SWL 8

"ALINA! CEPETAN! LAMA BANGET SIH LO!"

Aku yang berjarak 5 meter dengan Kavin pun menatapnya tajam. Bisa-bisanya ia berteriak memarahiku di sekitaran banyak orang.

"Gak usah teriak-teriak bisa gak sih lo?! Malu-maluin aja," gerutuku.

"Lama sih lo-nya. Nyokap lo nyidam apa sih waktu hamil? Kok bisa punya anak lemot kaya lo."

Aku melipat kedua tanganku di depan dada, "Gue yang sekarang tanya, nyokap lo nyidam apa waktu hamil? Kok bisa punya anak dengan mulut toak kaya lo," balasku yang malah membuatnya tertawa.

Karena malas meladeni, aku segera meraih helm dan naik ke motornya, "Buruan!"

"Iya-iya, sabar kali. Gue tau lo gak sabar 'kan satu motor sama gue?"

"Hih!"

Ia masih tertawa. Lalu memutar kunci dan langsung menarik gas untuk keluar meninggalkan area sekolah.

"Vin, lo mau ajak gue kemana sih?" tanyaku di sela-sela perjalanan kami.

"Udah tunggu aja, nanti lo bakal seneng." Aku menyunggingkan senyum yang dapat ku lihat dari balik spion.

Selama perjalanan, aku tampak membayangkan bagaimana alur cerita kisah yang ku buat.

Ya, beginilah aku. Jika tak ada obrolan, aku lebih senang melamun dan membayangkan bagaimana kelanjutan cerita yang akan ku buat.

Tiga hal yang membuatku bisa terus mengarang. Di perjalanan, di tengah malam, dan tempat yang indah.

Sebenarnya ingin sekali aku menulis ceritaku berhadapan langsung dengan alam. Menghirup udaranya, bisa membuatku berkelana dalam khalayan-khayalan fiksi.

Aku tak tahu sejak kapan aku suka menulis dan mengarang. Namun, yang aku ingat, sejak aku masih di Sekolah Dasar, aku sering ikut lomba mengarang.

Aku menghela napas dan perlahan aku hembuskan. Cuaca siang ini cukup baik. Tidak panas dan tidak hujan. Aku suka.

"Na," panggil Kavin membuatku menoleh ke depan.

"Iya?"

"Sebenarnya apa sih yang buat lo cinta banget sama ketua OSIS itu?" Kavin menatapku sekilas melalui kaca spion.

Aku menghela napas sejenak, "Karena... gue fikir dia beda dari cowok lain," jawabku singkat namun mewakili segalanya.

Kavin tertawa, "Apa yang bikin beda? Mukanya yang datar itu?" ucap Kavin seenak jidat, "Na, Na, gue gak bisa bayangin gimana lo waktu pacaran sama dia dulu. Dia kan anaknya flat tuh. Pasti lo sama dia waktu pacaran adanya diem-dieman mulu. Hahaha,"

Aku refleks memukul kepala Kavin dengan pelan, "Enak aja kalau ngomong. Dia itu romantis tau!"

"Lo tuh butuh cowok yang humoris Na. Gak hanya romantis. Kalau lo cuma suka dari keromantisannya, gue yakin, bukan hanya diabetes yang lo derita. Tapi stroke, jantung, atau penyakit lain yang beresiko kematian."

"Sok tau lo," ucapku.

Kavin tersenyum miring, "Kadang yang romantis yang sering bikin nangis," ucapnya lagi.

Aku mengangguki ucapannya itu, "Bener sih. Tapi bukan berarti yang humoris gak bisa bikin nangis 'kan?"

"Menurut lo, gantengan gue atau Rafa?" Pertanyaan tidak penting itu keluar dari mulut Kavin.

"Gak bermutu banget sih pertanyaan lo!" ujarku.

Kavin berdecak, "Ih, jawab. Gantengan gue atau Rafa?"

Aku menghela napas, "Jawab jujur atau jawab bohong?"

"Terserah lo deh."

Aku tersenyum, "Elo."

Kavin tersenyum bangga dengan pedenya, "Itu jujur atau bohong?" tanyanya lagi

"Bohong," jawabku tersenyum seraya menunjukan gigiku.

Kavin menatapku dengan tatapan tajamnya melalui kaca spion membuatku tertawa lebar. Karena melihatku tertawa bahagia, ia pun memainkan gas motornya membuatku berteriak ketakutan. Dan hal itu sontak membuatnya tertawa terbahak bahak.

Namun ia tersadar dan memperlambat kemudinya, "Maaf, gue lupa. Hehe,"

Aku hanya membalasnya dengan tatapan tajamku.

Setelah sekian lama perjalanan, akhirnya kami sampai di sebuah tempat. Tempat ini cukup indah, asri, burung-burung pun banyak disini. Mungkin tempat inilah yang aku mau.

Namun, tempat ini sangat sunyi. Aku pun menatap Kavin dengan prasangka buruk.

"Lo bawa gue kesini gak ada niatan macem-macem sama gue 'kan?"

Kavin tertawa, "Buruk banget sih isi otak lo. Ya kali gue mau macem-macemin lo disini. Mending di hotel kali."

Aku mencubit pinggang Kavin.

"Aw, aw, aw, Na sakit Na!" ampunnya.

Aku melepas cubitanku dan menatapnya tajam, "Makanya kalau ngomong di jaga!"

"Makanya jangan sembarang nuduh orang. Gue tu bawa lo ke sini karena disini tempatnya cocok buat lo cari inspirasi," ucap Kavin yang sebenarnya.

Aku tersenyum malu dan merasa tak enak, "Hehe, maaf ya."

Kavin menatapku tajam, "Lo sih terlalu sering baca berita pencabulan. Makanya mikirnya negatif mulu," ucapnya kesal namun malah membuatku ingin tertawa, "yaudah, sana lo lanjutin novel lo. Gue liatin dari sini," lanjutnya.

Aku melihat ke arah bangku yang Kavin tunjuk, disana cukup sepi. Aku pun menarik lengannya dan memohon, "Temenin geh Vin. Gue takut."

Kavin mengangguk dan melangkah bersamaku menuju sebuah kursi kayu yang berada di sana. Aku mengeluarkan laptopku dan mulai mengetikan sesuatu di sana.

Imajinasiku seakan mengalir begitu saja. Semua ide akan alur cerita pun tertuang dengan mudahnya. Sedikit aku melirik ke Kavin yang sedang memainkan ponselnya. Terima kasih Vin, hari ini kamu sudah membuatku senang.

Aku kembali memainkan jariku bersama dengan tombol alfabet itu. Hingga tak terasa aku sudah hampir berada di bab terakhir.

"Kenapa sih Na, lo jadiin hobi lo ini sebagai pelampiasan buat ngelupain Rafa?" tanya Kavin tiba-tiba membuat fokus menulisku hilang.

Aku terdiam sejenak namun akhirnya menjawabnya, "Karena gue gak mau jadiin seseorang sebagai pelampiasan Vin," ujarku sambil terus melanjutkan aktivitasku.

"Kenapa?"

"Itu sama aja gue ngekhianati dia sekaligus bohongin diri gue sendiri Vin. Lagian orang mana sih yang mau jadi pelampiasan?" ucapku.

"Gue mau kok jadi pelampiasan lo."

Ucapan Kavin sontak membuat aktivitasku terhenti. Aku menatapnya.

"Tapi bohong!" lanjutnya sambil tertawa.

"Gila lo Vin." ucapku sambil menahan senyum malu karena ulahnya.

"Na, lo tau gak kenapa gue pengen banget lo jadi pacar gue?" tanya Kavin lagi. Namun kali ini aku malas meladeninya. "Ih, Na. Jawab dulu. Mau tau gak kenapa?"

"Iya, kenapa?" tanyaku tanpa menoleh sedikitpun.

"Ih, Na. Liat muka gue dulu," Perintahnya yang mau tak mau ku turuti.

Aku menatapnya, "Kenapa?"

"Karena cinta," jawabnya.

Aku menatapnya malas, "Ai, gue males becanda ah Vin. Diem dulu. Gue mau lanjutin ceritanya. Bentar lagi selesai nih," ucapku supaya dia diam.

Kavin memutar bola matanya, "Yaelah, gue serius, di anggep becanda. Gue becanda, di anggep serius. Dasar cewek, pantes aja sering sakit hati!" ucapnya pelan namun masih terdengar olehku.

Ucapan Kavin memang benar. Perempuan memang sering salah menilai. Mungkin karena itu lebih banyak perempuan sakit hati dari pada laki-laki.

"Kadang ya, Na. Kita itu perlu membuka hati dan menerima seseorang yang hadir. Meskipun kita tau, kita belum sepenuhnya lupain masa lalu kita. Tapi apa salahnya kita mencoba?"

"Yeay!" teriakku. Akhirnya aku dapat menyelesaikan novelku.

"Kenapa-kenapa?" tanya Kavin panik.

Aku tersenyum lebar dan memeluknya, "Kavin, makasih banyak. Berkat lo bawa gue kesini akhirnya gue bisa nyelesain novel gue ini. Makasih banyak Vin."

Kavin tersenyum dan membalas pelukanku, "Iya, Na. Sama-sama. Terus sekarang mau lo apain tuh novel?" tanya Kavin.

Aku melepas pelukanku dan kembali menatap layar persegi tersebut, "Mau gue kirim dong."

"Ke rumah Rafa?"

Aku menatapnya dengan ekspresi datar, "Ya ke penerbitlah. Masa iya, gue kirim ke rumah Rafa. Please deh Vin, Pinternya jangan kebangetan."

Kavin tertawa mendengar ucapanku. "Emang lo udah kasih judul tuh novel?" tanya Kavin membuatku teringat jika novel yang ku buat belum ku beri judul.

"Hampir aja gue lupa. Apa ya judulnya?" tanyaku padanya.

Kavin mengedikan bahu, "Mana gue tau. Kisahnya aja gue gak tau kaya mana."

Tiba-tiba, satu ide terlintas dalam otakku, "Ah, gue tau, gue tau. Kayanya enakan gue kasih judul Started Without Love. Keren gak?"

"Berawal tanpa cinta? Emang awalnya mereka gak cinta? Terus jadi cinta gitu?" tanya Kavin yang terlalu banyak tanya.

"Iya. Keren gak?" tanyaku lagi.

Kavin mengangguk, "Keren kok. Kaya kita gitu kan?"

Aku lagi-lagi menatapnya datar, "Bisa gak Vin, sehariiiii aja, lo gak bikin gue emosi?"

Kavin terkekeh, "Hehe, sorry-sorry. Yaudah selesain gih apa yang kurang."

Aku tersenyum, "Siappp. Oke, gue mau kasih sinopsis, daftar isi, kata pengantar, sama biodata gue dulu sebelum gue kirim ke penerbit. Oh ya Vin, lo tolong searching di google sih nama-nama penerbit. Gue pengen cari yang menurut gue cocok."

Kavin mengangguk dan langsung mencari apa yang aku minta.

Sembari menunggu Kavin, aku pun mulai membuat kata pengantar, daftar isi, dan biodata diri.

"Na, penerbit ini kayanya cocok deh buat novel lo. Soalnya dia nerima naskah novel remaja gitu. Terus konfirmasi naskah diterima atau enggaknya gak terlalu lama banget sih, sekitar 3 sampai 4 bulan gitu."

"Naskahnya dikirim dalam bentuk soft atau hard?" tanyaku sambil mengerjakan daftar isi.

"Soft bisa, hard juga bisa. Eh, alamatnya gak jauh juga sama rumah kita," lanjut Kavin.

"Mana, coba liat?"

Kavin menyerahkan ponselnya dan menunjukan penerbit mana yang ia maksud. Aku tertarik dan langsung tersenyum ke arahnya.

"Lo setuju?" tanyanya.

Aku mengangguk dan membuatnya tersenyum puas.

"Yuk, kirim."

"Gue selesaiin dulu daftar isinya," ujarku.

Tak lama setelah itu, semuanya pun selesai. Dan ini saatnya aku untuk mengirimkan naskah novelku ke penerbit.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan sore hari. Aku melihat jam yang melingkar di tanganku dan benar, saat ini jam setengah lima. Aku pun segera mengirimkan naskahku ke penerbit melalui email.

"Apa Vin, emailnya?" tanyaku sebelum mengirimkan naskah.

"Sebentar," Kavin pun men-scroll layar ponselnya, "Lovelypublisher@gmail.com."

Aku menoleh, "Lovelypublisher@gmail.com?" tanyaku memastikan.

Kavin mengangguk dan aku pun mulai mengarahkan kursor ke tombol kirim. "YES!" teriakku membuat Kavin menoleh.

"Udah?"

Aku mengangguk membuatnya tersenyum. Aku pun tersenyum melihatnya tersenyum tulus seperti ini. Bukan senyum menyebalkan yang biasanya ia tampilkan.

"Vin, makasih banyak ya lo udah bantuin gue. Mulai dari cari inspirasi, sampai ngirim naskahnya segala," ucapku sangat berterima kasih padanya.

"Selow Na. Gue ikhlas kok bantuin lo."

Aku tersenyum. Begitupun dengannya.

"Gue tunggu naskah lo jadi buku," ucap Kavin yang membuatku semakin bersemangat untuk menunggu kabar dari penerbit.

"Semoga pas gue dapet email dari penerbit, gue pas lagi sama lo ya?" ucapku dan ia angguki.

"Dan lo langsung nraktir gue makan."

"Dan lo yang bayarin?" ucapku membuatnya tertawa.

"Ya, elo lah. Kan lo yang bakal dapet banyak uang."

Aku terkekeh, "Aamiin, doain ya?"

Kavin mengangguk dan mengacungkan jempolnya membuatku tersenyum lebar.

"Thank You, Vin!"

-------

Jangan pelit-pelit vote dan comment ya :)

Terima kasih!

-Prepti Ayu Maharani

------------------------------------------------------

Terpopuler

Comments

Nana_Ratna

Nana_Ratna

Asyiik neeh pacaran ma Kavin

2021-02-22

0

☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ

☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ

like it... like it.... 💖💖💖

2020-12-23

1

(`⌒´メ) HONEY BEAR ✧ 🦕

(`⌒´メ) HONEY BEAR ✧ 🦕

Keknya ada sangkut pautnnya sama kavin deh penerbitnya jan jangan dia lgi

2020-07-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!