...🌸Jangan melangkah tanpa restu, karena salah satu do’a yang diijabah Alloh adalah do’a dari orang tua, terutama ibu untuk anaknya.🌸...
Rinjani Jenar Adhitama.
Belajar di kampus yang sama, walau beda tingkat dan beda jurusan, aku dan mas Ghufron hampir tiap hari bertemu. Kadang ia sengaja memintaku menemaninya mencari referensi di perpustakaan, makan siang di kantin, diskusi masalah organisasi, atau sekedar ngobrol ringan bersama teman-teman kami.
Mas Ghufron tidak pernah melakukan hal romantis seperti memberiku bunga atau coklat. Mungkin dia tahu aku tidak bisa makan coklat, gigiku otomatis linu dan sakit kalau makan coklat.
Yang dilakukan oleh mas Ghufron hanya hal-hal sepele. Seperti mengajakku muroja’ah, mengingatkanku puasa sunah, atau diskusi tentang banyak hal. Mas Ghufron setiap malam selalu bertanya padaku, apakah aku sudah salat isya’ atau belum. Sehingga aku salat isya’ lebih tepat waktu. Karena dia akan sangat marah kalau aku menunda salat.
Siang ini kami sedang berbincang ringan di masjid kampus. Jadwal kuliahku selesai tepat waktu dluhur, aku memutuskan untuk salat di masjid kampus. Ternyata mas Ghufron juga sedang disana. Jadi setelah salat, kami berbincang di selasar masjid, alih-alih langsung pulang.
Mas ghufron bercerita jika tulisan Nalini diterima oleh penerbit, sudah masuk proses cetak. Adik mas Ghufron itu bukan hanya cantik dan anggun, tapi juga pintar. Sudah banyak tulisannya dimuat di surat kabar dan majalah. Sekarang tulisan Nalini berhasil menembut penerbit. Membuatku kagum.
“Nalini hebat, ya, Mas.”
“Bukan hanya dia yang hebat, Nduk. Tapi do’a orang tua, khususnya ibu juga berpengaruh. Jadi Nalini bisa menemukan keberuntungan, tulisannya tembus ke penerbit.”
“Kamu juga bisa … lebih hebat dari Nalini malahan. Karena setiap orang mempunyai talenta sendiri, Nduk.”
“Ehm … kayaknya kau nggak punya bakat apa-apa, deh, Mas.”
“Masa? Coba cari dulu, pasti punya.”
Aku diam, menerawang. Mencoba merapah dalam diriku sendiri, tapi tak menemukan kelebihan seperti yang orang lain punya.
“Nggak ada, Mas. Musik aku nggak bisa, olahraga nggak suka, seni apalagi … nggak ada bakat blas.”
Mas Ghufron tertawa, lepas sekali tawanya. Seperti biasa aku tersipu melihat tulang pipi mas Ghufron yang menggembung saat ia tertawa. Membuatku menunduk, menyembunyikan wajah yang kurasa sudah bersemu merah.
Namun aku kembali menegakkan kepala, sebab suara mas Ghufron mampir di telinga, “pasti kamu punya, Nduk. Suara kamu bagus, lho. Pernah belajar qiro’ati belum? Mungkin kamu punya bakat disitu? Daya ingat kamu juga bagus, bisa menghafal dengan cepat.”
Aku menggeleng, “suaraku biasa saja, Mas. Dulu pernah belajar qiro’ati, tapi karena bosan jadi nggak aku lanjutin.”
“Nah!” Sedikit terkejut aku karena mas Ghufron berseru dengan nada suara keras, “itu adalah salah satu kelemahanmu, Nduk. Kamu cepat bosan kalau melakukan sesuatu, jadi jarang kamu selesaikan.”
“Kamu itu tipe orang yang mengerjakan sesuatu bukan karena kamu suka atau bukan karena kamu ingin mencapai hasil terbaik. Tapi asal mengerjakan saja. Padahal sesuatu yang dilakukan atas dasar suka dan niat insyaalloh hasilnya akan baik, Nduk.”
“Seperti saat kamu belajar, coba kamu niatkan untuk mencapai sesuatu, bukan hanya karena kewajiban. Misal kamu belajar teori memotong tali pusar, tapi diniatkan karena suatu saat kamu ingin menolong orang. Bukan hanya karena memang kewajiban. Pasti rasanya beda.”
Aku manggut-manggut mendengar semua nassehat mas Ghufron. Dia memang tidak pernah melakukan hal yang romantis, tidak pernah mengajakku privat diner, candle light diner, atau apalah seperti di drama yang sering kutonton.
Tapi bagiku, mas Ghufron melakukan hal luar biasa yang membuatku merasa lebih percaya diri sekaligus bersemangat menjalani hidup.
Pria lain mungkin lebih memilih main kucing-kucingan sama orang tua, jika sedang menaksir cewek. Tapi mas Ghufron justru langsung mengajakku ke rumahnya, bertemu dengan kedua orang tuanya.
Juga setiap mengajakku pergi, mas Ghufron selalu menjemputku di rumah dan pamit kepada om Dito atau istrinya. Pernah sekali aku lupa tidak pamit, mas Ghufron justeru marah dan saat itu juga memintaku menghubungi ponsel om Dito.
“Jangan seenaknya sendiri. Disini, Om Dito itu wali kamu. Pengganti ayah kamu, jadi jika terjadi apa-apa sama kamu, beliau ikut bertanggung jawab. Jangan sampai kelalaianmu jadi mempersulit om Dito. Paham, Nduk?”
Sebuah hal sepele tapi bisa menjadi begitu rumit karena mas Ghufron menjabarkan sebab-akibat yang timbul hanya karena aku lupa pergi tanpa pamit. Sejak saat itu, aku tidak pernah pergi tanpa pamit. Walau hanya ke warung dekat rumah sekalipun. Kata mas Ghufron jangan sampai membuat orang tua khawatir, lalu su’udzon tentang apa yang aku lakukan.
Mas Ghufron memang bukan pria paling sempurna, tapi setidaknya ia selalu berusaha tidak melanggar norma. Berteman denganku pun sewajarnya. Walau dia pernah bilang tertarik padaku dan ingin melamarku, tapi tidak lantas berbuat seenaknya sendiri.
Dia hidup dalam prinsip, tidak akan menyentuh jika belum sah. Jaman sekarang banyak yang baru kenal berapa bulan, lalu bilang cinta, eh sudah meraba-raba. Astaghfirulloh.
Kami bukan remaja belasan tahun yang labil dan mudah tergoda rayuan manis setan. Walau kami bukan anak seorang ulama, tapi kami punya dasar agama, punya Alloh tempat berlindung dari segala dosa.
Yang terpenting adalah kami selalu mengutamakan restu orang tua, dalam setiap apa yang kami lakukan. Seperti mas Ghufron yang mengenalkanku pada kedua orang tuanya. Aku pun memperkenalkan mas Ghufron pada ayah dan bunda. Walaupun baru lewat daring (video call).
Meskipun waliku selama di Jogja adalah om Dito, tapi ayah dan bunda harus tahu semua tentang apa yang kulakukan. Jarak tak menjadi penghalang bagiku untuk selalu berbakti.
Siang itu mas Ghufron mengatakan ingin mengajakku pergi tamasya bersama keluarganya, untuk merayakan buku Nalini yang sudah masuk cetak. Bahkan buku tersebut sudah masuk list pre order di beberapa platform.
Aku bisa saja langsung menolak atau setuju, tapi aku sadar, sesuatu tidak akan berjalan dengan lancar tanpa restu. Oleh karena itulah, selain meminta ijin kepada Om Dito. Aku juga menghubungi ayah dan bunda di Surabaya.
Aku melakukan panggilan video dengan ayah dan bunda bersama mas Ghufron juga. Teknologi canggih saat ini bisa melakukan panggilan telepon atau pun video dengan lebih dari dua orang. Bahkan bisa melakukan panggilan dengan anggota grup sekaligus.
Ini menjadi kali pertama mas Ghufron berbicara dengan ayah dan bunda, walau secara tatap muka online. Ayah dan bunda seperti biasa, selalu ramah menyambut siapa pun temanku, termasuk mas Ghufron
Sedangkan mas Ghufron, jangan ditanya, dia sudah terbiasa berinteraksi dengan berbagai macam karakter orang. Jadi bisa membawa diri dengan baik saat berbincang dengan ayah dan bunda.
“Assalamu’alaikum, Pak, Bu,” suara mas Ghufron begitu tenang saat memberi salam kepada ayah dan bunda.
“Wa’alaikum salam ….” ayah dan bunda menjawab serempak. Mereka saling tatap sejenak, kemudian kembali fokus ke layar.
“Apa kabar, Pak, Bu?” Mas Ghufron berbasa-basi sebelum mengutarakan niatnya.
“Alhamdulillah kami baik dan sehat. Kalian apa kabar disana?”
“Alhamdulillah sehat, baik.” Aku dan mas Ghufron menjawab hampir bersamaan.
Kemudian aku memperkenalkan mas Ghufron kepada ayah dan bunda, “Bunda, ayah … ini mas Ghufron yang tempo hari Jenar ceritakan. Mas Ghufron mau ngomong sesuatu sama ayah dan bunda.”
Selanjutnya obrolan didominasi oleh mas Ghufron dan ayah. Mereka berdua tampak nyambung membicarakan tempat wisata di Jogja dan kamera. Mungkin karena masa muda ayah tinggal di Jogja jadi bisa cocok berbicara dengan mas Ghufron. Sedangkan aku dan bunda sesekali menimpali, ikut masuk ke dalam obrolan.
Karena mas Ghufron terus terang meminta ijin mengajakku pergi dengan sopan. Juga karena mas Ghufron bilang kami pergi tidak hanya berdua tapi bersama orang tua mas Ghufron dan Nalini. Ayah dan bunda mengijinkan. Tentunya dengan banyak sekali nasehat dan wanti-wanti yang diberikan.
“Bunda ijinin, tapi kamu harus tahu diri dan jaga diri. Tahu diri kalau kamu pergi bersama orang lain, jaga sopan santun. Jaga diri, karena kamu pergi bersama laki-laki bukan mahrom, jangan lakukan hal diluar batas,” itu nasehat bunda. Wanita nomor satu yang selalu mengkhawatirkan anak-anaknya.
“Jenar, ingat. Ayah dan bunda memang tidak bisa melihatmu melakukan apa saja disana. Tapi Alloh Maha Melihat, jangan khawatir akan kemarahan ayah dan bunda. Tapi takutlah, jika Alloh yang marah padamu.” Lihat, kan? Ayahku makin tua, makin banyak yang dilalui, makin bijak pula pemikirannya.
Diantara tiga bersaudara, akulah yang paling menurut pada ayah dan bunda. Ibarat kata jika ayah dan bunda meminta kami pergi ke suatu tempat, hanya aku yang melaksanakan tanpa banyak bertanya.
Jadi seandainya ayah dan bunda tidak mengijinkanku ikut mas Ghufron tamasya pun aku akan menurut. Tapi ternyata ayah dan bunda mengijinkan. Menjadi kali pertama mereka membiarkanku pergi dengan orang asing, bukan keluarga.
Waktu yang telah direncanakan tiba. Mas Ghufron dan keluarganya menjemputku pagi-pagi sekali. Setelah beramah tamah dengan om Dito dan istrinya, kami berangkat. Menggunakan sebuah mobil sejuta umat berwarna silver, membelah jalanan kota Yogyakarta yang masih lengang.
Matahari mengintip dari balik gunung merapi, perlahan sinarnya menelusup celah-celah gedung perkantoran dan pertokoan di sepanjang jalan. Menyinari jalanan aspal, menerpa kendaraan yang melintas.
Udara dingin perlahan menghangat, seiring gerak matahari yang meninggi. Jalanan pun semakin ramai lancar karena volume kendaraan kian bertambah. Sebuah pantai di gunung kidul menjadi tujuan kami. Kata mas Ghufron kami akan bertamasya ke tempat yang belum banyak di kenal orang, jadi bisa puas refreshing nanti.
Menjelang siang, saat mobil memperlambat laju karena memasuki jalan menanjak pegunungan. Dari jalanan aspal yang halus walau tak terlalu lebar, lalu berganti melewati jalan desa yang sama sekali belum diaspal. Masih berupa tanah kering bebatuan.
“Jelek banget jalannya, Mas. Nggak ada jalan lain apa? Bisa bocor, nih, ban mobil.” Nalini yang selama ini kulihat sebagai gadis kalem dan anggun, kini menggerutu sepanjang melewati jalan berbatu.
“Iya, Ghuf. Kamu bagaimana cari rute, kok, jalannya jelek begini?” Bu Nuning, ibunya mas Ghufron ikut menyalahkan si sopir. Siapa lagi kalau bukan mas Ghufron.
Dalam mobil itu hanya aku dan pak Haryo yang diam saja. Tidak ikut menggerutu apalagi menyalahkan mas Ghufron. Tentu saja aku sungkan, walaupun memang merasa tidak nyaman karena melewati jalanan jelek yang menyebabkan mobil bergoyang saat melaju. Membuat kepala terasa pusing dan perut mual.
“kalian tenang saja, nanti kalian akan terpana setelah sampai di tempat tujuan. Seperti kata pepatah, perlu melewati jalan terjal berbatu untuk sampai ke tempat yang indah.”
Mas Ghufron menghentikan mobil di sebuah tempat lapang yang di kelilingi oleh kebun jagung. Ada sebuah bangunan mirip rumah disana, ditempati oleh seorang bapak paruh baya.
“This is the gate!” Seru mas Ghufron saat keluar dari mobil.
Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tidak seperti pintu masuk tempat wisata seperti yang kubayangkan sebelumnya. Yang paling membuatku heran adalah aku tidak melihat pantai dari tempatku berdiri.
“Sebaiknya istirahat disini dulu, sambil nunggu waktu dluhur.” Pak Haryo memberi saran seraya menunjuk suatu arah, “kata Ghufron pantainya disana, harus jalan kaki sampai kesana.”
Kami semua setuju. Duduk di berjam-jam di mobil dan menikmati sensasi jalan seribu gelombang, tak ayal membuat badan terasa tidak nyaman. Istirahat dengan duduk sebentar menikmati semilir angin bertiup ringan adalah ide bagus.
Dengan beralaskan tikar yang dipinjam dari pemilik satu-satunya rumah disitu, kami duduk melingkar sembari bercakap ringan. Mas Ghufron membuka bagasi, mengeluarkan barang-barang dari sana, lalu membawa kepada kami. Ternyata isinya adalah air mineral, makanan ringan dan makanan berat. Definisi piknik keluarga paling ekonomis, yaitu membawa bekal dari rumah.
“Enaknya duduk sambil makan, biar nanti nggak lapar pas main di pantai.” Seloroh mas Ghufron seraya mengambilkan piring yang sudah diisi nasi dan lauk, “makan yang banyak.”
Aku mencibir, “banyak makan bisa jadi gendut.”
“Nggak juga, Nduk. Nalini banyak makan, tapi segitu-gitu aja.” Mas Ghufron menyanggah sembari berseloroh.
“Kok jadi aku yang kena?” Nalini bersungut-sungut.
Kami semua tertawa. Membuatku terkesan dengan kehangat keluarga mas Ghufron. Ia tidak sungkan menunjukkan rasa sayang kepada adiknya di hadapan semua orang. Juga tidak sungkan menunjukkan hormatnya kepada orang tua di hadapanku.
Selepas sholat dluhur, kami mengikuti mas Ghufron yang berjalan di depan. Melewati jalan setapak diantara hamparan kebun jagung yang baru saja ditanami. Kami berjalan dengan formasi yang muda menjaga yang tua.
Nalini di depan bapaknya, lalu aku berjalan di belakang bu Nuning. Sigap menopang, kala bu Nuning melangkah terseok. Walau sebenarnya medan yang kami lalui tidak begitu terjal dan sulit.
Aku tidak bisa untuk tidak terpana. Kala pertama kali kakiku menyentuh pasir putih, diantara bebatuan. Pemandangan alam yang indah, asri dan masih belum banyak tersentuh.
Mas Ghufron benar. Tempat ini begitu indah, juga tidak banyak pengunjung. Mungkin karena terdapat di sebalik bukit, jadi belum tersentuh oleh pihak dinas pariwisata. Bapak pemilik rumah tempat parkir tadi bilang, tempat ini dikelola oleh pihak desa, belum banyak yang tahu tempat ini. Seperti privat beach, karena hanya ada kami di tempat ini.
Sebuah pantai pasir putih dengan tebing bebatuan di kiri kanannya. Angin bertiup semilir, menggulung ombak, memecah karang. Pohon nyiur bergoyang, seperti jilbabku yang melambai-lambai.
Aku dan mas Ghufron duduk di atas pasir, menikmati pemandangan indah yang tersaji. Karunia Alloh yang begitu luar biasa. Tak pernah kubayangkan bisa berwisata sesantai ini, bisa menikmati pemandangan dengan leluasa seperti ini. Tanpa gangguan banyak orang, benar-benar refreshing yang hakiki.
“Suka tidak? Bagus, kan?” Tanya mas Ghufron. Kami sama-sama menatap ombak yang bergulung-gulung dari laut menuju tepian.
Aku mengangguk. Di dekat garis pantai sana, kulihat Nalini, pak Haryo dan Bu Nuning sedang berdiri. Sengaja menanti ombak yang akan menerpa kaki mereka.
“Kamu lihat, batu karang itu?” mas Ghufron menunjuk sebuah batu karang besar di depan kami. Aku pun mengikuti arah telunjuknya.
“Sudah tahu dia lama-lama akan terkikis jika terus-menerus diterpa ombak. Tapi batu karang itu tidak berpindah tempat, tetap disana.”
Aku tertawa kecil, perumpamaan yang lucu menurutku. Tentu saja batu itu tidak akan berpindah tempat. Batu, kan, benda mati. Bagaimana mau berpindah tempat? Memangnya batu bisa berjalan?
“Batu itu memang benda mati. Tapi kita bisa belajar dari batu itu.” mas Ghufron seperti tahu apa yang sedang kupikirkan.
Aku mengernyit, mengalihkan pandangan dari batu yang terkena deburan ombak. “Pelajaran seperti apa yang bisa kita ambil dari batu itu, Mas?” Tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Lilo, legowo … ikhlas dalam tingkatan yang paling ikhlas.” Mas Ghufron mengarahkan pandang ke depan. Ia memang selalu begitu, tidak pernah lama-lama menatapku.
“Maksud mas apa? Aku nggak ngerti.”
“Gini, Dik...," mas Ghufron memiringkan badan memulai penjelasannya.
"Batu karang itu mengajarkan pada kita sebuah keikhlasan. Ketika kita diterpa kesakitan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Maka yang bisa kita lakukan adalah lilo lan legowo. Rela dan ikhlas, paling ikhlas. Legowo dalam arti menerima semua yang ditetapkan Alloh tanpa syarat, tanpa tapi.”
Aku masih berpikir, mencerna setiap kata demi kata yang diucapkan oleh mas Ghufron. Batu karang itu tidak bisa bergerak kemanapun, maka yang bisa dilakukan adalah pasrah. Padahal batu itu tahu, jika terus-menerus terkena ombak lama-lama dirinya akan dan terkikis, habi.
“Mas! Mbak Jenar! Sini! Ojo placaran wae!” (Jangan pacaran saja.)
Teriakan Nalini membuat aku dan mas Ghufron sontan tertawa. Mas ghufron merogoh saku celana guna mengeluarkan sesuatu. Ia memberikan sebuah flashdsik dan sebuah liontin berbentuk huruf R padaku.
“Jaga baik-baik, ya!" Mas Ghufron bermimik serius.
"Kelak dengan siapapun kamu menikah, tolong pakai liontin itu. Pastikan aku ada disana, untuk diberi selamat atau memberi selamat.”
“Mas ngomong apa, sih?” aku menatap barang yang diberikan mas Ghufron di atas telapak tanganku. Tiba-tiba perasaan tidak enak menjalar.
“Kita boleh membuat rencana, tapi Alloh yang menentukan.”
“Tapi, Mas-”
“Kita boleh memilih dengan siapa kita jatuh cinta, tapi tidak bisa memutuskan dengan siapa kita berjodoh.”
Aku berdiri, menepuk-nepuk rok yang penuh pasir pantai. Mengibaskannya agar tidak terlalu menempel. Sedangkan mas Ghufron sudah berjalan mendahuluiku, membuat aku harus memanjangkan langkah untuk menyusulnya.
“Kenapa tiba-tiba mas kasih flash disk dan liontin ini, juga ngonmong seperti itu padaku?” Tanyaku ketika telah menjangkaunya.
“Ya, biar suatu saat kalau kamu sedang dalam posisi batu itu, lalu kamu lihat liontin itu kamu ingat kata-kataku tadi. Lebih bisa legowo, ya, Nduk.”
"Kalau flash disk itu isinya cerita-cerita inspiratif, sudah kurangkum jadi satu folder. Biar kamu gampang bacanya, biar kamu makin semangat jalanin hidup."
“Terima kasih, ya, Mas. Selalu bijak melihat sesuatu. Kagum aku sama kamu, mas.”
“Jangan terlalu kagum, nanti tidak bisa berpaling, loh.”
Aku mengambil sejumput pasir, kulemparkan pada mas Ghufron. Ia menghindar, membuatku kembali melemparinya. Kami berdua tertawa, tawa yang sangat lepas.
Ini menjadi kali pertama aku duduk berdua dengan mas Ghufron, kali pertama bercanda berdua dengannya. Dan kali pertama seharian aku bersama mas Ghufron dan keluarganya.
"Menurut mas, kita bisa jadi jodoh tidak?" Aku bertanya saat kami kembali duduk bersama.
Mas Ghufron menggeleng, "mas tidak ingin mendahului kehendak Alloh. Kita manut skenarioNya saja, ya. Yang penting, tesisku diterima, aku langsung bawa bapak dan ibu ke rumah kamu."
"Kalau nantinya kita tidak berjodoh, apa kita masih bisa berteman?"
"Insyaalloh, sekali teman tetap teman. Ssjatinya hubungan seperti kita ini kan selamanya akan menjadi teman, cuma beda level."
"Maksudnya?"
"Kemarin teman biasa, setelah ta'aruf meningkat jadi teman dekat. Nanti kalau udah nikah juga tetap jadi teman."
"Lho? Udah nikah, kok, masih teman, Mas?"
"Ya, iya, Nduk. Teman tidur, teman hidup, teman yang halal diajakin ngapain aja."
Aku menipiskan bibir menahan senyum. Mas Ghufron bisa saja membuat level pertemanan ala dirinya.
.
.
.
Bersambung....
Note :
Credit foto : koleksi pribadi author.
Teman-teman ....
Selamat hari raya Idul Adha, ya. Belajar dari keikhlasan Ibrahim dan ketaatan Ismail. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Alloh. Pandemi segera berakhir, yang sakit segera diberi kesembuhan, yang kesusahan diberi kesabaran. aamiin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Emi Wash
apa yg akan terjadi dgn mas ghofron ya...
2022-08-01
0
Parti
ucapan ghufron udah jadi pertanda kalo mereka gak jodoh..hmm kalo jodoh gak kemana.. kalo kemana2 berati bukan jodoh tp ayam tetangga 😂😂😂
hmmm jadi gak tega baca...udah merajut asa bersama tapi gak berjodoh.sabar ya ghuf ini ujian ☺️
2022-06-01
1
Chery Sii Kelinci Madu
seperti pertanda klo Gufron akan meninggal
2022-03-14
0