SWL 4

Aku menatap wajahku di depan cermin sebelum berangkat ke sekolah. Mataku terlihat sedikit bengkak, mungkin karena aku aku menangis semalam.

Drtt! Drtt! Drtt!

Aku meraih ponselku yang bergetar di atas kasur. Aku sedikit menyipitkan mata saat ada nomor asing yang menghubungiku.

"Halo?"

"ALINA! BURUAN!"

Aku memandang nomor asing yang masuk tersebut setelah terdengar suara pria yang berteriak di ujung sana.

"Ini siapa ya?" tanyaku.

"INI GUE, KAVIN! BURUAN KELUAR, GUE DI DEPAN RUMAH LO NIH!"

Aku melebarkan mataku, "Ngapain lo di depan rumah gue? Emang gue pernah nyuruh lo kesini?"

"BURUAN KELUAR! GUE GAK SUKA NUNGGU!"

Aku memutarkan bola mataku mendengar ucapan Kavin.

"SABAR!" ucapku lalu mematikan sambungannya.

Setelah memasukan buku-buku ke dalam tas, aku keluar untuk menemui Kavin di luar. Ibu sudah berangkat ke ruko sejak pagi tadi dan Ayah juga ikut kesana karena ingin membantu Ibu di ruko.

Aku melangkah keluar untuk menemui Kavin. Namun sampai di depan, Kavin tak ada di sini. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali masuk. Saat aku akan masuk ke dalam, ujung mataku melihat Kavin tengah berdiri di depan rumah tetanggaku.

Aku menyunggingkan senyumku dan berusaha menahan tawa. Kavin salah rumah. Bukannya ke rumahku, ia malah ke rumah tetanggaku.

Aku hanya menggelengkan kepala dan kembali ke dalam untuk mengambil kunci rumah lalu menguncinya sebelum berangkat ke sekolah.

Setiap hari aku selalu naik angkot untuk berangkat ke sekolah, dan begitu pun untuk hari ini. Aku sengaja meninggalkan Kavin yang tengah menungguku di depan rumah tetanggaku. Tak peduli, suruh siapa datang ke rumah tanpa tanya-tanya. Lagipula aku juga malas untuk berangkat bareng dia.

Aku melambaikan tanganku begitu sebuah angkot lewat. Angkot tersebut berhenti tepat di hadapanku. Saat aku akan naik ke angkot tersebut,

"ALINA!"

Aku memutar bola mataku dan menoleh ke sumber suara. Kavin menatapku dengan tatapan tajamnya. Aku hanya bisa menahan tawa dan tersenyum ke arahnya bersikap tak ada apa-apa.

"Bang, Jalan Aja Bang. Cewek Ini Pacar Gue. Biar Dia Bareng Gue Aja." Kavin mengatakan hal tersebut pada supir angkot membuat angkot yang berdiri di hadapanku berjalan pergi setelah mendengar ucapan Kavin.

Aku menghampiri Kavin dan mencubitnya, "Kok lo tega sih!"

"Aw, aw, sakit Na, sakit."

Aku melepas cubitanku dan melipatkan kedua tanganku di depan dada sembari menunggu kalimat yang keluar dari mulutnya.

"Yang tega tuh, lo. Kenapa lo ninggalin gue? Kenapa lo gak bilang kalau gue salah rumah?" Kavin menatapku seakan-akan aku lah yang paling bersalah.

"Emang gue minta lo dating ke rumah? Enggak kan? Emang gue minta lo jemput gue? Enggak kan?" ucapku.

"Kan gue udah bilang kemaren kalau mulai hari ini lo harus berangkat bareng gue. Dan satu lagi, lo gak nyimpen kontak gue ya?" Kavin menunjukan jari telunjuknya ke arahku.

Aku melipat kedua tanganku di depan dada dan mengenggelng.

Kavin menggelengkan kepalanya seraya menatapku tak percaya. Kavin menjulurkan tangannya ke arahku, "Bawa sini hp lo!"

Aku menatapnya bingung, "Untuk apa?"

"Bawa sini dulu,"

Aku menatapnya kesal dan ku serahkan ponselku padanya. Tak lama ia kembalikan ponselku dengan senyum mengembang di wajahnya.

Ku lihat, rupanya dia menyimpan nomornya dia ia beri nama 'CALON PACAR'.

"Dih, apa-apain sih." Aku menganggantinya menjadi 'Orang Aneh'.

"Awas aja kalau lo ganti," Kavin menatapku tajam.

Aku membalas tatapan tajamnya, "Udah!"

Kavin berdecak, "Yaudahlah, yok naik!" Kavin menyerahkan helm yang sengaja ia bawa untukku.

Aku memutar bola mataku sebelum meraih helm tersebut. Ku kenakan helm tersebut dengan perasaan malas. Sangat malas. Kalau bukan karena terpaksa, malas sekali aku menerima ajakannya. Tunggu, ini bukan ajakan. Tapi pemaksaan.

Pagi ini hampir seluruh murid SMA Pelangi mengerubungi papan pengumuman yang berada di koridor kelas. Sebagian murid rela berdesak-desakan untuk melihat apa yang di umumkan di sana.

Aku dan Kavin yang baru saja datang hanya saling menatap lalu melangkah mendekat untuk mengetahuinya.

"MISI! MISI!"

Ucapan Kavin sontak membuat seluruh siswi memberi celah untuk Kavin masuk.Sebenarnya apa yang membuat siswi-siswi itu patuh dengan Kavin. Padahal hampir semua siswi itu adalah seangkatanku yang dalam arti adalah Kakak kelas Kavin. Aneh, memang.

Aku mengekori langkah Kavin sampai kami berdiri tepat di depan papan pengumuman tersebut.Aku menghela napas kasar setelah membaca pengumuman itu.

Pengumuman itu di tulis oleh Rafa, selaku ketua OSIS yang dalam hitungan hari ini jabatannya sebagai ketua OSIS akan di lepas karena akan fokus dengan ujian nanti.

"Gue minat nih," celetuk Kavin yang langsung membuatku menoleh dan melebarkan mataku.

"Hah?! Gak usah aneh-aneh deh. Sekolah ini udah bener. Ntar kalau lo jadi ketua OSIS, yang ada ni sekolah jadi gak beres." Aku mengatakan itu dengan maksud bercanda. Dan lagipula aku juga tak yakin jika Kavin yang akan menjadi ketua OSIS SMA ini akan lebih maju. Bukannya aku meremehkannya, tapi memang iya.

"Jadi lo ngeremehin gue nih?" tanya Kavin dengan senyum miring di wajahnya. Tatapan menyebalkan yang selalu ia tunjukkan.

Aku menghela napasku sebelum menjawabnya, "Iya."

"Oke, Oke, Oke Na, lo ngeremehin gue, it's no problem. Tapi, kalau gue kepilih nanti jadi ketua OSIS, lo harus jadi pacar gue." Kavin menatangku dengan tatapan menyebalkannya itu.

Aku melipat kedua tanganku di depan dada, "Siapa takut!" Aku melangkah pergi menuju kelasku dan meninggalkan Kavin yang masih berdiri di depan papan pengumuman.

Menerima tantangan Kavin? Aku masih tak percaya dengan ucapan yang keluar dari mulutku tadi. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika seandainya Kavin terpilih menjadi ketua OSIS dan aku mau gak mau harus jadi pacarnya.

"Iyuh! Iyuh! Iyuh! Kok gue mau-mauan sih nerima tantangan dia?"

"Ngapain sih Na?" tanya Nana. Nana dan Deca yang ternyata berada disampingku hanya bisa menatapku aneh.

Aku menghela napas panjang sebelum menjelaskan semuanya, "Jadi guys, aku nyesel."

Deca mengerutkan keningnya, "Hah? Nyesel kenapa?"

Nana mengangguki pertanyaan Deca, "Iya, Na. Nyesel kenapa? Apa yang udah kamu lakuin? Wah, jangan-jangan kamu udah...?"

Aku memutar bola mataku, "Udah apa?! Aku gak ngelakuin apa-apa kali, ah. Jadi guys, aku nyesel, nyesel, nyeseeeel banget pake banget di tambah sekali."

Deca berdecak, "Ya apa? Dari tadi nyesal-nyesel-nyesal-nyesel."

"Aku nerima tawaran Kavin jadi pacarnya kalau dia kepilih jadi ketua OSIS. Gila kan aku? Ya allah, cobaan apa lagi ini? Dan begonya kok aku, mau gitu." Aku mengusap wajahku gusar.

"Kamu maksud gak Ca sama ucapan Alina?" tanya Nana.

"Enggak. Ntah Kavin siapa lagi," ucap Deca membuatku berhenti berbicara dan menatap mereka malas.

Aku memutar bola mataku malas, "Perlu banget tah aku jelasin Kavin itu siapa?"

"Perlu lah. Kalau gak kamu jelasin dulu, ya mana kita tahu siapa Kavin. Liat orangnya aja belum pernah. Ya kan Na?" ucap Deca dan Nana angguki.

Aku menghela napas panjang, "Jadi, Kavin itu anak baru yang mau nyalon ketua OSIS. Katanyaaaa," Aku memutar bola mataku malas.

"Jadi dia adik kelas kita dong?" tanya Nana.

Aku mengangguk.

"Terus hubungannya sama kamu? Kok kamu bisa kenal sama dia?" tanya Deca.

"Perlu banget aku jelasin juga?" tanyaku.

"Perlu lah!" jawab mereka kompak yang membuatku mau tak mau harus menjelaskannya.

Aku menghela napas panjang lagi sebelum menjelaskan kepada mereka mengenai Kavin. "Jadi, ceritanya Kavin itu anaknya temen Ibuku, dan aku bisa kenal sama dia, gara-gara aku ke rumahnya anter kue. Eh, tiba-tiba dia minta nomorku sama Anan. Tau Anan kan?"

"Nah, kalau Anan mah tau. Kan mantanku, hehe." Nana melebarkan senyumnya membuatku dan Deca hanya menatapnya malas.

"Jadi ceritanya, Kavin-Kavin itu suka sama kamu?" tanya Deca padaku.

"Yah, entahlah. Yang jelas aku gak suka sama dia. Males banget aku suka sama cowok nyebelin bin ngeselin kek dia. Jadi temen aja dah males-males banget, apalagi jadi pacar, iyuhhhhhh." Aku menepuk-nepuk pipiku membayangkan Kavin.

"Jangan gitu, ntar kalau cinta, jadi susah kan?" ucap Nana membuat Deca tertawa.

"Kantin yuk? Belum sarapan tau aku," ucap Deca.

Aku melihat jam yang melingkar di tanganku, "Udah mau masuk tau, Ca."

"Bentar aja gak papa lah. Lagipula katanya Pak Asen gak bisa masuk hari ini," lanjut Deca.

"SERIUS?" tanyaku dan Nana dengan kompak.

Deca berdecak, "Kalau soal free class aja, semangat bener. Dasar!" Deca mengecek uangnya dalam dompet, "Yaudah yuk, cus!"

Kami bertiga pun memutar langkah menuju kantin, di saat yang lain berjalan menuju kelasnya, kami bertiga malah memutar langkah menuju kantin. Bukan aku banget!

"Alina!" Aku menghentikan langkahku saat ada seseorang yang memanggilku. Tanpa aku menoleh, aku sudah tahu kalau itu Kavin.

Kavin berjalan menghampiri kami dengan membawa sebuah kertas. "Nih, tanda tangan." Kavin menyerahkan pena dan kertas itu padaku.

"Untuk?" tanyaku sebelum meraih pena serta kertas yang ia bawa.

Kavin menghela napas dan menatapku kesal, "Ya tanda tangan kontrak lah. Dah, cepetan tanda tangan. Gue mau masuk kelas nih."

Aku ikut menatapnya kesal dan menarik paksa kertas serta pena tersebut. Tanpa membaca dulu, aku langsung menandatangi kertas itu dan segera menyerahkan kembali padanya. "Tuh, puas?" Aku melanjutkan langkahku menuju kantin. Meladeni Kavin rupanya cukup menguras energi positifku.

"Jadi itu tadi yang namanya Kavin?" Deca membuka suara setelah kami bertiga sampai di kantin. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya.

"Ganteng kok," timpal Nana yang membuatku hanya bergidik ngeri mendengarnya.

"Kenapa gak langsung jadian aja sih, Na?" tanya Deca yang semakin membuatku bergidik ngeri.

"Kalian gak tau aja Kavin itu orangnya kaya mana." Aku bangkit dari dudukku untuk memesan makanan. "Mau makan apa kalian?" tanyaku sebelum meninggalkan meja.

"Nasi uduk aja deh, kamu apa Ca?" tanya Nana pada Deca.

Deca melihat-lihat daftar makanan yang ada di atas meja, "Nasi uduk juga deh."

Aku pun berjalan menuju tempat pemesanan, setelah memesan aku kembali ke meja dimana Nana dan Deca berada.

"Tau gak sih kalian? Awal aku ketemu tuh orang nih ya, dia tu sumpah, nyebelinnnn banget. Berasa perfect gitu. Eh, tau-tau malemnya dia minta nomor WA-ku sama Anan."

"Kamu ngomongin dia mulu, suka entar lho?" ucap Deca.

"Ih, amit-amit! Jangan sampe." Aku mengetuk kepalaku dua kali lalu ku ketuk meja yang berada di hadapanku.

"Ngomongin soal Anan, apa kabar dia sekarang? Aku udah lama tau gak liat dia," ujar Nana yang terlihat masih merindukan mantan pacarnya tersebut.

Sebenarnya usia Anan dengan kami sama. Sama-sama lahir di tahun yang sama. Namun karena Anan yang sering pindah-pindah sekolah, membuat dia pernah tidak naik kelas.

"Anan sekarang udah ada pacar baru kayanya," ucapku membohongi Nana. Padahal Anan sampai detik ini masih sering menanyakan kabar Nana padaku.

"Demi apa? Ya Allah, cepet banget sih dia ngelupain aku. Padahal kita putus belum juga ada dua bulan." Nana menampilkan wajah sedihnya membuatku kasihan melihatnya.

"Dia belum ada pacar kok. Aku bohong, hehe." Aku menampilkan deretan gigiku membuat Nana menatapku kesal namun senyumnya pun mengembang.

"Serius? Terus dia masih suka nanyain aku gak?"

"Tiap hari! Sampe bosen aku ngejawabnya. Nanyain Nana udah punya pacar belum? Nana sekolah gak hari ini? Nana udah makan belum? Nana udah pulang belum? Nana ke rumahmu gak? Huft, sampe bosen Na, aku jawabnya." Aku menjelaskna hal tersebut membuat Nana tersenyum senang. "Kenapa kalian gak balikan aja sih?" tanyaku.

"Ya gimana mau balikan, orang dia aja gak ngajak. Ya kali aku yang ngajak balikan," ujar Nana.

Aku dan Deca hanya bisa tertawa mendengar ucapan Nana.

"Oh ya, gimana hubunganmu sama Ari, Ca?" tanyaku pada Deca di sela-sela obrolan kami.

Senyum Deca tiba-tiba menghilang saat aku menanyakan kabar hubungannya dengan pacarnya. "Aku capek sama sifat Ari, dia terlalu posesif. Setiap detik, aku harus nge-pap ke dia. Ngasih tau aku dimana, aku sama siapa. Awalnya sih Ari gak kaya gitu, tapi semakin kesini, sifat aslinya semakin keliatan."

"Kenapa gak putus aja sih, Ca?" tanyaku yang sudah tidak tahan jika aku berada di posisi Deca.

Tiba-tiba air mata turun dari pipi Deca, "Aku gak bisa. Aku gak bisa putus dari dia." Deca segera mengusap air matanya sebelum banyak orang yang melihatnya.

Aku dan Nana saling bertatap dan memikirkan hal yang sama. "Ca, kamu gak?-"

"Ya enggaklah!" Deca semakin menangis kejar.

Aku dan Nana bernapas lega. Untung saja yang kami pikirkan tadi tidak benar.

Drtt! Drrt! Drtt!

Ponsel kami bertiga bergetar secara bersamaan. Rupanya ada pesan masuk dari grub kelas.

(: 12 IPA 2 :)

Rafa : Yang masih diluar cepet masuk, ada Pak Asen.

Kami bertiga pun saling menatap setelah membaca pesan grub dari Rafa. Aku dan Nana pun menatap Deca tajam.

"Maaf, aku gak tau kalau Pak Asen ternyata masuk." Deca menggigit bibir bawahnya.

Kami bertiga pun segera bergegas untuk pergi.

"MBAK, NASI UDUKNYA?"

--------

Jangan pelit-pelit vote dan comment ya :)

Terima kasih!

-Prepti Ayu Maharani

------------------------------------------------------

Terpopuler

Comments

Vina

Vina

q tuh nunggu nunggu up nya si Kana...eeehh malah nemu ini ceritanya orang tuanya si Kana...

2021-06-04

0

☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ

☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ

gokil... gokil.... seru banget

2020-12-23

2

Titin Nasa

Titin Nasa

psen satu nasi uduk nya

2020-07-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!