Aku dan Kavin turun di sebuah restoran. Restoran ini sangat dekat dengan sekolah kami. Jadi tak jarang aku sering kemari.Entah apa yang membuat Kavin membawaku kemari. Padahal banyak restoran lain yang berada tak jauh dari rumahku.
Aku berjalan mengekori Kavin memasuki restoran tersebut. "Kenapa harus kesini sih? Lo mau bikin gue tambah gendut?" tanyaku membuatnya menghentikan langkah dan menoleh ke arahku.
"Bukan gitu, gue ajak lo kesini bukan buat lo nambah gendut, Na. Sensi amat jadi cewek! Gue tau lo lagi laper. Tadi perut lo bunyi waktu gue peluk lo."
Aku melebarkan mataku, malu sekali aku dibuatnya.
"Udah gak usah sok malu. Biasanya juga malu-maluin!"
Aku menatapnya kesal, "Enak aja kalau ngomong!" ucapku seraya mencubit Kavin membuatnya meringis kesakitan. "Rasain!"
Kavin menyipitkan matanya menahan sakit karena cubitanku, "Ampun Na, ampun!" teriak Kavin membuatku ingin tertawa.
Ku lepasku cubitanku, "Yuk, makan!" Ku tarik tangannya memasuki restoran tersebut.
Kavin mengajakku untuk duduk di meja kosong yang berada di dekat jendela.
Hujan belum juga reda. Rintikan hujan membasahi jendela tersebut membuatku ikut terhanyut dalam tetesan air dan juga kaca yang mulai mengembun. Lantunan musik yang menggema di setiap sudut ruangan dan juga nuansa cokelat yang memenuhi restoran ini membuatku merasa hangat.
"Mau pesan apa Mbak?" Aku tersadar dari lamunan saat seorang pelayan datang dengan membawa daftar menu.
Aku melihat ke arah Kavin dengan maksud agar Kavin saja yang memesan. Kavin mengangguk dan memesan makanan beserta minuman untuk kami berdua.
Tak lama, setelah pelayan itu pergi. Pelayan lain datang dengan membawa makanan yang Kavin pesan. Karena lapar, aku segera melahap makanan tersebut.
Aku menghentikan makanku saat tersadar jika Kavin menatapku sejak tadi. "Ngapa sih liat-liat?" Aku meraih minumku dan meneguknya.
Kavin tersenyum, "Lo emang cantik ya kalau diliat-liat."
"Dari dulu kali!"
Kavin menyunggingkan senyumnya dan terus menatapku.
Pipiku merona karena tatapan tersebut. Aku pun membuang tatapanku ke arah lain agar Kavin tidak melihat pipiku yang memerah karena tersipu malu.
Saat aku tengah membuang tatapanku ke arah lain, mataku tak sengaja bertemu dengan Rafa yang baru saja memasuki restoran bersama Ari. Ari yang juga melihatku pun berjalan menghampiriku.
"Hai, Na," sapa Ari yang sudah berada di sampingku di sertai Rafa di sampingnya.
Aku menatap sekilas ke arah Rafa lalu kembali menoleh ke arah Ari. "Hai, Ri."
"Gak sama Deca?" tanya Ari.
"Enggak, Ri." Ya, Ari teman Rafa ini adalah pacar Deca, sahabatku.
Saat aku masih berpacaran dengan Rafa, Ari juga sudah berpacaran dengan Deca. Maka dari itulah kami sering double date. Karena itu pula aku akrab dengan Ari. Selain itu, Ari pernah sekelas denganku saat kami kelas 10. Namun setelah kami naik kelas 11, aku tak lagi sekelas dengan Ari.
"Na," Rafa memanggilku membuatku reflex menoleh ke arahnya.
"Kenapa?" tanyaku tanpa berekspresi sedikit pun, walau dalam hati aku amat merindukan berbicara dengannya.
Mustahil untuk aku melupakannya dengan begitu mudah. Meski ia telah menyakitiku, bukan berarti aku membencinya sepenuhnya. Masih ada namanya dalam hatiku. Masih ada ruang untuknya. Namun rasa kecewa telah mengubah segalanya.
"Sama siapa?" tanya Rafa seraya matanya yang menunjuk ke arah Kavin.
Kavin yang merasa dirinya yang dimaksud pun menoleh ke arah Rafa sekilas dan kembali menatapku.
Aku tersenyum tipis dan meraih tangan Kavin dan menggengamnya, "Pacarku."
Mendengar jawabanku, senyum yang Rafa tampilkan perlahan memudar. "Selamat ya. Jangan lupa PJ-nya, hehe."
Aku tersenyum dan mengangguki ucapannya tersebut, "Makasih ya. Semoga kamu juga bahagia sama pacar kamu."
Terlalu menyakitkan saat aku mengatakan hal tersebut. Akan terlalu banyak luka setelah aku mengatakan padanya bahwa Kavin adalah pacarku. Aku tahu, setelah ini akan banyak sandiwara yang akan aku mainkan.
Melihat keadaan yang sudah tidak baik, Ari pun segera mengajak Rafa pergi. "Yaudah kalau gitu kita kesana dulu ya," Ari menunjuk meja kosong.
Aku mengangguk dan membiarkan Ari dan juga Rafa pergi. Setelah mereka pergi, aku sedikit bernapas lega. Namun tetap aku merasa gugub, karena posisi dudukku saat ini berhadapan dengan Rafa yang duduk disana bersama Ari.
Kavin tak banyak bicara, bahkan setelah aku mengatakan bahwa ia adalah pacarku. ia sibuk memainkan ponselnya seraya menyuapkan makanan ke dalam mulut.
Karena Rafa masih memperhatikanku, aku pun menyuapkan sendok yang berisi makanan ke dalam mulut Kavin. Kavin terkejut lalu tersenyum lebar dengan apa yang baru saja aku lakukan.
Rafa membuang tatapannya ke arah lain setelah melihatku menyuapi Kavin. Aku tersenyum miring setelah tujuanku berhasil membuat Rafa cemburu. Aku tak bisa memastikan Rafa cemburu atau tidak, yang jelas tatapan yang ditampilkan oleh Rafa menunjukkan kalau dia tidak suka.
"Na," panggil Kavin.
"Apa?"
Kavin membuka mulutnya lebar, "Ak, lagi."
Aku memutar bola mataku malas. Dan menyuapkan makanan lagi ke mulutnya namun dengan porsi besar membuatnya susah mengunyah. Aku tertawa melihatnya seperti itu.
Kavin mengunyah makanan dengan susah payah, "Ya gak usah gede gede juga geh, Na." Kavin menatapku kesal namun tetap ku balas dengan tertawa.
Aku membuka aplikasi WhatApss karena terdapat notifikaai masuk. Rupanya hanya chat grub saja. Aku berusaha kembali fokus dengan makananku. Walau ujung mataku masih terus melirik ke arah Rafa yang masih melihat ke arahku.
Mungkin kalian jengah melihatku yang terus-terus membahas Rafa, Rafa, Rafa dan Rafa. Namun percayalah, jika kalian sudah mencintai seseorang dengan amat dalam. Sesakit apapun dia melukaimu, hatimu masih terus mengatakan cinta. Walau bibirmu mengatakan, kau sudah melupakannya.
Seperti yang pernah ku katakan, melupa bukan perihal hapus, pergi dan mencari pengganti. Namun sanggupkan hati menyadari bahwa ruang telah sepi.
"Na," panggil Kavin lagi membuatku menoleh dan menatapnya dengan penuh tanya. "Akhh," Kavin membuka mulutnya lebar.
Aku meraih satu sendok lagi dan kembali menyuapkan ke dalam mulutnya.
"Puas?"
Kavin menaikkan alisnya dengan maksud bahwa ia puas.
Aku memutar bola mataku lalu melihat ke arah jam yang melingkar di tanganku. "Pulang yuk?"
Kavin mengangguk lalu meminum minumnya sebelum bangkit dan meninggalkan restoran ini.
"Mau mampir gak?" tanyaku begitu Kavin mengantarkanku pulang sampai di rumah.
Kavin menggeleng, "Udah malem, Na."
Aku mengangguk dan turun segera dari mobilnya.
Sebelum aku turun, Kavin memanggilku, "Na," panggilnya membuatku terhenti dan menatapnya bingung.
Aku memberinya jeda untuk bicara.
"Lo ada masalah apa sama ketua OSIS?"
Aku terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Kavin.
"Cowok yang nanyain gue tadi ketua OSIS 'kan?" tanyanya lagi.
Aku terdiam sejenak, "Dia mantan gue," Aku menghela napas, "Dan gue masih cinta," lanjutku. Entah apa yang membuatku berterus terang dengan Kavin.
Kavin tersenyum getir, "Potekin aja Na, hati gue. Omongan lo yang terakhir bikin gue patah hati tau gak? Gue mah udah seneng-seneng di suapin, di anggep pacar sama lo. Eh taunya, cuma buat bikin mantan cemburu."
Aku tertawa mendengar ucapan Kavin, "Lebay lo! Dah sono pulang, udah malem. Besok kan sekolah," ujarku seraya menyuruhnya cepat pergi.
"Lo dulu sama masuk. Gue mau ngeliatin dari sini," ucapku membuatku tertawa geli.
"Apaan sih, dah sana pergi, Vin. Males gue lama-lama liat muka lo."
"Besok gue jemput ya sekolahnya?"
Aku mengangguk lalu menutup pintu mobilnya dan membiarkannya pergi dari pandangan mataku. Setelah mobil Kavin tak terlihat, aku pun segera masuk ke dalam.
"Jadi, ponakan tante pacaran sama Kavin nih?"
Suara Tante Mira mengangetkanku. Rupanya Tante Mira dan Anan tengah duduk di ruang tamu sembari menungguku pulang.
"Ih, enggak tante. Alina gak pacaran sama Kavin. Kami berdua gak ada hubungan apa-apa. Malah biasanya kami berantem mulu." Aku menutup pintu dan duduk di sofa bersama mereka.
"Gimana jalan sama Kavin? Asik kan?" ucap Anan tertawa seraya menggodaku.
Aku mendumal, "Asik apanya, nyebelin mah iya." Aku meraih ponselku dan mengaktifkan data seluler.
"Tapi lama-lama suka 'kan?" timpal Tante Mira.
Aku melebarkan mataku, "Mana ada?! Gak, gak, gak gak! Ih, Tante mah. Alina tu gak ada hubungan apa-apa lho sama Kavin."
Tiba-tiba panggilan masuk datang dari Kavin membuatku terbatuk. Dengan reflek, aku menggeser tombol hijau dan meletakan ponselku ke telinga.
"Halo?" Aku membuka bicara terlebih dahulu.
"Na, gue udah sampe rumah nih," ucapnya di seberang sana.
Aku memasang wajah datar, "Terus?"
"Ya gak papa, ngabarin aja. Yaudah gue matiin ya, telponnya. Sampai ketemu besok," ucapnya lalu mematikan sambungan telepon.
"Siapa Na?" tanya Tante Mira dengan senyum menggoda di wajahnya. Sepertinya Tante Mira dan Anan sudah tahu siapa yang meneleponku.
Aku memasang wajah cemberut, "Kavin," jawabku membuat mereka berdua tertawa dan terus menggodaku.
"Ih, tante sama Anan jangan godain Alina terus lho. Alina sama Kavin tuh gak ada hubungan apa-apaaaa," Aku memasang wajah cemberut. Namun mereka terus saja menggodaku.
"Ciee, ponakan tante udah gede," goda Tante Mira.
"Ciee, cieee," timpal Anan.
Aku bangkit dari dudukku, "Mau masuk kamar ajalah!" Aku melangkah masuk ke kamar. Namun masih tetap ku dengar Tante Mira dan Anan menertawaiku.
--------
Jangan pelit-pelit vote dan comment ya :)
Terima kasih!
-Prepti Ayu Maharani
Ps : Bonus foto Alina dan Kavin saat dinner.
------------------------------------------------------
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Vina
terbawa cerita...jadi inget jaman SMA dulu
2021-06-04
0
Nonk Mpiee Z { IG > nonk_mpiee
egois mtusin se pihak gx mw dnger pnjlsan lg,,
ko Q emosi ya sm Alina,,
2021-03-18
0
niay
author pinter bikin kata" mutiara nya,,bikin baper😄
2020-10-07
1