🌸Pada setiap senyum yang tampak, kadang ada luka yang tersimpan rapat.🌸
Jenar.
Beberapa jam yang lalu rumah ini sangat ramai, banyak orang dan jamuan. Penuh suara riuh orang bercakap-cakap sembari menikmati makanan. Kini sepi, meninggalkan sisa keramaian berupa karpet yang tidak rapi, asbak-asbak penuh dengan abu dan puntung rokok, toples berisi makanan ringan yang berantakan tak tertata. Beberapa sampah, banyak piring dan gelas kotor, juga sisa makanan di meja makan.
Berbagai macam hantaran yang dihias sedemikian rupa cantiknya memenuhi meja, sebagian ada yang diletakkan di kursi kayu karena tidak muat. Ada wajik, jadah, risoles, buah-buahan, berbagai macan kue, juga beberapa makanan ringan yang dibungkus plastik bertali pita warna-warni. Cantik.
Credit foto by. Instagram Tara-tara kitchen.
Credit foto by. Instagram Tara-tara kitchen.
Credit foto by. instagramTara-tara kitchen.
Credit foto by. instagram Tara-tara kitchen.
Credit foto by. instagram endra bolena.
Aku sedang membantu mbak Sayumi membereskan ruang tamu. Mengumpulkan sampah tissu dan daun pisang bekas bungkus awug-awug. Tak sengaja kakiku menyenggol asbak yang penuh berisi puntung rokok dan abu. Tumpah semua isi di dalam asbak, mengotori karpet. Kuambil sapu dengan tangan kiri, karena tangan kananku sedang membawa kantong plastik berisi sampah.
Mataku menangkap suatu benda yang tak biasa tersemat di jari manis, saat aku hendak menyapu karpet. Benda berkilauan itu menarik perhatianku, membuatku mengangkat kedua sudut bibir ke atas.
Aku meletakkan kantong plastik dan sapu lidi begitu saja di atas karpet, duduk sembari memandangi benda berkiauan. Kubuka kelima jemari, menengadahkannya mengarah ke sinar matahari. Hanya sebentar lalu kuturunkan lagi tanganku, lalu kuusap benda berkilauan itu. Satu kata yang ingin kukatakan dalam hati, cantik.
Credit foto by. the asian parent.
Sejak aku dan mas Ghufron pulang dari pendopo lawas tempo hari, kami langsung membicarakan perihal lamaran hari ini kepada kedua orang tua kami. Kami berdua mempersiapkan semuanya. Mas Ghufron hanya bertanya tentang ukuran jari manisku, dia sendiri yang bilang ingin memilihkan model cincin untukku.
Aku tidak pernah mengira akan sebagus ini pilihan mas Ghufron dan pas di jari manisku. Tidak kebesaran tidak juga terlalu ketat, pas dan aku suka. Kenapa dia selalu tahu seleraku tanpa bertanya padaku? Mas Ghufron memang selalu bisa membuatku jatuh hati.
Menggelengkan kepala, kubuyarkan angan yang hampir mengerucut, menyadarkan diriku sendiri. Tidak seharusnya aku berlebihan memikirkan mas Ghufron. Kami memang sudah bertunangan, tapi kami belum halal. Tidak elok seorang gadis membayangkan secara berlebihan pria yang belum halal.
Kuambil sapu lidi, kusapu karpet yang kotor oleh abu dan puntung rokok. Kukumpulkan bersama sampah yang lain, kumasukkan ke dalam kantong plastik. Kemudian kuulangi lagi menyapu karpet agar makin bersih.
Toples berisi makanan ringan kutata rapi, kutepikan agar tidak mengganggu langkah kakiku. Piring-piring kosong bekas hidangan kutumpuk menjadi satu, yang masih ada isinya kuletakkan di atas meja makan. Sendirian aku berusaha merapikan rumah yang baru saja selesai digunakan untuk acara.
Semua orang termasuk om Dito dan keluarganya sedang pergi untuk sowan ke rumah pak Kyai sekaligus ziarah ke makam ulama di sekitar daerah sini. Sudah menjadi agenda resmi setiap kali ayah dan bunda pulang ke Magelang. Biasanya hanya dengan pakdhe Teguh dan mas Faiz, tapi kali ini semua ikut. Kata bunda ingin meminta barokah do’a kepada pak kyai dan bu nyai agar kehamilan kak Aneesha lancar sampai persalinan.
Tadinya aku ingin ikut, tapi kata ayah aku harus menemani mbah uti di rumah. Ya, sudah. Sekalian aku membereskan kekacauan. Tidak mungkin aku berpangku tangan, sedangkan mbak Sayumi sangat sibuk.
“Nduk Jenar?” Mbah uti memanggilku dari arah belakang rumah.
Buru-buru aku menghampiri, jangan sampai mbah uti lama menunggu, “nggih, Mbah.” (Ya, Mbah.) jawabku.
Mbah uti sedang berdiri di halaman belakang, dengan kedua tangan dilipat di belakang punggung. Memandang mas Irkham yang sedang berada di atas atap pendopo. Membersihkan genteng yang dipenuhi oleh daun bambu kering. Sedangkan pak Hara di bawah, dekat mushola, membantu membersihkan ranting bambu yang berserakan.
“Gawekno wedang karo cepaki panganan kanggo cah loro kae.” (Buatkan minum dan sediakan makanan untuk dua anak itu.)
“Nggih, Mbah.” (Ya, Mbah.) Aku masuk kembali ke dalam rumah, segera kulaksanakan titah mbah uti.
Sejak semua orang pergi tadi, mbah uti meminta mas Irkham membersihkan genteng dan memangkas batang bambu yang memayungi sekitar pendopo sampai rumah utama. Khawatir jika hujan turun daun bambu yang masuk ke sela-sela genteng menyebabkan air hujan masuk dan bocor sampai ke dalam rumah.
Batang bambu yang memayungi atas rumah harus dipangkas, takutnya sewaktuu-waktu bisa patah dan menimpa atap rumah. Kerusakan tidak bisa dihindarkan kalau sudah demikian. Aku heran sama kak Aneesha, bisa-bisanya membiarkan rumpun bambu tumbuh di sekitar rumahnya.
Katanya, sih, agar bisa dimanfaatkan oleh orang sekitar. Biasanya di daerah sini, kalau ada orang meninggal dari pada membeli papan kayu, lebih baik memakai bambu untuk menutup liang lahat.
Jadi kak Aneesha sengaja membiarkan rumpun bambu tetap tumbuh agar orang-orang sekitar tidak kesulitan mencari bambu kalau ada orang meninggal. Sangat membantu karena mereka bisa mengambilnya secara cuma-cuma.
Aku baru saja akan menuang gula pasir ke dalam gelas yang sudah berisi bubuk kopi, saat mas Irkham tergopoh-gopoh lari masuk ke dapur. Serampangan membuka rak kitchen set seperti sedang mencari sesuatu.
“Ono obat merah ro perban ora, Mbak?” (Ada obat merah dan perban tidak, Mbak?) Tanya mas Irkham pada mbak Sayumi yang sedang menata piring habis dicuci.
“Ora duwe, arep gawe opo?” (Tidak punya, mau buat apa?)
“Siapa yang luka, Mas?” Tanyaku penasaran.
“Mas Hara tangane keno carang.” (Mas Hara tangannya kena ranting bambu.) Jawab mas Irkham. Meski lirih tapi terdengar jelas oleh telingaku.
“Kok isoh?” (Kok bisa?) Mbak Sayumi berhenti mencuci piring, ia mengusapkan tangan yang basah pada celemek.
Kulihat mbah uti berjalan terseok-seok masuk lewat pintu belakang seraya berteriak, “nduk! Nduk! Deloken lengene Hara kebak getih kae!” (Lihat lengan Hara penuh darah itu!).
Kutinggalkan gelas berisi kopi bubuk begitu saja, setengah berlari aku keluar dari dapur ke halaman belakang. Kulihat pak Hara sedang duduk di tepi pendopo, menunduk memerhatikan lengan kirinya. Kuhampiri dia, tampak jelas goresan di sepanjang lengan kiri menganga berwarna merah.
“Harus cepat diobati.” Kataku menatap khawatir pada luka yang mengeluarkan darah sampai menetes ke tanah itu.
“Tidak terlalu dalam, kok, nanti juga sembuh sendiri.” Jawab pak Hara santai, seperti tidak merasakan sakit. Padahal sayatan luka itu di sepanjang lengan, dari siku hampir sampai ke pergelangan tangan.
Kupaksa pak Hara berdiri, kutarik lengannya yang tidak terluka. kuajak ke padasan yang terletak di dekat mushola, saat ini yang kupikirkan adalah luka itu harus dicuci bersih dibawah air mengalir. Agar tidak ada serpihan bambu yang tertinggal, bisa menyebabkan infeksi nantinya.
“Harus dicuci biar tidak infeksi.”
Pak Hara menurut saja saat aku menarik pelan tangannya, meletakkan di bawah padasan. Luka itu kualiri dengan air, seketika aliran air berubah menjadi merah lama kelamaan sedikit menghitam karena darah yang ikut mengalir.
Luka itu pasti sakit sekali, tapi kulihat pak Hara biasa saja. Dia bahkan tidak mengaduh atau hanya sekedar mengernyit menahan sakit. Oya, aku lupa, papan tulis seperti dia mana bisa merasakan sakit. Wajahnya saja selalu datar tanpa ekspresi.
Selama aku membersihkan luka pak Hara mbah uti dan mas Irkham memerhatikan dari dekat. Mbak Sayumi setelah melihat luka pak Hara tadi segera berlari untuk membeli obat dan perban.
Awalnya aku biasa saja saat membersihkan luka pak Hara. Sampai air yang tadinya merah pekat berubah menjadi samar-samar, aku baru merasakan sesuatu. Bisa kupastikan setelah ini tubuhku pasti bereaksi. Reaksi defensif yang kadang tidak kuinginkan tapi tidak bisa kucegah karena diluar kendaliku.
Aku menutup keran padasan, setelah kupastikan luka di tangan pak Hara bersih. Aku mencengkeram sisi padasan yang terbuat dari batu cetak, berusaha me
redam tremor yang mulai menghinggapi tanganku.
‘Tidak! Jangan sekarang! Aku harus bisa mencegahnya, tidak boleh ada yang melihatku lemah seperti ini.’
Aku berusaha keras untuk meredam tremor dengan menahan napas, tapi bayangan itu justru berkelebat di benak. Membayang, melingkupi perasaan dan pikiran. Seolah memaksaku terlempar pada masa lalu. ‘Tidak! Ya, Alloh kumohon jangan sekarang!’
Aku tidak bisa memikirkan hal lain sekarang, karena otakku dipenuhi bayang-bayang hitam yang membuatku takut. Tapi saat aku melihat luka di tangan pak Hara yang mulai mengeluarkan bulir-bulir berwarna kemerahan lagi, aku sadar bahwa luka itu harus segera ditutup untuk mencegah darah keluar makin banyak.
Sebelum tremorku makin parah, aku mencari sesuatu yang bisa untuk menutup luka itu. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih kalau sudah begini, sebentar lagi aku pasti mulai panik. Kutautkan kesepuluh jariku, berusaha meredam tremor.
Pandangan mataku menangkap kain yang melambai-lambai tertiup angin, tersampir di tali jemuran. Berjalan cepat aku mengambil kain berwarna peach itu, kulipat agar menjadi ukuran yang pas. Kuikatkan kain itu pada luka pak Hara meski dia sempat mencegahku.
“Tunggu!” aku tidak mendengar apa yang pak Hara katakan setelahnya, karena aku sedang berkonsentrasi meredam gejolak tubuhku yang makin tidak bisa kukendalikan. Telingaku samar-samar mendengar pak Hara bertanya, “kamu tidak apa-apa?”
Entah benar atau salah yang kudengar, aku menggelengkan kepala dengan keras. Selama aku mengikatkan kain pada lengan pak Hara, selama itu pula aku menahan napas. Kupikir hal itu bisa menahan apa yang tubuhku rasakan, tapi ternyata tindakanku keliru.
Kupalingkan wajah setelah selesai mengikatkan kain dan yakin luka pak Hara tidak mengeluarkan banyak darah. Berusaha menetralkan pernapasan, tapi tubuhku sudah benar-benar tidak bisa kukendalikan. Tanganku makin bergetar, desau angin yang bertiup menambah parah rasa tak nyaman.
Serampangan kucari pegangan, saat kurasakan tubuhku mulai limbung. Aku merasakan telapak tangan besar memegang kedua bahuku, lalu kepalaku menyentuh dada seseorang. Aku mendengar suara-suara memanggil namaku, sebelum penglihatanku menggelap dan aku sudah tidak bisa mengingat apa-apa lagi.
Saat aku membuka mata, aku sudah berada di kamar dikelilingi oleh mbah Uti, mbak Sayumi dan mas Irkham. Aku merasakan dahiku diusap, tangan dan kakiku dipijit dengan pijitan pelan yang menenangkan. Aroma wangi minyak kayu putih, membuatku ingin membuka mata lebih lebar.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar, Nduk?” ucap mbah Uti. Ternyata tangannya yang mengusap-usap dahiku dengan lembut. Telapak tangan keriput itu terasa kasar, tapi anehnya aku senang mbah uti mengusap dahiku.
“Mbak Jenar mau minum?” mbak Sayumi beranjak setelah aku mengangguk, tak berselang lama ia sudah kembali dengan segelas teh hangat setengah panas. Yang segera kuminum sampai tandas, sebab rasanya tenggorokanku kering sekali.
“Kowe ki ngopo, Nduk? Kok isoh semaput? Ngeleh po mumet? Masuk angin?” (Kamu itu kenapa, Nduk? Kok bisa pingsan? Lapar atau pusing? Masuk angin?)
Aku hanya tersenyum sembari menggeleng, menjawab pertanyaan mbah uti yang bernada khawatir. Kuletakkan gelas kosong di atas nakas, menarik tubuhku agar bisa bersandar pada headboard.
Aku menarik napas panjang, mengingat peristiwa sebelum aku pingsan. Menatap sekeliling kamar, berusaha mengembalikan kesadaranku dengan penuh. Mbak Sayumi dan mbah uti masih menatapku khawatir, sedangkan mas Irkham seperti biasa, hanya diam seribu bahasa. Dia memang begitu, bicara kalau perlu saja dan suaranya selalu lirih.
Di dekat pintu kulihat pak Hara berdiri, menyandarkan punggung pada dinding. Wajahnya yang selalu datar, entah mengapa kali ini kullihat sedikit berbeda. Seperti ada gurat khawatir, atau hanya perasaanku saja, entahlah.
Aku jadi ingat sebelum pingsan, aku hendak mengobati luka di lengannya. Kulihat luka itu sudah ditutup perban, dia mengobati lukanya sendirikah? Atau dibantu mas Irkham dan mbak Sayumi?
“Kamu tidak apa-apa?” Pak Hara bertanya padaku tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.
Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sebanyak dua kali. Setelah itu pak Hara beranjak hendak keluar kamar, membuatku mengingat sesuatu. Buru-buru aku memanggilnya sebelum dia menghilang di balik pintu, “pak Hara!”
Aku melanjutkan kalimat setelah dia membalikkan badan, “tolong jangan beritahu ayah bunda, juga kak Neesha.”
Tapi pak Hara justru memberi jawaban yang tidak kuinginkan sembari menunjukkan ponsel di tangannya, “aku sudah telpon Reyfan. Mereka dalam perjalanan pulang, sebentar lagi sampai.”
Aku mendesah tak percaya. Setengah mati aku menyembunyikan keadaanku dari siapapun, tapi hari ini yang kutakutkan terjadi. Pak Hara, mungkin tahu keadaanku sekarang. Mas Irkham dan mbah uti, meski mereka diam, kurasa mereka juga tahu keadaanku. Sebentar lagi mungkin semua orang akan tahu. Ya Alloh aku harus bagaimana?
Mbak Sayumi masih memijit kakiku, mbah uti sudah tidak mengusap dahiku tapi beralih memberi pijatan pelan pada telapak tanganku. Aku sedang mencari jawaban jika nanti mereka bertanya apa yang terjadi padaku, ketika kudengar suara berisik. Seperti suara beberapa orang berjalan tergesa-gesa.
“Jenar, kamu kenapa, Nak?” Bunda yang pertama masuk ke dalam kamar, segera naik ke ranjang untuk memelukku.
Disusul kak Neesha, ayah dan kak Reyfan. Mereka bertiga mendekat ke ranjang, membuat mbak Sayumi bangkit, memberi akses agar bisa menjangkauku.
“Aku nggak pa-pa, kok. Cuma lupa belum makan dari siang, jadi pingsan.” Aku meringis, menunjukkan gigi depanku, “maaf, ya. Membuat kalian khawatir, ganggu acara ziarah kalian.”
“Kamu saking senengnya dilamar, ya? Sampai lupa makan?” Seloroh kak Aneesha yang kini sudah duduk di tepi ranjang, dekat dengan kakiku. Aku hanya menjawab dengan tersenyum, sebab semua menatapku penuh kekhawatiran.
Ayah tidak mengatakan apapun, hanya mengusap puncak kepalaku yang tertutup jilbab lalu menciumnya. Ayah memang begitu sering tidak banyak bicara, tapi perlakuannya selalu bisa membuatku merasa disayangi. Mungkin karena itu, aku jadi tidak mudah jatuh pada rayuan gombal para laki-laki di luar sana.
Kamar yang tidak terlalu luas ini, menjadi terasa makin sempit karena semua orang berkumpul mengelilingiku. Meski aku sudah mengatakan aku baik-baik saja, tapi pancaran penuh kekhawatiran masih bisa kulihat dari sorot mata mereka. Membuatku terharu dan merasa disayangi. Ah! Aku jadi tidak enak hati sudah membuat seluruh keluarga mengkhawatirkanku.
Sebenarnya aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi padaku. Traumatis atau defensif yang berlebihan? Yang kutahu hanya setiap kali ada sesuatu yang mengingatkanku pada kejadian bertahun-tahun yang lalu, maka tubuhku bereaksi. Seolah pikiranku dipaksa untuk mengingat kejadian itu dan aku merasa sangat ketakutan.
Kalau sudah begitu aku butuh menghirup aroma kopi yang bisa menenangkan ketakutanku. Atau tidur lama, sampai otakku kembali bisa berpikir normal, bebas dari bayangan hitam yang mengganggu. Mungkin benar kata mas Ghufron aku perlu berobat ke psikiater agar aku tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku.
.
.
.
Bersambung ....
note :
Padasan \= semacam gentong untuk wudlu/cuci tangan. Aslinya terbuat dari tanah liat, tapi sekarang banyak yang membuat dari batu cetak.
Yang penasaran pengen tau dimana Jenar mencuci lukanya pak Hara. Boleh kunjungi ig story saya hari ini ya.😁
ig@desi desma
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Emi Wash
ada kejadian apa dimasa lalu jenar hingga meninggalkn traumatik gitu
2022-08-01
0
Parti
Jenar punya trauma apa kak desi ?perasaan aku gak kelewatan tiap baca deh 🧐.jadi kepo bab selamjutnya
2022-06-02
0
안니사
apa trauma Jenar ada hubungannya dengan Pak Hara, mana tau dulu mereka pernah bertemu jauh sebelum pertemuan pertama mereka dulu....?! 🤔🤔🤔
2021-12-01
1