SWL 1

Namaku Alina Ayu Amanda, mereka biasa memanggilku Alina. Usiaku saat ini 18 Tahun. itu artinya kini aku duduk di kelas 12 Sekolah Menengah Atas. Aku bersekolah di SMA Pelangi. Kesibukanku sepulang sekolah adalah menulis.

Ya, aku memang suka menulis. Tepatnya menulis novel. Sering aku mengirimkan novel-novelku ke penerbit, namun sepertinya dewi fortuna belum berpihak kepadaku. Jadi sering sekali naskahku di tolak oleh penerbit. Sebenarnya bukan sering lagi, melainkan selalu. Aku sedikit malu mengakui ini.

Namun perlu kalian tahu, tujuan utamaku menulis novel bukan untuk di terbitkan oleh penerbit, lalu aku mendapat royalti dari karyaku. Tapi, tujuan utamaku menulis adalah untuk melupakan seseorang.

Apa kalian tahu siapa seseorang itu?Dia adalah Rafa Ginanjar Putra Pratama. Biasa di panggil Rafa. Dia tampan, pintar dan juga baik. Saat ini dia menjabat sebagai ketua OSIS, sekaligus kapten tim basket di SMA Pelangi.

Dulu, Rafa perhatian sekali denganku, bahkan malam-malam dia sampai menelponku hanya untuk mengetahui aku sudah makan atau belum. Jadi, kalian bisa lihatkan betapa perhatiannya dia padaku?

Dia memang segala-galanya bagiku. Saat itu aku merasa beruntung sekali bisa menjadi pacarnya. Bahkan kami berdua di juluki CoupleGoals. Namun sayang, dia telah menghianati cintaku.

Saat itu, hari minggu, tepat dengan hari jadi kami yang ke Dua tahun. Kami berdua sudah ada janji untuk jalan-jalan sebentar, setidaknya menghilangkan stress setelah satu minggu kami melaksanakan Ujian Kenaikan Kelas.

Aku sudah menunggunya sejak jam 1, jam 2, jam 3.

Namun ia tak datang juga. Padahal kami janjian akan pergi jam 1 kala itu.

Aku berkali-kali menelponnya, namun yang ada hanya jawaban bahwa nomor dia tidak aktif. Karena kesal dan lama menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk menemani Ibuku ke pasar.

Saat di perjalanan menuju pasar, angkot yang kami tumpangi menghentikan lajunya dan menunggu penumpang lain untuk naik.

Pikiranku saat itu entah kemana, hingga aku melihat seorang gadis tengah menangis di pinggir jalan. Gadis itu terlihat amat terpukul. Aku bisa membayangkan apa yang ia rasakan saat itu juga. Namun, senyumnya mengembang saat aku melihat ada seorang lelaki yang menghampiri dan memeluknya.

Gadis itu terus menangis dan menumpahkan air matanya pada laki-laki yang memeluknya tersebut.

Ingatanku langsung menuju pada Rafa. Dimana dialah yang selalu mencoba menghentikan tangisanku dengan pelukannya. Aku memang sedikit manja padanya.

Pandanganku masih menuju kepada gadis itu, hingga senyum yang ku kembangkan perlahan sirna saat aku melihat wajah laki-laki yang masih berdiri di samping perempuan itu.

"Rafa?"

Air terdiam membeku saat aku sadar bahwa laki-laki itu adalah Rafa, pacarku.

Dadaku tiba-tiba terasa sesak, air mataku seketika turun, namun segera ku hapus karena takut Ibu panik dengan aku yang tiba-tiba menangis.

Syukurnya ibuku asik mengobrol dengan temannya yang kebetulan satu angkot dengan kami. Jadi Ibu tak melihat apa yang membuatku menangis.

Sepulangnya dari pasar, aku langsung memutuskan hubunganku dengan Rafa via whatsapp. Bukannya aku tak berani bicara langsung, tapi sepertinya jika aku bicara langsung aku tidak bisa bicara, mungkin yang ada aku hanya menangis. Mau bagaimana pun aku tidak ingin terlihat lemah di depannya.

Aku segera memutuskan Rafa tanpa meminta penjelasan darinya. Aku tak butuh penjelasan, mungkin yang aku lihat tadi sudah menjelaskan semuanya. Kalian boleh menyebut aku egois. Tapi inilah aku.

Saat ini aku tengah duduk di depan meja belajar dengan jari yang sibuk menekan tombol alfabet pada keywoard yang ada di laptop. Instrumen piano yang berdurasi 59 menit lewat 3 detik tersebut terus memutar dan seakan menari di keheningan kamarku.

Aku tengah melanjutkan ceritaku. Aku berniat, jika cerita ini selesai. Aku akan mengirimkannya ke penerbit. Dan aku akan membuat cerita ini sebagus mungkin. Aku ingin sekali merasakan bagaimana rasanya jika karyaku terpajang dalam sebuah deretan buku yang ada di toko buku seluruh indonesia. Mungkin mimpiku terlalu tinggi. Tapi apa salahnya kita bermimpi? Bukankah itu bisa memotivasi diri kita sendiri. Betul kan?

Sudahlah, aku tak mau banyak bicara. Aku akan melanjutkannya dengan serius.

"Alina!"

Teriakan itu membuat aktivitasku terhenti. Kalian tahu itu teriakan siapa? Itu adalah teriakan Ibuku. Sebelumnya aku akan memperkenalkan Ibuku terlebih dahulu.

Namanya Raisa. Bukan Raisa penyanyi ya. Rasia di sini adalah Raisa yang hobi membuat kue dan membuka toko kue yang Alhamdulillah selalu laris manis.

Ibu adalah sosok perempuan hebat yang selalu ada untukku. Meskipun Ibu sibuk dengan oven dan pencetak kuenya, Ibu selalu ada untukku. Ibu adalah perempuan yang hebat. Aku ingin seperti ibu.

Aku berjalan menghampiri Ibuku yang tengah berkutik dengan ovennya. "Ada apa Bu?"

Ibuku berjalan menuju meja makan dan mengeluarkan kue yang sudah di masukkan ke dalam kotak berukuran sedang. "Tolong kamu antarkan kue ini ke rumahnya Bu Iva ya, Na?" ucapnya menyuruhku.

Sungguh, sebenarnya aku malas sekali untuk keluar. Padahalkan aku sudah ada inspirasi untuk melanjutkan ceritaku. Akhirnya aku menghela napas dan mengangguki ucapan Ibu.

Aku pun kembali ke kamar untuk mengambil jaketku dan segera mengantarkan kue ke rumah Bu Iva dengan mengendarai sepeda motor.

Jarak antara rumahku dengan rumah Bu Iva tak terlalu jauh. Belum sampai Lima menit akhirnya aku sampai di sebuah rumah yang halaman depannya begitu luas dan asri.

Aku mengetuk pintu sebanyak dua kali dan akhirnya pintu di buka oleh seorang laki-laki yang mungkin bisa dibilang sebaya denganku.

Tidak, sepertinya dia lebih muda dariku.

Dia menatapku. Alis matanya yang tebal dan sorotan matanya yang tajam seakan-akan menatapku seperti maling yang baru saja tertangkap.

Apa yang salah denganku?

Karena merasa tidak beres, aku pun melihat pakaianku, dan, aku pakai pakaian yang benar. Apa yang salah?

Aku mencoba membuang pikiran burukku dan tersenyum ke arahnya.

Dan apa yang terjadi?

Dia membalas senyumanku dengan senyum miring. Senyumannya menyebalkan sekali.

Sebenarnya siapa dia?

Berani-beraninya menatapku seperti itu?

Apa dia tidak tahu kalau aku adalah perempuan yang selalu Bu Iva inginkan untuk menjadi menantunya.

Ya, walau aku sadar, Bu Iva tak memiliki anak laki-laki.

Atau jangan-jangan dia anaknya Bu Iva?

Setahuku Bu Iva hanya memiliki satu anak perempuan yang saat ini tinggal di Yogyakarta.

Memang sih aku tidak terlalu paham dengan keluarga Bu Iva. Karena aku saja tinggal di Jakarta belum genap 3 tahun. Namun meskipun begitu, aku cukup dekat dengan Bu Iva. Selain dia adalah teman Ibu, dia juga sering memintaku menemaninya jika ia di tinggal oleh suaminya keluar kota.

"Hey!" teriaknya membuatku tersentak dan seperti orang bingung, "ngelamun aja, kesambet entar lo!" ucapnya dengan tangan yang di lipat di depan dada.

Aku hanya menatapnya datar.

"Cari siapa?" tanyanya.

"Cari Bu Iva," jawabku, "mau anter kue pesanannya," lanjutku.

"Nyokap lagi ke pasar. Mungkin bentar lagi pulang. Lo tunggu sini aja," ucapnya cuek.

Oh, jadi dia benar anaknya Bu Iva.

Kenapa Bu Iva tak pernah cerita ya jika dia memiliki seorang anak laki-laki?

"Kamu beneran anaknya Bu Iva?" tanyaku memberanikan diri.

Laki-laki itu menatapku kesal, "Kalau bukan anaknya, lo fikir anaknya siapa? Anak tetangga?" jawabnya sarkatis.

Aku mendumal, "Ya, maaf. Aku kan cuma nanya. Gak bisa biasa apa?"

Dia hanya menatapku datar. Menyebalkan sekali dia.

"Gimana kalau kue-nya aku kasihin ke kamu aja?" ucapku.

Dia menggeleng, "Tunggu nyokap gue aja. Gue gak ada uang buat bayar kuenya."

"Kalau gitu bayarnya nanti aja gak papa kok," ucapku.

Dia menghela napas gusar, "Gue bilang tunggu nyokap gue aja!" tegasnya.

"Yaudah sih, biasa aja!" Aku ikut menatapnya tajam.

Aku menggigit bibir bawahku seraya menatap sekotak kue yang ada di tanganku. Memainkan jari-jariku tanpa sebab. Jujur aku seperti orang bingung saat ini. Haruskah aku pulang?

"Lo mau berdiri di situ aja?" tanyanya yang sudah duduk di kursi.

Aku menoleh ke arahnya. Aku bingung, haruskah aku berjalan mendekat dan duduk di sampingnya? Atau aku tetap berdiri disini sambil menunggu Bu Iva yang tak tahu kapan pulangnya? Atau aku lebih baik pulang saja?

Aku menarik napas perlahan dan akhirnya berjalan dan duduk di sampingnya dengan hati-hati.

"Kavin," ucapnya seraya mengulurkan tanganku ke arahku.

Aku menaruh kotak kue ke atas meja sebelum membalas uluran tangannya, "Alina," jawabku.

Kavin tertawa setelah aku memperkenalkan namaku.

"Ada yang lucu?" tanyaku datar.

Kavin semakin tertawa, "Lo gugub deket gue?" tanyanya dan aku pun menggeleng, "kok tangan lo dingin terus keringetan gitu," ucapnya sambil tertawa.

Oh jadi itu alasan dia menertawaiku. Aku tidak gugub. Tanganku memang selalu dingin dan sering keluar keringat. Aku tak tahu apa sebabnya, yang jelas aku sering seperti itu. Ada yang bilang katanya ada hubungannya dengan jantung. Tapi, entahlah. Aku kurang paham mengenai itu.

Aku tak mau meladeninya. Aku yakin, jika aku menjawab pun, ia tak akan percaya. Sudahlah, lebih baik aku diam.

Tak lama dari itu, terdengar suara motor yang memasuki halaman rumah Bu Iva. Aku menatapnya motor itu dengan seksama.

Ternyata itu adalah Anan, sepupuku. Saat ini Anan kelas 11. Dan ia bersekolah di SMK Cahaya Bintang. Kami memang tidak satu sekolah. Karena itu kami berdua jarang bertemu. Namun komunikasi kami tetap berjalan lancar.

Anan mencoba melepas helm lalu turun dari motornya. Bisa ku lihat Anan memperhatikan motorku yang terparkir tepat di sampingnya. Mungkin ia bingung kenapa aku bisa ada di sini.

Sebenarnya bukan dia saja yang bingung, melainkan aku juga. Apa tujuan Anan kemari?

Kavin yang melihat kehadiran Anan pun segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Anan.

"Hey, Bro! Kangen banget gue sama lo," ucap Kavin seraya merangkul Anan.

"Gila, gue juga kangen kali. Gimana? Enak tinggal di Bali? Pasti di sana lo sering liat bule-bule cantik ya? Jangan bilang udah banyakyang lo sikat?" ucap Anan dengan jari telunjuknya yang menunjuk ke Kavin.

Kavin tertawa, "Lo kan tau gue sukanya produk lokal. Mana mau gue sama bule-bule gitu,"

'Sombong!' batinku.

Kavin mempersilahkan Anan masuk dan Anan pun melihatku yang tengah tersenyum ke arahnya.

"Lah, Na? Kok kamu ada di sini?" tanya Anan.

Aku tersenyum, "Iya, aku di suruh Ibu nganterin kue ke sini."

"Pantes aja motor didepan itu mirip banget sama motor kamu. Ternyata beneran ada kamu disini," ucap Anan.

"Lo kenal sama dia, Nan?" tanya Kavin bingung.

Anan mengangguk, "Iya, dia sepupu gue."

"Sepupu?!" tanya Kavin terkejut.

"Biasa aja kale!" ucap Anan.

"Tau tuh orang, dari tadi gak bisa biasa!" Aku mendumal seraya melirik ke arah Kavin.

Melihatku seperti itu, malah membuat Kavin tertawa.

'Gak waras!'

"Assalamualaikum," suara Bu Iva membuat kami semua menoleh bersamaan.

"Wallaikumsalam," jawab kami kompak.

"Wah udah rame aja. Ada Anan, ada Alina. Oh, Alina kesini pasti nganter kue ya?" tanya Bu Iva.

Aku mengangguk dan tersenyum lalu menghampiri Bu Iva, "Iya, Bu. Tadi aku di suruh Ibu suruh nganterin kue kesini. Katanya Bu Iva pesen."

"Iya ni Na, makasih banyak ya udah repot-repot nganterin. Seharusnya biar anak ibu aja yang suruh ambil ke sana," ucap Bu Iva seraya memberikan beberapa lembar uang kepadaku. Dan aku pun segera menyerahkan kue itu kepada Bu Iva.

"Hehe, gak papa Bu. Yaudah Bu, kalau gitu aku pamit pulang ya?"

"Loh kok buru-buru banget? Oh ya, kamu udah tau belum kalau ini anak Ibu, namanya Kavin." Bu Iva menunjuk Kavin. Kavin pun tersenyum miring ke arahku.

Aku mengangguki ucapan Bu Iva, "Iya, Bu. Tadi kami udah kenalan."

Bu Iva melebarkan senyumnya, "Wah, bagus dong kalau gitu."

Aku mengangguk dan tersenyum, "Ya sudah Bu, kalau gitu saya permisi ya?"

"Iya Na, hati-hati ya?" ucap Bu Iva dan ku angguki.

Aku menoleh ke arah Anan, "Nan, aku pulang duluan ya?" ucapku.

"Iya, hati-hati Na," ucap Anan.

Aku menatap sekilas ke arah Kavin dan melangkah pergi meninggalkan rumah Bu Iva.

"ALINA!" teriak Kavin membuatku menoleh ke belakang dan menatapnya dengan penuh tanya.

"Iya?"

"GAK PAPA, MANGGIL AJA!"

Aku hanya menatapnya tajam dan melanjutkan langkah menuju motorku. Menyebalkan!

Jam sudah menunjukan pukul Sebelas malam, namun mataku belum juga mau terpejam. Jemariku masih berkutik dengan huruf alfabet yang masih setia disana.

Sesekali aku meraih biskuit coklat buatan Ibu yang sengaja aku taruh di meja belajar untuk cemilan di saat aku sedang melanjutkan ceritaku.

Ponselku bergetar bersamaan dengan ketukan pintu dari luar kamarku. Aku bingung harus menjawab mana dulu.Akhirnya aku pun lebih memilih membukakan pintu terlebih dahulu.

"Ibu? Kenapa Bu? Ibu belum tidur?" tanyaku.

"Ini Na, Ibu cuma mau bilang, besok kalau kamu pas pulang sekolah, tolong mampir ke pasar beliin Ibu tepung di tempat yang biasa Ibu beli. Terus langsung kamu anterin ke ruko ya?"

"Iya Bu," jawabku.

Setelah mendengar jawabanku, Ibu pun kembali ke kamar dan aku pun kembali ke meja belajar untuk melanjutkan kerjaanku tadi.

Oh iya, aku hampir saja lupa kalau ponselku berbunyi. Aku meraih ponselku dan melihat ada panggilan tidak terjawab dari Anan.

Tumben Anan menelponku malam-malam begini. Aku pun langsung menelponnya balik. Aku takut ada sesuatu yang penting sampai Anan menelponku malam-malam.

"Halo," ucap Anan di seberang sana.

"Kamu tadi nelpon aku?" tanyaku.

"Iya,"

"Kenapa? Tumben," ujarku.

"Tadi Kavin minta nomor WA kamu. Makanya aku mau nanya, boleh apa enggak."

"Gak boleh!"

"Yah, telat , Na."

Aku melebarkan mataku, "Kamu udah ngasih nomor aku ke dia?"

"Hehe, iya, Na. Maaf ya? Dia maksa banget soalnya. Tapi kamu tenang aja Na, dia cowok baik-baik kok. Ya walaupun suka aneh orangnya."

Mendengar penjelasan Anan membuatku ingin sekali memakannya hidup-hidup.

"Maaf ya, Na. Hehe. Yaudah kalau gitu, aku mau main game lagi."

Aku tak menjawab ucapan Anan. Pikiranku masih mengarah pada nasib nomor telponku yang Anan berikan pada Kavin.

Aku membuka aplikasi WhatApps, namun tak ada pesan masuk dari nomor baru. Syukurlah!

Aku menaruh kembali ponselku ke atas meja dan berniat melanjutkan ceritaku yang selalu tertunda.

Hening, inilah suasanaku. Keheningan inilah yang membuatku dapat konsentrasi dan inspirasi pun mengalir.

Tenang, tak ada suara tv yang menggema di rumahku. Ayah dan Ibu sudah tidur di kamarnya. Tak ada seorang pun yang bisa menganggu konsentrasiku.

Drttt!

Lagi-lagi ponselku bergetar, namun kali ini menandakan ada pesan masuk.

+628122007xxxx

P

Aku melirik notifikasi yang masuk melalui layar ponselku tersebut.

+628122007xxxx

P

P

P

Assalamualaikum ukhti,

Gak jawab jadi perawan tua.

Aku melebarkan mataku setelah membaca pesan terakhir dari manusia itu. Mau tak mau aku harus menjawabnya.

Alina Ayu Amanda

Wallaikumsalam

Aku menaruh kembali ponselku. Dalam hati aku berkata, 'Anan-Anan, tega banget sama sepupu sendiri.'

Drttt!

Ponselku kembali bergetar. Aku mengintip notifikasinya tanpa berniat membaca ataupun membalasnya.

+628122007xxxx

Alhamdulillah gak jadi perawan tua.

Aku memutar bola mataku. Tidak penting sekali kan?

+628122007xxxx

Save nomor gue ya,

Kavin

Aku tak membaca ataupun mengiyakannya. Sangat tak ada nafsu untukku membalasnya. Bahkan aku tak peduli jika ia mengatakanku sombong.

Namun tiba-tiba, ia malah menelponku. Karena refleks, aku malah menggeser tombol hijau hingga membuat suaranya terdengar melalui ponselku.

"Alhamdulillah di angkat."

Aku memutar bola mataku, "Ada apa?" tanyaku cuek.

"Elah, jutek amat sih. Susah ketemu jodoh baru tau rasa, lo."

"Terus kenapa emangnya?"

Kavin terdengar berdecak, "Yaelah, gitu aja marah. Takut, gue."

Aku malas meladeninya. Akhirnya ku matikan sambungannya sekaligus mematikan ponselku supaya tak ada lagi yang akan mengangguku.

Namun tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Kalau Bu Iva pengen banget aku jadi menantunya, berarti dia yang bakal jadi suamiku?"

Aku bergidik ngeri lalu menutup laptop dan melompat ke atas kasur.

--------------

Hola-hola!!!

Makasih ya udah nyempetin waktu buat baca 'Started Without Love'.

Aku disini mau ngasih tau kalau kisah Started Without Love ini kisah yang paling berkesan buat aku.

Ya, aku harap kalian suka ya dengan kisah ini. Dan aku harap kisah ini bukan hanya berkesan buat aku, tapi buat kalian juga :)

Jangan pelit-pelit vote dan comment ya :)

Terima kasih!

-Prepti Ayu Maharani

------------------------------------------------------

Terpopuler

Comments

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Waahh si Playboy cinta pandang pertama keknya..😂

2024-05-13

0

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Terkadang apa yg kita liat tdk seperti apa yg berlaku..

2024-05-13

0

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Alina terlalu terburu-buru harusnya minta kejelasan dari Rafa..ckk

2024-05-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!