...Bagaimana aku bisa mendo'akanmu, sedangkan Tuhan yang kita sembah berbeda?...
Hara.
Aku bukan seorang pria romantis yang biasa memberikan rayuan dengan berbagai puisi manis kepada para wanita. Aku bahkan tidak punya pengalaman menaklukkan hati wanita. Aku juga belum pernah memperjuangkan seorang wanita, sebab banyak wanita datang dengan suka rela padaku, sebelum aku memintanya.
Aku bukan pria romantis yang terbiasa memberi hadiah atau bucket bunga kepada wanita. Sebaliknya, aku adalah pria yang terkesan dingin dan cuek terhadap wanita. Dibanding Hamzah dan Reyfan, hanya aku yang tidak pernah punya cerita dengan makhluk berjenis kelamin wanita.
Tapi melihat binar bahagia Reyfan saat tahu istrinya hamil, jelas membuatku iri. Reyfan begitu bahagia, rona wajahnya terpancar melebihi saat dia berhasil memenangkan sebuah tender besar. Tak bisa kubayangkan jika nanti anak mereka lahir, Reyfan pasti sangat bahagia lebih dari ini.
Sebahagia itukah menikah dan punya anak? Bukankah menikah hanya akan menjadi beban? Seperti Reyfan dan Hamzah yang sekarang jarang bisa keluar clubing atau sekedar pergi ke tempat karaoke seperti yang biasa mereka lakukan dulu.
Karena pernikahan, mereka jadi berubah. Jangankan untuk pergi ke tempat hiburan malam, hanya untuk merokok saja mereka harus hati-hati. Praktis, hidup mereka menjadi terbatas setelah menikah. Karena itulah, aku jadi tidak punya pikiran untuk menikah, hanya akan menambah rumit kehidupan saja. Berjuang dan berkorban demi orang lain, seperti sebuah omong kosong bukan?
Membuat pikiranku melayang jauh, mengingat mama dan papa yang telah tiada. Aku memandangi langit-langit kamar, membayangkan wajah mama dan papa yang tersenyum padaku. Apa kabar mereka? Bahagiakan mereka di surga sana? Apakah dulu mereka juga saling berjuang dan berkorban agar bisa hidup bersama.
Aku teringat beberapa bulan yang lalu, saat mengantar Reyfan ke Magelang untuk menemui keluarga Aneesha. Reyfan memintaku ke kota, karena sinyal di rumah Mbah Uti jelek. Sedangkan aku harus mengirim beberapa email penting terkait pekerjaan.
Aku sangat hafal jalan di daerah tempat tinggal mbah uti, karena dekat dengan asrama tempatku sekolah dulu. Saat itu, aku sempat mampir ke asrama, menemui pastor dan berbincang sebentar. Sebelum aku melaju ke kota hanya untuk mendapatkan sinyal.
Aku memilih sebuah rumah makan untuk singgah, untuk mengurus pekerjaanku juga sekalian mengisi perut. Tak disangka di rumah makan itu, aku melihat seseorang yang seperti ku kenal. Meski sekilas, tapi membuat rasa keingintahuanku muncul tidak bisa ditahan.
Aku mengemasi barang-barang, dan segera membayar makananku. Entah kekuatan apa yang membuatku mengikuti mobil pickup yang baru saja mengantar sayuran ke rumah makan tempatku singgah tadi. Aku mengikutinya, sampai mobil itu melewati perbatasan kota Magelang-Jogja. Lalu berbelok ke gang kecil, melewati sebuah sekolah dasar negeri dan masjid yang besar yang terletak di dalam komplek sebuah pondok pesantren. Lalu berhenti setelah berbelok ke gang yang hanya muat untuk lewat satu mobil saja.
Mobil kuhentikan tepat di belakang mobil itu, menunggu sampai pengemudi mobil turun. Kuamati dengan seksama, siapa di dalam mobil tersebut. Dan ternyata penglihtanku tidak salah.
Seorang pria dan wanita keluar dari mobil. Dengan tatapan penuh selidik keduanya melihat ke arah mobilku. Aku masih bergeming, memandang sekeliling. Pandanganku berhenti pada sebuah rumah yang terletak di samping mobil. Rumah itu masih kecil, hanya sekarang papan kayu sudah berganti dinding dan ada taman kecil di depannya.
Setelah menimbang beberapa saat, aku keluar dari mobil. Sepasang pria dan wanita itu menatapku tajam, lalu saling berpandangan penasaran. Mungkin sedang saling bertanya melalui kode pandangan.
Aku tersenyum seraya mendekat. Kuulurkan tangan kepada si wanita berpakaian syar’i dengan jilbab panjang sampai ke lututnya, “Mbak Nabila? Apa kabar, Mbak? Lama sekali kita tidak bertemu.”
Wanita itu mengernyit, ragu untuk menyambut uluran tanganku. Lalu kuperkenalkan diriku, mungkin dia lupa karena sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu.
“Mbak pasti tidak mengenali saya. Saya Hara, Mbak.”
Dahi mbak nabila mengernyit dalam, seperti sedang memastikan sesuatu. “Hara?” ucapnya memastikan. Aku mengangguk. Lalu mbak nabila segera menerima uluran tanganku dengan senyum mengembang.
“Ya Alloh, Hara! Kamu kemana saja? Tidak ada kabar, tidak ada berita. Tahu-tahu kamu sudah sekeren ini.”
Mbak nabila memindai penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Membuatku tersenyum kikuk sebab dasi masih tersemat di krah kemeja putihku. Sedangkan pria disebelah mbak nabila menatapku tajam, ada ketidak sukaan yang kutangkap dari pancaran matanya.
“Maafkan saya tidak sempat berpamitan sejak lulus asrama dulu.” Ucapku hati-hati dam menyiratkan sesal. Sebab sejak lulus asrama aku memang tidak pernah mengunjungi mereka. Padahal dulu keluarga ini sangat intens mengunjungiku selama aku di asrama.
Aku hendak menyalami pria di sebelah mbak Nabila, tapi urung karena dia terlihat tidak bersahabat. Aku tidak tahu siapa pria itu, hingga mbak Nabila memperkenalkan kami.
“Mas!” Mbak Nabila menarik lengan pria disebelahnya. Kemudian melanjutkan bicara, “ini Hara, yng pernah bapak ceritakan. Dia … adikku.”
Aku tersenyum mendengar cara mbak nabila memperkenalkan kami. Kuulurkan tangan walau ragu, wajah pria itu berangsur mencair dan tersenyum padaku.
“Hara! Ini Mas Akmal, suami mbak.”
Aku tersenyum membalas senyum mas Akmal, “apa kabar, Mas?”
Mbak Nabila mengajakku masuk ke dalam rumah. Seperti bertahun-tahun yang lalu, aku duduk di ruang tamu rumah tersebut dalam diam. Hanya bedanya, kini sudah ada satu set meja dan kursi di ruang tamu kecil tersebut. Sebuah aquarium yang berisi ikan guppy, juga televisi layar datar yang menempel pada dinding. Secara keseluruhan rumah ini tidak banyak berubah, hanya penataan ruangan yang lebih rapi terkesan indah dan terawat.
“Silakan diminum tehnya!” Mbak Nabila mengangsurkan secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas untukku. Juga untuk dua pria yang duduk bersamaku.
“Jadi sekarang kamu tinggal dimana, Hara?” Pria paruh baya yang tak lain adalah bapak dari mbak Nabila bertanya padaku.
“Saya tinggal di Jakarta, di rumah peninggalan papa, Pak.” Jawabku menerangkan.
“Ehm … saya tidak melihat mbak Nadia, kemana dia?” Tanyaku karena penasaran dengan saudara kembar mbak Nabila.
“Jadi begini, Hara. Nadia tinggal bersama suaminya di Jepara. Aku tetap disini untuk merawat bapak.” Jelas mbak Nabila.
Sepanjang hari itu kuhabiskan dengan berbincang berbagai hal bersama keluarga mbak Nabila. Seperti bertahun-tahun yang lalu saat aku datang ke tempat itu bersama mama, sambutan mereka sangat hangat. Padahal bisa dibilang aku ini adalah perebut mama dari mereka. Tapi mereka sama sekali tidak mempermasalahkan dan tidak menyimpan dendam. Tetap mau menganggapku sebagai saudara mereka.
Siang itu aku bertanya tentang keberadaan makam mama pada mbak Nabila. Makam yang sama sekali belum pernah kulihat, belum pernah kukunjungi. Padahal hampir setiap minggu, aku berziarah ke makam papa.
“Maafkan kami, Hara. Kami terpaksa memisahkan makam ibu dengan papamu.” Ucap mbak Nabila dengan nada penuh penyesalan.
“Kami tidak ingin ibu dikuburkan tidak sesuai syari’at. Karena ibu adalah seorang muslim, meskipun ibu pernah melakukan kesalahan pada kami, tapi ibu tetap ibu kami dan kami sangat menyayanginya. Bapak, nenek dan semua keluarga ibu tidak pernah berubah kasih sayang terhadap ibu, meskipun ibu telah meninggalkan kami.”
Mendengar penuturan mbak Nabila, justru aku yang merasa sungkan. Mama meninggalkan keluarga kecil itu karena tergoda cinta papa. Dan mereka masih bersikap baik terhadapku meskipun aku ini adalah perebut ibu mereka. Indah sekali akhlak mereka, bukan?
Kami pergi berziarah ke makam mama. Sebuah tempat pemakaman umum yang terletak di ujung desa. Tempat pemakaman yang biasa, hanya gundukan tanah yang bagian pinggirnya diberi plesir. (batu alam yang dibentuk sedemikian rupa untuk melindungi tanah makam agar tidak longsor.)
Aku mengikuti Bapak, mbak Nabila dan suaminya, berjongkok di depan makam. Kubaca tulisan pada nisan, terukir nama mama, tanggal lahir dan tanggal wafat mama. Kuedarkan pandangan ke seluruh makam. Hampir sama, semua makam hanya berupa gundukan tanah tanpa kijing (batu nisan yang biasanya diletakkan diatas makam). sebagian diberi plesir, sebagian dibiarkan saja sebagai gundukkan tanah, hanya diberi bambu dan nisan kayu sebagai penanda.
Kulihat bapak memimpin do’a, sedangkan mbak Nabila dan mas Akmal menengadahkan kedua tangan, mengamini. Mereka terpekur dalam do’a, sedangkan aku hanya diam memerhatikan gundukan tanah makam bertabur bunga. Ragu untuk ikut merapalkan do’a, sebab keyakinan yang kuanut berbeda dengan mama.
Lama kami berada di makam mama. Membersihkan makam dari guguran daun randu dan rumput liar yang tumbuh di sekitar makam.
Ini pertama kalinya sejak mama meninggal, aku berziarah ke makam mama. Tapi yang membuatku masygul adalah, bagaimana aku bisa mendo’akan mama, sedangkan Tuhan yang kami sembah berbeda. Apakah akan sampai jika aku mendo’akan mama dengan keyakinan yang kuanut? Apakah disana, mama juga bisa mendo’akanku?
Sepulang dari makam mama waktu itu, aku menjadi ragu dengan keyakinanku sendiri. Keyakinan yang sudah kuanut sejak kecil, agama yang kuyakini sejak kecil.
Aku masih memandangi langit-langit kamar, sampai tak sadar kantuk menghampiri. Aku tidak ingat kapan aku terlelap. Aku bangun karena merasa ada sosok yang berdiri disamping ranjangku. Membuatku terperanjat, hampir melompat dari tempat tidur.
“Mama?” sosok itu tersenyum, tanpa mengatakan apapun. Kulihat wajah pucat mama, namun sejurus kemudian aku tertegun. Sebab mama mengenakan pakaian yang sangat bagus, bersih dan rapi. Persis ketika mama masih hidup.
Mama masih tersenyum padaku, pandangan mata mama nanar menatapku. Entah apa yang ingin dikatakan mama padaku, isyarat apa yang diberikan mama padaku, aku tidak tahu.
Kupanggil nama mama berulang-ulang, namun mama bergeming. Bayangan itu perlahan menjauh, hingga sayup-sayup kudengar suara lain yang menggema memanggil namaku.
Aku berteriak memanggil mama, tidak rela dia meninggalkanku lagi tanpa berkata apapun. Namun bayangan mama malah makin menjauh, hilang, bahkan tanganku tak kuasa menjangkaunya.
“MAMA!” Aku berteriak. Kurasakan sebuah tangan mengguncang bahuku hingga ragaku seperti tertarik dan aku pun terbangun dari lelap.
Kudapati mbok Jum menatapku dengan panik sambil mengguncang bahuku, “Mas Hara mimpi buruk, ya?” tanya mbok Jum kepadaku. Dia adalah asisten rumah tangga yang telah mengurusku sejak kecil sampai kini. Kasih sayang seorang ibu yang tidak kudapatkan sejak mama meninggal, kurasakan dari mbok Jum.
“Mbok, kan, sudah bilang jangan tidur sore-sore! Bikin pusing pas bangunnya. Ini malah mimpi buruk segala, kan?” beginilah mbok Jum, bisa menceramahiku seperti ibuku saja.
“Bangun, Mas Hara! Mandi, sana! Tuh, sudah ditunggu sama non Cecilia didepan!”
Ah! Ucapan mbok Jum membuatku malas bangun saja. Cecilia selalu mengganggu akhir pekanku yang damai. Membuatku malas menemui sepupuku itu. Sekarang saja dia dan mamanya mendekatiku, dulu saja tante Lidya tidak mau mengurusku yang yatim piatu. Sepertinya setelah ini aku harus tegas terhadap cecilia dan mamanya agar mereka berhenti menggangguku.
“Mas Hara!” Mbok Jum kembali mengguncang bahuku. Membuatku menoleh kearahnya dengan tatapan datar.
“Kalau tidak segera mandi, non Cecilia bisa menghancurkan rumah ini dengan suaranya, loh.”
Peringatan mbok Jum membuatku sadar. Mbok Jum benar, Cecilia dan mamanya selalu punya cara untuk membuatku menuruti semua keinginan mereka. Sepertinya aku ditakdirkan untuk menjadi pelayan yang melayani semua orang.
Tidak hanya pak Reza dan Reyfan saja, ternyata aku juga tidak bisa menolak setiap keinginan tanteku dan putrinya itu. Padahal kalau aku mau, aku bisa saja bersikap acuh pada mereka. Toh, tante Lidya juga acuh padaku waktu kecil dulu.
Tapi naluriku tidak bisa berbuat demikian. Sebab tante Lidya tetap saja adik papa, satu-satunya keluarga dari pihak papa yang kupunya. Aku tidak kuasa menolak keinginannya karena kurasa itu akan menyakiti papa juga.
Kupaksakan diri untuk bangun, walau malas. Sempat aku berkata kepada mbok Jum, sebelum kusambar handuk dan masuk ke kamar mandi.
“Mbok, jangan katakan pada tante Lidya atau Cecilia, kalau aku sudah berhasil bertemu dengan keluarga mama di Jogja. Jangan sampai mereka tahu, ya!”
“Beres!” Mbok Jum mengangkat dua ibu jari sambil tersenyum.
Bisa kudengar teriakan Cecilila dari luar kamar, “Kak Hara! Cepetan keburu malam, nih!”
Kulihat mbok Jum menghembuskan napas berat sambil menggelengkan kepala. Mbok Jum adalah orang yang paling tahu tentangku. Hubunganku dengan tante Lidya dan Cecilia pun hanya mbok Jum yang tahu. Kedua temanku, Hamzah dan Reyfan tidak ada yang tahu. Juga tentang pertemuanku dengan mbak Nabila, hanya mbok Jum yang tahu.
Aku tidak bermaksud menyembunyikan apapun dari kedua sahabatku, hanya mereka kini sudah punya keluarga sendiri. Sangat tidak bijak jika mengganggu mereka dengan persoalanku sendiri. Biarlah aku mengurus masalahku sendiri, tanpa mereka tahu.
.
.
.
Bersambung....
Hai! Apa kabar kalian? semoga selalu dalam lindungan Alloh, ya. Aku mau ngucapin terima kasih untuk yang sudah merelakan vote nya untuk Jenar hehe. Terima kasih juga untuk yang tidak bosan-bosannya promoin karyaku ini, semoga kebaikan dibalas oleh kebaikan juga. Saya minta maaf jika cerita ini masih belum bisa up rutin, masih random dan tidak sesuai ekspectasi. Semua karena keterbatasan saya, hehe.
Salam sayang,
Desi Desma (La Lu Na)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Lheea Amelia
hara mulai mencari jati diri dgn tidak membicarakan masalahnya pada siapapun.....
2022-07-31
0
Parti
Ternyata Hara penuh rahasia kehidupanya..ayo kita kuak bersama 🧐😁
maap nih kak..aku gak bisa komen panjang2 soale gak bisa nulis panjang kali lebar.buat para pembaca yg komen panjang lebar kalian the best 😉
2022-05-31
0
☠ᵏᵋᶜᶟ༄༅⃟𝐐𝐌ɪ𝐌ɪ🧡ɪᴍᴏᴇᴛᴛ𝐀⃝🥀
ceritanya bagus kk, semoga mas hara segera menemukan jati dirinya dan menjemput hidayah dari Yang Maha membolak-balikkan hati manusia,🤲🤲🤲
2022-01-22
0