Immanuel Kagendra Hara.
Nama yang disematkan oleh papa waktu aku lahir. Papa dan mama pasti ingin aku bisa mendapatkan apapun yang kuinginkan, karena memberiku nama demikian. Seperti yang diyakini sebagian banyak orang, nama adalah do’a.
Aku dibaptis dengan nama Immanuel saat umurku baru 7 bulan. Sampai saat inilah, aku meyakini agama yang dianut oleh papa dan diturunkan kepadaku. Agama keturunan, bukankah seperti itu? Sebagian besar dari kita memeluk kepercayaan dan keyakinan yang diturunkan oleh orang tua kita.
Aku dilahirkan di keluarga heterogen. Mama dan papaku memeluk keyakinan yang berbeda, dan aku lebih condong mengikuti papa. Walau hidup dengan keyakinan yang berbeda, papa dan mamaku selalu rukun sampai akhir hayat mereka.
Yatim piatu sejak umur 13 tahun, sebuah kecelakaan telah merenggut nyawa mama dan papaku. Sehingga aku kehilangan dua orang yang sangat kusayangi dalam waktu bersamaan. Aku hidup sebatang kara, sebab satu-satunya keluarga dari pihak papa, yaitu tanteku tidak mau mengurusku. Dengan alasan keberatan masalah ekonomi. It’s ok, sebab aku sudah cukup umur untuk hidup sendiri,
Aku sempat tinggal sementara di panti asuhan, sebelum atasan papa, Pak Reza Mahardika mengambilku dan mengasuhku. Papa adalah karyawan kepercayaan pak Reza. Saat mengetahui papa dan mama meninggal, pak Reza yang masih berada di Singapura segera pulang, untuk mengantar jenazah kedua orang tuaku yang ke tempat peristirahatan yang terakhir. Walau papa dan mama dikuburkan di tempat berbeda. Keluarga mama mengambil jenazah mama untuk dimakamkan di kampung halaman mama. Sebuah kampung yang terletak di pinggiran kota Jogjakarta.
Setelah tahu bahwa tidak ada yang mengasuhku, beliau segera mengambilku dari panti asuhan sekaligus memintaku tinggal di rumahnya. Namun aku terlalu sungkan untuk menerima tawaran pak Reza, sebab setahuku beliau lebih sering tinggal di luar negeri. Saat itu aku tidak terlalu akrab dengan beliau, aku takut jika tinggal di rumah beliau akan merepotkan dan menjadi beban.
Ditinggal orang tua di usia remaja memang membuatku rapuh, namun aku tidak ingin memanfaatkan rasa iba orang lain terhadapku. Untunglah papa mengajarkanku agar menjadi laki-laki kuat, tidak cengeng dan tidak mudah jatuh.
Pak Reza membiarkanku tinggal sendiri di rumah peninggalan papa. Beliau membiayai seluruh keperluan hidupku, termasuk membayar seorang asisten rumah tangga dan seorang sopir yang akan mengurusku. Sebagai imbalannya, aku harus mau berteman dengan putra angkatnya, Reyfan.
Meski agak sulit, karena putra angkatnya lebih tua dua tahun dariku. Anaknya bandel, sombong, angkuh, terkesan tidak bersahabat. Tapi aku tetap berusaha berteman dengannya. Sebagai imbalan atas kebaikan hati pak Reza dan bu Zulfa. Ia baru saja kembali dari luar negeri waktu itu, dan hendak melanjutkan pendidikan SMA nya disini.
Hari berganti hari, kami lambat laun bisa berteman baik. Juga dengan Hamzah, putra Pak Adnan, asisten pak Reza. Kami mulai sering menghabiskan waktu bersama, karena ternyata hobi kami hampir sama. Membaca, bermain musik dan voli. Hanya satu hobi yang berbeda dari kami, yaitu kegemaran Reyfan menyambangi tempat hiburan malam.
Mungkin kebiasaan waktu di luar negeri, terbawa sampai ia pulang ke Indonesia. Bagiku yang masih remaja, tentu saja hal itu tidak lazim. Jangankan masuk tempat hiburan malam, melihat tempat itu dari dekat saja aku belum pernah.
Tapi pengaruh Reyfan terhadapku dan Hamzah sangat bersar. Lambat laun, kami pun mengikuti kebiasaannya. Dengan kuasanya, ia mengubah kartu pelajarku, mengelabui petugas kelab malam, agar aku yang masih di bawah umur, bisa masuk ke tempat gelap dengan lampu kelap-kelip dan musik yang keras menghentak itu.
Saat itulah aku mulai terbiasa dengan wine, vodka, coktail, dan sederet minuman dengan kadar alkohol ringan sampai tinggi. Juga gaya hidup malam yang gemerlap.
Biasanya kami akan pulang dini hari dalam keadaan mabuk dan kami bertiga akan bermalam di rumahku yang sepi. Paginya Mbok Jum akan membuatkan kami air jahe dan sup penghilang hang over. Lalu mang Saeb akan mengantar kami ke sekolah masing-masing.
Bukannya pak Reza atau Pak Adnan mengabaikan kami begitu saja, membiarkan kami berlaku seenak kami sendiri, bergaul tanpa batas. Mereka berulang kali menasehati, bahkan sampai menghajar kami. Tapi jiwa muda yang bergelora tidak memberi kesempatan untuk menurut pada nasihat-nasihat mereka. Hanya masuk dari telinga kiri, lalu keluar dari telinga kanan.
Begitu seterusnya, saking tidak punya jalan lagi untuk menyadarkan kami dan membuat kami kembali ke jalan yang benar. Pak Reza memutuskan kami bertiga harus dipisah, tidak diijinkan saling bertemu satu sama lain dalam jangka waktu yang lama. Pak Adnan membawa Hamzah kuliah di Jogja, Reyfan dibawa ke luar negeri lagi, sedangkan aku dibawa ke sebuah sekolah asrama di Magelang.
Tiga tahun aku berrsekolah di sekolah asrama kristen tersebut. Sebuah sekolah unggulan yang muridnya berasal dari Sabang sampai Merauke. Disinilah aku menimba ilmu, sebagai seorang kristiani.
Sejak papa dan mama meninggal sampai aku beranjak dewasa, tidak ada satupun saudara dari keluarga papa yang pernah mendatangiku. Tante Lidya, satu-satunya adik papa pun tak pernah sekedar menjengukku, atau bertanya kabar apakah aku masih hidup atau tidak.
Justeru keluarga mama, yang tahu aku bersekolah di Magelang, sering menjengukku. Mungkin karena jarak yang dekat, antara Jogja dan Magelang, jadi mereka sering menjengukku, dengan membawa banyak makanan.
Padahal setiap kali keluarga mama datang berkunjung, mereka pasti menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Kehadiran laki-laki bersarung dan berpeci dengan seorang nenek berjilbab serta dua orang wanita muda berpakaian syar’i di asrama kristen. Pasti sangat mencolok, bukan?
Aku memang dilahirkan dari keluarga heterogen. Papaku beragama kristen sejak lahir, menikah dengan mamaku yang beragama islam sejak lahir pula. Keduanya memeluk agama turunan dari leluhur. Entah bagaimana keduanya bisa menikah dulu, sebab setahuku, di negara ini belum bisa menikahkan pasangan beda agama.
Yang kutahu, aku dibesarkan tanpa tuntutan harus mengikuti agama papa atau mama. Namun, dominasi papa dalam keluarga, tentu saja menuntunku untuk mengikuti agamanya. Dan sampai sekarang, aku memeluk agama yang sama dengan agama yang papa anut. Sampai sebuah peristiwa membuatku ragu, akan apa yang sudah kuyakini bertahun-tahun.
***
Aku baru saja datang ke kota pahlawan ini. Kota dengan gedung-gedung tinggi, dan udara pekat karena berselimut kabut polusi. Hampir sama seperti Jakarta. Pantas saja kalau kota ini disebut sebagai kota metropolitan kedua setelah jakarta. Surabaya, panas dan gerah.
Kulajukan mobil dalam kecepatan sedang, sebab hari masih pagi. Menyusuri jalan protokol kota Surabaya yang ramai. Baru kemarin Noura mengajakku berkeliling kota ini, sekarang aku sudah sedikit hafal tempat-tempat penting yang akan menjadi persinggahanku. Selama beberapa bulan kedepan, aku akan berada di kota ini. Mengisi kekosongan posisi direktur, sebelum Reyfan menyelesaikan studinya lalu pulang ke negri ini.
Mobil kuhentikan, tepat didepan garis batas, sebab lampu rambu lalu lintas berwarna merah. Kutoleh kanan-kiri, jalanan dipenuhi oleh pengendara motor dan mobil. Sama sepertiku, mungkin mereka hendak berangkat kerja, atau berangkat ke sekolah. Sebab ada beberapa pengendara motor yang memakai celana abu-abu.
Kulemparkan pandangan ke depan, menatap kendaraan yang lalu-lalang dari persimpangan jalan. Tak jauh dari tempatku, di pinggir jalan, kulihat seorang gadis yang sedang menendang ban motornya dengan ekspresi kesal. Kuperkirakan dia adalah seorang siswi sekolah menengah atas, kalau dilihat dari rok warna abu yang ia kenakan.
kuinjak pedal gas perlahan, ketika lampu rambu lalu lintas berubah menjadi hijau. Kulirik gadis itu sedang melepas helm, dan duduk di trotoar, samping motornya. Aku bisa saja hanya melewatinya, tanpa peduli. Toh, aku tidak kenal dengan gadis itu, bukan?
Tapi entah dorongan dari mana, kakiku menginjak pedal rem dan laju mobil berhenti tepat di depan motor gadis itu. Aku melihatnya dari kaca spion, ia sedang sibuk menekuri layar ponsel. Entah sedang berusaha menghubungi siapa atau sedang menunggu balasan chat dari siapa.
Kutanggalkan kacamata hitam yang bertengger di hidung, meletakkannya di dashboard. Lalu aku keluar dari mobil, menghampiri gadis berjilbab putih itu. Aku bertanya dengan tanpa ekspresi apapun, “motormu kenapa?” padahal aku sudah tahu kalau ban motor itu kempes.
Gadis itu mendongak menatapku, tapi tidak menjawab pertanyaanku. Mungkin ia sedang memindai, siapa aku tiba-tiba datang dan bertanya padanya? Aku tidak peduli dia menjawab atau tidak, malah kuceramahi dia.
“Apa kau tidak tahu? Bahaya seorang gadis sendirian di pinggir jalan ramai begini.”
Tapi ia malah menatapku dengan pandangan mata tajam. Membuatku mengatakan kalimat yang mungkin menyakiti hatinya, “hei! Kau bisu, ya? Atau kau tidak bisa dengar karena telingamu tertutup jilbab?”
Ia bergeming, hingga aku meneliti ban motornya yang kempes. Lalu samar-samar kulihat benda kecil mengkilap menancap di ban belakang motor gadis itu. Pasti itu penyebab ban motor itu kehabisan angin.
Aku menarik lengannya, membaca tulisan dalam badge yang menunjukkan nama sekolahnya. Sekilas kubaca dan kebetulan kemarin Noura mengajakku lewat sekolah itu. Sebuah SMA swasta yang terletak di pinggir jalan, searah dengan jalan menuju ke kantorku.
Kutawarkan gadis itu tumpangan. Tak segera ia terima, sampai aku menakutinya dengan mengatakan kalau satpol PP biasanya melakukan razia pada jam-jam seperti ini. Padahal aku tidak tahu itu benar atau salah.
Gadis itu masih saja berpikir, padahal waktu terus berjalan. Kuhampiri dia, kutarik asal tangannya, lalu kubuka pintu mobil agar ia masuk. Tapi diluar dugaan, gadis itu memberontak sembari berucap ketus, “eh! Bisa tidak bapak lepaskan tangan saya? Saya ini gadis muslim, Pak. Tidak sembarang bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahrom!”
Seketika kulepas genggaman tanganku pada pergelangan tangannya, mengusap tengkuk dengan kikuk. Bagaimana aku bisa melupakan batas itu? Padahal sejak kecil mama sudah mewanti-wanti kepadaku. Bahwa ada batas bersentuhan antara laki-laki dan perempuan dalam islam.
Ah! Tapi bukankah sekarang jaman sudah berubah? Banyak yang abai pada aturan tersebut. Orang muslim saling bersalaman antara laki-laki dan perempuan sudah biasa. Bahkan ada yang tidak malu berangkulan di depan umum, padahal mengenakan jilbab.
Tapi gadis ini sepertinya beda. Dia pasti berasal dari keluarga yang masih kolot. Terbukti, aku hanya memegang pergelangan tangannya saja dia sudah terlihat marah sekali.
Dia akhirnya mau kuantar sampai sekolah, tapi hanya duduk diam di kursi belakang. Aku semacam sopirnya saja, kubiarkan. Sebab wajah dan seragamnya mengingatkanku pada dua orang gadis kembar yang kutemui saat aku masih kecil. Bagaimana kabar mereka sekarang? Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bertemu dengan mereka.
Masih kuingat dengan jelas, waktu mama mengajakku berkunjung ke Jogjakarta. Saat itu aku sedang berlibur usai ujian akhir sekolah dasar. Papa memberiku hadiah tamasya ke Jogjakarta, tapi beliau tidak bisa ikut karena pekerjaan tidak bisa ditinggal.
Aku pergi hanya dengan mama. Disela berlibur, mama mengajakku ke suatu tempat. Aku sudah lupa nama desa maupun daerah itu. Yang kuingat hanya sebuah rumah kecil, tanpa halaman. Dan seorang pria seumuran mama, memakai sarung, kemeja dan peci, menemui kami di ruang tamu yang kecil. Lesehan, tanpa ada kursi, hanya karpet tipis yang di gelar sebagai alas kami duduk. Lalu dua orang gadis berseragam putih-abu pulang dari sekolah, menatap mama dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
Saat itu, mama mengenalkan kami, “Hara! Mereka ini kakakmu. Mereka adalah keluargamu, bahkan jika kelak mama sudah tidak ada.”
Aku belum sepenuhnya mengerti keadaan mama waktu itu. Setelah aku dewasa dan gadis kembar itu sering mengunjungiku di asrama, baru aku tahu. Kalau ternyata pria bersarung itu adalah mantan suami mama, lalu kedua gadis kembar itu anak-anak mama dengan mantan suaminya. Mama meninggalkan mereka dan memilih menikah dengan papa.
Walau aku tidak pernah tahu, apa alasan mama lebih memilih papa, padahal pria bersarung itu kelihatannya orang baik. Dan juga gadis kembar itu, teganya mama meninggalkan mereka padahal usia mereka masih kecil waktu itu Tapi aku ini hanya seorang anak, yang tidak tahu kemelut yang terjadi pada para orang tua. Cerita apa dibalik mama, papa dan mantan suami mama itu, aku tidak pernah tahu. Dan tidak pernah ingin tahu.
Setelah aku lulus dari sekolah asrama, dan Pak Reza mengirimku keluar negeri untuk belajar sekaligus menemani Reyfan, aku sudah kehilangan kontak dengan keluarga mama. Dalam bayanganku, kedua gadis kembar itu masih mengenakan seragam SMA, padahal mereka pasti sekarang sudah menikah dan punya anak.
Itulah alasan mengapa aku tergerak untuk menolong gadis itu. Gadis yang penampilannya seperti kedua kakak kembarku. Kakak kembar yang kini tidak kuketahui dimana keberadaannya, dan bagaimana kabarnya.
Tepat saat satpam akan menutup pintu gerbang, aku menghentikan mobil di depan sekolah gadis itu. Sempat aku menanyakan namanya, sebelum dia berlari mengejar waktu.
“Rinjani!” Teriaknya. Menjawab pertanyaanku. Tapi sejurus kudengar seorang pria berseragam sama dengan gadis itu memanggilnya dengan nama yang lain, “Jenar!”
OH! Rupanya gadis itu mau mengelabuhiku. Awas saja kalau dia menyebutkan nama yang salah, motornya tak akan kukembalikan. Biar gadis itu tahu rasa, sudah berani mempermainkan orang dewasa sepertiku.
Kutelpon Noura agar mencarikan tukang tambal ban, setelah kuberikan lokasi motor. Kusebutkan nama sekolah gadis yang menyebutkan namanya Rinjani itu, agar tukang tambal ban nanti mengantar motor itu kesana.
Noura lebih dulu tinggal di kota ini, sudah tentu ia lebih hafal tempat-tempat disini. Dibandingkan aku yang baru beradaptasi. Pak Reza memintaku pulang ke Indonesia karena kantor cabang Surabaya bermasalah. Yang disebabkan oleh kakak kandung Noura. Sedangkan Reyfan baru menyelesaikan tesisnya. Jadi aku yang diminta pak Reza untuk menyelesaikan masalah di kantor cabang ini.
Pagi itu kupikir urusan dengan Rinjani sudah selesai. Aku tidak pernah tahu, bahwa Rinjani ternyata orang terdekat dengan majikanku. Bertahun kemudian, kami jadi sering bertemu. Tapi kurasa dia lupa tentang peristiwa pagi itu. Dia yang telah beranjak dewasa, dengan tubuh ranum dan penampilan yang berbeda. Rinjani yang memang dipanggil dengan nama Jenar oleh keluarganya, ternyata adalah adik dari anak kandung pak Reza.
Dia yang berubah menjadi lebih santun dalam balutan gamis syar’i dan jilbab lebar menutup dada sampai perut, juga punggung sampai bawah pantat. Rinjani Jenar Adhitama, yang kutahu pasti banyak mata pria lapar yang terpesona oleh kecantikkannya dan keanggunannya.
Gadis yang kini sedang duduk di bangku belakang mobilku, setelah aku menjemputnya dari stasiun tadi. Dia duduk diam, sama seperti bertahun-tahun yang lalu saat kami pertama kali bertemu. Entah apa yang sedang ia lakukan, karena mulutnya seperti sedang komat-kamit, kulihat jemarinya juga bergerak menyentuh ruas-ruas jarinya.
“Pak Hara!”
Suara itu menyadarkanku dari lamunan dan fokus ke jalan raya yang sedikit lengang. Hari ini hari minggu, lalu lintas kota metropolitan tetap padat, meski tidak sepadat biasanya. Kendaraan bergerak pelan memecah kemacetan, membelah jalanan yang luas namun tetap tidak sanggup menampung banyaknya kendaraan yang melaju.
“Didekat rumah Kak Neesha ada toko buku tidak?”
Kulihat kaca spion dalam, Jenar tidak bertanya tanpa melihat ke arahku. Dia lebih tertarik pada deretan gedung bertingkat di kanan dan kiri jalan yang kami lalui. Kujawab pertanyaannya dengan singkat, “tidak ada.”
Dia diam, tidak bertanya lagi. Kulihat lagi pantulan wajahnya dari kaca spion dalam. Mulutnya kembali komat-kamit dan ibu jarinya kembali menyentuh ruas-ruas jari, seperti sedang merapalkan mantra saja.
“Kalau mau ke toko buku, agak jauh dari rumah Aneesha. Kalau yang kau maksud toko buku Gramedia, nanti bisa kau minta Aneesha mengantarmu kesana.” Kataku dengan nada suara datar.
“Sebenarnya aku penasaran dengan toko buku yang diceritakan oleh bang Tereliye di novelnya yang berjudul Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.”
Kukira tadi dia serius ingin membeli buku, ternyata dia hanya penasaran dengan setting tempat cerita dalam novel. Dasar gadis unik.
“Jadi kau penggemar Tereliye?”
“Suka dengan karya-karyanya, suka dengan gaya menulisnya, juga-”
“Juga suka dengan kalimat-kalimat sarkasnya mengkritik pemerintah? Suka dengan kalimat provokasinya?”
“Eh! Jangan salah, Pak! Tereliye tidak pernah memprovokasi, loh. Kalau mengkritik pemerintah … bukankah memang itu perlu? Indonesia, kan, negara demokrasi, Pak. Jadi sah, dong. Siapa saja boleh mengkritik pemerintah. Lagian yang ditulis bang Tere itu semua kenyataan, kok.”
“Tahu apa kamu soal politik, heem?”
Entah mengapa kami yang tadinya saling diam, begitu ketemu topik pembicaraan yang nyambung malah jadi berdebat. Sebenarnya, aku ini follower fanspagenya Tereliye. Selalu mengikuti setiap postingannya, baik yang sedang mengkritik pemerintah, keadaan negara atau isu sosial yang sedang merebak. Aku hanya ingin menguji gadis ini, sejauh mana dia bisa menilai sesuatu yang sensitif.
“Saya memang tidak banyak tahu tentang politik, Pak. Tapi saya mengikuti perkembangan berita terbaru, loh. Termasuk perombakan kabinet yang baru-baru ini terjadi. Siapa saja yang menduduki jabatan mentri baru, saya tahu, loh.” Kilah Jenar.
“Baguslah, jadi otakmu berkembang. Bukan hanya halu karena baca novel saja.”
Kudengar Jenar mencebik, tapi pandangannya tetap kearah samping. Menatap gedung pencakar langit yang bergerak semu seperti slide film yang berputar. Dia diam, aku pun diam. Kami saling diam sepanjang sisa perjalanan menuju ke rumah Aneesha.
Entah apa yang kupikirkan saat dia menelpon tadi, bagaimana bisa aku menjemputnya sendiri ke stasiun. Padahal aku bisa saja memberitahu Reyfan untuk menjemput sendiri adik iparnya. Toh, ini bukan waktu ku bekerja, ini hari minggu, waktuku libur. Dan biasanya waktu libur, aku pergunakan waktu untuk bersantai. Tapi ini malah aku mau menjemput gadis remaja ini, sungguh ini diluar kebiasaanku.
.
.
.
Bersambung....
Hai semuanya ....
*Terima kasih yang sudah bersedia mampir di karya baru ini. *
Maaf, karena tidak bisa up sering dan cepat. Jauh dari ekpectasi memang, yang pasti cerita ini sudah melalui pertimbangan dan diskusi panjang dengan beberapa narasumber. Tetap seperti biasa, ya. terbuka untuk saran dan kritik. hehe.
Terima kasih untuk yang sudah vote, kasih gift, komen dan rate bintang lima. Jangan sungkan untuk memberikan saran dan kritik, ya.
selamat membaca.
Desi desma/La lu na
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
"ariani's eomoni"
pie kabare pak Hara
2024-12-07
1
Ersa
hehe sekolah yg letaknya di muntilan nih... V
2023-10-26
1
YuWie
aq blm masuk dg kalimat adik dari anak kandung pak Reza, terus adik ipar Reyfan... brati Jenar apanya pak Reza
2023-10-13
1