...*Orang yang terlihat sempurna sekali pun pasti pernah melakukan kesalahan.*...
Hara.
Seumur hidup aku belum pernah melakukan pekerjaan kasar. Seperti memotong batang bambu dan membersihkan ranting bambu yang berserakan. Jangankan pekerjaan sekasar itu, hal sepele seperti menyapu lantai saja sudah lama tidak pernah kulakukan.
Tapi sejak kemarin, aku melakukan pekerjaan yang tidak biasa kulakukan. Membersihkan dan menata rumah untuk acara, menyapu halaman, sampai siang ini aku membantu Irkham menebang dan membersihkan ranting bambu yang berserakan.
Sebenarnya tidak ada yang menyuruhku melakukan pekerjaan ini. Reyfan maupun pak Fares tidak memintaku membantu Irkham. Hanya karena aku tidak biasa berdiam diri, jadi kuputuskan untuk turun tangan. Selama menunggu Reyfan sekeluarga yang sedang berkunjung ke tempat guru spiritualnya sekaligus berziarah ke makam ulama.
Walau agak kaku karena tak terbiasa memegang golok, tapi aku berhasil menebang batang bambu yang tinggi menjulang memayungi atas pendopo yang terletak di halaman belakang runah Aneesha. Irkham yang menebang bagian atas, aku membantu memegang agar tidak rubuh menimpa atap.
Sebaliknya, aku yang menebang batang bagian bawah, Irkham yang membantu menopang. Setelah tidak ada lagi batang bambu yang melengkung di atas pendopo dan rumah utama, Irkham naik ke atas atap, membersihkan daun bambu kering. Aku tetap di bawah, membereskan batang dan ranting bambu yang berserakan.
Aku agak kesulitan memindahkan ranting yang cabangnya kemana-mana, sama sekali tidak terpikir untuk memotong dulu agar mudah dipindahkan. Apalagi ranting-ranting itu berserakan kemana-mana, ada yang jatuh sampai ke sungai kecil di samping garasi.
“Dilumpukke kono kae! Ben dijikuk wong sing butuh.” (Kumpulkan sebelah sana! Biar diambil orang yang butuh.)
Meski tidak sepenuhnya tahu maksud kalimat yang diucapkan mbah uti, tapi aku paham dengan isyarat jari yang ditunjuk. Kutangkap maksud dari ucapan itu adalah aku harus mengumpulkan ranting bambu di dekat pintu gerbang agar mudah diambil oleh orang yang membutuhkan.
“Wong kene iseh okeh sing daden gedi anggo kayu, ben do dinggo.” (Orang sini masih banyak yang menggunakan kayu untuk perapian, biar dipakai.)
Susah payah kutarik ranting-ranting bambu yang beserakan itu, kukumpulkan menjadi satu di tempat yang ditunjuk oleh mbah uti. Meski sebenarnya aku kesulitan melakukan pekerjaan ini. Bagaimana tidak, ranting bambu yang bercabang kemana-mana, menjadi berat saat ditarik karena menyangkut tanah dan pohon di sekitarnya.
Paling sulit adalah saat aku mengangkat batang bambu yang jatuh di parit, dekat rumpun. Tanah yang landai dan licin membuatku harus sangat berhati-hati saat turun untuk mengambil batang bambu.
Meski aku sudah memperhitungkan langkah, namun pijakan kakiku yang kurang tepat membuatku terpeleset. Aku hendak meraih batang pohon untuk pegangan, tapi karena tergesa, lenganku malah tergores ranting bambu.
Pucuk ranting yang runcing itu menggores sepanjang lengan kananku, dari siku sampai hampir ke pergelangan tangan. Darah segar menetes dari sayatan yang tadinya berwarna putih pucat, perlahan berubah merah, menganga. Perih tentu saja, tapi aku masih bisa menyelesaikan pekerjaan hingga batang bambu kukumpulkan di satu tempat.
Kulihat lukaku tidak terlalu dalam, tapi darah menetes terus, membuat mbah uti mendekat dan ikut melihat lukaku.
“Kham! Meduno!” (Kham! Turun!)
Irkham turun dari atas atap tanpa menjawab perintah mbah uti. Begitu melihat lenganku yang sedang dipegang oleh mbah uti, Irkham berlari masuk ke dalam rumah.
Mbah uti membawaku duduk di tepi pendopo, meninggalkan batang dan ranting bambu yang belum terlalu rapi. Kuperhatikan beliau mengernyit, sebab melihat lukaku yang terus mengeluarkan darah.
“Tak undangke Jenar, iki kudu ndang diobati.” (Kupanggilkan Jenar, ini harus segera diobati.)
Mbah uti menginggalkanku sembari bergumam yang masih bisa kudengar, “oalah, wong kota. Ora isoh ngati-ati, ora ngerti yen keno carang kuwi isoh gawe mati.” (Oalah, orang kota. Tidak bisa hati-hati, tidak tahu kalau terkena ranting bambu bisa menyebabkan kematian.)
Aku menggelengkan kepala, sebab sama sekali tidak tahu apa yang diucapkan oleh mbah uti. Memilih memerhatikan lenganku yang terkena goresan panjang. Reyfan bisa tertawa jika melihatku sekarang, bisa-bisanya aku terluka hanya karena terkena ranting bambu.
Aku sedang memerhatikan lenganku, berpikir bagaimana harus kulakukan pertolongan pertama agar darahnya segera berhenti. Saat Jenar menghampiriku, terkejut melihat karena lukaku.
“Harus cepat diobati.” Ucapnya sambil mengerutkan dahi.
“Lukanya tidak terlalu dalam, nanti juga sembuh sendiri.” Aku berkilah sebab tidak ingin terlihat lemah.
Secara tak kuduga, Jenar menarikku, membawaku ke gentong yang terletak di dekat mushola. Ia menarik tanganku yang terluka dengan pelan, memaksaku untuk menunduk. Membuat jarak kami sangat dekat, bahkan terlalu dekat, karena dadaku bisa menyentuh bahunya.
Ini tidak baik, aku tahu Jenar adalah gadis yang selalu menjaga jarak dengan laki-laki, termasuk kakak iparnya sendiri. Jadi ketika kami terlalu dekat entah mengapa perasaanku menjadi tidak nyaman.
Jenar membuka tutup gentong, mengarahkan aliran air yang keluar agar tepat mengaliri luka di lenganku. Aku merasakan perih sekali, saat air membasahi lukaku. Apalagi saat melihat aliran air berubah menjadi merah pekat, membuatku bergidik, tapi kutahan.
Telaten sekali Jenar membersihkan lukaku. Ia sampai sengaja membuka sayatan agar air mengalir ke dalam luka dan itu sangat sakit. Tapi sakit itu masih bisa kutahan, aku masih bisa bersikap biasa saja.
Justru aku merasa Jenar yang tidak baik-baik saja setelah selesai membersihkan luka di lenganku. Aku melihat telapak tangannya bergetar saat hendak menutup gentong. Ia bahkan sampai mengulang beberapa kali sampai aliran air pada gentong tertutup sempurna.
Aku sempat bertanya padanya, saat dia berpegangan pada sisi gentong, “kamu tidak apa-apa?”
Aku yakin dia tidak bisa mendengar apa yang kukatakan, walaupun ia menggeleng dengan keras. Aku melihatnya makin tidak tenang, wajahnya memucat dan panik.
Jenar sepertinya sedang menahan napas, ia bergegas meninggalkanku setelah celingukan menatap sekeliling. Tadinya kupikir ia hendak masuk ke dalam rumah, ternyata ia mengambil selembar kain dari tali jemuran. Kain berbentuk segi empat yang lebar itu dilipat oleh Jenar, ia gunakan untuk menutup lukaku.
Padahal aku sudah mencegahnya, “tunggu! Jangan pakai ini!”
Tapi suaraku seperti menguap di udara, tidak sampai ke telinga Jenar. Gadis itu tetap menutup lukaku menggunakan kain berwarna peach entah kain apa dan milik siapa.
Begitu ia selesai mengikatkan kain untuk menutup lukaku, Jenar langsung memalingkan wajah. Entah hanya perasaanku saja, tapi kurasa tubuh gadis itu bergetar, seriring dengan getaran di tangan yang semakin menjadi.
Ia masih berpegangan pada badan gentong, saat kulihat badan Jenar mulai limbung. Beruntung aku sempat meraih bahunya, jadi ia tidak sampai terjatuh. Kurentangkan tangan untuk menopang tubuhnya, sebab kepala Jenar sudah rebah di dadaku.
“Kham! Tolong!” Teriakku.
Tapi Irkham tidak tanggap, malah mbah uti yang berjalan tergesa mendekat. Menepuk-nepuk pipi Jenar karena gadis itu menutup mata dengan sempurna.
“Nduk! Nduk! Nopo cah iki?” (Ada apa dengan anak ini?)
Aku mengabaikan ucapan mbah uti, karena pikiranku hanya terfokus pada Jenar yang tiba-tiba pingsan. Kuangkat tubuhnya, setengah berlari aku membawanya masuk ke dalam rumah. Beruntung kali itu Irkham segera merespon perintahku untuk membantu membuka pintu, jadi aku tidak kesulitan membawa Jenar ke dalam kamar.
Begitu sampai di kamar, aku membaringkan tubuh Jenar yang lemas tak berdaya dengan mata tertutup rapat. Menyelimuti tubuhnya yang terasa dingin saat kuangkat tadi. Aku sempat berusaha membangunkan gadis itu dengan mengguncang bahunya, tapi tidak ada respon.
Aku baru saja berpikir, mencari sesuatu untuk membuat Jenar sadar. Ketika mbah uti masuk ke dalam kamar, dengan langkah terseok dan mata berkaca-kaca. Wanita renta itu pasti sangat mengkhawatirkan cucunya.
Mbah uti memberiku minyak kayu putih, setelah ia menuangkannya ke telapak tangannya sendiri. Kubuka tutup botol kecil itu, lalu kuarahkan ke depan hidung Jenar. Tapi belum berhasil, Jenar masih memejamkan mata.
“Lho, mbak Jenar kenapa?” mbak Sayumi yang baru saja datang segera menghampiri ranjang dan meletakkan punggung tangan di dahi Jenar. Ia pasti juga sangat khawatir terhadap Jenar.
Mbak Sayumi meletakkan kantong plastik kecil begitu saja di tepi ranjang, merangsek sembari meminta minyak kayu putih dari tanganku. Ia menuangkan minyak kayu putih pada telapak tangan, lalu mengusapkan pada tangan Jenar. Ia memberi pijatan pelan, kemudian setengah keras saat memijit ibu jarinya.
Karena sudah banyak yang menangani Jenar, diam-diam aku undur diri. Tapi langkahku terbaca oleh mbak Sayumi, “obatnya di plastik itu, Mas.”
Aku mengangguk seraya mengambil kantong plastik yang dimaksud mbak Sayumi, kemudian berlalu dari kamar yang terasa sesak karena banyak orang berkumpul. Kubiarkan Jenar ditolong oleh mbah uti dan mbak Sayumi.
Tak kusangka Irkham menyusulku, ikut duduk di kursi kayu. Tanpa kuminta, dia membantuku mengobati luka. Membuatku berpikir bahwa memang benar no body’s perfect. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri, seperti halnya dengan Irkham. Dia yang terlihat berbeda dengan orang kebanyakan, ternyata punya banyak kelebihan. Salah satunya rasa empaty yang tinggi.
Sampai aku selesai mengobati lukaku dengan dibantu oleh Irkham, Jenar belum juga sadar. Membuat rasa ingin tahuku meninggi tentang penyebab ia pingsan. Mungkinkah karena-
Aku menggelengkan kepala mencoba menepis prasangka yang tidak beralasan. Kuambil ponsel untuk menghubungi Reyfan. Keluarganya harus tahu tentang keadaan Jenar, kalau bisa mereka harus segera pulang. Barangkali Jenar butuh penangangan yang lebih serius.
Aku dan Irkham kembali ke dalam kamar. Jenar baru sadar setelah kami menunggu lama. Dia terlihat bingung sambil memegang pelipis, mungkin merasa pusing. Tapi sejurus kemudian dia berusaha tersenyum, membuat kami semua lega.
Tapi yang membuatku tak habis pikir adalah dia memintaku tidak memberi tahu keluarganya tentang kondisinya. Terlambat, sebab aku sudah melakukannya sejak ia belum sadar. Bahkan keluarganya segera pulang setelah aku menelpon. Tentu saja semua merasa khawatir dengan Jenar.
Meski tidak bicara, tapi aku tahu Jenar kecewa karena aku memberitahu keluarganya tanpa ijin. Aku tidak punya pilihan tadi, mana mungkin kubiarkan Jenar pingsan terlalu lama. Sedangkan aku tidak punya ide untuk membuatnya sadar.
Aku meninggalkan kamar lagi, setelah kupastikan dia baik-baik saja dan keluarganya sudah datang. Memilih duduk di teras sembari menyulut rokok. Rasa perih, pegal dan gatal mulai menjalari luka yang sudah tertutup perban. Kualihkan dengan menghisap rokok dalam-dalam, merasakan aroma tembakau yang dibakar, menenangkan.
Sambil menatap jalanan dari balik pagar yang pintunya terbuka. Lalu-lalang kendaraan yang melintas mewarnai sore hari. Angin sepoi-sepoi bertiup membawa udara dingin yang menyeruak. Entah mengapa di daerah ini udara selalu terasa dingin dan sejuk, tidak seperti di Jakarta yang selalu gerah dan panas.
Ketika rokok di sela jariku tinggal setengah, Reyfan datang menghampiri. Ikut duduk di bangku kayu, bersebelahan denganku. Tanpa ijin ia mengambil rokokku yang tergeletak begitu saja. Menyulutnya menggunakan korek api milikku juga, hal itu sudah biasa bagi kami.
“Mbah uti bilang tangan kamu berdarah kena ranting bambu? Kok bisa?”
Aku mengangguk seraya mendesis, menikmati hisapan rokok masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di sana. Kujawab pertanyaan Reyfan dengan nada datar cenderung ketus, “tentu saja bisa. Aku, kan manusia.”
“Kupikir kamu sudah jadi setan, makanya aku heran kamu bisa luka,” jawab Reyfan dengan nada tak kalah ketus.
Seperti biasa kami memang seperti ini, tidak pernah berkomunikasi secara normal di luar konteks pekerjaan. Entahlah, bagaimana kami bisa bersahabat seumur hidup, seperti manusia pada umumnya, padahal kami lebih sering berselisih paham.
Dari pada kuladeni ucapannya yang tidak akan selesai tujuh hari tujuh malam, aku lebih memilih menanyakan satu hal penting yang membuat rasa ingin tahuku memuncak sejak tadi, “Apa Jenar takut sama darah?”
Reyfan tertawa, sampai asap rokok yang keluar dari mulutnya seperti ikut berguncang, “konyol! Dia sekolah ambil jurusan ilmu kebidanan, bagaimana mungkin Jenar takut dengan darah.”
Aku hanya mengangkat bahu, dan itu justru membuat dahi Reyfan berkerut. Baru kusadar, aku telah salah bertanya. Sebab kini jiwa ingin tahu Reyfan muncul ke permukaan, “memangnya tadi apa yang terjadi, sampai Jenar pingsan? Kamu apain dia?”
Aku menoyor kepala Reyfan. Tidak suka jika sahabatku itu menampilkan wajah serius dengan pandangan penuh selidik. Seperti aku baru saja melakukan kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan.
“Kamu pikir aku ngapain? Dia pingsan setelah membersihkan lukaku. Kupikir dia takut sama darah,”
Reyfan tertawa lagi, kali ini terlalu keras. Mungkin bisa didengar sampai ke dalam rumah. Entah kenapa aku menjadi kesal dan tidak ingin melanjutkan obrolan dengannya.
Aku menarik tubuhku berdiri, mengambil rokok beserta korek api kemudian memasukkannya ke dalam saku celana. Kulemparkan rokok yang telah memendek, membuang puntung begitu saja di halaman depan rumah.
“Mau kemana kamu?” Tanya Reyfan saat menyadariku melangkah.
“Pulang!” Jawabku lugas.
“Pulang kemana? Memangnya disini kamu punya rumah? Ini Magelang, woi! Bukan Jakarta.”
Sebenarnya aku menyesal karena salah ucap, tapi otakku berpikir cepat untuk meralat apa yang telah kuucapkan. Menyeringai saat Reyfan menatapku curiga, “I always have some place to stay.” (Aku selalu punya sebuah tempat untuk tinggal.)
“Hei! Jangan bercanda! Mau kemana kamu?”
“Boleh jujur?” Kudekatkan wajah tepat di telinga Reyfan. Berbisik sambil menyeringai, “aku mau ke sarkem. Mau ikut tidak?”
Aku tertawa karena Reyfan mengernyit, memperlihatkan wajah lugu sekaligus lucu. Menyenangkan sekali melihat Reyfan seperti ini, pasti rasa ingin tahunya melebihi emak-emak biang gosip di kampung.
Kutinggalkan dia yang masih terbengong, masuk ke dalam rumah untuk mengambil barang-barangku. Aku datang kemari untuk mengurus acara lamaran Jenar dan sudah selesai. Sekarang saatnya aku bersenang-senang. Sudah tidak sabar rasanya ingin kutemui bocah kecil yang wajahnya selalu membayang. Dia pasti terkejut karena aku tidak memberi kabar akan datang.
“Aku jadi curiga sama kamu, Hara!”
Aku menjatuhkan ponsel yang sedang kupegang, karena terkejut. Saat sedang menatap foto Naufa, tiba-tiba saja Reyfan sudah ada di belakangku, bersedekap sambil menatapku dengan tatapan tajam.
“Tempo hari kertas warna pink, sekarang foto anak kecil. Jangan-jangan …,” dia belum menyelesaikan kalimat, tapi sudah kupotong tanpa ijin, “jangan-jangan apa? Nggak usah sok tahu kalau nggak bener-bener tahu!”
Kugendong tas ransel setelah memastikan semua barang masuk ke dalamnya. Reyfan menahan langkahku dengan memanjangkan kaki, saat aku hendak melewatinya, “jelasin dulu sarkem itu apa?”
Aku hampir tertawa karena Reyfan masih membahas ucapan randomku tadi. Baru saja aku hendak membuka mulut untuk menjawab sudah terdengar suara tak jauh dari kami. Rupanya mbak Sayumi mendengar obrolan kami.
“Owalah mas Reyfan moso ora ngerti sarkem. Kae lho mas pasar kembang.” (masa tidak tahu sarkem, itu, lho pasar kembang.)
“Mau ngapain kamu ke pasar kembang? Beli bunga?” Reyfan masih belum tahu apa yang sedang kami bicarakan. Membuat mbak Sayumi hampir tertawa. Tapi dia masih bisa menjawab pertanyaan Reyfan.
"Ya, sudah pasti beli bunga, dong. Mas Reyfan ora mudeng." (Mas Reyfan tidak maksud.)
“Mau ditanam di mana?”
“Aduh mas Reyfan, bukan bunga yang itu, tapi bunga malam.”
Sebelum Reyfan berhasil mencerna jawaban mbak Sayumi, aku mengambil kunci mobil di atas meja. Berlalu melewati Reyfan yang sedang mengernyit tanda kalau dia sedang berpikir keras.
“Pinjam mobil.”
Reyfan mengangguk, tapi sejenak kemudian menarik bahuku hingga aku mengaduh sebab lenganku yang sakit ikut tertarik. Sorot matanya tajam saat berbisik di telingaku, “awas saja kalau kamu membuatku malu. Jangan sampai seluruh keluargaku tahu kebiasaan burukmu itu!”
“Ampun bang jago!” kutangkupkan tangan seperti hamba yang sedang menyembah, “mungkin aku bejad, tapi tidak go-blok!”
Aku hampir tercekik karena Reyfan menarik kerah kaosku, “aku serius! Di Jakarta kamu boleh melakukan sesukamu, di sini, kamu harus ikut aturan mainku!”
“Iya, aku tahu! Lepas!” kutepis cengkeraman tangannya agar melepas kerah kaosku.
Tepat saat itu bu Riani keluar dari kamar dengan membawa nampan berisi gelas dan piring kosong. Mungkin habis mengantar makanan untuk putrinya yang baru sadar dari pingsan.
“Lho, Hara mau pergi?”
“Iya, Bu.”
“Kemana?”
“Saya mau ke-” aku hampir tidak bisa menemukan ide untuk menjawab pertanyaan bu Riani. Tidak mungkin kukatakan aku akan ke rumah pak Wawan, bisa tidak jadi pergi karena aku harus menjelaskan kepada Reyfan. Jadi aku memilih jawaban aman saja. “Mengunjungi adik sepupu saya, Bu.”
“Oh! Hara punya adik sepupu yang tinggal di sini rupanya?”
“Tinggal di Jogja, Bu. Di Seturan.”
“Oh, gitu. Eh!” Bu Riani seperti teringat akan sesuatu, “tunggu, dulu, ya! Kamu bawakan makanan untuk adik kamu, dia tinggal sama orang tuanya atau sama siapa?”
“Tidak usah repot-repot, Bu. Dia tinggal sendiri.”
Bu Riani seperti terkejut mendengar jawabanku tapi dia tersenyum, senyum dengan tatapan teduh keibuan yang membuatku, ah! Entahlah. Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku setiap kali ada yang menatapku seperti itu. Membuatku ingat dengan mama.
“Tidak apa-apa, bawakan untuk adikmu. Banyak makanan di sini, kalau tidak dibagi, khawatir tidak ada yang makan.”
Aku menunggu bu Riani menyiapkan makanan. Selama menunggu Reyfan terus saja berbisik dengan suara paling lirih, sampai hanya aku saja yang bisa mendengarnya.
“Kamu beneran mau ke tempat Cecilia?”
“Jangan-jangan kamu punya pacar di sini?”
“Awas kalau kamu lakuin kebiasaan bejadmu di sini.”
“Kamu bisa beneran kupecat!”
Aku hanya manggut-manggut, tidak ingin menjawab ucapan absurd Reyfan. Memilih diam, dari pada dia makin menerocos tidak jelas. Malas aku meladeninya, lebih baik kupikirkan apa yang harus kubelikan untuk Naufal.
Tadinya kupikir makanan yang dibawakan bu Riani hanya sedikit, ternyata se kantong kresek penuh. Masih ditambah satu box berukuran sedang. Aku sempat menolak, tapi bu Riani setengah memaksa agar aku tetap membawanya.
“Tidak apa-apa, Hara. Nanti berikan kepada teman atau tetangga adikmu.”
Dalam hati aku merasa senang. Terbayang reaksi mbak Nabila dan pak Wawan ketika nanti kubawakan banyak makanan. Juga Naufal, anak itu pasti suka kue-kue yang dibawakan bu Riani. Kue sisa jamuan acara lamaran tadi siang, juga hantaran yang dibawa oleh keluarga Ghufron. Aku tinggal mampir ke minimarket untuk membelikan kesukaan bocah itu, es krim rasa vanila.
Setelah merasa melewati hari yang tidak biasa, kurasa memanjakan diri dengan bermain bersama Naufal bisa membuatku tenang. Menyenangkan.
.
.
.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
srietya
oalahhh, baru ngerti maksud y hara juragan sarkem.. wkwkwkwk
kelakuan emangggg...
2022-10-20
0
Emi Wash
reyfan... tambah penasaran kan luh....
bahagia itu sederhana melihat orang2 yg kita sayangi tersenyum aja itu dah sesuatu banget.
2022-08-03
0
Chery Sii Kelinci Madu
reyfan masak gk tau Sarkem 😃
2022-03-15
0