...🍁Rindu yang paling tragis adalah merindukan orang yang telah tiada. Sedalam apapun menanam rindu, tak akan menuai temu di dunia.🍁...
Immanuel Kagendra Hara.
Belum pernah aku mempunyai sebuah keinginan juga harapan ... sampai saat ini.
Perjalanan kali ini berbeda. Meski aku sudah sering ke luar kota, bahkan luar negeri. Tak terhitung kota mana saja yang telah kudatangi untuk kepentingan pekerjaan.
Namun, pergi ke luar kota bukan untuk urusan pekerjaan bisa dihitung dengan jari. Dan perjalanan kali ini termasuk bukan untuk kepentingan pekerjaan. Meskipun atas suruhan Reyfan, tapi perintahnya sama sekali tidak berhubungan dengan pekerjaan.
Aku berangkat dari Jakarta bersama Cecilia. Menumpang pesawat dengan jadwal penerbangan pertama, sebab Cecilia harus melakukan meeting dengan tim sebelum pemotretan. Ya, adik sepupuku itu adalah seorang model. Dia bekerja untuk sebuah agency di Yogyakarta.
Kami memang berangkat bersama, tapi kami berpisah di Yogyakarta Internasional Airport. Karena tujuan kami berbeda, tentu saja. Cecilia harus segera menuju ke tempat pemotretan, sedangkan aku harus singgah dulu ke suatu tempat.
Magelang....
Ya, aku harus singgah dulu di kota ini untuk mengambil kendaraan. Kalau tidak mobilitasku terhambat nantinya. Tidak mungkin aku memakai fasilitas kantor, sebab yang kulakukan bukan untuk kepentingan pekerjaan.
Jadi, aku harus mengambil kendaraan pribadi milik Reyfan. Aku menumpang mobil DAMRI jurusan magelang, turun di sebuah tempat yang terlihat seperti rest area tapi belum jadi.
Kalau aku tidak salah, tempat ini merupakan pintu masuk ke kabupaten Magelang dari arah selatan. Perbatasan antara kabupaten Magelang dengan kabupaten Kulon Progo. Aku disini, menunggu seseorang yang akan menjemputku.
“Nanti kamu hubungi mas Faiz, dia yang akan menjemputmu.” Begitu kata Reyfan kemarin, saat aku mengantarnya pulang dari kantor.
Baru saja aku memindai lokasi, akan menunggu di sebelah mana. Saat sebuah mobil katana berhenti tepat di depanku.
“Sudah nunggu lama, ya, Mas?” Seorang pria keluar dari balik kemudi. Menampilkan sosok sederhana dengan wajah ramah.
“Tidak, kok. Saya baru sampai,” kusalami dia, sebab ia sudah mengulurkan tangan.
Mas Faiz tersenyum ramah, hendak meraih koper yang kubawa. Tapi kucegah, "tidak usah repot-repot. Biar saya bawa sendiri."
Kuiikuti langkahnya menuju mobil, meletakkan koper di bagian tengah. Lalu aku masuk ke dalam mobil, bersamaan dengan deru suara mesin dihidupkan. lAku duduk di sebelah mas Faiz yang mulai menjalankan kemudi.
"Rest area ini masih dalam tahap pembangunan, belum selesai. Dibangun untuk menarik minat wisatawan. Kalau nanti jalan tol Yogya-Semarang sudah dibangun."
Kuperhatikan bangunan kapal raksasa yang bagian tepinya masih ditutup seng. Sebuah bangunan megah di daerah perbatasan kabupaten. Menarik.
"Namanya gerbang samudra raksa. Rencananya ada 4 bangunan seperti ini nantinya. Selain disini, nanti akan dibangun di Mertoyudan, jalan masuk area wisata borobudur dan soko pitu." Mas Faiz menjelaskan, walau sebenarnya aku tidak ingin tahu.
Kami tidak berlama-lama disana. Mas Faiz mengajakku segera pulang, sebab dia harus menghadiri sebuah acara. Entah acara apa, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Dari rest area gerbang samudra raksa, kami menuju ke rumah milik Aneesha yang terletak di sebuah kota kecil. Bagian dari kabupaten Magelang.
Matahari bergerak naik, hari menjelang siang saat kami tiba di sebuah rumah joglo. Suara berisik daun bambu ditiup angin dan gesekan batang bambu yang mengeluarkan suara berderit pilu menyambut. Memainkan melodi alam yang syahdu.
Mas Faiz mengajakku masuk ke dalam rumah. Suasana di dalam rumah sepi, namun terdengar sayup-sayup suara gumaman dari arah belakang rumah. Dari pengeras suara kudengar seseorang berbicara, seperti sedang memandu acara.
‘Sholawat serta salam senantiasa kita tujukan kepada nabi agung Muhammad shalallohu ‘alaihi wassalam .…’
Aku menoleh. Belum sempat aku bertanya, mas Faiz sudah menjelaskan seperti tahu apa yang sedang kupikirkan, “di belakang sedang ada acara.”
“Mas Hara boleh istirahat dulu. Nanti tinggal pilih mau pakai mobil atau motor yang mana, biar disiapkan sama Irkham.”
Aku mengangguk, mengikuti mas Faiz yang mempersilakan aku duduk di kursi ruang tamu. Kudengar mas Faiz berteriak memanggil istrinya, “Nduk! Gawekno wedang!” (Nduk! Bikinkan minum!)
Aku baru saja akan membuka obrolan, saat istri mas Faiz datang membawa dua cangkir kopi dan beberapa makanan ringan dalam toples. Sepiring ubi rebus yang masih mengepulkan asap panas pun terhidang, menggugah seleraku yang memang belum sempat sarapan.
“Bapak mboten saged rawuh, jenengan kapurih badali.” Ucap istri mas Faiz yang tak kutahu artinya seraya memindahkan cangkir dari nampan, meletakkannya di atas meja. (Bapak tidak bisa datang, kamu disuruh menggantikan.)
“Kon ngisi opo aku? Wes okeh mas-mas Ansor,©️ to?” (Suruh bicara apa saya? Sudah banyak mas-mas ansor, kan?)
“Mangkeh lak dipurugi lare IPNU,©️ wau pun sanjang leh kulo. Bapak nggih pun telpon.” (Nanti ada yang datang anak IPNU, tadi sudah bilang sama saya. Bapak juga sudah telpon.)
Sambil lalu kudengar mas Faiz dan istrinya berbicara dalam bahasa jawa yang tak begitu kutahu artinya. Hanya kutangkap beberapa kali mbak Nanda, istri mas Faiz, menyebut nama organisasi agama. Aku tahu nama organisasi itu sebab Aneesha sering bercerita.
Kami menikmati ubi rebus dan teh sambil berbincang tentang banyak hal. Sejak pertama kali bertemu, aku merasa mas Faiz ini teman ngobrol yang asyik. Berbincang tentang apapun selalu nyaman dengan pria yang sudah punya dua ini. Santai, tidak menggurui namun mengena di hati.
Obrolan kami terhenti karena ada seorang remaja datang, mengatakan bahwa sudah waktunya mas Faiz mengisi acara.
“Mas Hara istirahat saja dulu, boleh pakai kamar yang mana saja. Asal bukan kamar itu,” ia menunjuk kamar yang terletak di bagian depan, lalu menunjuk satu kamar lagi di bagian tengah ruangan, “dan itu. Yang dua itu kamar pribadi Aneesha dan Om Fares kalau sedang disini. Tidak boleh ada orang lain masuk.”
Aku mengangguk paham. Meski merasa absurd. Pak Fares dan Aneesha, jarang berada di rumah ini. Tapi punya kamar pribadi yang tidak boleh dihuni.
Whatever ....
Ditinggal sendiri oleh mas Faiz, aku mengusir bosan dengan menelusuri sudut-sudut rumah joglo ini. Rumah yang dibangun oleh Aneesha dengan susah payah, sebagai bukti kepada orang-orang yang meremehkannya. Rumah yang dibangun agar bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Aku menelusuri sisi rumah dari dalam hingga keluar. Sempat tertegun pada sebuah dinding di teras samping, berbatasan dengan garasi motor. Dinding yang memajang banyak foto dalam figura. Foto-foto yang ditata sedemikian rupa, terpajang rapi, menarik perhatian orang yang melintas. Foto keluarga….
Ada foto keluarga Aneesha di Jakarta, foto keluarga Aneesha di Surabaya, foto keluarga di Magelang, dan yang paling menarik perhatianku adalah kolase foto Aneesha bersama kedua adiknya dalam berbagai pose. Sesuatu yang tak pernah aku miliki, yaitu moment indah dan hangat bersama keluarga.
Apalagi adik dan kakak. Seumur hidup aku hanya bisa menghabiskan waktu bersama Reyfan. Tidak pernah merasakan memiliki ikatan saudara seperti yang orang lain rasakan. Deritaku yang hidup tak berkeluarga.
Kuhembuskan napas panjang, meneliti satu per satu foto di dinding. Sungguh bahagia mereka yang masih memiliki keluarga, khususnya orang tua. Bisa bercanda, bercengkerama bahkan bertengkar untuk hal sepele, tapi justeru membuat ikatan keluarga makin erat.
Kualihkan pandangan ketika mendengar suara tangisan anak kecil dari belakang punggungku. Disusul suara lembut perempuan, berusaha meredakan tangis putranya.
“Cup, sayang … cup cup … ngantuk nggih? Adik ngantuk?”
Aku mengangguk ketika wanita yang tak lain adalah mbak Nanda tersenyum padaku. Hanya sejenak, lalu mbak Nanda masuk ke dalam rumah. Pasti hendak menidurkan putri kecilnya yang baru berusia sekitar 3 bulan.
Samar-samar dari halaman belakang, kudengar suara mas Faiz melalui pengeras suara, sedang mengisi acara.
“Berorganisasi sebaiknya jangan sampai melupakan kewajiban utama kalian sebagai pelajar. Tugas utama kalian adalah belajar ….”
Aku melanjutkan langkah, menyusuri garasi mobil yang berjajar di bagian samping halaman. Ada beberapa mobil tua, koleksi Pak Fares dan Reyfan, tersimpan rapi dan bersih. Pasti karena dirawat dengan baik.
Satu per satu garasi kutelusuri, memilih sebaiknya aku memakai mobil yang mana, karena semuanya tua dan antik. Baru sampai di garasi ketiga, ekor mataku menangkap bayangan sesosok
pria yang sedang sibuk di depan sebuah mobil timor yang kapnya terbuka. Sepertinya pria itu sedang memperbaiki mesin mobil timor yang sudah dimodifikasi bodynya itu.
Aku mengernyit, memicingkan mata, hanya bisa melihat punggung pria itu dari tempatku berdiri. Sepertinya aku tak asing dengan pria itu, tapi siapa. Baru saja aku hendak melangkah, tanpa kusadari sebuah suara mampir di telinga, paham jika aku sedang memerhatikan pria dan mobil sedan timor.
“Om Fares nggak main-main soal merawat mobil koleksinya. Sampai mendatangkan mekanik dari Surabaya.”
Aku hampir terkejut, ternyata mas Faiz sudah berdiri di sebelahku menggengong putra pertamanya. Padahal sepertinya tadi masih berbicara pada acara yang berlangsung di pendopo. Aku hanya mengangguk, paham siapa yang dimaksud oleh mas Faiz.
“Sudah dipilih mau pakai yang mana?” Tanya mas Faiz, mengingatkanku bahwa aku harus segera membuat keputusan.
“Kalau saya mau bawa motor, ada helm tidak disini, Mas?” Tanyaku memastikan. Sebab tidak mungkin aku pergi dari Magelang ke Yogya tanpa memakai helm.
“Ada. Tak bilangin Irkham biar disiapkan dulu.”
Ditemani mas Faiz, aku berkeliling sambil berbincang. Melihat seluruh sudut halaman, dari garasi mobil dan motor, sampai galeri foto milik Aneesha. Melewati beberapa ibu-ibu yang sepertinya baru saja datang mengantar putra-putrinya.
“Hari minggu adalah jadwal mereka belajar melukis,” seperti bisa membaca pikiranku, mas Faiz menunjuk anak-anak ABG yang baru saja masuk ke galeri, “mereka semua berkebutuhan khusus, tapi punya talenta yang bisa dikembangkan. Biasanya kelas berlangsung di pendopo, tapi karena sedang dipakai acara, jadi pindah ke galeri.”
“Bukan hanya kelas melukis, ada juga kelas tari, menyanyi, karawitan dan musik solo. Semuanya diampu oleh pengajar khusus, ada yang sengaja didatangkan Aneesha dari Jakarta.” Mas Faiz menjelaskan kegiatan yang berlangsung di kawasan rumah joglo ini.
“Ada latihan taekwondo tiap jum’at sore, pantomim dan drama anak-anak tiap rabu sore, komunitas lesbumi yang mengakomodir.”
“Pendopo itu,” mas Faiz menunjuk pendopo yang masih ramai orang, “sering disewa untuk acara-acara seperti ini. Banyak organisasi yang memanfaatkan tempat ini untuk mengadakan acara. Dari selapanan rutin*, buka puasa bersama, atau acara pertemuan yang lain.”
“Kebanyakan yang pakai orang-orang organisasi. Sekolah dan madrasah juga pernah pakai. Minggu kemarin dipakai untuk acara musyawarah IRM dan IPM. Kemarin lusa dipakai untuk selapanan Fatayat, kalau yang rutin ya, tiap malam sabtu paing dipakai untuk selapanan mas-mas Ansor.”
"Tanggal 5 setiap bulannya ada pertemuan karang taruna. Disini juga ... yang luas tempatnya."
“Wah! Setiap hari ramai, dong, Mas? Banyak yang pakai tempat ini? Mungkin karena gratis, ya, Mas?" Aku tahu jika semua yang memakai tempat ini tidak pernah dipungut biaya. Walaupun ada yang dengan suka rela memberi, tapi tidak diwajibkan.
“Ya, sesuai tujuan dibangunnya tempat ini. Alhamdulillah bermanfaat bagi orang banyak, semoga menjadi ladang amal jariyah.”
“Aamiin.”
Aku sempat tertegun sejenak, saat melewati ibu-ibu yang sedang duduk di gazebo. Mereka bergumam, mengobrol tentang anak-anak mereka. Sesuatu yang membuatku merasa … harus seperti itukah menjadi ibu? Membicarakan anaknya dengan ibu yang lain, merasa bangga dengan keunikan anak masing-masing.
Dulu … pernahkah mama membicarakanku dengan orang lain? Tentang prestasi belajarku atau tentang kenakalanku? Ah! Bahagianya mereka yang masih menjadi bahan pembicaraan mama dan papa, dan mereka yang masih bisa membicarakan anak masing-masing.
Mas Faiz sempat ngobrol dengan pria yang sedang memperbaiki mesin mobil. Sedangkan aku hanya sesekali menanggapi sebab tak terlalu mengenal. Lebih tertarik memerhatikan mobil timor yang sedang diperbaiki. Terlihat masih bagus, kinclong, seperti baru. Mungkin karena di cat ulang. Pak Fares dan Reyfan memang tak main-main dalam merawat koleksi mobil tua mereka. Tempat ini seperti sebuah rumah unik, untuk barang-barang yang juga antik.
Rasanya tak ingin aku pergi dari tempat sejuk yang menenangkan ini. Berbincang santai dengan mas Faiz yang berhasil mengurai isi kepalaku yang selalu kusut. Menghadirkan pemahaman baru, bahwa tak ada salahnya banyak berbincang. Selama ini aku hanya berbicara jika diperlukan saja, jarang berbincang basa-basi seperti sekarang ini. Dan ternyata hal sepele seperti ini sebenarnya asyik. Membuat hidup sedikit terasa ringan.
Aku terpaksa harus meninggalkan kawasan rumah joglo dan mas Faiz, meski sebenarnya masih ingin lama berbincang. Tapia getaran ponsel pertanda sebuah pesan masuk menyadarkan tujuanku datang ke tempat ini, dan tugas yang harus segera kulaksanakan.
Lagi pula mas Faiz pun harus pergi, menghadiri acara di tempat lain. Baru kutahu ternyata pria sederhana yang selalu memakai kain sarung dan peci ini sangat sibuk.
“Ada kajian kitab safinatunnajah di mushola,” begitu terang mas Faiz. Menjadi kalimat terakhir sebelum aku pergi.
Akhirnya aku memilih sebuah vespa yang akan kugunakan sebagai alat penunjang mobilitas selama di Yogya. Vespa tua berwarna biru muda.
“Boleh pilih diantara dua itu, yang biru muda atau yang matic warna kuning, keluaran terbaru,” ucap mas Faiz saat aku melihat-lihat tiga vespa di dalam garasi, “asal jangan yang oren. Itu punya om Fares, tidak boleh dipinjam sembarangan. Bersejarah katanya.”
Mobilitasku di Yogya nanti tak seperti di jakarta, lebih santai. Aku hanya perlu mengetahui dimana Ghufron tinggal dan bagaimana sifat serta sikap keluarganya. Jadi menurutku nyaman saja menggunakan vespa tua ini dari pada mobil yang sama-sama tua.
Kukemudikan vespa dengan santai. Beruntung aku hanya membawa koper berukuran kecil, jadi tidak terlalu repot.
Dari Magelang menuju kota pelajar, aku membelokkan kemudi setelah melewati perbatasan Magelang-Yogya. Hendak singgah di suatu tempat. Melewati bangunan sekolah dasar, masjid dan sebuah pesantren. Lurus mengikuti jalan desa yang tak terlalu lebar, lalu berhenti.
Aku memarkirkan vespa di bahu jalan, di pintu masuk tempat pemakaman muslim. Setelah memastikan vespa dan barang bawaanku aman, aku masuk ke dalam makam. Hati-hati aku berjalan disela gundukan tanah makam. Mencari sebuah makam yang ditanami pohon kamboja di sebelah kirinya. Makam mama ….
Awalnya aku tak berencana berkunjung ke makam mama. Tapi berbincang dengan mas Faiz, melihat istri mas Faiz menenangkan putrinya, juga ibu-ibu di gazebo, membuatku teringat akan sosok mama. Mengirim sinyal ke otak, agar aku menggerakkan kemudi kemari.
Makam yang hanya berupa gundukan tanah, dilindungi plesir dari batu alam. Aku berjongkok di depan makam mama. Menghela napas panjang, kuusap batu nisan, bergumam tanpa mengeluarkan suara, “apa kabar, Ma? Apakah mama merindukanku? Aku merindukan mama setiap waktu ….”
Sunyi ….
Kurasakan desau angin bertiup pelan, membelai tubuh, meremangkan bulu roma. Ranting pohon kamboja bergoyang, daun dan bunga kering terbang kesana kemari, lalu jatuh begitu saja di atas tanah.
Tengah hari … udara terasa sedikit dingin, walau matahari bersinar terik. Atau karena aku yang belum beradaptasi dengan cuaca disini? Karena terbiasa dengan udara Jakarta yang panas dan gerah.
Sejuk membuaiku, menusuk ke dalam relung hati. Ngilu terasa kala kudengar gemerisik dedauanan saling bergesek karena ditiup angin. Rasanya seperti ada ruang hampa di dalam sana, kosong tak berpenghuni.
Ruangan yang seharusnya terisi oleh cinta, kasih, dan belaian sayang. Ruang yang tak pernah berpenghuni hingga kini. Ruang yang sempat kuabaikan, sempat tak kuhiraukan. Kini dapat kurasakan dengan jelas, kehampaan yang selama ini terabaikan.
Aku telah memiliki segalanya untuk bertahan hidup. Tapi cukupkah demikian? Apakah aku tak berkeinginan lain?
Apa yang kuinginkan dalam hidup ini selain materi dan kedudukan? Mungkin aku menginginkan kehadiran sosok mama dan papa. Tapi itu tidak mungkin, karena kami berada di alam yang berbeda. Kerinduan paling tragis adalah merindukan orang yang telah tiada. Sedalam apapun menanam rindu, tak akan mungkin menuai temu di dunia.
Kuusap lagi batu nisan, lalu aku berdiri sembari memasukkan dua tangan ke dalam saku celana. Aku mengendikkan bahu, kala hembusan angin kembali menerpa.
'Sial! Dingin sekali dan aku nggak pakai jaket. Padahal di pinggiran kota. Kenapa bisa sedingin ini?’ Rutukku dalam hati.
Aku membalikkan badan. Hendak berjalan meninggalkan makam mama, namun kehadiran seseorang mengurungkan langkahku. Pria paruh baya itu berdiri di hadapanku. Tersenyum lalu mendekat, menepuk bahuku pelan.
“Apa kabar, Hara?”
Menjadi sebuah pertanyaan yang selama ini kurindukan. Pertanyaan sepele yang tak pernah kudengar dari sosok seperti dia. Sosok yang kurindukan tapi tak mungkin bisa bersua.
Mungkin, yang asaku kini adalah bisa merasakan menjadi seorang anak ....
.
.
.
Bersambung ....
NOTE :
*IPNU, IPPNU, IRM, IPM, Ansor : Semuanya nama organisasi anak muda islam, baik dari NU dan Muahammadyah.
Kenapa saya masukin organisasi2 itu ke cerita? Karena berhubungan dengan perjalanan pencarian jati diri Hara.
Gak ada maksud apa-apa, atau condong kemana. Semua demi masuknya alur cerita saja.😁
Semoga tetap bisa dinikmati, ya...😁
Readers semua semoga dalam keadaan sehat walafiat semuanya. Ditempat saya sedang banyak orang sakit. IGD rumah sakit sampai penuh, sampai nolak pasien karena ruang isolasi penuh dan kekurangan stock oksigen.
Jadi tetap stay save teman-teman. Patuhi prokes, jangan abai. Kita saling bantu biar pandemi cepat berlalu.
Jujur trauma saya, dengar suara sirine bak ingatan kembali ke 11 tahun yang lalu. Waktu merapi menujukkan gagahnya. Hanya bisa berdo'a, semoga keadaan segera membaik. Aamiin....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Ersa
wah sesuk sing nang mertoyudan Tak nggo foto2 mbek konco2ku🤭
2023-10-26
1
Emi Wash
misi dari reyfan membawa perubahan pd hara ya thor..
athornya orang jogya kah?
2022-08-01
0
Dora Husien
11 th yg lalu aq menghadiru wisuda adikq di UGM..pas merapi melerus..ngeri bagd
2022-04-13
0