Merapah Asa, Menjemput Hidayah
Jika orang-orang yang tahu namaku, mengiraku gemar mendaki, itu salah. Karena aku sama sekali tidak menyukai segala hal yang berhubungan dengan aktivitas fisik. Apalagi yang membuat lelah dan berbau tantangan.
Rinjani Jenar Adhitama. Itulah namanku. Diambil dari nama gunung yang terletak di Lombok, Nusa tenggara barat. Salah satu gunung dengan medan yang berat dan sulit ditaklukkan. Banyak pendaki yang tersesat, bahkan tidak kembali lagi pada saat mendaki gunung Rinjani.
Teman-teman dan keluarga memanggilku Jenar, artinya pejuang gigih tak kenal menyerah. Penuh semangat, energik dan punya motivasi yang tinggi untuk meraih apapun yang diinginkan. Tapi sepertinya nama Jenar tidak pantas kusandang, karena aku bukan tipe orang yang energik dan penuh motivasi.
Bukan tanpa alasan, ayah memberiku nama Rinjani. Menurut cerita, ayah dan bunda menikah dalam keadaan yang tidak biasa. Setelah ayah pulang dari mendaki gunung Rinjani, baru ayah bisa menyentuh bunda. Lalu aku lahir, sebagai anak kedua ayah dan bunda.
Kalian pasti bingung, kan? Kok, bisa aku anak kedua, padahal orang tuaku baru bersentuhan setelah lama menikah. Itu karena bunda sudah memiliki anak sebelum menikah dengan ayah. Kakakku, yang sangat disayangi oleh ayah dan bunda. Kakakku yang juga sangat menyayangiku dan kusayangi
Ayahku dulu memang seorang pendaki. Tak terhitung gunung yang sudah ditaklukkan oleh ayahku waktu beliau masih muda. Bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di luar negeri. Oleh karena itulah, aku dan adikku diberi nama yang diambil dari nama gunung yang telah berhasil ayah taklukkan.
Tapi sebelum aku lahir, ayah sudah pensiun mendaki. Sebuah kecelakaan memaksa ayah berhenti melakukan aktivitas fisik yang berat seperti mendaki. Padahal mendaki dan fotografi adalah jiwa ayah, apa boleh buat ayah harus kehilangan separuh jiwa demi kesehatannya.
Diantara ketiga anak ayah, hanya aku yang tidak suka mendaki. Padahal ayah sering bercerita tentang indahnya pemandangan puncak gunung dan asyiknya menyusuri jalan setapak untuk sampai ke puncak. Aku pun tidak tahu, mengapa aku tidak suka segala macam aktivitas fisik. Nilai olahragaku selalu mepet dari standart kelas. Sebab aku memang tidak menyukai pelajaran yang melelahkan itu.
Beda dengan kakak dan adikku yang penuh semangat dan energik, aku dilahirkan sebagai anak tengah yang plegmatis. Nyaris tidak punya motivasi hidup, motoku adalah jalani saja apa yang ada. Untuk apa menggapai yang belum tentu bisa digapai. Pikirkan saja yang ada di depan mata!
Ironis, disaat semua orang berlomba menggapai tujuan hidup, aku masih santai menjalani apa yang ada. Buat apa buru-buru, toh, tidak ada yang mengejar. Ya, itulah aku. Gadis plegmatis yang ingin menikmati hidup tanpa tuntutan. Hampir tidak punya tujuan hidup saja. Padahal di sekolah, aku termasuk salah satu siswa berprestasi.
Dulu, waktu kecil, jika ditanya cita-citaku apa, aku hanya menggeleng dan berkata, “aku tidak ingin menjadi apa-apa.”
Padahal kakak dan adikku sudah menyusun peta hidup sejak mereka masih remaja. Ah, rasanya hidupku memang datar saja, tidak seasyik kehidupan kakakku. Kehidupan kakakku cukup rumit, seperti sinetron yang tidak akan habis jumlah episodenya.
Walau demikian, aku punya satu keinginan yang tidak pernah kuucapkan. Sebagai seorang gadis yang pernah menjadi santri, mondok di pesantren selama tiga tahun waktu duduk di bangku tsanawiyah (setara SMP). Tentu aku punya keinginan klasik yaitu menikah dengan laki-laki soleh yang bisa membimbingku ke surgaNya.
Sebab jodoh, menurutku adalah cermin diri kita sendiri. Jika kita baik, maka kita pun akan dipertemukan dengan jodoh yang baik, begitu pula sebaliknya. Jadi jika aku ingin mendapat jodoh yang baik, aku harus memantaskan diri dulu menjadi baik.
Tapi bagaimana jika suatu hari, aku justeru jatuh cinta pada seseorang yang diluar nalarku. Seseorang yang tidak sejalan dan sepemikiran denganku, bahkan keyakinan kami pun berbeda. Haruskah aku menyerah? Atau terus memperjuangkan cinta kami, meski taruhannya adalah ridlo dari ayahku sendiri.
***
Flashback
Udara terasa panas, meskipun pagi hari baru saja menjelang. Peluh menetes dari dahi, membasahi jilbab yang membingkai wajahku. Kudorong motor dengan perasaan kalut dan khawatir.
“Pasti telat sampai sekolah,” rutukku dalam hati.
Entah mimpi apa aku semalam, hingga kesialan menghampiriku pagi ini. Ban motorku bocor, padahal jarak sekolahku masih jauh. Dan aku juga tidak tahu letak tambal ban terdekat. Motor tetap kudorong, entah sampai dimana, dalam hati aku berdo’a semoga ada teman atau siapa saja yang menolongku.
“Ah! Harusnya aku tadi telepon Pak Salim. Mengapa tidak terpikir dari tadi.” rutukku dalam hati lagi.
Aku berhenti mendorong motor, menyetandarkannya, lalu merogoh ponsel dari dalam tas. Hendak mendial nomor sopir keluargaku. Tapi rupanya pagi ini keberuntungan sedang tidak berpihak padaku. Sebab nomor pak Salim tidak bisa dihubungi. Lalu siapa yang akan kumintai tolong? Bunda? Ayah? Pada jam seperti ini mereka pasti sedang sibuk, tidak akan sempat memegang ponsel.
Ah! Aku mulai frustasi. Kulirik jam pada ponsel. 15 menit lagi, aku harus sampai di sekolah, kalau tidak mau dihukum lari keliling lapangan 10 kali. Bisa saja aku order taxi online tapi masa iya motor mau kutinggal begitu saja di pinggir jalan seperti ini? Aduh bagaimana ini?
Aku merutuki diriku sendiri, atas nasib sial yang menghampiri. Berkali-kali membuang napas asal, menendang udara kesal. Lalu lalang kendaraan tak kupedulikan, perasaanku sudah sangat gusar. Membayangkan akan dihukum lari keliling lapangan, membuatku makin kesal.
Aku tak tahu ada sebuah mobil MPV hitam yang menepi lalu berhenti tepat di depan motorku. Aku pun tidak tahu kalau pengemudi mobil tersebut keluar dan menghampiriku.
Seorang pria, mungkin usianya beberapa tahun diatas kakakku. Tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku sembari pandangannya menelisik, “motormu kenapa? Apa kamu tidak tahu? Bahaya seorang gadis sendirian di pinggir jalan ramai seperti ini?”
Aku mendongak, menatap pria yang tidak kukenal, tapi sudah berani menceramahiku. Memangnya siapa dia? Ayah bukan, kakak bukan, saudara bukan bahkan sekedar teman pun bukan. Berani-beraninya baru ketemu sudah ceramah.
“Hei! Kau bisu, ya? Atau telingamu tidak bisa dengar, karena tertutup jilbab?”
Sepertinya aku telah melakukan sebuah dosa, sehingga pagi ini kesialan datang bertubi-tubi. Kuberanikan diri menatap tepat di matanya. Dengan nada ketus kujawab, “anda siapa, ya? Apa anda mengenal saya?”
“Ban motormu bocor?” Kulihat pria itu membungkuk, meneliti ban belakang motorku yang kempes.
“Sekolah dimana?” Tanyanya.
Belum sempat kujawab, dia sudah menarik lengan kemeja putihku bagian kanan atas. Membaca badge nama sekolahku. Lalu dia menghempaskannya begitu saja. Benar-benar pria dewasa yang kurang ajar menurutku.
Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, lalu melirikku sembari berkata, “Dari sini sampai sekolahmu cukup 10 menit, bisa ngejar kalau ngebut. Tapi kalau jalan kaki mungkin bisa sampai setengah jam. Ayo kuantar!”
Dia melenggang begitu saja, tanpa menunggu jawaban dariku. Aku bergeming. Bukan tipeku percaya begitu saja pada orang asing, apalagi seorang pria.
Bagiku, seorang pria asing adalah seseorang yang perlu diwaspadai dan dicurigai. Seperti kata bunda, seorang pria pasti punya sejuta tipu muslihat dan kepiawaian merayu mangsa. Jangan pernah lengah! Karena bisa saja kamu terjatuh dan dimangsa oleh buaya darat.
“Apa yang kau tunggu? Atau kau mau ditangkap satpol pp karena disangka bolos sekolah?”
Kalimat yang diucapkan oleh pria berambut mandarin itu membuatku tergagap. Dia benar, sekarang satpol pp sering merazia siswa yang berkeliaran di jalan pada jam masuk sekolah. Tentu saja aku tidak mau ditangkap dan membuat bunda sedih.
Aku masih berpikir, ketika pria itu berjalan kembali ke arahku dan dengan sembarangan menarik tanganku. Aku berusaha menepis tangan besarnya, tapi genggamannya begitu kuat. Tidak dipungkiri ada rasa takut dalam hati, aku berpikir pria itu bermaksud jahat padaku.
“Masuklah! Jangan khawatir, nanti kupanggil tukang tambal ban. Walaupun aku tidak terlalu kenal daerah sini, tapi aku tahu tidak ada tukang tambal ban sepanjang jalan ini.” Ucapnya sembari membuka pintu mobil bagian kiri.
Aku menarik tanganku yang masih berada dalam genggamannya. Merasa tidak nyaman karena memang aku sangat menghindari bersentuhan dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki, kecuali keluargaku.
“Eh! Bisa tidak bapak lepaskan tangan bapak?” Kuberanikan berucap meski terdengar lirih karena aku menahan rasa takut, “maaf! Tapi saya gadis muslim yang tidak terbiasa bersentuhan dengan laki-laki bukan mahrom.”
Ia melepas genggaman tanganku, seketika tanganku luruh kembali kesamping tubuhku. Kuperhatikan ia mengusap tengkuk, salah tingkah. Aneh! Mengapa dia salah tingkah? Apa dia tidak sadar menarik tanganku tadi? Apa dia juga tipe orang yang tidak terbiasa bersentuhan dengan lawan jenis? Entahlah.
Sejenak aku berpikir untuk menerima tawarannya, walau kekhawatiran belum sepenuhnya sirna. Aku harus waspada, harus berjaga-jaga. Ingat kata bunda, semua laki-laki bisa menjadi apa saja, jika berhadapan dengan perempuan.
“Ayo masuk!” Sentaknya dengan nada ketus dan ekspresi wajah yang datar. Kalimat yang diucapkan selanjutnya membuatku sedikit percaya, “aku ingin membantumu, hanya karena ingin berbuat baik saja. Jadi jangan ge er. Aku tidak bermaksud jahat padamu.”
Aku tersenyum kecut. Pria dewasa ini ternyata bisa membaca isi pikiranku. “Saya tidak ge er, hanya ingin waspada saja. Siapa yang tahu kalau bapak tidak punya niat buruk terhadap saya?”
“Ck!” pria itu mencebik. Lalu membanting pintu mobil dengan kasar, “ya sudah kalau tidak mau dibantu.” lalu ia berjalan mengitari mobil.
Aku langsung panik, segera kucegah dia yang sudah membuka pintu bagian kemudi, “tunggu, Pak!”
Kulihat dia menatapku, segera kutundukkan pandangan seperti yang diajarkan waktu aku belajar di pesantren dulu. Pandangan pertama adalah nikmat, pandangan selanjutnya bisa jadi sebuah musibah.
“Bolehkah saya ikut anda, tapi saya duduk di kursi belakang?”
Kulirik pria itu mengernyit, ekspresi wajahnya tetap datar. Entah terbuat dari apa kulit wajahnya itu. Sehingga ia tidak punya ekspresi lain selain datar dan ketus.
“Masuklah! Kita tidak punya banyak waktu.”
Hanya itu yang dia ucapkan, lalu masuk ke dalam mobil. Aku pun membuka pintu belakang, dan masuk. Ia memperingatkanku untuk memakai sabuk pengaman, sebab ia akan mengebut agar aku tidak terlambat sampai di sekolah.
Ya Alloh! Mimpi apa aku semalam? Sehingga bisa semobil dengan pria asing yang tidak punya ekspresi wajah ini.
Sepanjang perjalanan kami lewati dalam diam. Aku terus menunduk, sesekali mengecek penunjuk waktu pada ponsel. Sebab aku tidak terbiasa memakai jam tangan. Pria itu juga diam, konsentrasi menyetir dengan kecepatan penuh.
Aku sampai di sekolah, tepat sebelum pak satpam hendak menutup pintu gerbang. Aku segera keluar dari mobil setelah mengucapkan terima kasih kepada pria berekspresi wajah datar. Kudengar dia berteriak, dengan setengah badan keluar dari jendela mobil, “hei, gadis! Siapa namamu?”
Tanpa berpikir panjang, kuteriakan nama panggilan guru-guruku di sekolah, “Rinjani!” lalu aku berlari masuk bersama puluhan siswa lain, mengabaikan wajah keruh pak satpam.
“Jenar!” Suara bariton itu membuatku menoleh tanpa menghentikan langkah. Pemilik suara berlari mengejarku, seperti biasa ia sok akrab dan sok perhatian. Sepertinya kesialan belum juga hilang dari diriku. Masih setia datang dalam bentuk yang lain.
“Tumben telat?” sapa pria jangkung yang tiba-tiba sudah berada di sebelahku.
“Ban motorku bocor, tadi. Untung ada orang baik nolongin” Jawabku singkat dan ketus. Hanya karena tidak ingin membuatnya marah yang akan berdampak pada semua temanku nantinya.
“Oh! Kenapa tadi tidak telpon? Kan, bisa kujemput.”
“Nggak perlu repot, Kak. Jenar bisa berangkat sendiri, kok.”
“Lain kali kalau kamu butuh bantuan, panggil aku saja, ya! Aku akan selalu ada untukmu!” pria itu mengusap jilbab pada ujung kepalaku sekilas. Lalu berlari, berbelok ke kanan saat kami sampai di persimpangan koridor. Letak kelas kami memang berbeda koridor.
Sejenak aku berhenti, diam menatap punggung jangkung yang kian menjauh itu. Menghembuskan napas berat sembari menggelengkan kepala. Beberapa hari ini aku merasakan perhatian lebih dari kakak kelas itu.
Namanya Varen Danudirja. Dia adalah ketua OSIS sekaligus putra pemilik yayasan sekolah ini. Teman-temanku bilang dia ganteng, idaman semua gadis. Memang benar, Kak Varen punya pesona tersendiri. Tapi tingkahnya yang sering menyentuhku sembarangan membuatku tidak respect. Aku kesal setiap kali ia menyentuhku tanpa ijin, walau hanya sekedar merangkul atau mengusap jilbab. Bagiku, tubuhku sangat berharga untuk sembarangan disentuh orang lain, kecuali keluarga.
Dan sekeren apapun kak Varen, sekaya dan seganteng apapun dia, tetap saja dia bukan tipe pria impianku. Sebab pria yang kuimpikan untuk menjadi suamiku adalah pria soleh yang tidak sembarangan menyentuh perempuan. Bagaimanapun teman-teman satu sekolah mengaguminya, tetap saja hatiku tidak bergetar tiap kali ia mendekatiku. Karena aku adalah Rinjani, gunung yang sulit ditaklukkan. Sekeras itulah hatiku pada laki-laki yang mendekatiku. Memasang pagar tinggi sebagai tameng, agar tak sembarangan pria bisa merayuku.
Aku mengembalikan kesadaran, segera berlari menyusuri koridor, menuju ke kelasku. Aku tidak ingin keduluan masuk ke dalam kelas oleh guru, sehingga nanti aku akan dihukum menyanyi di depan kelas.
Urusan motor biar kupikirkan nanti. Lagi pula, pria yang tidak kutahu namanya itu berjanji akan mengantarkan motorku ke sekolah. Tapi bagaimana kalau dia berbohong? Bagaimana kalau ternyata dia sindikat pencurian motor? Ah! Masa bodoh! Yang penting aku tidak terlambat masuk ke kelas.
Peristiwa pagi itu sudah kulupakan sejak lama. Urusanku dengan pria dewasa berambut mandarin itu, kukira sudah selesai waktu pak satpam memberiku kunci motor, pertanda pria itu menepati janjinya. Mana ku tahu, ternyata berganti tahun, justru aku sering bertemu dengan pria berwajah datar itu. Dalam situasi dan kondisi yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Situasi rumit yang membuatku berpikir tentang tujuan hidup dan cita-cita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
bunda takul julyan
pertemuan pertama Jenar dan papan tulis (hara).
2023-03-03
1
Afrilho
Emmm cukup menarik untul permulaan suka dengan karakter Rinjani..
2023-02-13
1
Irdhi Aminuddin
jenar ....
mari kita mulai kisahmu
adek yg suka ngompolin kasus kk neesha
hihihihi
2023-01-04
1