Rara mengerjapkan matanya pelan-pelan ketika merasakan ada sebongkah cahaya yang menusuk-nusuk netranya seperti memaksa mata Rara untuk terbuka. Ketika mata besar itu benar-benar terbuka pemandangan pertama yang ia lihat adalah warna putih. Rara merasa asing dengan tempat ini lantas dia pun menjelajahi setiap ruangan dengan bola matanya.
"Rumah sakit huh," sadar Rara ketika mendapati tangannya diinfus.
Satu hal yang membuat Rara tertarik. Rangkaian bunga mawar warna putih terdapat di sampingnya. Rara tersenyum melihat bunga tersebut dan mengambilnya. Di ruangan ini tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Mungkin yang lain sedang mengurus suatu hal, yang pasti Rara tidak tau apa itu.
Rara berusaha membuat posisinya menjadi duduk. Ketika ia hendak bangun tiba-tiba denyutan hebat menyerbu kepalanya. Rara mengatur napas lalu memegang pelan kepala itu. Saat rasa pusing mulai berkurang, Rara kembali berjuang untuk duduk.
Ia bertumpu pada sisi kasur sebagai penopang berat badannya. Sedikit demi sedikit ia menarik kakinya dan bangun. Ketika berhasil ia pun menghembuskan napas panjang. Walau terasa melelahkan Rara tidak merasakan rasa penat itu padahal keringat telah berlinang di sisi keningnya sampai ke leher.
Rasa lelah itu seakan buyar ketika penglihatannya tertuju pada bunga mawar yang terdapat di tangannya. Berbagai pikiran jika pemberi bunga tersebut adalah Gabriel mulai menghampiri. Rara menghirup harum semerbak dari bunga mawar tersebut sebanyak-banyaknya seakan cara itu adalah jalan terakhir untuk mengobati pening yang dirasa.
"Terima kasih," ungkap Rara penuh ketulusan saat melihat satu kertas yang tersisip dari sana yang berisi menjelaskan jika pemberi tersebut adalah benar dari lelaki yang tengah menghantui pikiran Rara.
Ia meletakkan bunga mawar itu ke atas nakas secara hati-hati agar keseimbangan tubuhnya terjaga. Saat punggung badan mulai menyentuh kepala brankar, rasa pening itu kembali merangsang. Rara merintih kesakitan saat sakit itu menyerang tanpa pandang bulu.
"Hiks... sakit." Rara meringis dan menangis ketika menyadari tidak satu orang pun yang ada di dalam kamar itu untuk ia minta bantuan. Rara berusaha memencet tombol darurat yang tak jauh dari tempatnya namun tak tergapai.
Refleks mata Rara teralihkan dengan air putih di dalam gelas diletakkan di atas nakas. Ia meraih gelas tersebut yang berada sedikit jauh dari tempatnya. Namun bukan keberhasilan yang didapatkan Rara melainkan tubuhnya terjatuh dari ranjang.
Rara sudah siap dengan apa yang terjadi ke depannya. Ia memejamkan mata menyiapkan jika ia akan terjatuh dari brankar. Tapi Rara tak merasakan yang ia sedang pikirkan itu, malah Rara merasa tubuhnya didekap. Rara membuka mata dan melihat sosok yang memeluknya dengan sedih bercampur bahagia.
"Hiks... Gabriel, kepala Rara sakit," keluh Rara seraya semakin menelususpkan kepalanya di dalam pelukan Gabriel yang terasa menenangkan.
"Ra kalau mau apa-apa hati-hati atau tekan tombol daruratnya minta suster yang bantu. Untung aku cepat datang, kalau sempat satu detik saja aku terlambat mungkin aku nggak tau apa yang akan terjadi."
Gabriel mengangkat tubuh ringkih Rara lalu meletakkannya di atas brankar. Ia membenahi rambut Rara yang tampak acak-acakan kemudian duduk di kursi.
"Tadi Gabriel ke mana? Rara takut sendirian." Gabriel mengambil tangan Rara lalau digenggamnya telapak tangan yang terlihat lesu dan pucat. Gabriel mencium tangan tersebut lalu membelai rambut Rara.
"Maafkan aku. Aku tadi mengurus Andin di kantor polisi. Kamu tau sendirikan kalau orang yang seperti dia tempat sepantasnya berada di dalam sel."
Rara mengangguk. Namun rasa kering ditenggorokkannya serta kepala yang terasa pening belum berhenti. Ia kembali merintih seraya memegang kepala yang dibalut perban.
"Rara Kamu kenapa?" Tanya Gabriel panik kemudian matanya menyisir ke sekeliling ruangan mencari benda atau jenis segala macam yang dapat menolong Rara. Ia melihat ada air putih pun gesit menyambarnya dan meminumkan ke mulut Rara.
Mendapatkan sumber kehidupan berupa air, Rara cepat-cepat meneguk sebanyak-banyaknya. Ia tak merelakan setitik pun air tersebut tersisa hingga ia benar-benar meminumnya sampai tandas tak berbekas.
Ia menghirup udara sebanyak yang ia bisa lalau mengeluarkan secara teratur. Sakit di kepalanya berangsur mulai menghilang.
Gabriel yang tampak khawatir pun memijat kepala Rara pelan agar tak menyakiti perempuan itu.
"Masih sakit?"
Rara mengangguk lemah, tangannya yang masih digenggam Gabriel diangkat kemudian diletakkan di atas perut. Ia menatap Gabriel dalam yang sulit diartikan. Gabriel yang tak tau tau maksud tatapan itu hanya menaikkan satu alisnya.
"Kenapa?"
"Rara takut kepala Rara bermasalah. Untung Rara tadi tidak lupa ingatan dan masih ingat sama Gabriel. Rara takut kalau terjadi apa-apa dengan Rara. Rara belum siap berpisah dengan Gabriel. Hiks-hiks-hiks. Rara takut."
Gabriel menghapus air mata yang keluar itu lalu menggelengkan kepala meyakinkan jika tidak akan terjadi apa-apa dengan Rara. Ia mendekatkan kepalanya ke wajah Rara dan menatap manik hitam itu dalam.
"Tidak ada yang akan terjadi sama Rara, selama aku ada di sisi mu. Kalaupun tuhan memaksa kita untuk berpisah dan dunia juga mengatakan kita tidak bisa bersama, aku pastikan akan mengubah takdir itu. Takdir terbagi dua Ra, ada yang bisa diubah dan tidak bisa kita ubah. Percayalah meski aku belum merasakan apa-apa saat bersama mu, tapi aku sering merasakan nama mu perlahan terukir di dada ku, jantung ku juga berdegup kencang ketika melihat mu tak berdaya, hati ku selalu gelisah ketika jauh dengan mu." Gabriel membawa tangan Rara ke dadanya. "Kamu bisa merasakan bukan kalau jantungku sedang berdegup tak karuan?"
Ya Rara merasakan degupan tak beraturan itu. Ia menangis karena pada akhirnya orang yang dari dulu ia perjuangan pelan-pelan akan menjadi miliknya seutuhnya, sumpah Rara tak menyangka itu.
"Hey jangan nangis. Wajah mu jelek kalau sedang mengeluarkan air mata." Gabriel mengarahkan kedua tangan Rara untuk melingkar di lehernya. "Tersenyum lah walau hati mu berkata tidak. Senyuman bisa membuat nyaman banyak orang. Ingat senyum adalah ibadah, apalagi buat suami."
Gabriel membentuk pipi Rara yang datar menjadi tersenyum meski pun senyum di sana terasa seperti terpaksa tapi di mata Gabriel itu sangat lucu bahkan dengan jahilnya ia mencolek hidung Rara, hingga perempuan tersebut tak bisa menahan tawanya lagi.
"Ha ha ha.... apaan sih kamu."
"Nah gitu dong ketawa kan cantik. Istrinya siapa dulu dong?"
Tanya Gabriel dengan senyuman menggoda. Rara terlihat sedang berpikir untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan Gabriel beberapa detik lalu. Ia kembali melirik ke arah Gabriel yang sedang menunggu jawaban dengan penuh percaya dirinya.
"Istrinya siapa ya? Kalau nggak salah istrinya Gabriel Wijaya Altas. Bener nggak sih?" Jawab Rara dengan diiringi wajah yang bersemu memerah.
"Bener lah!!!"
Mereka tertawa bersama dengan posisi wajah yang saling berdekatan. Mendadak suara tawa itu terhenti ketika tangan Gabriel menjelajahi seluruh permukaan wajah Rara dan membelinya.
Rara meneguk ludah sebanyak-banyaknya ketika semakin detik melaju dan tak terasa wajah Gabriel tidak mempunyai jarak hingga Gabriel benar-benar memutus jarak itu dengan memberikan ciuman dalam ke Rara. Ia ******* bibir Rara dan menghisapnya. Rara tak membalas karena memang dia tak mengerti, tapi Gabriel terlihat seperti sudah biasa. Masa iya Gabriel sering berciuman dengan wanita lain?
Gabriel melepaskan ciuman tersebut. Ia menatap bibir Rara yang membengkak akibat dirinya yang tak bisa mengontrol diri. Gabriel mengusap bibir Rara yang terdapat bekas sisa slivanya.
"Itu ciuman pertama aku tauk," ungkap Gabriel dengan bibir yang manyun, namun kembali tersenyum jahil ketika melihat Rara yang terkejut dengan bibir yang terbuka. "Jangan dibuka lagi atau mau aku cium lagi hm...?"
Rara cepat mengatup bibirnya dan membungkammya dengan satu tangannya.
"Kamu serius itu ciuman pertama kamu? Kok kamu seperti sudah biasa gitu ya? Itu juga ciuman pertama aku..." kata Rara sedikit malu-malu mengungkapkannya, wajahnya bersemu.
Entah kenapa Gabriel sangat senang mendengar kenyataan tersebut. Dia bahagia menjadi orang yang pertama menikmati bibir manis itu. Bahkan Gabriel tak bisa melupakan manis strobberi yang memang buah itu menjadi candunya, dan kemungkinan besar bibir Rara bisa menjadi candunya juga.
"Jadi kita sama-sama yang pertama ya? Untuk aku yang terasa sudah biasa mungkin itu bawaan naluri lelaki."
"Sudah ah jangan bahas itu lagi malu tauk... Rara ngantuk, hari kan sudah malam banget. Gabriel, Rara pengin Gabriel tidur di samping Rara sambil elusin ya!"
Cowok tersebut mengangguk dan menjauhkan wajahnya dari wajah Rara. Ia naik ke atas ranjang dan membaringkan tubuhnya di samping perempuan tersebut. Ia memeluk tubuh Rara seraya mengusap kepala Rara penuh kehangatan membuat Rara terbuai dan memejamkan matanya, terlelap.
Mendengar dengkuran pelan dari bibir tersebut membuat Gabriel tersenyum. Ia menguap bertanda jika dia juga merasa ngantuk. Sebelum menyusul Rara, Gabriel menyempatkan untuk mengecup puncak kepala Rara.
______
Sayup-sayup gendang telinga Gabriel menangkap suara adzan yang dikumandangkan dari masjid yang tak jauh dari rumah sakit. Gabriel membuka matanya, hal yang pertama yang ia lihat adalah wajah lugu Rara sedang tertidur. Wajah tersebut begitu damai, membuat hati Gabriel teduh memandangnya.
Ia menjamah seluruh pahatan sempurna di wajah Rara. Tangannya berhenti tepat di bibir ranum perempuan itu. Seketika Gabriel teringat akan kejadian semalam, bibir tersebut sudah ia perawani dan bibir itu pula yang mengambil prajaka bibirnya. Gabriel mengecup singkat bibir tersebut.
Ketika adzan telah berhenti Gabriel membangunkan Rara. "Ra bangun. Sudah subuh ayo kita sholat bareng."
Rara menggeliat dan perlahan membuka matanya. Wajah itu mula tampak kesal karena dia sedang mimpi indah dan dengan enaknya pula orang membangunkan dirinya beserta mimpi indah tersebut yang buyar. Raut muka Rara berganti dengan senyuman ketika melihat orang yang berada di pelukan nya dengan jarak yang begitu dekat.
"Gabriel," lirih Rara dengan suara serak. Ia mengerjap untuk membiasakan cahaya lampu rumah sakit.
"Ra kita sholat subuh dulu. Mukenah mu sudah aku belikan kemarin. Kamu nggak usah wudhu, tayamum aja. Kan kamu belum bisa bangun, luka kamu juga nggak boleh kenak air."
Mendapatkan respons baik dari Rara, lantas Gabriel bangun lalu membantu Rara duduk. Ia membimbing Rara bertayamum dengan menggunakan debu di dinding rumah sakit. Ketika selesai Gabriel memberikan mukenah yang sempat ia beli ke Rara.
"Gabriel Rara kan nggak bisa berdiri. Gimana Rara mau sholat?"
"Kalau gitu duduk aja." Gabriel membantu Rara untuk duduk dengan posisi yang benar. "Tunggu aku, aku ambil wudhu dulu."
Gabriel keluar mencari air untuk wudhu. Di sana memang ada toilet namun Gabriel tidak ingin berwudhu di sana karena Allah mengharamkan orang yang wudhu di tempat pembuangan najis, jangankan untuk bersuci menyebut nama-NYA saja tidak dibolehkan.
Cukup lama Gabriel pergi dan akhirnya kembali. Mereka pun menunaikan sholat subuh yang diimain Gabriel dan Rara yang mengikuti dari atas brankar. Gerakkan demi gerakkan sholat mereka lewati hingga akhirnya sampailah dengan gerakkan terakhir, salam.
"Assalamualaikum Warahmatullah." Gabriel menoleh ke kanan lalu ke kiri dengan ucapan salam yang sama. Sedangkan Rara di belakang ikut melakukan gerakkan sholat yang dipimpin Gabriel.
Selesai berdoa Gabriel menoleh ke belakang dan mengulurkan tangannya supaya dicium oleh Rara. Rara menyalami tangan Gabriel dan mengecup nya lalu Gabriel membalas dengan mengecup kening Rara.
Gabriel membereskan alat mereka sholat dan membantu Rara membuka mukenah nya. Ketika semua telah terkondisikan dengan baik, Gabriel pun duduk di kursi yang terdapat di samping brankar.
"Ra kamu tau nggak kalau kita menggunakan mahar waktu menikah seperangkat alat sholat itu bisa saja membawa bencana bagi kita di akhirat."
"Lho kenapa?"
Gabriel tersenyum melihat keantusiasan Rara mendengar ceritanya.
"Meski tidak seberapa tapi tanggung jawab nya besar. Banyak orang menggunakan mahar seperangkat alat sholat tapi ketika telah menikah alat sholat sama sekali nggak digunakan. Mereka meninggalkan sholat padahal ketika mengucapkan janji mereka menyebutkan maharnya seperangkat alat sholat tapi tau-taunya suami istri pada nggak sholat. Bunda aku pernah bilang azab-nya besar buat mereka."
"Gabriel! Rara takut," kata Rara sambil bergidik ngeri.
"Kalau gitu kita harus kerjakan sholat terus, kan mahar kita seperangkat alat sholat kemarin."
Rara mengangguk cepat. Ia ingin masuk surga dan tidak mau masuk ke dalam neraka. Membayangkan jika kulitnya terbakar api saja Rara tidak bisa membayangkan bagaimana pedihnya siksa tersebut.
Seketika ruangan hening saat seorang dokter dan perawat datang ke dalam kamar Rara.
"Selamat pagi," sapa dokter berhijab itu ramah.
"Pagi Dok," kata Rara semangat.
Suster yang berada di belakang dokter tersebut meletakkan nampan yang ia bawa ke atas nakas. Di nampan itu terdapat bubur serta air putih dan jangan lupakan ada juga vitamin rasa lemon.
"Kita cek dulu ya keadaannya."
Dokter tersebut meletakkan stetoskop ke dada Rara. Ketika selesai ia menjauhkan benda tersebut dan menyuruh suster itu mengganti infus Rara yang mulai habis.
"Bagaimana Dok?"
"Istri Anda keadaannya mulai membaik dan pendarahan di kepalanya mulai berkurang. Mungkin dalam beberapa hari ke depan istri Anda bisa pulang."
"Terima kasih Dok."
"Kalau begitu kami pergi dulu. Dan jangan lupa beri dia makan dengan bubur yang dibawakan tadi ya?"
Usai Gabriel mengangguk suster beserta dokter tersebut pergi dari ruangan Rara dan akan mengecek kondisi pasien yang lain.
Gabriel menoleh ke Rara lalu mengambil mangkuk yang sudah diisi bubur tersebut.
"Kamu makan ya! Biar cepat sembuh dan pulang ke rumah."
Gabriel menyendok bubur tersebut dan menyuruh Rara membuka mulut. "Aaaa."
Rara membuka mulutnya dan mengunyah bubur tersebut. Rara tidak protes seperti kebanyakan pasien yang lain saat dimakankan bubur, ia sangat menyukai bubur dan apalagi bubur ayam.
"Enak nggak?"
"Ha'em."
Gabriel terus menyuapi dan sesekali menjahilinya membuat Rara tergelak dengan kejahilan Gabriel. Seperti disendok terakhir Gabriel sengaja meluputkan suapannya hingga sisi bibir Rara yang terkena bubur tersebut tampak belepotan, namun Gabriel tetap menyuapi Rara.
Ia meletakkan sendok di dalam mangkuk tersebut hingga mengeluarkan dentingan. Gabriel menaruh mangkuk itu di samping gelas yang airnya masih utuh. Ketika Rara hendak mengusap bibirnya yang belepotan dengan bubur cepat Gabriel menahan.
"Jangan biar aku aja."
Rara mengizinkan tapi di detik berikutnya Rara tidak bisa menahan napas dengan cara Gabriel membersihkan bibirnya. Tidak seperti biasanya, ini beda dan benar-benar beda, Gabriel menjilat sisi bibir Rara lalu meneransfer makanan sisa di dalam mulutnya ke mulut Rara melalui ciuman.
"Gabriel jangan mesum," kata Rara menjauhkan tubuh Gabriel dari tubuhnya. "Rara pengen minum."
Gabriel memberikan gelas ke Rara dan cepat serta menggebu Rara menegaknya hingga tak bersisa akibat saking gugupnya Rara. Gabriel meletakkan kembali pada tempatnya saat Rara memberikan gelas itu ke Gabriel.
"Gabriel kok cuman kamu yang jagain aku?"
"Papa, Bunda, dan Mama jagain kamu kok tapi mereka pulang setelah selesai kepala mu dijahit?"
"Hah dijahit?"
"Hm. Dua belas jahitan."
Mata Rara berkedip cepat saking tak percayanya. What dijahit? Spontan Rara memegang kepalanya yang diperban. Apa dua belas jahitan pula?
Mereka hanyut dalam lamunan hingga satu rombongan masuk ke dalam ruangan tersebut membuat bik Gabriel dan Rara menatap ke arah pintu.
"Hiks-hiks-hiks Abang!!! Bagas kangen sama Abang semalaman nggak pulang. Bagas kesepian nggak punya teman buat hujat-hujatan!!!"
Bagas berlari ke dalam pelukan Gabriel. Ia menangis di dalam pelukan Gabriel dan Gabriel menegartakan pelukan mereka.
"Papa temenan sama Bunda terus. Bagas kesepian sendirian di rumah nggak ada teman buat duel bertengkar."
Gabriel mengecup puncak kepala adiknya lalu mengacak rambut Bagas. "Sama Abang juga kangen hujat kamu bocil."
_______
Tbc
Bagaimana menurut kalian dengan part ini?
Absen daerah masing-masing kuy. Aku dari Provinsi Riau di Kabupaten INHIL. Kalian dari mana?
Jangan lupa like, komentar, dan vote jika berkenan.
Kenapa sih masih banyak yang nggak suka pasangan Gabriel itu Rara? Padahal Rara itu baik tau. Nggak selamanya dalam novel cinta sahabat itu bersatu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
ALHAMDULILLAH, TERNYATA BAGAS LKI2 FAHAM AGAMA,,
SMOGA GABRIEL BSA MNCINTAI RARA SEPENUH HATI, DN MLUPAKN CILLA,, ..
MNTAPP GABRIEL, WANITA ULAT BULU KYAK ANDIN ITU MMG HRS DIKASIH PELAJARAN KERAS, BIAR KAPOK..
2023-01-15
0
🙂MAKHLUK BUMII!!🙂
hhhmmm jomblo diam aaee☺
2021-05-13
2
Rahma Samratusania
thor up dong
2021-05-07
1