Jenar.
Aku adalah seorang gadis plegmatis yang hampir tidak punya cita-cita. Aku tidak pernah menyangka, diusiaku yang belum genap 19 tahun ini, sudah banyak laki-laki yang tertarik padaku dan ingin meminangku. Sedikit mengganggu ketenangan hidup, sebab dalam angan dan pikiranku sama sekali belum ada keinginan untuk menikah. Aku masih ingin menikmati masa muda, seperti teman-teman sebayaku yang lain.
Apalagi dari semua pria yang datang mengutarakan maksudnya untuk meminang, tidak ada satupun yang masuk kriteria calon suami idamanku. Sebagian dari mereka bahkan belum pernah kukenal, dan aku bukan tipe gadis yang bisa menjalin hubungan dengan pria tanpa saling mengenal dulu.
Yang mengejutkan diantara para pria datang, ada seorang yang memintaku langsung kepada ayah dan bunda. Seorang pria yang kukenal sejak kecil, pria yang dulu kukenal sebagai teman kak Neesha. Namanya Lionel Baga Wisesa. Putra tunggal seorang tuan tanah yang cukup terkenal di Surabaya.
Namun kedatangan kak Lion justeru sangat menggangguku. Aku tidak suka cara gegabahnya meminangku, seolah ingin berlomba memilikiku. Kami memang akrab, sebab dari dulu dia sering datang ke rumah untuk bertemu dengan kak Neesha. Bahkan setahuku, dia pernah menyatakan cinta kepada kak Neesha tapi ditolak.
Membuatku ragu tentang perasaannya terhadapku. Apa dia benar-benar cinta padaku? Atau hanya sekedar obsesi saja? Bisa jadi karena dia tidak berhasil mendapatkan cinta kak Neesha, lalu dia mendekatiku. Jika demikian, bukankah nantinya hanya akan menimbulkan masalah saja? Bagaimana dia bisa hidup bersamaku, sedang perasaannya masih tertuju pada kakakku?
Aku sama sekali tidak kagum dengan keberanian kak Lion menemui ayah dan bunda. Apalagi, ayah sudah bilang padaku, tidak mungkin ayah merestui hubunganku dengan kak Lion. Sebab ayah sudah terlanjur sakit hati dengan perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh mamanya kak Lion terhadap kak Neesha bertahun-tahun yang lalu.
Sebenarnya kak Lion orang baik, soleh, juga cukup paham agama. Beberapa bulan terakhir ini dia sering menemuiku di rumah om Dito. Walau aku salut dengan sikap gentleman kak Lion. Tapi bukan berarti aku jatuh hati padanya, aku hanya mengapresiasi sikapnya yang berani menemuiku di rumah om Dito. Mungkin karena kak Lion tahu, aku tidak mungkin mau bertemu di luar. Menemuiku di rumah om Dito adalah sebuah cara yang tepat dan bijak. Meskipun hal itu belum bisa membuat hatiku tersentuh.
Sejak bertemu di pernikahan kak Neesha, aku dan kak Lion memang berkomunikasi secara intens. Kak Lion sering menelponku. Kami berbicara topik seputar tugas kuliahku. Kak Lion cukup hati-hati mendekatiku, agar aku merasa nyaman berteman dengannya.
Aku memang sudah nyaman berteman dengan kak Lion, tapi untuk melangkah ke jenjang lebih serius, aku masih ragu. Sebab bagiku, kak Lion adalah pria yang pernah mencintai kakakku. Selamanya perasaan itu mungkin tidak akan benar-benar hilang dan suatu saat akan timbul lagi. Aku tidak ingin hanya menjadi pelampiasan saja.
Maka saat kak Lion dan orang tuanya datang ke rumah untuk mengutarakan maksud meminangku, aku memilih lari ke Jakarta menemui kak Neesha. Kuceritakan semua yang kualami selama beberapa bulan ini padanya. Sebab sejak kecil, aku lebih nyaman bercerita pada kak Neesha.
Pagi di kota metropolitan, dengan cuaca yang tidak jauh berbeda dengan di Surabaya. Tapi tentu saja sangat berbeda dengan di Yogyakarta. Tapi aku cukup bisa beradaptasi, sebab ini bukan pertama kalinya aku menginap di rumah besar ini. Rumah yang dulunya milik ayah kandung kakakku, sekarang ditempati oleh kakakku dan suaminya. Rumah yang nyaman untuk merenung, karena cenderung sepi.
Aku sudah bangun sejak dini hari tadi, seperti kebiasaanku setiap hari. Kuisi pagi dengan menyirami tanaman bunga hias milik kak Neesha di halaman belakang rumah. Sebuah taman yang terletak dekat rumah kayu dengan kolam berisi ikan hias, membuatku betah menikmati sinar matahari yang tertutup kabut polusi.
Entah sudah berapa lama aku di taman ini, menyirami tanaman hias dan memberi makan ikan. Sampai kak Neesha dan kak Reyfan datang dengan pakaian yang sudah rapi. Sepertinya mereka akan bepergian bersama pagi ini.
“Sudah sarapan, Dek?” Sapa kak Neesha begitu sampai didekatku.
“Ini hari senin, Kak. Jenar puasa, insyaalloh.” Jawabku. Sebab aku memang sudah terbiasa menjalankan puasa sunah setiap hari senin dan kamis, jika tidak ada halangan.
“Lho? Tadi sahur tidak?” Tanya kak Neesha lagi.
“Sahur. Bareng sama Bibi Sri,” kuberikan senyum kepada kakakku, walaupun tadi aku hanya makan roti dan minum susu saja untuk sahur. Aku menolak saat bibi Sri menawariku makan nasi dan lauk. Aku sudah biasa sahur hanya makan roti atau bahkan hanya minum susu dan sereal saja, tidak harus makan nasi.
“Oh. Kakak kira nggak sahur. Bisa dimarahin bunda nanti kakak, kalau kamu disini jadi kurus gara-gara puasa tapi nggak sahur.” Seloroh kak Neesha.
“Ha ha ha. Kakak berlebihan.” Jawabku.
Kak Neesha dan kak Reyfan tertawa kecil. Jujur aku senang melihat mereka seperti ini. Mesra, akrab dan romantis, benar-benar pasangan yang serasi. Walau banyak perbedaan diantara mereka, tapi jika sedang bersama seperti ini, mereka membuat para jomblo sakit hati karena iri.
“Kakak sama kak Reyfan mau berangkat kerja hari ini. Kamu tidak apa-apa ditinggal di rumah sendirian? Atau kamu mau ikut kakak ke studio?” Ujar kakakku.
“Jenar di rumah saja, Kak. Takut ngrepotin kalau ikut kakak.” Aku tersenyum, sebagai tanda bahwa aku baik-baik saja mereka tinggal.
“Tapi mungkin kakak pulangnya sore, Dek. Sekalian nanti mau ke dokter, periksa kandungan,” Ucap kak Neesha.
Sebenarnya aku ragu ingin mengungkapkan sesuatu, bahwa aku ada janji dengan teman hari ini. Khawatir kalau kak Neesha tidak memperbolehkanku pergi. Sebab kak Neesha dengan ayah sama-sama protektif terhadapku. Tapi jika tidak kukatakan, maka aku harus membatalkan janjiku, padahal pertemuan ini sudah kunantikan sejak lama.
“Ehm … sebenarnya Jenar ada janji sama teman hari ini, Kak.” Kulihat dahi kak Neesha mengernyit, menanti kalimat selanjutnya yang akan kukatakan.
Walau ragu, tetap kukatakan maksudku pada kak Neesha, “Jenar punya janji sama teman, mau ke toko buku hari ini.”
“Teman siapa? Laki-laki atau perempuan? Ke toko buku mana? Memangnya kamu punya teman di Jakarta?” Benar, kan? Kak Neesha bertanya dengan detail, persis seperti ayah.
“Teman Jenar ini laki-laki, Kak. Tapi tenang saja, dia nggak sendiri, Kok. Dia bilang mau ngajak adik perempuannya nanti. Dia tinggal di Jogja, kebetulan sedang liburan di Jakarta juga, jadi kita janjian, deh. Boleh nggak, jenar ketemuan sama dia, Kak?” Kujelaskan secara detail dan jujur, sebab kak Neesha bisa marah besar jika ada satu hal saja yang kututupi.
“Oh! Jadi ini alasan kamu menolak semua laki-laki yang datang, termasuk Lion?” Tak kusangka justeru kak Neesha punya pemikiran lain, “jadi karena kamu sudah punya pacar?”
Segera kusanggah ucapan kakakku, sebab yang dipikirkannya salah, “bukan, Kak. Dia bukan pacarku, kami tidak pacaran. Kakak tahu sendiri, ayah melarangku pacaran.”
Kak Neesha tersenyum, tapi aku membaca ada sebuah tanya pada senyumnya. Ditambah kata-kata kak Reyfan yang membuatku malu, “sudah ijinin saja Jenar pergi, sayang. Dia pasti bisa jaga diri. Lagi pula nggak ada salahnya pacaran, yang penting jangan sampai melewati batas. Iya, kan, Jen?”
Aku sudah membuka mulut untuk menjawab ucapan kak Reyfan, tapi kak Neesha keburu menyahut, “tapi Jenar tidak boleh pergi sendiri, Kak. Ini Jakarta, bukan Surabaya atau Jogja. Mana bisa kubiarkan dia pergi sendiri.”
“Jenar bisa diantar pak Agus, bisa ajak Lia buat nemenin, kalau kamu masih khawatir.”
“Tapi, Kak-”
“Sayang, Jenar sudah dewasa. Beri dia sedikit kebebasan, jangan terlalu dikekang! Nanti dia malah tidak bisa berkembang, percayalah kalau Jenar bisa jaga diri dan tidak akan melewati batas.”
Aku tersenyum mendengar perdebatan kakakku dan suaminya. Tak kusangka pria secuek kak Reyfan ternyata bisa bijaksana juga. Dan akhirnya kak Neesha mengijinkanku pergi dengan diantar pak Agus. Membuatku lega dan senang, sebab nanti aku bisa bertemu dengan seseorang yang berhasil mengusik ketenanganku selama beberapa minggu ini.
***
Jika garis takdir diibaratkan sebuah kertas, maka penulisnya ialah Alloh aza wa jalla. Isi dari kertas tersebut, tidak ada yang tahu kecuali Dia. Hanya bisa diubah jika Alloh berkehendak.
Seperti itulah yang terjadi hari ini. Aku sudah sampai di toko buku, tempatku membuat janji dengan temanku. Sebuah toko buku besar daa lengkap yang pernah kusinggahi. Di lantai paling atas toko buku ini, aku bisa melihat lalu lintas jalan raya melalui jendela kaca besar. Aku juga bisa melihat suasana di bawah toko lewat jendela kaca ini.
Membuatku betah menunggu kedatangan temanku, sebab aku datang terlalu awal. Antusias akan pertemuan ini membuatku bersiap dan berangkat lebih awal dari waktu yang telah kami tentukan.
Aku mengambil sebuah buku secara acak, entah apa judulnya aku tidak tahu. Tadinya aku ingin membaca sinopsis buku, tapi ternyata gerak lalu lintas di jalan raya berhasil mengusikku. Membuatku menatap keluar jendela kaca, sambil membawa buku tersebut.
Lalu lintas jalan raya masih kupandangi, saat suara deheman bernada bariton membuatku menoleh ke belakang. Aku tersenyum begitu pandanganku bertemu dengan wajah seseorang. Segera kutundukkan pandangan dan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.
“Sudah lama menunggu?” Sapa pria di depanku dengan suaranya yang khas. Berhasil membuat dadaku berdesir dan pipiku merona.
Pria dengan tinggi badan sekitar 180 cm, wajah khas pria jawa dengan jambang tipis menghias rahang sampai ke sebagian pipinya. Pria inilah yang berhasil membuatku tidak bisa berkonsentrasi terhadap apapun belakangan ini. Ghufron Al-Ghazali namanya. Dia kakak tingkatku satu kampus beda fakultas, teman-teman biasa memanggilnya kang Ghufron.
“Tidak. Hanya saja, aku datang terlalu awal. Tidak masalah menunggu sebentar.” Jawabku tanpa menatapnya.
Kulihat melalui ekor mataku dia tersenyum, lalu merangkul gadis di sebelahnya. Pakaian gadis itu hampir sama denganku. Gamis longgar dengan kerudung syar’i menjuntai hampir menutupi lutut.
“Kenalkan! Ini adikku, Nalini namanya.”
Kuulurkan tangan yang segera disambut oleh Nalini. Kami berkenalan dengan sopan, “assalamu’alaikum, Nalini. Namaku Rinjani Jenar Adhitama, biasa dipanggil Jenar.”
“Wa’alaikum salam, Mbak Jenar. Panggil saya Nalini saja.”
Kami bertiga berbincang sembari melihat-lihat koleksi buku yang dipajang di toko ini. Toko buku dengan logo huruf G besar berwarna merah. Salah satu toko buku terbesar dan terlengkap di kawasan kota metropolitan, yang cabangnya tersebar di berbagai daerah.
Saking asyiknya kami mengobrol sambil memilih buku, aku sampai lupa kalau aku datang ke toko ini diantar oleh asisten kak Reyfan. Kubiarkan pak Hara sendirian, padahal dia sudah meluangkan waktu menjemput dan mengantarku sampai ke toko ini. Juga menemaniku selama kang Ghufron dan Nalini belum datang.
Aku benar-benar lupa kalau sedang bersama pak Hara. Karena terlalu senang bisa bertemu dan berbincang dengan mas Ghufron, aku sampai melupakan yang lain. Ini pertama kalinya aku bisa berbincang langsung dengan kang Ghufron, walau ada Nalini diantara kami. Tapi cukup membuatku bahagia, sebab biasanya aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Berbincangpun hanya lewat chat whasapp atau panggilan telepon saja.
Sebuah kemajuan yang tak kusangka sebelumnya, sebab aku telah mengagumi kang Ghufron sejak pertama kali betemu. Sosok seperti kang Ghufronlah yang kuharapkan bisa menjadi imamku kelak. Sosok pria sopan dengan pemahaman ilmu agama yang baik, sehingga ia bisa membimbingku menjadi pribadi yang lebih baik. Juga bisa menjadi tempatku bertanya tentang segala hal yang tidak kupahami. Sekaligus bisa kuajak diskusi tentang masalah apapun, sebab kang Ghufron adalah sosok yang nyaman diajak bicara.
Tidak seperti kak Lion yang kebanyakan hanya membenarkan apa yang kukatakan. Atau teman-temanku yang lain. Kang Ghufron adalah sosok pria yang tepat untuk kudamba menjadi pasangan hidupku.
Ini memang baru permulaan, awal pertemuan. Walau kang Ghufron belum mengatakan apapun kepadaku, tapi harapanku dia juga punya rasa yang sama terhadapku. Rasa yang telah kupendam selama berbulan-bulan. Rasa yang kutahan karena aku hanya seorang perempuan yang tidak ingin terlihat agresif. Tidak ingin mempermalukan diri sendiri dengan menyatakan cinta duluan terhadap seorang laki-laki. Bagaimana kalau nanti ditolak?
Meskipun sebenarnya jaman sekarang sudah menjadi hal yang umum seorang perempuan menyatakan cinta terhadap seorang pria, namun bagiku itu adalah hal yang tabu. Biarlah aku dengan kekolotanku ini, biarlah aku dengan pemahaman yang kuno ini. Karena setiap orang punya pemahaman dan pendirian masing-masing.
Pak Hara setia mengikutiku bersama kang Ghufron dan Nalini sampai kak Neesha dan kak Reyfan datang menjemputku. Kukenalkan kang Ghufron pada kakakku, tak kusangka apa yang dikatakan oleh kang Ghufron membuatku ingin meminjam senter pengecil milik doraemon.
"Mbak, mas. Maaf nggih, saya terus terang tertarik sama Jenar. Kalau dia bersedia biar saya kenalkan sama orang tua saya. Kita bisa ta'aruf dulu, insyaalloh sampai saya lulus sarjana tahun depan. Setelah itu saya ingin mengkhidbahnya. Semoga kalian tidak keberatan."
Kalimat panjang yang diutarakan oleh kang Ghufron membuat kak Neesha dan kak Reyfan saling berpandangan. Mereka pasti tidak mengira kang Ghufron akan berterus terang secepat ini.
.
.
.
Bersambung....
Selamat hari raya idul fitri teman-teman semua ... mohon maaf lahir dan batin😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
YuWie
hmmmm..ternyata nessa yg anak kandung pak Reza, brati beda bapak, satu ibu sama nessa..sama spt pak Hara kali ya
2023-10-13
1
Atikah Hmromli
semoga Rinjani berjodoh dengan hara
2023-09-14
0
Hearty 💕
Loh nggak jadi P Agus yang nganter
2023-03-03
0