda

Kavin Artana telah menambahkan Anan Gevana

Anan Gevana : Grup apa ini coeg?

Kavin Artana telah menambahkan Nana Ayana

Nana Ayana : Ini grup apa? Siapa yang masukin, pula.

Anan Gevana : Beib, aku disini.

Nana Ayana : Loh? Ini grup apa beib?

Anan Gevana : Tau tu Kavin, gaje!

Orang aneh telah menambahkan Deca Arafa

Deca Arafa : Grup apa ini gaes? Orang-orangnya gada yang w kenal.

Nana Ayana : Ini siapa, bege? Kalau gak kenal!

Deca Arafa : Hehe, maksudnya yg lain gada yg kenal.

Anan Gevana : Gue Anan.

Kavin Artana : Gue cogan.

Alina Ayu Amanda : Iyuh bat dah!

Kavin Artana : Eh, ada Alina. Masih idup ternyata.

Anan Gevana : Anjay! Mulut lo Vin.

Kavin Artana : Udah biasa gue mah sama Alina. Ya 'kan Na?

Alina Ayu Amanda : Hm

Deca Arafa meninggalkan grup.

Kavin Artana : Eh *****! Siapa yang meninggal?

Alina Ayu Amanda : Meninggalkan gup Vin, bukan meninggal!

Nana Ayana : Somplak bgt sih lo vin.

Kavin Artana : Gpp lah, yg penting Alina cinta.

Alina Ayu Amanda : Dih! Sejak kapan?

Anan Gevana : Main TOD yok?

Kavin Artana : Kuy

Nana Ayana : (2)

Alina Ayu Amanda : Mls sebenernya. Tapi, yaudahlah.

Kavin Artana : Gue dulu sih. Gue pilih truth.

Nana Ayana : Apa yg ga lo suka dari Alina?

Kavin Artana : Lemotnya, leletnya, lambatnya. Heran gue sama dia jadi orang kok bisa lemot bgt. Tapi untung cinta.

Aku memutar bola mataku membaca pesan yang Kavin kirimkan. Namun entah mengapa, perlahan namun pasti aku mulai nyaman dengan kehadirannya. Entahlah, aku tak bisa menyebutkan bahwa ini cinta, karena di hatiku masih ada Rafa disana.

------

Jangan pelit-pelit vote dan comment ya :)

Terima kasih!

-Prepti Ayu Maharani

------------------------------------------------------

Terpopuler

Comments

atmaranii

atmaranii

cwo sjati itu emg hrus pntg mnyrah.. smngatt babang kavin... lma2 alina jg luluh

2021-04-15

0

Ainur Cutee

Ainur Cutee

apa mgkin pr yg di jpt Rafa itu kakak nya,trus lw itu bneran kk ny Alina mw donk di ajakin balikan scra Alina msh cinta sm Rafa,,,oh no jgn smpai trjdi!!!!!

2021-02-11

0

maura shi

maura shi

emg ya salah satu bt ngilangi gagal move on itu dgn membuka hati bt org lain

2020-07-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!