18. Ngebun-bun Enjang Anjejawah Sonten.

Sebuah teka-teki dalam bahasa jawa yang biasanya digunakan untuk melamar seorang perempuan. Maknanya, njaluk rabi (minta nikah).

Ngebun-bun \= embun waktu pagi, dalam bahasa jawa disebut awun artinya nyuwun (minta)

Anjejawah sonten \= hujan waktu sore hari yang dalam bahasa jawa disebut rarabi, diartikan rabi (nikah)

Sumber : Buku Pranoto Adicoro (pengantar acara dalam bahasa jawa).

...❤Jodoh itu, wanita baik untuk laki-laki yang baik, begitu pula sebaliknya. Laki-laki baik untuk perempuan baik.❤...

Prov author.

Langit gelap bertahta bintang-bintang mengitari bulan sabit, terang benderang bak lukisan alam. Suara jangkrik menjadi melodi memecah keheningan dini hari. Udara dingin masuk melalui celah-celah ventilasi rumah, menyeruak menegakkan bulu roma.

Ketika semua orang masih terlelap bergelung selimut, di rumah joglo yang biasanya sepi, kini terdengar suara riuh. Seisi rumah tengah sibuk beraktivitas. Dapur menjadi ramai, ruang tamu dibersihkan dan ditata rapi, sintru pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu dipindahkan. Karpet digelar, menutup lantai kayu, dipersiapkan untuk menerima tamu.

Di dapur yang sempit, para perempuan memasak hidangan untuk jamuan nanti. Ada chiffon cake yang baru saja dikeluarkan dari oven listrik, aroma gurih keju menguar, memenuhi seluruh ruangan. Ada adonan misoa yang baru saja matang dan dituang ke dalam loyang, didiamkan agar memadat.

Credit foto by. Specook.

Sebuah panci bertengger di atas kompor, begitu tutupnya dibuka, uap panas menguar, meninggi ke langit-langit. Bungkusan daun pisang berbentuk tum (bentuk khas bungkusan makanan dari daun pisang) dimasukkan ke dalam panci untuk dikukus.

 “Sudah semua, Mbak?” Wanita paruh baya yang parasnya masih ayu dan energik -Riani- mengembalikan tampah pada tempatnya semula, setelah semua bungkusan dimasukkan ke dalam panci kukusan.

“Sampun, Bu.” (Sudah, Bu.) Jawab perempuan yang sedang merapikan sisa daun pisang, mbak Sayumi.

“Bunda ribet bangetlah. Tinggal pesen aja, gampang, nggak perlu repot masak besar seperti ini.” Gerutu perempuan yang sedari tadi duduk di kursi sembari memilah bumbu dapur, Aneesha.

“Peristiwa langka begini, harus disambut dengan suka cita. Kapan lagi bunda bisa masak bareng putri-putri bunda yang sekarang sudah punya kehidupan sendiri?” Riani mengusap bahu Aneesha seraya melewatinya, untuk memasukkan coral puding ke dalam kulkas.

Credit foto by. Instagram Tara-tara kitchen.

“Kakak dari tadi ngedumel terus, mending tidur lagi aja, Kak!” Jenar yang sedang menuang tepung dalam wadah meledek kakaknya. Sudah menjadi kebiasaan dua kakak beradik itu saling ejek jika sedang bersama. Tapi jika jauh pasti saling merindukan.

“Kalau capek tidur lagi saja, Sha.” Riani duduk diantara kedua putrinya, mengusap kepala Aneesha dengan sayang, “masih sering mual?”

“Masih, Nda. Tiap bangun pagi pasti mual, apalagi kalau bau nasi. Ih!” Jawab Aneesha mengibaskan tangan sambil mengernyitkan hidung.

“Kasihan anak bunda, hamil malah jadi kurus. Terus kamu makan apa kalau tidak bisa makan nasi?”

“Ya, apa saja selain nasi pokoknya. Sayur, buah, roti, ubi-ubian, kentang, bakso, mie ayam, semua bisa masuk asal jangan nasi.”

Jenar tertawa sampai menutup mulut dengan punggung tangannya, “bakso sama mie ayam nggak pernah ketinggalan, ya, Kak?” Ia tahu kalau kakaknya ini paling suka makan bakso dan mie ayam.

“Kamu rajin periksa ke dokter, kan, Sha?” sang Bunda bertanya serius, dengan tatapan mata khawatir.

“Tentu, dong, Nda. Kak Reyfan selalu inget jadwal kontrol ke dokter, jadi nggak pernah telat.”

“Bagus kalau gitu. Bunda takutnya kamu kurang nutrisi karena muntah terus.”

“Tenang, Nda. Kan, ada mbak Dini sama mbak Nur juga. Jadi Neesha banyak yang ngrawat.” Aneesha meringis menunjukkan gigi gingsulnya.

“Alhamdulillah …,” Riani beralih menatap putri keduanya, “oya, Dek. Kamu sudah salat istikharoh?” Jenar mengangguk, membuat Riani bertanya lagi, “sudah tahu jawabannya?”

“Ya kali, Nda, belum tahu jawabannya? Sudah sejauh ini persiapan, masa iya belum tahu jawabannya. Pasti sudah tahu, ya, Dek?” Aneesha menyela.

Jenar mengerutkan dagu, seperti sedang berpikir. Ia menjawab setelah mengambil beberapa butir telur, “Jenar tidak tahu apakah termasuk jawaban, pertanda atau bukan. Tapi selama tiga hari berturut-turut Jenar punya mimpi yang sama.”

Riani dan Aneesha menatap Jenar serius, “apa itu?”

“Jenar mimpi melihat pohon pisang.”

Kini Riani dan Aneesha saling pandang tak mengerti. Lalu mbak Sayumi berucap sembari mengaduk nasi yang sedang diliwet, “itu artinya bagus, Mbak. Pohon pisang itu, kan, bisa dimanfaatkan semuanya. Jantungnya bisa dimasak, buahnya bisa dimakan, daunnya bisa untuk membungkus makanan, bahkan pelepahnya juga berguna."

“Mungkin maksud dari mimpinya Jenar adalah tentang Ghufron yang akan bermanfaat bagi orang banyak, gitu, Mbak? Atau nantinya kalau Ghufron menikah dengan Jenar hidup mereka akan lebih bermanfaat. Begitukah?” Riani menjabarkan maksud yang tersirat dari ucapan mbak Sayumi.

“Menurut saya begitu, Bu.” Mbak Sayumi bergabung dengan tiga perempuan beda generasi, membantu Aneesha memilah bumbu dapur.

“Tapi … pohon pisang itu, kan-” Riani memotong kalimatnya, sejenak berpikir. Kedua anaknya dan mbak Sayumi sudah tidak sabar menunggu, tapi ia tak juga melanjutkan kalimat. Malah beranjak sambil menggelengkan kepala.

“Pohon pisang kenapa, Nda?” Tanya Jenar ingin tahu.

Riani menatap Jenar sambil tersenyum, “nggak pa-pa, Dek. Bunda pikir Ghufron calon mantu yang baik. Ayah saja langsung suka sama dia.”

Jenar tersenyum malu sembari menunduk, hal itu membuat Aneesha ingin menggodanya. Aneesha mencelupkan jemarinya pada tepung terigu, lalu mengoleskannya pada puncak hidung adiknya. Menyebabkan Jenar memekik terkejut sembari mengusap hidung.

“Kakak, apa-apaan, sih?”

“Cie … cie … yang mau dilamar ….” Aneesha makin bersemangat menggoda adiknya.

Semburat merah menjalar dari leher ke seluruh wajah Jenar, memanas tak bisa disembunyikan lagi. Tapi gadis itu masih bisa membalas ledekan kakaknya. Ia mencelupkan jemari pada tepung terigu, lalu mengusapkannya pada dahi Aneesha. Seketika perang saling colek-mencolek tepung terigu terjadi.

“Jenar! Kening kakak kotor!”

“Biarin, siapa dulu yang mulai,” ledek Jenar seraya menjulurkan lidah.

“Awas, ya! Tunggu pembalasan kakak!”

Dapur sempit yang tadinya damai sekarang menjadi riuh. Riani menatap kedua putrinya sembari menggelengkan kepala. Anak-anaknya sudah dewasa, tapi tetap saja ada waktu mereka berubah menjadi seperti anak kecil lagi. Dalam hati ia berdo’a semoga Alloh senantiasa melimpahkan kebahagiaan untuk keluarganya.

Tiga orang pria dewasa yang terkejut mendengar suara keributan datang dari ruangan depan. Tapi seketika ekspresi wajah berubah menjadi geli ketika melihat apa yang sedang terjadi.

Fares menunjuk tempat dimana dua putrinya sedang saling mengoleskan tepung terigu ke wajah, berkata kepada menantu kesayangannya, “lihat mereka! tidak ada sisi dewasanya sama sekali. Padahal yang satu perutnya membuncit, yang satu sudah mau dilamar."

“Like father, like daughter, huh?” Jawab Reyfan. Kemudian keduanya tertawa bersama. Menertawakan dua manusia yang mengacaukan dapur.

Diantara ketiga pria dewasa itu hanya satu yang tidak tertarik melihat kelucuan tingkah dua kakak beradik. Ekspresinya datar saja, bahkan memalingkan wajah sambil bergumam hanya untuk dirinya sendiri, “dasar anak kecil!”

Kegaduhan masih berlangsung di dapur, suara tawa riang menggema menembus kesunyian dini hari. Sayup-sayup terdengar azan subuh berkumandang dari pengeras suara masjid. Bersahutan saling menyerukan panggilan agar beranjak dari peraduan. Memenuhi kewajiban sebagai seorang hamba.

Ashollatukhairu minna na’um….

Perlahan tapi pasti tanda-tanda kehidupan mulai menggeliat. Menepis malas, menyibak selimut yang menggulung badan, kaum muslim berangkat ke masjid. Sebagai tanda taat kepada perintah Alloh.

...***...

“Bayar tukon sisan ora, Ri?” (Membayar mahar sekalian tidak, Ri?)

Mbah uti duduk di ruang makan, menyaksikan semua orang yang sedang menyiapkan jamuan makanan. Setelah selesai menata tempat acara tadi, Fares menjemput mbah Uti, tentunya bersama pakdhe Teguh dan budhe Sari. Sudah menjadi kebiasaan, keluarga besar akan berkumpul setiap ada hajat penting. Termasuk Dito dan keluarganya yang datang dari Jogja.

“Mboten, Bu. Saweg nembung kalih tukar cincin, dereng bayar tukon.” Jawab Riani seraya menata makanan di dalam piring-piring. (Tidak, Bu. Baru lamaran sama tunangan, belum bayar mahar.)

“Lha nopo kok ora sisan? Nek wes ditaleni, lak yo ayem.” (Kenapa tidak sekalian? Kalau sudah ada ikatan, kan sudah tenang.)

“Lare taseh sami kuliah, Bu. Kersane lulus rumiyen.” (Anaknya masih kuliah, bu. Biar lulus dulu.)

“Mungale kedah kacek setahun langkung kalian hajat riyen, Bu.” (Katanya harus selisih setahun lebih dari hajat yang dulu, Bu.) Sari menyela, mengingatkan nasehat mbah Uti saat ia menikahkan putrinya dulu.

“Lha iyo. Ngrabike anak-anak, ojo dibarengke. Paling ora kacek setahun, ben anter.” ( lha iya. Menikahkan anak-anak, jangan dibarengkan. Paling tidak selisih setahun, biar ada jeda.)

Mbah Uti manggut-manggut, membenarkan. Hidup di tanah jawa memang begitu. Banyak mitos yang berkembang di masyarakat. Walau hanya sekedar mitos, tapi banyak masyarakat yang percaya. Asal tidak berlebihan, dan asal jangan sampai mengikis kepercayaan kepada Alloh SWT.

“Memangnya kenapa tidak boleh bareng, Mbah? Kenapa harus selisih setahun?” Jenar yang sudah rapi mengambil tempat duduk di sebelah mbah Uti. Dia memang agak kritis jika membicarakan tentang mitos.

Kalau biasanya Jenar tidak pernah berhias diri, kali ini dia tampil beda dari biasanya. Berbalut gamis syar’i warna pink muda, dengan jilbab warna senada yang lebar menjuntai hampir sampai ke lutut. Menutup badan, sehingga tidak terlihat sedikitpun lekuk tubuhnya.

Wajah Jenar yang biasanya polos, hari ini tampak manis dengan polesan make up flawless. Bibir tipisnya disapu dengan lipstik warna pink, area bawah mata dihias celak yang sedikit lebih tebal dari biasanya. Wajah gadis itu tampak bersinar hari ini.

“Wong biyen ki longko duit, dadi ora cukup yen kakang-adi rabi bareng. Dikaceki setahun, ben kedeng sawah e panen, kedeng duwe duit meneh. Jalarane ngono.” Jelas mbah uti. (Jaman dulu jarang orang punya uang, jadi tidak cukup kalau kakak beradik nikah bareng. Dikasih jeda satu tahun biar sawahnya panen dulu, biar punya uang. Alasannya seperti itu.)

“Tenang, Dek. Kalau bunda sama ayah kurang uang buat nikahin kamu, kakak bantu. Jadi nggak usah nunggu setahun, kamu bisa nikah.” Aneesha baru saja datang dari arah dapur, membawa dua piring besar berisi misoa goreng yang baru saja matang.

“Hust! Jangan meremehkan ayah sama bunda!” Riani mengambil dua piring dari tangan Aneesha sembari menggeleng dan memberi tatapan tidak setuju. “Selama kita tidak keberatan, apa salahnya mengikuti adat. Lagi pula Jenar dan Ghufron tidak terburu-buru. Iya, kan, Dek?”

Jenar mengangguk setuju, mengambil sepotong misoa goreng yang aromanya menggelitik indra penciuman. “Bismillah,” ia menggigit misoa yang masih panas, “kami sudah sepakat, nggak akan nikah sebelum mas Ghufron lulus.”

Credit foto by. instagram dessivilast.

“Kenapa, sih, orang jawa kebanyakan percaya sama mitos.” Ucap Aneesha setengah menggerutu.

“Kalau bunda pribadi, sih, selama kita tidak keberatan melakukannya, kenapa tidak? Biasanya mitos berkaitan dengan yang orang tua jaman dulu lakukan. Bukankah kita diajarkan untuk manut sama orang tua? Jadi kalau tidak keberatan, ya, dilakukan saja.”

“Ah! Bunda, gitu, deh.”

“lho, bener, kan? Misalnya ada mitos orang hamil nggak boleh makan es, selama tidak keberatan, ya nggak usah makan es. Kecuali kalau mitosnya nggak boleh makan nasi, itu baru nggak usah diikuti. Dijamin kelaparan dan kurang gizi nanti.” Semua orang tertawa mendengar ucapan Riani.

“Eh! Tapi itu bukan mitos, lho, Nda.” Jenar menyela tawa, “kalau makan es memang tidak dianjurkan untuk ibu hamil. Es yang Jenar maksud es yang banyak kandungan glukosanya, seperti es teler, es campur, es sirup. Ibu hamil, kan, tidak boleh konsumsi glukosa berlebihan.”

“Nah, ada mitos yang bener, kan? Jadi tidak semua mitos itu salah, tinggal kita saja pintar memilah dan memilih. Yang mana yang harus dikerjakan, yang mana yang harus ditinggalkan.”

Tepat saat Riani menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara ramai dari luar rumah. Hara yang kali ini memakai kemeja batik lengan panjang dominasi warna hitam, tergopoh-gopoh menghampiri ruang makan.

“Tamu sudah datang, silakan ke depan,” ucapnya datar. Riani dan Sari memapah mbah uti, bersama mereka berjalan pelan menuju ruang tamu.

Di halaman rumah yang gilar-gilar bekas sapu lidi, beberapa orang keluar dari dua buah mobil yang baru saja dimatikan mesinnya. Senyum ramah, jabat tangan dan ucapan salam, menjadi teguran sapa yang disambut dengan suka cita. Pertanda kedatangan mereka diterima dengan tangan terbuka.

Pintu rumah di buka lebih lebar, mempersilakan para tamu masuk. Setidaknya ada empat orang pria dan tiga orang wanita membawa banyak hantaran sebagai oleh-oleh sang tuan rumah.

Hara, Nanda dan Sari menerima buah tangan, membawa masuk ke bagian dalam rumah. Kalimat basa-basi sebagai sambutan selamat datang pun terucap, mengawali bagian perkenalan antar dua keluarga yang kini telah duduk lesehan di atas karpet. Seperti sudah diatur, tamu perempuan dan laki-laki duduk terpisah, di sisi kanan dan kiri.

“Ngaturi sugeng sedoyo mawon?” (Kabar baikkah semuanya).* Seperti biasa, pakdhe Teguh sebagai yang dituakan di keluarga besar mengucapkan prakata penyambutan.

“Pangestu sak kunduripun.” (Baik, sebaliknya.) Jawab para tamu hampir bersamaan.

“Nyuwun prikso bilih saking griyo wanci nopo?” (Mau tanya tadi dari rumah jam berapa?)

“Kolo wau tabuh songo.” (Tadi jam sembilan.)

“Alhamdulillah. Paringi lancar mboten enten alangan menopo kemawon.” (Diberi kelancaran tanpa halangan apapun.)

“Pangestunipun.” (Berkat do'anya.)

Kemudian Jenar dipapah oleh Aneesha dan Sari keluar, berjalan dengan menggunakan lutut menyalami para tamu perempuan. Kemudian duduk di sebelah Riani, bersama para perempuan.

Berpiring-piring hidangan dengan berbagai macam jenis diangsurkan dari dalam rumah. Diletakkan di tengah-tengah karpet, bersamaan dengan teh yang masih mengeluarkan uap panas. Aroma teh dan beraneka jenis hidangan bercampur dengan asap rokok yang dihisap para bapak-bapak. Menjadi sajian khas acara hajatan yang diadakan di kampung.

Ada bungkusan kuping lowo (awug-awug), misoa, chiffon keju cake, puding coral, juga makanan ringan di dalam toples. Seperti rengginan, kripik tempe dan kripik pisang. Menjadi hidangan untuk menyambut tamu.

Credit foto by. specook.

Gumam-gumam pelan, setengah berbisik lama kelamaan menjadi sedikit keras, menyebabkan riuh, giduh menggema. Suara tangisan balita, rengekan anak kecil, saling beradu menambah ramai suasana.

Dua pasang mata saling mencuri pandang, lalu menunduk, mengalihkan pandangan ke segala arah. Seolah khawatir jika orang lain tahu mereka sedang saling memberi isyarat dengan senyum tertahan.

Suara berdehem menginterupsi. Seketika semua orang diam, tidak ada lagi yang bergumam. Kecuali suara anak kecil merengek dan desis menenangkan yang terdengar samar.

“Perkenalkan nama saya Cahyo, yang ditunjuk oleh dik Haryo sebagai perwakilan keluarga. Adapun kedatangan kami kemari tidak lain tidak bukan, karena anak laki-laki kami, ngebun-bun enjang anjejawah sonten.”

“Seperti peribahasa, anak polah bopo kepragah. Oleh karena itu, kami bermaksud untuk meminang putri bapak Faresta Adhitama yang bernama,” pak Cahyo mengambil secarik kertas dari saku kemejanya sebelum melanjutkan kalim

at, “Rinjani jenar adhitama untuk anak kami, Ghufron al-ghazali.”

Sepasang manusia yang namanya disebut, sesekali masih mencuri pandang. Mengiringi kalimat-kalimat yang terucap dari perwakilan dua keluarga. Memberi dan menerima, satu mengutarakan niat, satu menjawab.

“Kami menerima niat baik dari keluarga bapak Haryo. Tapi perlu kami sampaikan, bahwa kami sudah bermusyawarah sebelumnya. Lamaran ini kami terima, anak kami-Jenar-menerima lamaran nak Ghufron al-ghazali. Tapi untuk pernikahan kami minta keleluasaan waktu.”

Pihak Ghufron saling berbisik-bisik, mungkin khawatir akan dipersulit. Tapi kalimat yang diucapkan pakdhe Teguh membuat semuanya bernapas lega, “Karena belum ada satu tahun, kami menikahkan kakaknya Jenar. Jadi paling tidak kami minta waktu setahun lagi.”

“Wah! Padahal kalau mau disegerakan, kami sudah sangat siap, lho. Iya, kan, Ghuf?” Seloroh pak Haryo. Ghufron hanya tersenyum malu menanggapi gurauan bapaknya, “tapi tidak apa-apa. Nggak kebelet banget, kan, Ghuf?”

Semua orang tertawa, membuat Ghufron makin malu sampai terlihat pucat. Keringat dingin keluar di dahinya yang tertutup peci hitam, mengalir turun membasahi pelipis. Sampai ia harus mengambil tissu untuk menghapusnya.

“Biar saya bangga nanti punya menantu bergelar dokter, Pak.” Fares berkelakar, "walaupun sebenarnya saya ingin punya menantu fotografer. Tapi dokter lebih keren, kok."

Riani yang duduk diantara para tamu perempuan menggelengkan kepala mendengarnya. Ia berbisik di kepada bu Nuning, "maafkan suami saya, ya, Bu. Masih suka bercanda dalam situasi seperti ini".

Bu Nuning hanya menjawab dengan mengusap punggung tangan Riani sambil mengangguk. Tanda bahwa dirinya tidak keberatan.

Suasana yang tadinya sedikit tegang dan resmi menjadi cair. Bapak-bapak dari dua keluarga saling berkelakar. Dari yang terdengar garing, hingga yang benar-benar membuat tertawa.

Acara yang paling inti adalah saat bu Nuning menyematkan cincin di jari manis Jenar. Cincin emas dengan desain cantik, berhias intan permata, menjadi tanda bahwa dua manusia telah satu langkah lebih serius. Tanda tertutupnya pintu khitbah bagi orang lain, sebab Jenar sudah dikhitbah oleh seorang Ghufron al-ghazali.

Siang itu semilir angin yang menggoyangkan ranting-ranting pohon, suara gemerisik daun bambu dan gesekan batang bambu tertiup angin menjadi simponi saksi bisu sebuah peristiwa penting. Hubungan dua manusia yang sudah mendapat restu orang tua.

Binar bahagia terpancar dari wajah kedua insan tersebut. Pancaran mata penuh haru terlihat dari keteduhan seorang ibu. Haru yang tertahan menyeruak dari hati seorang ayah.

Langit biru dengan hiasan awan putih bak kapas yang beterbangan, menjadi hiasan alam yang mewarnai hari bahagia. Alam seolah berbisik, bahwa niat baik mereka diridhoi oleh Yang Maha Kuasa.

.

.

.

.

Bersambung....

Note : *Kata penyambutan dari tuan rumah untuk para tamu. Biasanya sebagai ramah-tamah.

Hai teman-teman tercinta .... Apa kabar? Baik, ya?😁

Karena setting cerita ini di Magelang, jadi saya sisipkan makanan khas kesukaan Jenar yak😁. Masih banyak, sih, sebenarnya. Tapi dikit aja, takut yang baca jadi kelaparan😁

Jadi urutan lamarannya juga ngikut apa yang awam terjadi di Magelang dan sekitarnya ya. Disini, biasanya urutan lamaran itu ada nembung, tukar cincin, bayar tukon dan Ngencengke tembung.

Nembung itu sama seperti lamaran pada umumnya, meminta restu untuk meminang seorang gadis pada keluarganya.

Tukar cincin \= tunangan.

Bayar tukon \= Memberi mahar, bisa bareng sama lamaran atau nanti sekalian pas ijab qobul. Saya pakai yang nanti jadi Jenar sama Ghufron baru ditahap tunangan.

Ngencengke tembung \= Biasanya pihak perempuan datang ke rumah laki-laki untuk meyakinkan pinangan, sekalian menentukan hari. Sudah tidak banyak yang memakai adat ini. Sekarang yang awam terjadi lamaran sekalian tukar cincin, sekalian menentukan hari dan tanggal.

Kira-kira begitu ya man teman😁

Selamat membaca.

Terpopuler

Comments

Emi Wash

Emi Wash

pohon pisang... itu ada hub dgn orang meninggal ya mbk des.... aduh jadi deg.. deg.. an nih

2022-08-01

0

Parti

Parti

mimpi pohon pisang kan pertanda buruk.ada apa ya sama ghufron, kok perasaan gak enak nih.

mbk desi...jajanan yg di bungkus daun kalo di tempatku namanya iwel2/mbel2.terbuat dari tepung beras,kelapa muda.gula jawa.garam itu enak banget tp beneran jajan itu gak ya ?😁

2022-06-01

0

안니사

안니사

Waaah Jenar dan Mas Ghufron udah resmi tunangan nih, selamat🎊🎉
Tapi Pak Hara masih datar dan dingin saja. Blom ada feeling atw gimana-gimani nih.
Jadi makin gak sabar gimana kisah ini akan terus berjalan....

2021-12-01

1

lihat semua
Episodes
1 1. Gunung yang sulit ditaklukkan.
2 2. Sang Raja yang mengabdi sebagai pelayan
3 3. Sebuah Rahasia.
4 4. Calon Imam Idamanku.
5 5. Sister, the Best Partner of my life.
6 6. Menyelesaikan Masalah orang lain.
7 7. Tentang Dia
8 8. Merapah Asa.
9 9. Merapah Asa 2
10 10. Find Something Missing
11 11. Another Job, another experience.
12 12. It's Beautyful to fall in love
13 13. Teman beda level.
14 14. Inikah yang dinamakan Rindu?
15 15. Bidadari dalam balutan gamis syar'i.
16 16. Wrong gift for the wrong man
17 17. This is my life.
18 18. Ngebun-bun Enjang Anjejawah Sonten.
19 19. Traumatic atau Defensif?
20 20. Hari Yang Tidak Biasa.
21 21. Sebuah Ketulusan.
22 22. Balasan Kebaikan.
23 23. Sang Pejuang Cinta Sejati.
24 24. Hampa dalam Asa dan Rasa.
25 25. Seberkas Sinar.
26 26. Perasaan Tersembunyi.
27 27. Tentang rasa dan Asa ku.
28 28. Rindu Tanpa Temu.
29 29. Hati yang Gundah.
30 30. Gejolak Rasa
31 31. Ghufron Al-Ghazali S. Ked.
32 32. Jodoh Pasti Bertemu.
33 33. No Time To Take A Rest
34 34. Kejutan yang Indah.
35 35. Another Surprise.
36 36. Ikhtiar Maksimal.
37 37. Malaikat Tak Bersayap
38 38. Calon Menantu yang Bijaksana
39 39. Takdir Tidak Pernah Salah.
40 40. Akhir dari sebuah Tugas.
41 41. Patah Hati paling tragis.
42 42. Mengikhlaskan yang Harus dikhlaskan.
43 43. Titik Balik
44 44. Terjebak Hujan di Tengah Makam.
45 45. Terjebak Hujan di Makam (2)
46 46. Tentang Masa lalu.
47 47. Satu meja dalam perbedaan.
48 48. Tidak bisa lepas dari rasa bersalah.
49 49. Diantar Pulang.
50 50. Tanda Terima Kasih
51 51. Empaty
52 52. Gundah
53 53. Mengetuk Nurani
54 54. Peduli
55 55. Sengaja Tapi Bukan Rencana
56 56. Drama Bercanda
57 57. Melihat sisi Lemahmu
58 58. Dighosting (lagi)
59 59. Perempuan itu Unik.
60 60. Salah Kira.
61 61. Malu Bukan Karena Mau
62 62. Bersikap Aneh
63 63. Bermain dengan Hati.
64 64. Goyah dalam pengembaraan.
65 65. Jalan Takdir
66 66. Menjalankan Amanah
67 67. Pergi Berdua tanpa Rencana
68 68. 1. Pertemuan Membuka Luka
69 68. 2. Pertemuan Membuka Luka
70 69. Aroma Parfum dan Kenangan
71 70. Pria yang Punya Empaty
72 71. 1.Tentang Arah Pandang
73 71.2. Tentang Arah Pandang
74 72.1. Pertemuan Menyembuhkan Luka
75 72.2. Pertemuan Menyembuhkan Luka
76 73. Ingin Sembuh.
77 74. Malaikat Penolong
78 75. Putri Tidur
79 76. Bukan Karena Rindu
80 77. Luka yang Tak Biasa
81 78. Khawatir
82 79. Debar Kekaguman.
83 80. Mengalah.
84 81. Kaki Seribu bikin Cemburu
85 82. Heart Beat
86 83. Konseling yang Menyenangkan
87 84. Salah Kirim
88 85. Akibat Salah Kirim
89 86. Sikap Impulsif
90 87. Senandung Hati
91 88. Pay With Your Smile
92 89. Praduga Rasa
93 90. Merapah Rasa dalam Hati.
94 91. Merapah Rasa dalam Hati 2
95 92. Menolak Gejolak
96 93. Alasan Temu
97 94. Rindu dan Cemburu
98 95. Tertambat Hati
99 96. Ungkapan Perasaan
100 97. Curiga.
101 98. Rindu Berbalas Cemburu.
102 99. Bukan Saingan
103 100. Let Me Fight to Love You
104 101. Berhak Bahagia
105 102. Mencari jalan-Mu
106 103. The Birthday Surprise
107 104. Harapan dan Do'a yang Berbeda
108 105. Gara-Gara Kado
109 106. Romansa di Ujung Senja
110 107. Bukan Kencan
111 108. Kalau Hati Sudah Bicara
112 109. Sandiwara Amatiran
113 110. Kado Istimewa
114 111. Kado Istimewa part 2
115 112. Batas Toleransi Rasa
116 113. Torehan Kecewa
117 114. Torehan Kecewa 2
118 115. Ungkapan Rasa Terpendam
119 116. Titik Balik
120 117. Buah sebuah Kesalahan
121 118. Nasehat kakak
122 119. Perubahan Hara
123 120. Rasa yang Telah Tumbuh
124 121. Membalut Luka.
125 122. Menuntaskan Rindu
126 123. Secangkir Kopi untuk Membuka Sekat
127 127. Firasat
128 128. Terkuak
Episodes

Updated 128 Episodes

1
1. Gunung yang sulit ditaklukkan.
2
2. Sang Raja yang mengabdi sebagai pelayan
3
3. Sebuah Rahasia.
4
4. Calon Imam Idamanku.
5
5. Sister, the Best Partner of my life.
6
6. Menyelesaikan Masalah orang lain.
7
7. Tentang Dia
8
8. Merapah Asa.
9
9. Merapah Asa 2
10
10. Find Something Missing
11
11. Another Job, another experience.
12
12. It's Beautyful to fall in love
13
13. Teman beda level.
14
14. Inikah yang dinamakan Rindu?
15
15. Bidadari dalam balutan gamis syar'i.
16
16. Wrong gift for the wrong man
17
17. This is my life.
18
18. Ngebun-bun Enjang Anjejawah Sonten.
19
19. Traumatic atau Defensif?
20
20. Hari Yang Tidak Biasa.
21
21. Sebuah Ketulusan.
22
22. Balasan Kebaikan.
23
23. Sang Pejuang Cinta Sejati.
24
24. Hampa dalam Asa dan Rasa.
25
25. Seberkas Sinar.
26
26. Perasaan Tersembunyi.
27
27. Tentang rasa dan Asa ku.
28
28. Rindu Tanpa Temu.
29
29. Hati yang Gundah.
30
30. Gejolak Rasa
31
31. Ghufron Al-Ghazali S. Ked.
32
32. Jodoh Pasti Bertemu.
33
33. No Time To Take A Rest
34
34. Kejutan yang Indah.
35
35. Another Surprise.
36
36. Ikhtiar Maksimal.
37
37. Malaikat Tak Bersayap
38
38. Calon Menantu yang Bijaksana
39
39. Takdir Tidak Pernah Salah.
40
40. Akhir dari sebuah Tugas.
41
41. Patah Hati paling tragis.
42
42. Mengikhlaskan yang Harus dikhlaskan.
43
43. Titik Balik
44
44. Terjebak Hujan di Tengah Makam.
45
45. Terjebak Hujan di Makam (2)
46
46. Tentang Masa lalu.
47
47. Satu meja dalam perbedaan.
48
48. Tidak bisa lepas dari rasa bersalah.
49
49. Diantar Pulang.
50
50. Tanda Terima Kasih
51
51. Empaty
52
52. Gundah
53
53. Mengetuk Nurani
54
54. Peduli
55
55. Sengaja Tapi Bukan Rencana
56
56. Drama Bercanda
57
57. Melihat sisi Lemahmu
58
58. Dighosting (lagi)
59
59. Perempuan itu Unik.
60
60. Salah Kira.
61
61. Malu Bukan Karena Mau
62
62. Bersikap Aneh
63
63. Bermain dengan Hati.
64
64. Goyah dalam pengembaraan.
65
65. Jalan Takdir
66
66. Menjalankan Amanah
67
67. Pergi Berdua tanpa Rencana
68
68. 1. Pertemuan Membuka Luka
69
68. 2. Pertemuan Membuka Luka
70
69. Aroma Parfum dan Kenangan
71
70. Pria yang Punya Empaty
72
71. 1.Tentang Arah Pandang
73
71.2. Tentang Arah Pandang
74
72.1. Pertemuan Menyembuhkan Luka
75
72.2. Pertemuan Menyembuhkan Luka
76
73. Ingin Sembuh.
77
74. Malaikat Penolong
78
75. Putri Tidur
79
76. Bukan Karena Rindu
80
77. Luka yang Tak Biasa
81
78. Khawatir
82
79. Debar Kekaguman.
83
80. Mengalah.
84
81. Kaki Seribu bikin Cemburu
85
82. Heart Beat
86
83. Konseling yang Menyenangkan
87
84. Salah Kirim
88
85. Akibat Salah Kirim
89
86. Sikap Impulsif
90
87. Senandung Hati
91
88. Pay With Your Smile
92
89. Praduga Rasa
93
90. Merapah Rasa dalam Hati.
94
91. Merapah Rasa dalam Hati 2
95
92. Menolak Gejolak
96
93. Alasan Temu
97
94. Rindu dan Cemburu
98
95. Tertambat Hati
99
96. Ungkapan Perasaan
100
97. Curiga.
101
98. Rindu Berbalas Cemburu.
102
99. Bukan Saingan
103
100. Let Me Fight to Love You
104
101. Berhak Bahagia
105
102. Mencari jalan-Mu
106
103. The Birthday Surprise
107
104. Harapan dan Do'a yang Berbeda
108
105. Gara-Gara Kado
109
106. Romansa di Ujung Senja
110
107. Bukan Kencan
111
108. Kalau Hati Sudah Bicara
112
109. Sandiwara Amatiran
113
110. Kado Istimewa
114
111. Kado Istimewa part 2
115
112. Batas Toleransi Rasa
116
113. Torehan Kecewa
117
114. Torehan Kecewa 2
118
115. Ungkapan Rasa Terpendam
119
116. Titik Balik
120
117. Buah sebuah Kesalahan
121
118. Nasehat kakak
122
119. Perubahan Hara
123
120. Rasa yang Telah Tumbuh
124
121. Membalut Luka.
125
122. Menuntaskan Rindu
126
123. Secangkir Kopi untuk Membuka Sekat
127
127. Firasat
128
128. Terkuak

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!