Part 6

Di dalam kamar yang super duper megah milik sang putri pemilik rumah tersebut tampak sang pemilik kamar itu sedang menangis. Dia tak henti-henti nya mengeluarkan air mata. Baginya perpisahan adalah hal yang paling menyakitkan. Rara bersumpah di bawah awan-awan tadi sore bahwa ia mengutuk yang namanya perpisahan. Ia benci kata itu.

Rara yang merasa bosan dengan posisi baringnya langsung mengubah dengan duduk. Ia menatap sekitar kamar dengan malas. Meski kamar itu telah terhias dengan benda-benda kesukaannya tetap saja tidak dapat menarik perhatian Rara. Di pikiran Rara saat ini hanyalah Gabriel dan Gabriel.

"Hiks-hiks hiks. Kenapa sih Rara tadi pakai ngomong bakal jauhin Gabriel, kan jadi nyesal. Kalau tau Rara nggak bisa jauh dari Gabriel Rara nggak jadi ngucapin itu tadi," kesal Rara sambil mengambil tisu dari bungkusnya.

Di dalam kamar Rara dipenuhi dengan gumpalan tisu yang berserakan di lantai serta di ranjang. Sudah lima bungkus tisu Rara habiskan hanya sekedar untuk mengusap air matanya.

Rara kembali mengambil tisu di kala air mata terus mengucur seperti aliran yang tak pernah berhenti. Ia menglap air matanya lalu membuang tisu ke sembarang arah, dan hal tersebut terus dilakukan hingga tisu yang bungkusnya baru saja dibuka pun kembali habis.

"AKHHHH. Bete, sebal. Mana hari sudah jam tujuh lagi. Ya Allah sepertinya aku memang tidak berjodoh dengan Gabriel. Lagi pula siapa sih yang bakal dijodohoin sama gue. Tuh orang entar gue kuliti terus dijemur, terus dipanggang, terus dibakar, terus hangus, terus tu orang hilang dari bumi, dan terus Rara ucapin Alhamdulillah." Rara berucap sambil memukuli guling yang berada di pangkuannya. Ia menjadikan guling tersebut sebagai objek orang yang akan menjadi suaminya.

Rara tidak terima tubuhnya disentuh oleh lelaki selain Gabriel. Dan jika berani nanti orang itu menyentuhnya maka di malam pertama mereka akan Rara buat orang tersebut menjadi remuk dengan ajian jitu yang dimiliki Rara.

Rara menatap horor bantal gulingnya lalu melemparnya sejauh mungkin dari hadapan Rara. Ia berdiri lalu mengambil handphone nya dan membuka kontak. Ketika melihat kontak dengan nama Adhan, Rara segera memencet kontak tersebut dan menghubungi Adhan.

"Halo ada apa Ra hubungin gue? Mau minta jawaban PR. Aduh Ra sorry gue juga belum ngisi PR. Nggak papa lah besok kita masuk ruang BK lagi dan dijemur lagi. Gue ikhlas, mau bagaimana lagi kapasitas otak gue cuman nol persen. Lo salah hubungin gue, kalau mau minta jawaban baik sama Reza. Tu anak sedikit pintar."

Napas Rara memburu, dadanya naik turun. Belum sempat ia berucap, Adhan yang di seberang sana sudah mendahului ucapannya. Laki-laki ini memang jago membuatnya mudah tersulut emosi.

"Adhan! Gue nelepon lo bukan minta jawaban PR. Mau dihukum atau enggak besok gue nggak masalah," ucap Rara selembut mungkin walau hatinya tidak mendukung namun ia berusaha.

"Oh gitu. Nggak bilang dari awal sih."

Rara mencengkeram ponsel-nya erat. Bagaimana mau memberitahu, belum lagi dia sempat berbicara tiba-tiba tuh orang sudah nyerocos duluan. Sabar Rara! Gini-gini Adhan berguna buat lo.

"Adhan lo punya solusi nggak buat gue ngatasin bete ini. Atau perlu lo punya rencana nggak bagaimana caranya gue kabur dari rumah. Nyokap gue ngunci gue dari luar, kan nggak bisa keluar. Masa iya gue terjun dari balkon, yang ada gue dikunjungi malaikat Izrail lagi, kan seram. Gue belum cukup amal buat kunjungan ke akhirat, uang gue lagi kritis untuk ke sana."

"Gue punya cara buat ngatasin bete lo, tapi kalau buat lo kabur gue nggak punya, gue takut ditelan nyokap lo hidup-hidup entar."

"Emang caranya apa?"

"Noh beli aja Better di warung Mbak Ijah yang dekat rumah lo itu, nggak mahal kok cuman seribu. Ada juga yang isi empat, nanti satunya kasih ke gue ya."

"Adhan stres gue ngomong sama lo. Gue nggak punya uang lagi buat beli Better yang dimaksud lo tadi. Sudah ah, dari pada gue kejangkitan idiot lo itu gue akhiri aja telepon ini dengan ucapan Assalamualaikum Warahmatullahiwabarakatuh."

Rara merejek sambungan telepon mereka lalu melemparkan ponsel-nya ke lantai proslen hingga handphone yang harganya ditaksir lebih dari 50 juta itu hancur. Baterai HP tersebut tergeletak keluar dari ponsel.

Rara hanya bisa membekap mulutnya ketika melihat ponsel kesayangannya itu hancur.

"Po-ponsel gue. Huaaa hiks-hiks- hiks. Di youtube gue kan banyak koleksi video Oppa-oppa penenang gue. Oppa, hiks."

Tangis Rara pecah sambil mengambil serpihan puing-puing handphone nya yang hanya tinggal nama. Ini adalah keteledoran luar biasa, dan hari ini juga turut mendukung menjadikan hari yang penuh dengan kehilangan, mulai dari Gabriel sang pujaan, koleksi poto oppa-oppa tampan yang digunakan sebagai objek khayalan, lalu handphone mahalnya yang penuh pererujungan ingin membeli handphone tersebut.

"Kenapa hidup gue sesial ini sih. Kenapa juga Mama pakai jodoh-jodohan, ini kan bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Mungkin Mama ketinggalan zaman kali ya, atau zaman old."

Rara berdiri dan berniat ingin melanjutkan tangisan yang sempat terhenti tadi. Ia tidak ingin bersiap-siap mau pergi ke acara makan malam sialan. Biarkan saja ibunya mengamuk, toh ia tidak peduli. Tinggal pasang earphone putar lagu kan selesai, nggak ada lagi dengar ceramah geratisan dari ibunya.

Tiba-tiba pintu terbuka membuat Rara yang ingin menarik selimut kembali terjaga. Ia melirik pada bibir pintu. Rara mematung ketika melihat ibunya sudah sangat rapi untuk pergi ke acara pertemuan dua keluarga. Sedangkan ia belum, pastilah setelah ini dia disikat.

"RARA. Astgahfirullah, Mama kira kamu lama-lama di dalam kamar sudah pakai baju sudah dandan. Dan apa yang Mama lihat sekarang ini membuat Mama marah Rara! Jangankan ganti baju, mandi saja belum." Marah nyonya Selvi. Selvi melirik pada tisu-tisu yang berserakan dan hal itu membuatnya menarik napas, "Rara ini apa? Kenapa kamar mu seperti kapal pecah!"

Rara menyibak selimut yang baru setengah tubuh yang menutup tubuhnya. Ia duduk, wajahnya kusut.

"Sudah Rara katakan Ma kalau Rara nggak mau menikah. Lagian kenapa sih harus Rara yang menikah? Kenapa nggak Mama aja coba!"

Perkataan asal Rara tersebut sukses menjadi bahan asumsi amukan nyonya Selvi. Ia melotot membuat Rara yang melihatnya terkesiap, betul kata Adhan sering katakan jika ibunya satu species dengan singa, kali ini Rara setuju dengan Adhan.

"Apa kamu bilang? Kamu mau melihat Papa jantungnya kumat lagi karena melihat Mama menikah lagi? Lagian Mama ingin menikahkan mu karena perintah Papa mu nak! Mama juga tidak setuju, tapi Papa mu berkata bisa saja ini adalah permintaan terakhirnya. Mama harus berbuat apa? Mama terpaksa nak, Mama juga belum siap melihat putri kecil Mama menjadi milik orang lain."

Tanpa sadar air mata Rara kembali turun. Ia paling benci dengan kata terakhir. Mendengar ibunya mengatakan bisa saja ini permintaan terakhir membuat otak Rara mencerna. Ia menangis keras karena Rara paham maksudnya, ia tidak mau kehilangan ayahnya ia mencintai ayah.

Karena ini adalah perintah langsung dari sang ayah Rara terpaksa menyetujuinya. Ia meninggalkan sang ibu tanpa berkata apa-pun. Mungkin ini takdir hidupnya, Rara akan menikah di usia muda. Rara tidak mau melihat sang ayah sakit lagi, ayah nya sekarang ini berada di rumah sakit dan ibunya meninggalkan terlebih dahulu untuk makan malam dua pihak keluarga untuk mengenalkan calon pasangan. Ia harus kuat, ini demi ayahnya yang sedang berjuang melawan sakit jantungnya.

_______

Di depan Cafe ternama di Jakarta. Satu keluarga turun dari dalam mobil Ferrari milik keluarga tersebut. Sepanjang perjalanan Gabriel mengercutkan bibirnya, ia memasang muka jutek untuk menunjukkan jika ia sedang mengambek.

"Ayo sayang jangan malas-malasan jalannya," tegur Nisa sambil mengapit tangan Gabriel agar cowok itu tidak melakukan aksi kabur yang sempat direncanakan Gabriel.

Gabriel berjalan sesuai tuntunan dari Nisa. Ia mengumpat di dalam hati, kenapa juga ia diapit, dia kan buka orang cacat yang nggak bisa jalan. Ini lah yang paling tidak disukai dari Gabriel, keluarganya terlalu pemaksa. Apalagi Arsen, jika bukan ayah-nya mungkin Gabriel sudah baku hantam.

Gabriel melirik ke arah Bagas yang sedang menunjukkan senyum kemenangan dan berbeda sekali dengan dirinya yang sedang tersenyum paksa. Sedang di tempat umum saja mereka, jika tidak Gabriel pasti sudah membungkam mulut siluman kancil itu. Sudah dari kecil Bagas membuatnya selalu naik pitam, anak itu bagaikan parasit di hidup Gabriel. Dia benci Bagas yang selalu membuatnya hidup tidak tenang.

"Kenapa lo Kancil senyum-senyum? Bangga? Awas aja kamu ya, Abang akan buat kamu menderita juga! Jangan tersenyum dulu, liat saja pulang dari sini Abang akan ikat kamu di pohon Mangga biar kamu malam ini tidur sama Mbah Kunti."

Bagas tercekat ketika Gabriel mengutarakan hal tersebut. Inilah yang tidak disukai Bagas, Gabriel selalu mengancamnya dengan mengikat di pohon mangga. Bukan tanpa sebab ia ketakutan, karena Gabriel sudah pernah menjalankan ancamannya itu untung saja ada Arsen menyelmatkannya jika tidak, Bagas juga tidak tau apa yang akan terjadi, kejadian tersebut di tengah malam pula.

Anak itu langsung memeluk sang ayah meminta pertolongan. Ia takut jika Gabriel sudah membawa-bawa pohon Mangga, dan hanya Arsen lah yang menjadi perlindungan terbaiknya.

"Papa Abang jahat ih... Dia mau ikat Bagas di pohon mangga. Bagas takut Pa," rengek Bagas sambil meminta digendong oleh Arsen, dan dengan senang hati pula Arsen menurutinya.

"Aduhhh.... Bagas sayang. Jika berani Abang ikat Bagas lagi nanti Papa pukulin Abang Gabriel," kata Arsen menenangkan. Dan kalimat tersebut tentu membuat Bagas berasa melambung ke atas awan. Ia menjulurkan lidahnya tanda mengejek Gabriel.

Penghinaan yang diberikan Bagas tidak dapat diterima baik oleh Gabriel. Ia memeluk sang ibu dari samping meminta perlindungan.

"Bunda! Papa jahat. Masa iya Gabriel mau dipukulin. Papa nggak sayang lagi sama Gabriel Bun," lapor Gabriel kepada Nisa.

Nisa menarik napas dalam, inilah situasi yang membuatnya selalu bahagia. Walau dipenuhi dengan kebencian, namun itu hanyalah sebagai candaan.

"Sudah-sudah bentar lagi kita bakal masuk Cafe ni. Malu diliat orang berantam terus."

Mendengar ucapan Nisa membuat Gabriel sadar jika mereka telah berjalan menuju ke meja makan tempat pertemuan. Gabriel menarik napas dan berusaha keras mencari alasan. Namun otak jeniusnya tak pernah dapat diragukan, ia memiliki cara untuk mengundur waktu pertemuan.

"Aduhhh perut Gabriel sakit banget nih. Akhhh... pusing lagi. Sepertinya Gabriel hamil deh Bun Pa." Gabriel memegang perutnya dan bersikap tak tahan sambil mencengkeram kuat dan tertunduk.

"Hamil?" Beo Nisa heran.

"Emang laki-laki bisa hamil ya Pa?" Tanya Bagas kepada Arsen.

Arsen menggeleng, "Nggak tau Papa."

Gabriel menatap Bagas horor dengan ekor mata yang melirik diam-diam. "Eh Kancil, asal kamu tau ya ini itu penemuan baru. Kamu belum pernah lihat kan ada laki-laki hamil? Lah ini Abang menemukannya. Sudahlah, kamu mau kan Abang jadi ilmuwan terkenal?" Bagas mengangguk. "Kalau begitu Abang ke toilet dulu untuk memecahkan teori ini benar apa tidak."

Tanpa persetujuan Arsen dan Nisa, Gabriel sudah terlebih dahulu kabur ke arah toilet. Dan membuat satu keluarga itu melongok bodoh menatap kepergian Gabriel.

"Kenapa anak itu sayang?"

"Tidak tau. Anak kamu aneh," ucap Nisa. "Mending kita duluan aja ke meja."

Sedangkan di sisi lain, Rara baru sampai di depan Cafe. Wajahnya masam tak bersahabat dengan suasana tenang di malam hari. Tampak sekali wajahnya tersenyum dipaksakan.

Rara terus memutar otak mencari cara agar dapat mengundur waktu pertemuannya dengan calon suaminya. Dan Rara menemukan ide berlian itu.

"Aduh Ma, Kayanya Rara mau kebelet deh Ma. Rara harus ke toilet dulu," ujar Rara mencari alasan agar dapat kabur.

"Tapi..."

"Aduh airnya sudah mau keluar nih."

"Tap---"

"Rara nggak tahan lagi. Rara harus ke toilet. Dah Mama."

Rara berlari ke arah toilet dan langsung membuka pintu WC dengan kencang. Cukup lama ia bersemedi di dalam toilet tersebut hingga akhirnya keluar dan berjalan pelan untuk mengulur waktu.

Akibat jalannya yang mengendap tanpa sadar Rara menabrak seseorang yang juga sedang berjalan sembunyi-sembunyi. Refleks keduanya langsung saling bertatapan.

Rara terkejut bukan main. Di depannya ini sekarang berdiri Gabriel dengan setelan jas yang membuatnya sangat-sangat tampan. Rara tidak bisa berkata apa-apa selain ternganga mengagumi ketampanan Gabriel Wijaya Altas.

"Eh katanya nggak mau ketemu gue lagi. Kok Lo masih ngintitin gue sih?" Tanya Gabrie sinis dan melirik seluruh tubuh Rara yang mengenakan gaun. "Bisa juga lo pakai baju beginian? Kira gue lo cuman bisa pakai celana murah yang sobek-sobek sama baju kaos kebesaran."

"Gabriel!" Ucap Rara tak percaya. Di depannya ini benar-benar Gabriel, orang yang ia tangisi tadi.

"Apa? Mau ngapain lo ke sini?"

Rara menunduk, Rara tidak menjawab karena semuanya percuma. Gabriel tidak pernah mendengarkan ucapan Rara.

Dengan lirih Rara berucap halus namun masih terdengar, "Gabriel itoshi teru."

"Dàn wô bù àinî."

Rara mengangkat kepalanya dan menatap Gabriel tidak mengerti. Ia tidak mengerti bahasa yang digunakan Gabriel barusan yang menjawab ucapannya.

"Bahasa apa itu? Apa artinya?"

"Bahasa Mandarin. Dan artinya gue nggak cinta sama lo."

Rara menatap Gabriel berbinar, "Jadi Gabriel tadi ngerti bahasa Jepang yang dipakai Rara tadi."

"Hmm."

"Wah Gabriel hebat bisa bahasa Jepang juga."

Gabriel melirik remeh Rara. "Gue pintar nggak kaya lo yang kalian empat aja nggak hapal."

Rara terdiam. Emang dia tidak pintar, namun Rara tidak mau menimpali lagi. Ia harus segera pergi dan jauh-jauh dari Gabriel karena jika ia berlama-lama dekat dengan Gabriel membuatnya sangat sulit untuk melupakan laki-laki itu.

Gabriel berjalan duluan dan Rara mengerutkan kening karena arah jalan mereka sama. Gabriel yang merasa diikuti pun berbalik dan menatap Rara bengis.

"Ngapain lo ngikutin gue?"

"Rara nggak ngikutin Gabriel."

Gabriel kembali berjalan tak menghiraukan Rara yang berjalan di belakang. Hingga keduanya sampai di tempat pertemuan mereka. Sejenak Gabriel memperhatikan orang-orang yang ada di sana tapi tidak ada wanita muda yang akan menjadi calon istrinya.

Nisa yang melihat Gabriel dan Rara datang beriringan pun menatap tak percaya. "Jadi kalian sudah saling kenal?"

Keduanya tak menjawab.

"Bun mana orang yang mau jadi istrinya Gabriel? Pasti kabur ya? Atau nggak enak karena merasa nggak cocok sama Gabriel yang tampan sedangkan dia wajahnya pas-pasan," ucap Gabriel dengan mimik kemenangan.

"Ma mana orang yang mau dijodohkan dengan Rara. Kok nggak ada? Pasti dia takut Rara tinju makanya nggak berani nampakan diri dan kabur, huh memang lelaki cemen," ejek Rara dan tak lupa nada ucapannya penuh penghinaan.

"Lah kalian yang mau dijodohkan," kata Selvi sambil melirik satu per satu.

Gabriel dan Rara terkejut hingga mereka saling bertatapan.

"Ogah/Mau!!!" Ucap mereka berteriak secara bersamaan.

______

TBC

Bagaimana dengan part ini? Tolong dijawab.

Mohon dukung novel ini dengan cara Like, komen, dan vote jika berkenan. Terimakasih.

Terpopuler

Comments

tia octha

tia octha

like dong, biar author ny tambah semangat🔥

2022-11-28

0

taurus@

taurus@

critanya dan kata bahasanya enak dbaca...

2022-06-12

0

enno

enno

heran ga ada yg komen. critanya lumyan bgus

2021-07-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!