...🌸Boleh cinta, tapi sewajarnya saja. Agar saat terluka, tidak terlalu perih.🌸...
Jenar
Aku masih di Jakarta, tepatnya di rumah kakakku. Selain liburan, aku memang ingin menenangkan diri. Jauh dari hiruk-pikuk suasana kuliah atau rumah. Bukan karena ingin menghindar, hanya menepi sejenak untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang sebenarnya sederhana.
Pertemuanku dengan kang Ghufron kemarin sepertinya adalah jalan keluar yang ditunjukkan Alloh padaku. Agar aku punya alasan untuk menolak setiap pria yang ingin mendekatiku.
Jika sebelumnya komunikasiku dengan kang Ghufron hanya sebatas tugas kuliah atau kepentingan organisasi, sejak kemarin ada kemajuan. Ada pokok bahasan lain dan dia mulai berani menunjukkan perhatiannya padaku.
Seperti tadi pagi usai subuh dia mengirimkan chat whatsapp padaku yang isinya membuatku tersenyum malu.
[Kamu sudah sholat subuh belum?]
Karena aku tidak segera kubalas, dia mengirimkan beberapa chat lagi.
[Jangan sampai terlambat sholat subuh, karena subuh adalah awal hari. Jika terlambat, kamu tidak akan mendapatkan keberkahan pagi.]
[Aku suka sama perempuan yang sholat subuh tepat waktu, karena dia pasti bisa menjaga hati dan cintanya. Sholat saja ia jaga, apalagi hati. Iya, kan?]
[Oya, habis sholat jangan lupa do’akan saya, ya! Biar bisa menyusun tesis dengan lancar dan segera melamarmu.]
Aku membaca chat itu dengan hati berdebar dan bibir yang tak henti menyunggingkan senyum. Mungkin ini yang disebut jatuh cinta,
entahlah. Hanya membaca chat darinya saja sudah bisa membuat hatiku berbunga-bunga. Apalagi saat layar ponsel menunjukkan sebuah panggilan dan tertera namanya disana.
Kuusap tombol hijau di layar, setelah sebelumnya menarik napas dalam-dalam. Kuangkat telpon dari seseorang yang dalam dua hari ini mampu membuatku tidak bisa tidur nyenyak. Hingga suara bariton yang khas itu terdengar.
“Assalamu’alaikum, Nduk?”
Kupegang dada, sebab merasakan debar jantungku yang tidak berirama. Baru kali ini ada pria asing yang memanggilku dengan panggilan sayang khas untuk perempuan jawa itu. ‘Nduk’ itu panggilan sayang yang biasa digunakan untuk memanggil perempuan terkasih.
“Wa’alaikum salam …,” jawabku lirih. Karena aku tidak ingin getar dalam suaraku terdengar.
“Lagi apa? Kenapa tidak balas chatku?”
Aku tersenyum, meski kutahu kang Ghufron tidak mungkin bisa melihat senyumku.
“Ini lagi mau dibalas, Mas. Eh! Kang, eh? Saya harus manggil sampeyan (kamu dalam bahasa jawa) apa ya?” Kugigit kuku jari telunjuk karena merasa kikuk tidak tahu harus memanggilnya Mas atau Kang seperti teman-temanku yang lain.
Suara tawa terdengar dan itu membuat detak jantungku makin tak beraturan. Tapi jawaban yang kudengar, membuat hatiku merasa sedikit tenang.
“Panggil senyamanmu saja, Nduk. Mas, kang, kak, atau panggil nama saja juga boleh.”
“Eh! Mana boleh panggil nama saja. Tidak sopan. Mas, kan, lebih tua dari saya.”
“Ha ha ha … jangan bilang lebih tua, dong, Nduk! Lebih dewasa gitu, biar enak didengar. Kesannya, kok, saya sudah kakek-kakek kalau dibilang tua.”
“Oh! Ya sudah. Mas lebih dewasa dari pada saya yang masih remaja.”
“Ha ha ha. Kamu ini, bikin gemes saja.”
Untung saja kami hanya melakukan panggilan telepon, bukan video call. Karena kuyakin sekarang pipiku sudah berwarna merah seperti tomat masak. Malu kalau sampai mas Ghufron melhat wajahku yang merona.
Suara tawa mas Ghufron dan nada suaranya yang berat tapi menyejukkan membuat siapa saja nyaman berbincang lama dengannya. Sejak pertama kali kukenal dia, memang aku sudah merasa nyaman berbincang dengannya.
Sekarang, setelah hubungan kami naik satu tingkat, aku makin merasa nyaman. Perhatian-perhatian kecil yang ia berikan padaku, membuatku merasa dihargai sekaligus dicintai.
Mas Ghufron memang tidak secara langsung menyatakan cinta, tapi niat yang ia utarakan kepada kakakku cukup untuk membuatku percaya. Bahwa rasa yang kami rasakan sama, asa kami pun sejalan. Mas Ghufron mampu membuatku berpikir, mungkin aku harus punya cita-cita mulai hari ini.
Seharian ini moodku sangat baik. Setelah kemarin menghabiskan waktu di toko buku bersama mas Ghufron dan Nalini. Lalu pagi tadi sudah disambut dengan mengobrol walau hanya lewat sambungan telepon. Siang ini mas Ghufron mengirim chat lagi, berpamitan untuk pulang ke Jogja. Sebab waktu liburannya di Jakarta sudah habis.
Benar yang dikatakan pepatah, jika mood kita di pagi hari baik, maka seharian akan baik. Sebaliknya jika mood kita pagi hari sudah jelek, maka seharian akan susah membaik. Alhamdulillah moodku baik sejak pagi, hingga sore pun masih baik. Hatiku dilingkupi oleh bunga-bunga yang sedang bermekaran.
Sore ini aku sedang menemani kakakku berbincang di ruang tengah, dengan makanan ringan dan buah-buahan yang tersaji di meja. Saat kakak iparku pulang, namun kulihat air mukanya keruh. Entah apa yang terjadi, kak Reyfan tidak menyapaku. Bahkan mengabaikan kak Aneeshayang ingin mencium punggung tangannya.
Kak Reyfan kulihat sedang berbincang serius menggunakan benda pipih yang ia pegang, menempel di telinga kirinya. Sepertinya pembicaraan yang penting, aku hanya menangkap sedikit dan tidak bisa menerka masalah apa yang sedang dibicarakan kak Reyfan hingga seserius itu.
“Saya belum tahu, nanti saya bicarakan dulu dengan Aneesha.” sempat kudengar kalimat yang diucapkan oleh kak Reyfan sebelum ia melangkah menuju ruang kerja.
“Ya, saya akan cari tahu dulu.”
Aku dan kak Aneesha hanya bisa saling pandang lalu mengangkat bahu, tanda tidak tahu. Kak Aneesha yang sudah paham sifat suaminya, bergumam pelan, “mungkin ada masalah di kantor.” Lalu kami kembali membicarakan hal lain.
Kudengar derap langkah kaki bersepatu masuk ke dalam rumah, mendekat ke arah kami. Lalu sosok berwajah datar tanpa ekspresi muncul, menganggukkan kepala melewati kami. Aku tersenyum bermaksud menyapanya, tapi dasar pria tanpa ekspresi. Dia tidak membalas senyumku, hanya terus melangkah, hendak menyusul kak Reyfan ke ruang kerja.
Beruntung aku sempat ingat ada yang ingin kusampaikan padanya. Kupanggil namanya biar dia menghentikan langkah, sebelum aku kehilangan kesempatan lagi.
“Pak Hara, tunggu!”
Kuambil paper bag diatas meja, yang telah kusiapkan sejak tadi. Karena aku memang menunggu kedatangannya, setelah tadi pagi kami tidak sempat bertemu. Sebab pak Hara dan kak Reyfan terburu-buru berangkat kerja.
Dia berhenti, tepat di depan pintu ruang kerja kak Reyfan. Setengah berlari aku mendekatinya, memberikan paper bag padanya sambil tersenyum. Tak peduli ia membalas senyumku atau tidak.
“Ini untuk bapak, terima kasih kemarin sudah menemani saya ke toko buku. Maaf, sudah merepotkan.”
“Ini apa?” Pak Hara mengambil tali paperbag kemudian mengintip isinya.
“Hanya sebuah buku, Pak. Semoga bermanfaat untuk bapak,” kuberi tahu apa isi paper bag tersebut, meskipun kutahu dia sudah melihat sendiri, saat mengintip tadi.
“Terima kasih.”
Hanya itu yang dia ucapkan sambil membetulkan letak kacamatanya. Tanpa ekspresi atau tanpa basa-basi, apalagi senyum. Mungkin waktu jatah pembagian ekspresi wajah dulu, pak Hara dapat antrian paling belakang. Belum sempat sampai di antriannya, dia sudah lahir ke dunia, jadi tidak dapat jatah pembagian ekspresi wajah. Oleh sebab itu mungkin dia jadi hanya punya satu ekspresi wajah yaitu datar, tidak ada yang lain. Atau mungkin dia telah melakukan operasi plastik. Menyebabkan kulit wajahnya terlalu kaku untuk berekspresi.
Aku masih berdiri, melihat punggungnya sampai menghilang di balik pintu ruang kerja kak Reyfan. Kubayangkan orang-orang yang ada disekitar pak Hara pasti bosan, karena dia tidak punya eskpresi wajah lain selain datar. Kutebak pasti pak Hara tidak punya pacar. Ah! Jangankan pacar, mungkin teman saja dia tidak punya.
“Dek!” Kak Aneesha memanggilku. Hampir saja aku terlonjak kaget, sebab aku sedang asyik melamun.
“Apa yang kau lakukan disana?”
Aku tersenyum, lalu berjalan mendekati kakakku. Menghempaskan pan-tatku ke atas sofa, disamping kakakku. Aku tersenyum padanya sebelum menjawab, “ehm …,”
Belum sempat aku menjawab pertanyaan kak Aneesha, dia sudah mengutarakan pertanyaan kedua.
“Apa yang kamu berikan pada Hara?”
“Buku, kak. Ehm … biar pak Hara punya ekspresi wajah lain, tidak hanya datar saja.” Kuakhiri kalimat dengan tertawa kecil. Merasa lucu sebab kemungkinan besar pemberianku tidak ada artinya untuk pak Hara.
“Buku? Kenapa kasih buku ke Hara? Memangnya dia ulang tahun?” Tanya kak Aneesha yang kutangkap ada nada curiga dalam kalimatnya.
“Sebagai ucapan terima kasih saja, Kak. Kemarin, kan, pak Hara sudah nemenin aku ke toko buku. Nemenin aku ketemuan sama mas Ghufron, nungguin sampai kakak datang. Itu pekerjaan yang membosankan, lho. Jadi aku ingin kasih tanda terima kasih saja, Kak.”
“Oh! Sebenarnya memang itu termasuk pekerjaan Hara, sih. Kakak nggak mungkin biarin kamu pergi sendiri, pak agus tiba-tiba anaknya masuk rumah sakit. Jadi kakak minta Hara temenin kamu. Lagi pula dia nggak banyak kerjaan di kantor. Nganter kamu bukan pekerjaan yang sulit, kok.”
“Iya, sih, Kak. Tapi tetap saja Jenar harus kasih ucapan terima kasih padanya.”
“Baiklah! Kakak senang kamu punya rasa empaty terhadap orang lain.”
Aku tersenyum sebab kakak mengucapkan kalimat itu sambil membelai kepalaku. Kakakku ini memang selalu menjadi tempat yang nyaman untukku berbagi apapun. Kedekatan kami sejak kecil, membuat kami sudah terbiasa saling bercerita tentang apapun.
Kami melanjutkan pembicaraan yang tadi sempat terpotong. Sebelum kak Reyfan datang, kami sedang membicarakan konsep photo studio dan sekolah photografi untuk anak-anak remaja. Kakakku sedang berencana ingin membuka sekolah photografi di rumah besarnya ini.
“Jadi menurutmu targetnya anak usia berapa, ya, Dek?”
“Usia SMP-SMA mungkin, Kak. Mereka sedang dalam proses pencarian jati diri, kan? Waktu yang tepat untuk mengembangkan bakat usia segitu menurutku, Kak.”
Kak Aneesha mengangguk, lalu kulihat dia memainkan jemari diatas layar ponsel. Entah apa yang sedang kakakku lakukan. Sejenak kemudian kulihat dia tersenyum. Aku mengernyit ingin tahu kenapa kakakku tersenyum penuh arti.
“Lalu sekarang kenapa kamu tidak cerita soal Ghufron? Dari tadi kakak terus yang cerita. Kenapa kamu tidak bilang kalau dia aktivis komunitas literasi dan pengelola ‘sudut baca’, heem?”
Sudut baca adalah salah satu komunitas literasi di Jogja yang anggotanya dari berbagai penjuru Indonesia. Digawangi oleh orang-orang yang peduli dengan buku dan minat baca masyarakat. Mas Ghufron adalah salah satu pengelola komunitas tersebut. Dia juga pemilik akun instagram bernama ‘sudut toko buku’. Akun tersebut berisi ulasan tentang buku-buku karya penulis ‘indie’. Sekaligus menjual buku-buku karya anak bangsa. Agar masyarakat luas tahu, banyak penulis pemula yang karyanya bagus dan layak dibaca. Juga menumbuhkan minat baca masyarakat yang saat ini berkurang.
Aku tertawa, ternyata kakak sedang mencari tahu tentang mas Ghufron. Kulihat layar ponsel kak Aneesha menunjukkan foto seorang pria yang sedang berada ditengah acara bazar buku. Mas Ghufron memang sering terjun langsung jika ‘sudut baca’ sedang mengadakan bazar buku. Mungkin karena minat dan hobi kami sama. Yaitu membaca dan mengoleksi buku, jadi kami merasa saling cocok satu sama lain.
“Ghufron sudah lama bergabung di komunitas ini rupanya,” gumam kak Aneesha sambil menyapukan telunjuk pada layar ponsel. Dia masih mencari tahu tentang mas Ghufron rupanya.
“Hobi kalian sama, Dek. Wah! Kamu pasti senang bisa langsung nyambung kalau ngobrol sama dia?”
Aku tersenyum saat kakak melirikku. Kubiarkan kakak menyapukan jari di atas layar ponsel, menuntaskan jiwa keingintahuannya tentang mas Ghufron. Mungkin kakak ingin memastikan bahwa pria yang menyukaiku adalah orang baik.
“Ehm …,” kuinterupsi keasyikan kak Aneesha melihat layar ponsel, “menurut kakak, mas Ghufron itu bagaimana?”
“Bagaimana apanya?” Kak Aneesha menatapku sejenak melalui ekor matanya, lalu kembali menatap layar ponsel yang masih menampilkan akun instagram milik mas Ghufron.
“Ya, kesan pertama waktu kakak ngobrol sama dia kemarin. Bagaimana?”
“Kesan pertama kakak padanya?” Kuanggukkan kepala, mengiyakan pertanyaan kakakku.
“Ehm … dia berani. Jarang ada pria yang langsung terus terang ngomong suka, apalagi Ghufron ngomongnya sama kakak. Pria lain mungkin akan ngomong ke kamu dulu, tapi dia milih ngomong ke kakak dulu. Artinya Ghufron pria yang punya tanggung jawab.”
Aku tersenyum penuh kelegaan, sebab kakak sepertinya menyukai sifat mas Ghufron. Membuatku yakin untuk melangkah ke tahap selanjutnya, memberitahukan kepada ayah dan bunda tentang mas Ghufron. Walau mungkin mereka sudah tahu dari kak Aneesha.
“Tapi, Dek …,” Aku mengernyitkan dahi, menunggu kak Aneesha melanjutkan kalimatnya yang menggantung.
“Kakak boleh kasih saran sama kamu?”
“Apa, Kak?”
Kulihat kakakku tersenyum, lalu tangan kanannya terulur merangkul pundakku. Nada suara kakak melembut saat berkata, “suka boleh, tapi sewajarnya saja, cinta juga boleh, tapi jangan terlalu besar, sayang pun boleh, tapi jangan terlalu dalam. Agar jika kelak kamu terluka, tidak akan terlalu perih.”
“Kamu tahu, kan, Dek? Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, cinta yang berlebihan sudah pasti tidak baik. Kamu bisa belajar dari sejarah yang kakak alami.”
Kak Aneesha tersenyum, mengusap lengan atasku dengan lembut. Kurasakan kehangatan dalam sentuhan dan kata-katanya. Kak Aneesha benar, aku tidak boleh terlalu berlebihan dalam segala sesuatu. Termasuk rasa sukaku pada mas Ghufron.
“Ingat, ya, Dek. Kalau kita mencintai seseorang, sisakan cinta untuk diri kita sendiri. Walau bagaimanapun diri sendiri lebih berhak dicintai, sebelum mencintai orang lain.”
Begitulah kakakku, selalu menjadi the best partner of life bagiku. Aku mengangguk sambil tersenyum, meskipun aku belum tahu bisa atau tidak melakukan apa yang kakak katakan. Karena saat aku sudah suka bahkan cinta pada seseorang, akan sulit mengatur perasaanku sendiri.
Tepat saat kami selesai berbincang, pintu ruang kerja kak Reyfan terbuka. Wajah lelah kakak iparku terlihat makin keruh. Dia keluar dari ruang kerja bersama pak Hara. Seperti baru saja selesai membicarakan sesuatu yang sangat penting atau mungkin genting.
“Neesha!”
Kak Aneesha segera berdiri begitu mendengar suaminya memanggil. Kak Aneesha sempat menepuk bahuku sebelum berlalu kearah suaminya yang sudah memberi kode. Mereka berdua berjalan ke arah anak tangga. Sempat kak Aneesha menoleh kearahku sambil setengah berteriak.
“Dek! Tolong minta bibi Sri atau mbak Lia buatin kopi untuk Hara. Kakak ke atas dulu, ya?”
Aku tidak sempat menjawab, sebab kakak dan kakak iparku sudah lebih dulu
berjalan cepat menjauh dariku. Dan aku tidak punya pilihan, selain pergi ke dapur melakukan apa yang disuruh oleh kakakku. Beruntung bukan aku yang harus membuatkan kopi untuk pria tanpa ekspresi wajah itu. Pria membosankan yang tidak bisa berekspresi selain datar.
.
.
.
Bersambung....
*Hai teman-teman. Apa kabar? Semoga sehat selalu.
Alhamdulillah, akhirnya bisa up juga setelah melalui perjuangan panjang. (gak usah lebay, deh thor)😁
*Eh, tapi bener. Kalau kemarin-kemarin nulis 1 part hanya butuh 4-5 jam. Sekarang butuh seminggu, karena sedang punya mainan baru. Alhamdulillah.
Semoga kalian masih berkenan menunggu lanjutan cerita ini yang ... ah, ya sudahlah aku terima kalau kalian mau protes😁🙏*.
Cuma mau kasih tau, bab selanjutnya akan tayang sebulan lagi😍😍
Sambil nunggu banyak yang baca dulu, promoin dulu. Makin banyak yang baca, makin semangat aku lanjutinnya😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Niè
aku baru nģgeh thor....yg ngasih hadiah kereennnn..vote juga kereeenn...yg like kalah sama yg ngasih hadiah sama vote...
ceritanya keereeeeennn bangett....semangat...
2023-05-18
0
Parti
Saling cocok juga belum tentu jodoh..karna berjodoh itu beda.😌
2022-05-31
0
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
kasian atu k, mas Hara dibilangin enggak kebagian ekspresi wajah, padahal kan ganteng, he-he-he 🤣🤣🤭
Jenar juga neh, jangan asbun yee
hati-hati dengan ucapan mu Jen, siapa tau jadi pindah haluan, hayoo loo
2022-01-22
0