Part 16

Warning: siapkan tisu, putar lagu melow, dan jangan dskip bacanya. Baca sampai tuntas agar feel-nya dapat. koreksi typo

.

.

.

.

Ketika Gabriel sedang sekolah otomatis Nisa yang menjaga Rara di rumah sakit. Nisa sendirian menjaga Rara, Gabriel sekolah, Bagas sekolah, Arsen kerja, dan Selvi menjaga William yang drop ketika mendengar kabar jika Rara masuk rumah sakit. William yang kembali kambuh tersebut sengaja dirahasiakan dari Rara agar kondisi Rara tidak semakin memburuk mendengar sang papa kembali mendapatkan serangan jantung yang lebih dahsyat dari sebelumnya.

William benar-benar koma dan tak ada tanda-tanda sama sekali akan sadar. Dokter juga mengatakan kalau per menitnya detak jantung dan urat nadi William kian melemah.

Rara yang sedari tadi terlelap tiba-tiba terbangun ketika mendapatkan mimpi buruk yang amat tak dapat dia bayangkan jika mimpi itu benar terjadi. Peluh menghiasi kening serta leher Rara yang jenjang. Rara menggapai sudut matanya yang berair akibat efek dari mimpi buruk itu.

"Jadi aku benar menangis?" Tanya Rara was-was pasalnya ia di dalam mimpi itu juga menangis kencang akibat peristiwa yang terjadi di dalam mimpi itu. Dan Rara sangat tak menyangka jika dia di dunia nyata ikut menangis. Rara meletakkan tangannya di dada dan mencengkeram kuat, "Pertanda apakah ini? Ya ampun apa aku bisa menghadapinya jika itu benar?"

Rara tampak berpikir lalu menggeleng kuat mengenyahkan pikiran yang tidak-tidak dari kepalanya. Itu tidak mungkin terjadi, tidak dan tidak!!!

"Tidak itu pasti hanya bunga tidur. Tidak akan pernah benar-benar terjadi," Rara meyakinkan diri penuh semangat yang terpaksa. Ia harus yakin dan tidak boleh berpikiran negatif karena jika begitu bisa saja kesehatannya kembali ke angka nol.

Rara mengedarkan penglihatannya. Ia mengernyit saat mendapatkan ruangan sepi dan tidak ada Nisa yang berjaga di sofa. Kemana Nisa? Kenapa dia ditinggalkan lagi? Rara menghela napas, ia sedikit takut kalau misalnya saja jika ia membutuhkan sesuatu dan orang tak ada yang dapat ia minta bantuan, bisa saja bukan hal buruk akan terjadi?

"Bunda ke mana ya?" Rara berusaha membuat kepalanya memikirkan hal yang positif. "Mungkin Bunda ada urusan di luar."

Pada saat Rara ingin menenggelamkan dirinya ke dalam selimut tiba-tiba suara kertean pintu terbuka membuatnya membatalkan niatnya tersebut. Ia menyingkap selimut itu kemudian melirik ke arah pintu dan tersenyum ketika melihat siapa yang datang.

"Rara kira Bunda yang datang ternyata Gabriel yang datang toh. Bunda kemana? Gabriel kok pulangnya cepat, nggak kaya biasa. Gabriel nggak bolos kan?" Tanya Rara sembari menyelidiki Gabriel melalui netra cowok itu.

Namun ada yang aneh di pandangan Rara. Ia seperti ada melihat bekas air mata di mata laki-laki itu, matanya juga merah. Gabriel seperti habis menangis, tapi apa yang membuat lelaki itu menangis?

"Gabriel kenapa?"

Gabriel melepaskan tas ransel di pundaknya kemudian meletakkan di atas nakas.  Ia menarik kursi plastik yang ada di sana dan duduk menghadap Rara. Gabriel tersenyum walau senyum itu seperti ada beban di sana.

"Aku nggak papa Ra! Bunda pergi dulu jadi dia minta aku yang jagain kamu, tenang aja aku sudah izin kok." Rara tak puas dengan jawaban Gabriel, Rara bisa merasakan jika ada bagian kalimat Gabriel yang berbohong.

Rara berusaha percaya tapi perasaannya tetap tak nyaman. Ada apa ini? Rara menjauhkan pandang matanya dari wajah Gabriel. Ia melarikan penglihatannya tersebut ke arah pintu yang senggang, terbuka sedikit. Rara merasa kenal dengan orang yang barusan lewat di depan ruangannya dan berlari tergesa-gesa tapi bukan untuk menghampirinya malahan melewati ruangannya. Dia Selvi ibunda Rara.

"Mama."

Gabriel menatap heran ke arah Rara. Apa Selvi ke sini? Ia menatap ke arah pintu namun tak ada siapa-siapa di sana, lantas siapa yang dimaksud MAMA oleh Rara.

"Siapa?"

Rara tak menjawab tapi malah menatap tajam ke mata Gabriel meminta penjelasan. Apa mungkin mimpinya itu merupakan isyarat? Rara merasa jika Gabriel mengetahui semuanya dan sengaja menyembunyikan darinya. Rara tidak suaka kebohongan, jika Gabriel masih berbohong maka Rara sendiri yang akan membuktikannya tidak peduli kondisinya yang seperti ini.

"Sebutkan Gabriel habis dari mana?"

"Aku dari sekolah Ra. Kok kamu nggak percaya?"

"Gabriel bohong. Gabriel habis dari ruangan papa kan? Papa kenapa Gabriel?" Tanya Rasa yang sudah bangkit dan menarik kerah baju Gabriel dan menggoncang tubuh pria jakung itu. "Rara nggak suka bohong. Hiks Gabriel jawab Rara, Gabriel benerkan dari ruangan papa? Papa Baik-baik aja kan? Hiks."

Gabriel tidak tau lagi apa yang harus ia katakan ke Rara untuk menjelaskan ini. Ia hanya menangis ketika melihat air mata lolos dari dalam bola mata itu. Dan Gabriel semakin tidak bisa membayangkan jika Rara mengetahui semuanya.

"Ra...!" Ujar Gabriel lirih tak sanggup mengatakan yang sebenarnya.

Rara melihat Gabriel yang lamban untuk menjelaskan lantas ia pun langsung melepaskan peralatan medis dari tubuhnya dan mencabut selang infus hingga tangannya tampak berdarah. Ia tidak mempedulikan Gabriel yang menghalangi jalannya.

Sedikit gontai Rara berlari keluar tak menghiraukan Gabriel yang meneriakkan namanya dari belakang. Di pikiran Rara saat ini ialah papa. Dia menabrak orang-orang yang menghalangi jalannya dan tak mempedulikan orang yang mengumpat kesal karena sikap Rara yang tak prihatin. Rara bersyukur karena dirinya satu rumah sakit dengan sang ayah. Rara mengetahui semua itu karena di sini lah tempat selama ini ayahnya dirawat.

Rara merasakan pusing di kepalanya tapi ia usahakan untuk tetap berjalan dan masuk ke dalam lift. Ketika ia telah masuk ke dalam lift dapat Rara lihat jika Gabriel yang masih mengejarnya dan berusaha masuk lift yang sama dengannya namun lift Rara lebih dulu tertutup sebelum sempat Gabriel masuk.

Rara berlari sebisa mungkin ketika lift telah terbuka. Ia menghampiri ruangan UGD yang ia rasa sang papa berada di sana berdasarkan naluri dan juga mimpi.  Ia membuka kasar pintu UGD dan membekap mulut ketika melihat orang-orang yang berada di sana. Tapi mata Rara terfokus pada objek papanya yang ia lihat di sana. Rara tak kuasa menahan air matanya ketika semua orang diam dan membiarkan Rara mendekat pada sosok yang seluruh tubuhnya telah ditutupi kain rumah sakit.

Rara menggigit bibirnya berharap jika itu bukanlah papanya. Ketika dia telah berdiri di samping brankar, Rara mengulurkan tangan yang gemetar dan membuka kain penutup tersebut sampai ke dada. Rara menjerit ketika melihat wajah William yang pucat pasi dan tak ada sama sekali aliran darah di sana.

"Aaaaaa....!!!!" Rara memekik dan memeluk leher sang ayah erat, "papa bangun. Pa, bilang kalau papa masih hidup. Iya kan pa?  Papa masih hidup kan? Hiks hiks hiks. Papa!!!"

Semua orang menitikkan air mata termasuk Gabriel yang baru sampai. Selvi matanya tak henti-henti mengeluarkan aliran deras. Nisa menangis sambil memeluk Arsen untuk menyalurkan kesedihannya. Gabriel mendekati Rara yang sudah melihat kenyataan tersebut, ia memeluk tubuh rapuh itu dari belakang.

"Hiks-hiks-hiks. Papa!! Kenapa papa pergi secepat ini? Kenapa papa ninggalin Rara? Papa janji sama Rara bakal nemenin cucu papa bermain, tapi kenapa papa ingkar? Kenapa papa ninggalin Rara yang baru saja menikah? Pa kenapa? Kenapa? KENAPAAAA??!!!!! Hiks-hiks-hiks."

Rara memeluk papanya seerat mungkin seperti mengurung William dan tak membiarkan pahlawan hidupnya itu pergi untuk menghadap tuhan. Bagi Rara semua ini hanya ilusi yang sengaja dimainkan untuk menguji takdirnya.

"Ra sudah Ra. Papa mu sudah tenang di sana," bisik Gabriel di telinga Rara seraya mengecup surai Rara penuh perhatian.

Tangan Rara menggenggam mendengar kalimat yang dituturkan Gabriel. Ia melepaskan tubuh papanya lalu berbalik dan menjauhkan tangan Gabriel yang memeluknya. Tanpa disangka-sangka Rara menampar Gabriel keras.

Plakk

"RARA!!" Pekik Selvi melihat kebrutalan sang anak kepada suaminya sendiri.

Gabriel tidak membalas, Ia membiarkan tamparan itu mengenai wajahnya. Gabriel tau jika emosi Rara sedang tidak stabil. Ia mundur satu langkah kala melihat tatapan membunuh dari Rara dan memberikan ruang pada Rara untuk bersama sang ayah sebelum lenyap dimakan bumi.

"Jangan pernah sebut papa ku meninggal. Sekali lagi kamu nyebut papa ku meninggal aku akan benci sama kamu selamanya!!!"

Rara berbalik lalu memeluk sang ayah erat. Tangisan dan jeritan tak henti melantun bagaikan alunan musik yang menyakitkan. Hanya air mata kesedihan yang dikeluarkan, semua daya tak bisa dilakukan karena hanya Allah yang kuasa. Kita yang lemah hanya bisa menangis menerima takdir yang sudah ditetapkan.

"Kenapa papa pergi, Hiks-hiks-hiks."

"Rara sudah nak, jangan menangis lagi di dekat papa mu. Setiap satu tetes air mata membasahi tubuh papa dan satu siksaan yang papa mu terima nak. Kamu mau papa menerima sakit di sana dan pergi tidak tenang meninggalkan mu?"

Rara menjauh dari jasad sang papa. Ia menatap Selvi yang sama sembap-nya  dengan Rara. Perhatian Rara teralihkan pada suster yang mendekat dan ingin melakukan opsi terakhir sebelum dimasukkan ke dalam keranda.

"Permisi kami ingin membersihkan jasad dulu sebelum dikembalikan ke rumah."

Ketika suster tersebut hendak menyentuh tubuh William, Rara lebih dulu menepisnya dan mendorong suster tersebut.

"DON'T TOUCH MY FATHER!!! ARE YOU UNDERSTAND?????!!!!!"  Rara memerahi semua suster tersebut membabi buta.

"Ra sudah. Dipersilakan Mas," izin Gabriel pada suster lelaki tersebut untuk melakukan tugas mereka.

Rara tidak terima, rasanya ia ingin menghajar suster tersebut habis-habisan. Baru saja Rara melangkah ingin memukul suster itu, tubuh Rara lebih dulu didekap oleh Gabriel. Rara berusaha lepas dari kekangan Gabriel namun semakin sulit saat Arsen ikut membantu Gabriel untuk menahannya.

"Lepaskan Rara!!!!!" Teriak Rara sambil memberikan pukulan-pukulan di lengan Gabriel.

"RA! IKHLASKAN RA, PAPA MU DI SANA SAKIT RA MELIHAT KAMU YANG BEGINI!!!"

Rara berhenti meronta, terdiam sebentar tapi air mata terus mengalir seperti kehilangan kontrol. Di detik berikutnya Rara menutup mata dan pingsan. Kepalanya pun sudah mengeluarkan darah cukup banyak.

_________

****

Dear Rara anak ku tersayang

Rara Andira anaknya papa yang cantik dan manis.

Ketika tertawa akan tampak lesung pipinya.

Senyumnya yang menawan, membuat semua pria jatuh cinta kepadanya, dialah putri kecilnya William Wirawan.

Rara janganlah pernah kamu menangis ketika melihat papa terbujur dan tinggal jasad yang sebentar lagi akan membusuk, itu semua sudah takdir nak.

Ketika papa pergi tetaplah ingat papa untuk selamanya, meski kita tak bersama selamanya di dunia ini tapi mungkin kita akan bersama di dunia lain.

Maafkan papa tidak bisa menepati janji papa yang sudah kita ikat melalui jari kelingking yang saling menyatu, meski begitu papa tetap bisa melihat cucu papa nanti dari kejauhan.

Tapi papa bahagia nak bisa bersama mu selama itu. Masih ingatkah Rara pada saat kamu masih SD?  Kamu sering bercerita ke papa jika kamu bertemu dengan anak laki-laki tampan seperti malaikat, dia berjanji ingin menikahi mu ketika kecil. Kamu mengatakan kalau saat itu kamu jatuh dari sepeda.

Kamu merengek minta dipertemukan lagi dengannya setelah pertemuan itu, tapi kamu tak pernah bertemu dengannya lagi. Papa yang tidak bisa melihat mu menangis lantas papa berusaha mencari tau siapa dia.

Itu alasan papa memaksa mu sekolah di SMA Kebangsaan, karena ada dia di sana, dan sebab itu pula lah papa menjodohkan mu dengan dia saat di detik-detik terakhir papa.

Papa ingin melihat mu bahagia agar papa tenang ketika papa pergi dan kamu telah dijaga dengan orang yang papa percaya.

Ketahuilah nak, papa juga sengaja memberikan kamu darah papa untuk didonorkan dengan mu yang kritis. Papa tidak ingin melihat mu pergi di saat kamu baru saja mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya, biarkan papa yang pergi.

Papa tau umur papa tidak panjang lagi dan papa mendonorkan darah papa agar kamu tetap hidup dan berbahagia bersamanya.

Tetaplah tersenyum walau hati mu berkata tidak. Papa bahagia di sana asal kamu bahagia.

William Wirawan

****

Rara mencengkeram kertas yang ditulis William untuk terakhir kalinya. Air mata terus menggenang sedari pemakaman tadi sampai ia duduk di tepi ranjang tempat papanya biasa berbaring. Ia tak sengaja mendapatkan surat itu, entah siapa yang sengaja meletakkannya di sana. Rara tau jika surat ini ditulis saat William masih di rumah sakit.

Surat terakhir dan akan menjadi kenangan terakhir. Rara mencengkeram dadanya karena merasa sesak efek hidungnya yang tersumbat dengan ingus. Ia meraung membaca surat tersebut. Jadi papanya yang mendonorkan darah saat ia dalam keadaan kritis?

"Kenapa papa lakukan ini pa?" Tanya Rara terisak.

Ia tidak bisa pisah dengan papanya. Rara protes dengan kenyataan jika ada pertemuan maka ada pula perpisahan. Kenapa mesti ada, kenapa? Rara melihat ke kertas tersebut dan ia kembali menangis. Rara melipat kertas itu dan memasukkan ke dalam kantong baju hitamnya.

"Papa. Hiks." Rara berdiri lalu berjalan menghampiri orang yang berada di ruang tamu yang usai membacakan Yasin sebagai tanda penghormatan terakhir. Bermacam-macam dari kalangan yang hadir untuk melayat.

Semua orang menjauh saat melihat Rara datang hingga tinggal lah Selvi, Nisa dan Gabriel. Rara menatap nyalang semua orang itu.

"Rara kenapa kamu di sini nak? Kamu masih sakit lho, masuk kamar aja."

Rara mengacuhkan ucapan Nisa. Ia menatap Gabriel tajam. "Jelaskan siapa yang mendonorkan darah untuk Rara?"

Ketiga orang itu tercekat dan bungkam tidak bisa berkata apa-apa saat pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Rara.

"Ayo jelaskan siapa yang mendonorkan Darah untuk Rara?" Rara memandang satu-satu manik mata ketiganya, "Tidak bisa menjawab?"

Gabriel menarik napas dalam lalu memberanikan angkat bicara. "Papa mu!"

"Kenapa mesti papa? Kenapa tidak kalian yang sehat?"

"Waktu itu rumah sakit kehabisan darah golongan O, sedangkan kamu harus diselamatkan dengan cepat, jika terlambat sedikit saja kamu bisa tiada Ra? Kebetulan saat itu golongan darah papa mu O, dan dia memaksa untuk mendonorkan darahnya untuk mu. Papa terus memaksa jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa."

Rara memejamkan mata dalam lantas air mata yang menggenang jatuh dari sana. Rara merosot dan jatuh ke lantai dengan ekspresi tak percaya? Jadi benar? Tapi kenapa papanya melakukan itu? Kenapa mesti papanya yang pergi tidak dirinya?

Rara tak sanggup menerima kenyataan pedih ini. Ia menghentkkan tangannya ke lantai dan memukul-mukul keramik dengan kencang.

"Kenapa papa lakukan ini kepada Rara? Kenapa nggak Rara saja yang mati???"

Rara berteriak kesal karena William melakukan itu untuknya.

"Astagfirullah sayang. Istighfar nak, nggak boleh berkata seperti itu," peringat Nisa kemudian membantu Rara berdiri.

"Bunda," tangis Rara seraya memeluk Nisa erat.

"Tidak hanya kamu yang sedih Ra. Mama juga sedih melihat suami Mama pergi."

Rara melepaskan pelukannya dari Nisa menghampiri Selvi lalu memeluknya erat, mereka menangis bersama.

"Ini beda Ma, Papa meninggal karena donorin darahnya buat Rara."

"Jangan berpikir seperti itu sayang."

"Tapi emang kenyataannya begitu Ma."

Rara menghapus air matanya dan melepaskan pelukannya dengan Selvi. Ia menjauh satu langkah lalu mencari kunci mobil. Ketika melihat kunci mobil berada di atas nakas, lekas Rara menyambar.

"Kamu mau kemana Ra?" Tanya Gabriel seraya mengejar Rara yang lari seperti kesetanan.

"Rara ingin bongkar kuburan papa, dan donorin darah Rara buat papa biar papa punya darah dan hidup lagi!!!"

Ketika Rara hendak membuka pintu mobil, Gabriel mencekal lengannya dan membalik tubuh Rara paksa.

"Jangan gila Ra!"

"RARA NGGAK GILA!!!"

Gabriel mencium bibir Rara ketika Rara hendak mengucapkan sesuatu dan tak mempedulikan orang-orang yang melihatnya. Kemudian melepaskannya dan menempelkan dahi mereka. Tangan Gabriel menangkup pipi Rara, "Ingat Ra masih ada aku yang akan menyayangi mu."

Rara memeluk tubuh Gabriel erat lalu menangis keras. Keduanya menangis bersama. Tak lama langit menjadi gelap dan hujan turun mengguyur tubuh mereka yang berada di halaman rumah. Semua orang menangis melihat kejadian romantis tersebut, bagaimana tidak meski hujan telah lebat tapi keduanya tetap berpelukan.

______

Tbc

Bagaimana perasaan mu membaca chapter ini?

Tolong like, komentar, dan vote jika berkenan.

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

😢😢😢😢😢😢

2023-01-15

0

pupi

pupi

tanggung jwb akuu jadi nangis ni🤧

2022-12-11

0

pupi

pupi

ya allah pagi2 bikin nangis aja

2022-12-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!