SWL 2

"Ini bang," Aku menyerahkan satu lembar uang Lima ribuan dan melangkah pergi meninggalkan angkot tersebut.

Langkahku terus melaju melewati gerbang sekolah yang telah di ramaikan oleh beberapa siswa lainnya.

Tak terasa, sudah hampir 3 tahun aku bersekolah disini. Banyak kenangan yang sudah ku lalui. Salah satunya kenangan bersama Rafa. Sakit jika aku mengingatnya, namun tetap sulit untuk aku melupakannya.

Jika ada obat untuk melupakan seseorang, mungkin aku sudah memborongnya.

Aku mempercepat langkahku, namun terhenti begitu Rafa berdiri di hadapanku dan menatapku dengan tatapan yang sulit di artikan.

Selama ini aku selalu menjauh dan menghindar darinya. Namun, mau sejauh apapun aku menghindar, aku akan selalu bertemu dengannya.

Karena perlu kalian tahu, aku satu kelas dengannya. Bisa kalian bayangkan bagaimana sulitnya aku untuk melupakannya.

Bagaimana bisa melupakan? Jika setiap hari selalu bertemu.

Setiap mata kami bertemu, aku selalu membuang tatapanku. Dan setiap kali ia mendekat, aku selalu saja menjauh. Namun untuk kali ini, sepertinya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tanganku di tahan olehnya. Aku mencoba melepaskan tangannya dari tanganku, namun dia semakin memperkuatnya.

Aku menghela napas panjang, "Raf, bisa gak, lepasin tangan aku?!" ucapku dengan nada yang meninggi.

Rafa menggeleng, "Aku gak akan lepasin, sebelum kamu dengerin penjelasan aku dan maafin aku, Na."

"Apa kamu butuh banget kata maaf?" ucapku dan di anggukinya, "kalau gitu, aku maafin. Sekarang kamu lepasin tanganku dan biarin aku pergi."

"Tapi Na, aku mau kita kaya dulu lagi," ujar Rafa yang membuat mataku melebar.

Dengan mudahnya ia bicara seperti itu setelah apa yang sudah ia lakukan padaku. Apa kau tak tahu Rafa, betapa sakitnya aku saat melihat kamu memeluk perempuan lain. Walaupun aku tak tahu apa alasan kamu memeluk perempuan itu.

Aku tertawa mendengar ucapan Rafa tadi, "Kamu fikir, dengan aku maafin kamu, aku bisa lupa dengan apa yang udah kamu lakuin ke aku?" ucapku membuatnya diam, "asal kamu tau Raf, selama kita pacaran, aku selalu berusaha jadi yang terbaik buat kamu. Aku selalu belajar ngertiin kamu yang super sibuk, aku selalu belajar mahamin kamu. Tapi kenapa ujungnya kamu malah nyakitin aku? Kamu fikir, mudah buat aku ngelupain semua tentang kita. Kita pacaran udah lama Raf, kenangan begitu banyak. Untuk saat ini aku memang belajar untuk ngelupain semuanya dan aku yakin aku bisa. Tapi kenapa sekarang kamu dateng dan minta kita kaya dulu lagi?"

"Kamu perlu denger penjelasan aku Na. Yang kamu liat itu gak seperti yang seperti yang kamu bayangin. Perempuan itu-"

"Selingkuhan kamu?" tanyaku.

Rafa diam sejenak, "Bukan, Na. Dia itu-"

"Cuma temen?" Aku tersenyum kecut.

"Na, dengerin aku dulu," Matanya menatapku penuh harap.

Aku menyipitkan mataku dan menunjuk dadanya menggunakan jariku, "Kamu sama aja kaya cowok play boy yang ada diluaran sana Raf," aku menghela napas, "Jangan ganggu aku lagi!" ucapku kesal lalu berjalan pergi meninggalkannya sendiri.

Apa aku sudah keterlaluan dengannya? Ah, aku tak peduli. Salah siapa dia menyakitiku.

Aku melangkahkan kakiku menuju kelas sebelum bel berbunyi. Aku berjalan sedikit berlari. Setidaknya kurang dari 3 menit aku sudah berbaris di lapangan. Karena sebentar lagi upacara bendera akan di mulai.

Dan seperti dugaanku, kini aku sudah berbaris di lapangan dengan Deca dan Nana. Mereka berdua adalah sahabatku. Kami kenal sejak di adakannya MOS, dan saat ini pun kami masih di persatukan dengan kelas yang sama.

Dulu, saat aku masih pacaran dengan Rafa, mereka selalu menjadi tempat curhatanku. Sebenarnya sampai saat ini aku juga selalu curhat dengan mereka. Namun tak sesering dulu.

Karena memang benar, tingkat kegalauan orang yang berpacaran lebih besar daripada jomblo.

Pikiranku sedang tak fokus. Bahkan aku tak sadar jika pemimpin upacara menyuruh kami untuk hormat.

Aku menggigit bibir bawahku dan melirik ke barisan kenanku. Mataku bertemu dengan Rafa yang tengah berbaris sejajar denganku. Aku segera membuang tatapanku dan berusaha fokus mengikuti upacara.

"Hari ini ada Fisika ya?" bisik Nana yang berada di belakangku.

Aku hanya menganggukinya.

"Na, nanti bantuin aku ngerjain PR Fisika ya?" bisik Deca yang berada di samping kiriku.

"Aku aja belum!" ujar Nana.

Deca berdecak, "Aku minta tolong Alina, bukan Nana!"

"Tadi kamu bilangnya Na," ucap Nana berbisik kesal.

"Tapi aku manggilnya Alina buka Nana," ujar Deca.

Nana menghela napas, "Tapi kan sama-sama Na."

"Makanya nama gak usah sama-sama!" ucap Deca namun penuh penekanan.

Nana menggelengkan kepalanya dan menatap Deca kesal, "Ya biasa aja, gak usah pake otot ngomongnya. Salahin tuh Alina, ngapain nama panggilannya ikut-ikut Na. Kan bisa Al, Ayu, atau Amanda kek."

Aku hanya memutar bola mataku malas. Meladeni mereka sama saja memancing emosi, "Diem, Pak Budi ngeliatin ke arah sini aja," ucapku membuat mereka berdua diam.

Pak Budi adalah guru BK sekaligus pembina OSIS di sekolah kami. Hampir seluruh murid SMA Pelangi takut dengan beliau. Mungkin karena ketegasannya.

Setelah upacara bendera selesai. Deca dan Nana menarikku untuk buru-buru ke kelas.

Ya, apalagi kalau bukan meminta aku mengajari mereka Fisika. Sebenarnya aku tidak terlalu jago, namun setidaknya aku paham sedikit.

"Ayo Na, keburu Albert Einstein masuk."

Albert Einstein yang Deca maksud adalah Pak Asen, guru Fisika kami. Pak Asen memang sangat pintar dalam hal fisika, tak heran jika semua murid SMA Pelangi memanggilnya dengan sebutan Albert Einstein.

Aku melangkahkan kakiku memasuki kelas yang ber-plang '12 IPA 2' tersebut mengikuti langkah Deca dan Nana yang terus menarik-narik tanganku.

"Na, kamu di panggil," ucap Dewi, teman sekelasku.

Aku menghentikan langkahku dan menoleh, "Sama siapa Dew?" tanyaku padanya.

"Sama Pak Budi, kamu disuruh kesana sekarang. Cepetan! Keburu dia ngamuk lho," ucap Dewi lalu melangkah masuk ke dalam melewatiku.

"Ih Dewi ini, ganggu aja lho. Kami tu ada bisnis sama Alina!" ucap Deca yang di angguki oleh Nana.

"Loh, kok nyalahin aku? Salahin tuh pak Budi," ucap Dewi yang sudah duduk di kursinya seraya mengeluarkan buku dari dalam tas.

"Apasih Pak Budi ini, ganggu aja. Gak tau apa kalau aku belum ngerjain PR Pak Albert. Gimana dong Na, nasib kita?" ucap Deca dengan raut wajah menyedihkan.

Nana mengangguki ucapan Deca dengan wajah tak kalah menyedihkan, "Mati kita berdua Na. Gimana dong Na?" tanya Nana padaku.

Aku mengedikkan bahuku, "Ya gimana dong? Salah siapa kalian gak ngerjain PR. Makanya jangan pacaran aja," ucapku lalu melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.

"WOY, NA! AKU UDAH JOMBLO!" teriak Nana yang terdengar olehku.

Aku hanya tertawa dan mempercepat langkahku menuju ruangan Pak Budi.

Selama perjalanan menuju ruangan Pak Budi, pikiranku terus dihantui pertanyaan.

Mengapa Pak Budi memanggilku?

Apa aku berbuat kesalahan?

Atau jangan-jangan beliau marah karena kami bertiga tadi mengobrol saat upacara?

Jika benar, mengapa hanya aku saja yang dipanggil?

"Ahhhh!" Aku mengusap wajahku gusar.

"Ngapain sih?"

Aku menghentikan langkahku saat aku mendengar seseorang berbicara ke arahku.

Aku menoleh ke samping.

"Kamu?"

"Hai, bingung ya gue ada di sini?" ucapnya seraya menaikan kedua alisnya.

Aku menatapnya malas, tiba-tiba aku merasa mual melihat sikapnya yang sok keren itu.

"Boleh minta tolong gak?" ucapnya lagi.

"Apa?" tanyaku.

"Tolong anter gue ke kelas dong," ucapnya seraya mengeluarkan kertas dari dalam tas dan membacanya, "ke kelas 11 IPS 2. Iya bukan sih ini 11 IPS 2? Jelek banget tulisannya," lanjutnya sambil menyerahkan kertas itu padaku.

Aku meraih kertas itu dan membacanya, "Iya, 11 IPS 2."

Kavin tersenyum, "Bagus deh, kalau gue masuk IPS. Gue fikir gue bakal diterima di IPA."

"Sombong banget sih?!" ucapku.

Dia malah tertawa mendengarnya, "Gak papa sombong, yang penting ganteng. Daripada jelek, tapi sombong."

Aku malas meladeni ucapannya yang sudah melantur kemana-mana.

"Jadi gak?"

Kavin mengangguk, "Yuk!"

Aku melangkah lebih dulu dan Kavin mengekoriku. Aku tak menyangka jika dia akan bersekolah di SMA ini. Dan hal ini tak akan menutup kemungkinan kalau aku akan sering bertemu dengan dia.

Namun, untunglah! Sebentar lagi aku akan lulus. Jadi aku tak akan berlama-lama melihat wajahnya yang super menyebalkan. Baru melihatnya saja sudah membuatku emosi.

Setelah melewati beberapa kelas, kini kami berdua sudah sampai di depan kelas 11 IPS 2.

"Ini kelas 11 IPS 2." Aku menunjuk sebuah kelas yang berplang '11 IPS 2' tersebut.

Kavin membaca plang tersebut seraya mengangguk. "Kelas lo dimana?" tanyanya.

"12 IPA 2," jawabku singkat.

"Murid rajin dong?" ucapnya namun tak ku ladenin. Tak penting juga untuk ku jawab.

Kavin masih berdiri dan menatap plang itu sekilas dan kembali menatapku, "Mau nemenin gue masuk?"

"Ngapain?" tanyaku bingung.

"Ya, siapa tau aja lo pengen ikut masuk bareng gue," ucap Kavin dengan pedenya.

"Ogah!" ucapku jutek lalu berjalan pergi membuatnya tertawa.

Aku mempercepat langkahku untuk kembali ke kelas. Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku menghentikan langkahku.

Ah, ya! Aku lupa kalau Pak Budi memanggilku.

Aku pun segera mempercepat langkahku sebelum Pak Budi marah karena aku tidak datang juga.

Sesampainya di sana, aku melihat Pak Budi tengah berkutik di depan laptopnya.

"Permisi Pak," panggilku membuat Pak Budi menoleh, "Bapak manggil saya?" tanyaku memastikan.

"Iya Na, Bapak denger kamu jago nulis. Jadi Bapak mau minta tolong kamu bantuin Rafa ngerjain tugas OSIS dari Bapak. Tapi berhubung tadi ada Amara disini, jadi Bapak minta tolong Amara."

Aku bernapas lega. Syukurlah, untung saja bukan aku yang membantu Rafa. Kalau saja aku, mungkin yang ada aku hanya diam dan tak berkutik sekalipun.

"Ya sudah Pak, kalau gitu saya kembali ke kelas." Aku pun melangkah pergi meninggalkan meja Pak Budi.

"Eh, Na. Bapak mau minta tolong lagi ke kamu."

Aku menghentikan langkahku dan kembali ke meja Pak Budi.

"Tolong kamu antarkan dokumen ini ke Pak Manda ya?"

Aku mengangguk, "Baik, Pak."

"Oh ya, Pak Manda ada di kelas 11 IPS 2," lanjutnya.

11 IPS 2? Itukan kelasnya Kavin. Ah, malas sekali aku kesana.

"Gimana Na? Bisa kan?" tanya Pak Budi lagi membuatku mau tak mau harus mengangguk.

"Iya Pak, bisa kok."

Aku meraih dokumen itu lalu mengantarkannya ke kelas Kavin, dimana ada Pak Manda disana.

Sebenarnya aku malas sekali kesana, tapi mau bagaimana lagi, masa iya aku menolak perintah Pak Budi. Tapi, sudahlah! aku antarkan saja.

Kini aku tengah berdiri di depan kelas 11 IPS 2. Dari luar saja, suasana kelas itu terdengar amat bising. Sebenarnya apa yang membuat Pak Manda betah disini? Aku saja yang melihatnya sudah pusing sendiri.

Aku mengetuk pintu membuat semua yang ada di dalam menoleh ke arahku. Dan yang paling menyebalkan, Kavin menatapku dengan seringainya. Mungkin dia pikir aku kesini untuk menemuinya. Dasar!

"Assalamualaikum Pak," ucapku kepada Pak Manda.

"Wallaikumsalam," jawabnya dan aku pun berjalan menghampirinya, "ada apa Na?"

Aku menyerahkan dokumen kepada Pak Manda, "Ini Pak, ada dokumen dari Pak Budi," ucapku membuat Pak Manda mengerti.

"Makasih ya Na,"

"Iya, Pak. Kalau begitu saya permisi Pak."

Setelah menyerahkan dokumen tadi ke Pak Manda, aku pun segera keluar dari kelas itu. Aku sama sekali tak melihat ke arah Kavin. Jangankan melihat, mendengar suaranya pun aku malas. Dari awal bertemu aku memang tak suka dengannya. Apalagi setelah dia mendapatkan nomorku dari Anan.

Aku keluar dari kelas itu dengan napas lega, tak ada kebisingan lagi di telingaku.Namun langkahku terhenti saat aku sadar ada yang memegang tanganku dari belakang. Aku segera melepaskam tangan itu dan menoleh.

Rupanya itu tangan Kavin. Kavin menatapku dengan tatapan yang sok imutnya.

"Ngapain kamu di sini?" ucapku padanya.

"Emang kenapa kalau gue di sini? Gak boleh? Ini juga kan sekolah gue," jawabnya seraya melipat kedua tangannya.

"Maksudnya, kan di dalem ada guru."

"Terus?" tanyanya seperti menantangku.

Aku memutar bola mata malas dan berjalan pergi. Bukannya kembali ke kelasnya, Kavin malah mengimbangi langkahku membuatku semakin risih.

"Bisa gak, gak usah ikut-ikut?" tanyaku jutek.

"Emang gue ikut-ikut lo? Gue kan mau ke kamar mandi. Geer banget sih jadi cewek."

Aku mencoba menahan emosiku dan mempercepat langkahku. Namun Kavin malah mengikutiku. Dia juga mempercepat langkahnya.

Aku menoleh dan menatapnya tajam, "Kavin!"

"Apa?" ucapnya dengan wajah tanpa dosa.

Aku menghela napas panjang dan menatapnya malas, "Aku tau kamu bukan mau ke kamar mandi."

"Itu tau,"

Aku terus menahan emosiku, sabar Alina, ini cobaan untukmu, "Sebelumnya kita gak ada masalah, dan kita pun baru kenal. Tapi kenapa kamu gangguin aku? Emang gak ada cewek lain yang bisa kamu gangguin?"

"Gak ada," ucapnya santai.

Aku menatapnya tajam berusaha manahan emosiku yang mulai menggebu.

"Orang gue pengennya gangguin lo doang," lanjutnya.

"Kenapa harus aku?" tanyaku kesal.

Kavin tersenyum dan mendekat ke telingaku, "Lo cantik sih," ucapnya membuatku bergidik ngeri dan memperceoat langkahku.

Aku yakin pasti kini Kavin sedang tertawa setelah melihat ekspresiku tadi. Dasar, Bisanya membuatku kesal saja.

Mana tak sopan lagi denganku, padahalkan aku Kakak kelasnya dan jelas aku lebih tua darinya. Menjengkelkan!

Aku memasukan buku-ku ke dalam tas setelah pelajaran Pak Asen selesai.

Aku sudah berjanji pada Ibu kalau sepulang sekolah ini aku akan mampir ke pasar untuk membeli titipan Ibu.

Setelah itu aku baru ke ruko Ibu. Kebetulan pasar yang Ibu maksud tak jauh dari sekolahku. Jadi aku hanya perlu naik angkot sebentar untuk sampai disana.

Kini aku sudah berada di pinggir jalan. Aku memperhatikan angkot yang beberapa meter lagi sampai di hadapanku.

Dan tepat dugaanku, kini angkot itu berhenti di hadapanku.

"Angkot, neng?" tanya supir angkot itu.

"Enggak, Pak!"

Aku menoleh ke arah Kavin yang sudah berani-beraninya menolak tawaran supir angkot itu padaku. Dan kini, angkot itu sudah berlalu.

Aku menatap Kavin tajam, namun tatapan tajamku itu hanya di balas senyuman yang sok manis miliknya itu. Aku pun menatapnya kesal dan membuang tatapanku ke arah lain.

"Kenapa? Marah?" tanyanya yang sepertinya tidak merasa bersalah.

"Udah tau nanya!" ucapku seraya melipat kedua tanganku di depan dada.

Kavin tertawa, "Biasa aja kali, tambah cantik entar lho kalau marah-marah. Yuk, naik motor gue," ucapnya seraya menunjuk jok motornya.

"Ogah!" ucapku lalu pergi.

Aku mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Kavin mengejarku dengan motor ninjanya, ia fikir aku akan mau menerima ajakannya untuk pulang bareng?

Haha, sorry, aku lebih baik jalan kaki daripada harus satu motor dengannya.

"Yakin gak mau naik?" ucapnya saat motornya tepat berada di sampingku.

Aku tak menoleh sedikitpun, malas sekali aku menoleh!

"Nengok dong," ucapnya.

Aku menarik napas panjang dan menatapnya tajam, "Kamu fikir aku mau satu motor sama-"

"Duluan yaaa..." ucapnya santai lalu pergi dengan motor ninjanya itu.

Aku membelalakan mataku, menyebalkan sekali dia. Untuk apa dia menolak tawaran angkot untukku jika akhirnya dia tidak terus membujukku untuk pulang bersamanya? Akhhh! Kesal!

---------

Jangan pelit-pelit vote dan comment ya :)

Terima kasih!

-Prepti Ayu Maharani

------------------------------------------------------

Terpopuler

Comments

Irwin Mmf

Irwin Mmf

walau udah kpl 3 tetap aj suka kisah sma

2023-04-08

1

Nacita

Nacita

selalu suka sm kisah romantis masa2 SMA 😂😂😂

2022-01-10

0

elviana

elviana

thor....ini g ada hubungannya ma kana ya???

2021-03-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!