"Hai," sapa seseorang membuatku dan Alia menoleh.
"Kak Arga?"
Kak Arga menyunggingkan senyumnya. "Boleh gue duduk?" tanyanya.
Alia mengangguk, "Iya Kak, duduk aja."
Kak Arga tersenyum dan mendudukkan dirinya tepat berhadapan denganku, "Oh ya, ngomong-ngomong kalian berdua satu jurusan ya?"
Alia mengangguk, "Iya, Kak. Kami berdua satu jurusan. Kalau boleh tau, Kak Arga dari jurusan apa?" tanya Alia dengan senyum ramahnya.
Aku hanya diam mendengarkan mereka berdua. Biarkan saja mereka berdua yang mengobrol, aku akan menikmati mie ayamku saja.
"Dari jurusan Ilmu Komunikasi," jawab Kak Arga. Kak Arga melihat novel yang berada di atas meja dan meraihnya, "Ini novel siapa?"
"Itu novel karyanya Alina Kak," ucap Alia sembari menunjukku.
Kak Arga terperangah dan beralih menatapku yang tengah melahap mie ayam, "Hebat banget lo Alina. Kapan-kapan Gue beli deh novel lo, sekalian minta tangan juga."
Aku yang tengah mengunyah mie ayamku pun mengangguk, "Iya, Kak. Makasih."
Kak Arga tersenyum mendengarnya, "Alina, lo mau gak nemenin gue ke toko buku?"
Bola mataku melebar mendengar tawarannya. Siapa dia, bisa-bisanya minta temani aku ke toko buku. Memang tidak bisa apa dia pergi ke toko buku sendiri?
Aku meraih minummu dan meneguknya, "Aduh, Kak. Kayanya kalau untuk saat ini gak bisa. 'Kan masih ospek," ujarku apa adanya.
Kak Arga tertawa, "Ya, itu mah gue juga tau. Ya lain waktu gitu. Bisa kan? Soalnya gue juga mau sekalian beli novel lo," ucapnya yang membuatku semakin bingung harus menjawab apa.
"Yaudah, fix ya? Lo temenin gue. Yaudah kalau gitu gue pergi dulu. Kalian berdua jangan sampai telat kembali ke lapangan," ucapnya padaku dan Alia.
"Siap, Kak!" ucap Alia dan ikut aku angguki.
Setelah itu Kak Arga pun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan kami.
"Pemaksaan banget sih, dia!" ucapku kesal dan membuat Alia tertawa.
"Tuh, 'kan. Kayanya dia beneran suka sama lo deh, Na. Buktinya dia cari cara supaya bisa deket sama lo."
Aku memutar bola mataku, "Nah, sekarang saatnya gue cari cara supaya dia gak deketin gue," ujarku menjawab ucapan Alia.
"Kenapa gak di iyain aja sih ajakan Kak Arga? Lagipula dia ganteng, pinter, ketua BEM juga. Terus yang paling utama dia romantis keliatannya, hehe."
"Kadang kita butuh cowok yang humoris, Al. Gak hanya romantis. Kalau kita cuma suka dari keromantisannya, gue yakin, bukan hanya diabetes yang kita derita. Tapi stroke, jantung koroner, gagal ginjal atau penyakit lain yang beresiko kematian. Itu sih kalau kata Kavin dulu," ucapku membuat Alia tertawa.
"Siapa Kavin?"
Aku menghela napasku, "Yang gue ceritain tadi."
Alia mengangguk mengerti, "Jadi namanya Kavin?" tanya Alia yang langsung ku angguki. "Keliatannya dia memang spesial banget ya Na di hati lo? Sampai-sampai lo masih inget semua ucapan dia."
Aku tersenyum getir, "Gue juga gak tau Al sejak kapan dia spesial di hati gue. Yang jelas semenjak dia hadir di hidup gue, gue ngerasa nyaman. Dan setelah dia pergi, gue baru sadar kalau rasa itu bukan sekedar nyaman sebagai teman, tapi rasa cinta dari perempuan ke laki-laki."
Alia terdiam, "Sebenarnya kita di satu masalah yang sama, Na. Sama-sama kehilangan." Alia tersenyum miris.
Aku menatapnya, "Dia pergi juga?"
Alia menghela napas dan akhirnya mengangguk.
"Kenapa?"
"Gue gak tau, Na. Dia ninggalin gue tanpa sebab dan tanpa bilang kata putus."
Aku ikut merasa kasihan dengan Alia. Ternyata bukan aku saja yang merasakan kehilangan di tinggal seseorang yang kita cintai, tapi ia juga.
"Lo tau dimana dia sekarang?" tanyaku.
Alia mengangguk, "Dia masuk kampus ini juga."
Aku mengerutkan keningku, "Maba juga?"
Alia mengangguk.
"Jurusan apa?" tanyaku lagi.
"Manajemen, Na."
"Lo mau nemuin dia?" tanyaku namun ia sepetinya masih bingung. "Besok selesai ospek, kita temuin, ya? Mau gimana pun lo perlu kepastian darinya, Al. Kalau dia mau putus, ya udah lo harus ikhlasin dia."
Alia mengangguki ucapanku, "Iya Na, bener kata lo. Mau gimana pun gue perlu kepastian dan penjelasan dia. Dan kalau pun dia pengen kita putus, gue juga udah ikhlasin dia kok."
Aku tersenyum, "Yaudah yuk, kita balik ke lapangan."
Alia mengangguk dan kami berdua pun membayar makanan kami terlebih dahulu sebelum menuju lapangan.
Ospek hari ini telah selesai. Aku yang tengah berdiri di halte pun tengah menunggu Anan menjemputku. Kebetulan jarak rumah Anan dengan kampusku tidak terlalu jauh.
Aku melihat jam yang melingkar di tanganku. Waktu saat ini sudah menunjukan pukul 17.53 WIB, namun sampai saat ini Anan belum sampai juga. Aku menghela napas dan sesekali melihat ke langit yang nampaknya akan turun hujan.
"Duar!!" teriak seseorang mengagetkanku.
Aku menoleh dan menatapnya kesal, "Kak Arga? Kenapa sih kalau dateng selalu ngagetin mulu," ucapku sedikit kesal namun malah membuatnya tertawa.
"Lo lagi nungguin bis?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng.
"Terus? Ngapain lo berdiri disini?"
"Nungguin sepupu," jawabku.
Kak Arga mengangguk serta bibirnya membentuk huruf 'o'. Ia mendudukkan dirinya di sampingku membuatku sedikit risih.
"Gue temenin sampai sepupu lo dateng ya?" tawarnya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Mau aku menolak, lagipula ini tempat umum. Ya, sudah ku biarkan saja apa maunya.
Lima belas menit berlalu, namun sampai saat ini Anan belum juga sampai. Aku sudah mengirimkannya banyak pesan, namun belum juga satu pun ia baca.
Kak Arga melihat jam yang melingkar di tangannya, "Sepupu lo belum dateng juga, lo pulang bareng gue aja. Lagi pula ini udah magrib. kayanya bentar lagi ujan."
Aku menggeleng, "Gak usah Kak. Takutnya sepupu gue udah jalan deket sini."
Drrtt!
Ponselku bergetar dan ternyata Anan yang menelponku, aku segera mengangkatnya. "Halo Nan?" ucapku mengawali.
"Halo Na, kamu dimana? Masih di sana?"
"Iya, aku masih disini. Kamu jadi jemput aku 'kan?" tanyaku memastikan.
"Aduh, Na. Maaf banget ini. Di sini ujannya lebet banget. Aku gak bisa jemput kamu. Kalaupun mau nunggu ujan reda, pasti sampe malem. Kasian juga kamunya. Maaf ya Na."
Aku menghela napas gusar, "Yaudah deh Nan, gak papa. Makasih ya," ucapku lalu menutup panggilan kami.
"Sepupu lo gak bisa jemput?" tanya Kak Arga dan ku jawab dengan anggukan kepala. "Yaudah lo pulang bareng gue aja. Gue bawa mobil kok. Jadi gak perlu takut keujanan," tawarnya yang akhirnya mau tak mau ku turuti.
"Rumah lo dimana?" tanyanya di sela -sela perjalanan kami.
"Masih jauh Kak dari sini. Nanti pas ada pertigaan, belok kiri ya," ucapku dan langsung di angguki olehnya.
"Oh ya, ngomong-ngomong lo kenapa ngambil sastra?"
"Kakak sendiri kenapa ngambil ilmu komunikasi?" tanyaku balik.
Aku malas menjawab pertanyaannya. Sudah tahu aku suka menulis, masih saja bertanya alasanku mengambil sastra.
"Hmm, karena suka aja sih di bagian broadcasting," ujarnya. "Oh ya, dulu waktu di SMA lo deket gak sama Amara?"
Aku menggeleng, "Kita dari awal kenal memang udah gak akur gitu. Dan sampai sekarang pun masih sama."
"Kenapa?"
Aku menggeleng, "Gak papa," jawabku.
"Gara-gara cowok?" tebaknya dan refleks ku angguki.
"Oh ya Kak, jangan lupa belok kiri,"
Semilir angin malam berusaha masuk melalui celah jendela kamarku. Dingin, mungkin karena hujan tadi yang turun membasahi. Aku sengaja mengenakan pakaian hangat dan duduk di meja belajarku dengan ponsel yang berada dalam genggaman.
Sudah berkali-kali aku mencoba menelpon Kavin menggunakan nomor baru. Namun sampai saat ini nomornya tetap tidak aktif. Aku juga mengirimkan pesan melalui WhatsApp menggunakan nomor baru itu, namun tetap ceklis satu yang ada. Sepertinya dia juga sudah mengganti akunnya supaya aku tidak bisa menghubunginya.
"Kenapa pergi sih, Vin? Kenapa lo gak pamit dulu sama gue? Apa selama ini gue gak berarti buat lo?"
Aku menghela napas panjang dan meraih sebuah foto yang sengaja aku taruh di meja belajarku. Aku meraih foto itu dan tersenyum melihat wajahku dan Kavin terpampang di sana.
Foto itu di ambil saat Kavin mengajakku makan malam saat hujan turun. Dimana saat itu aku mengatakan kepada Rafa bahwa Kavin adalah pacarku.
Aku meraih novelku yang sudah menjadi buku, aku tersenyum saat aku membaca kembali novel itu. Ada satu hal yang Kavin tak ketahui dari novel ini. Di dalam novel ini terdapat namanya. Aku sengaja memberi nama tokoh utama dengan nama Kavin.
Aku tak tahu setan mana yang membisikiku untuk menamai tokoh utama dengan nama Kavin. Yang jelas setelah kali pertama Kavin menelponku malam-malam saat itu. Aku langsung mengganti nama tokoh utama menjadi nama Kavin.
Aku berharap Kavin tahu dan ia tersenyum melihatnya.
"Gue kangen lo, Vin!"
-------
Jangan pelit-pelit vote dan comment ya :)
Terima kasih!
-Prepti Ayu Maharani
------------------------------------------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Nana_Ratna
Baru kerasa berartinya seseorang ketika orang itu tlah pergi.
2021-02-22
0
Indri Yanti
nyesek..
2020-11-04
0
Kania Shuwail
baru terasa aaat sdh hilang
2020-07-15
1