...🍁Awakdwe tau duwe bayangan, besok yen wes wayah omah-omahan … aku moco qur’an sarungan, kowe nyimak gamisan.🍁...
(Diambil dari lirik lagu berjudul 'Mendung Tanpo Udan'. Yang dipopulerkan oleh Ndarboy genk. Dengan penyesuaian, biar pas jadi versi santri.)
Ghufron Alghazali.
Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir fakultas ilmu kedokteran sebuah kampus terbaik di Yogyakarta. Juga termasuk kampus paling favorite se Indonesia. Banyak pelajar yang berebut untuk bisa menimba ilmu disini, dan aku salah satu dari sekian banyak orang yang beruntung.
Sejak kecil aku bercita-cita menjadi dokter. Oleh karena itu di awal kuliah, aku memberi target kepada diriku sendiri. Kapan harus lulus, lalu mengambil pendidikan spesialis. Kemana aku akan mengabdi sebagai dokter muda, agar bisa mendapat ijin praktek, sampai kapan aku akan menikah.
Semua sudah terencana, tertulis dalam buku catatan harianku. Yang selalu kubaca setiap malam, menjelang tidur. Agar pagi hari saat aku bangun, aku ingat apa tujuan hidup dan cita-citaku.
“Hidup harus serius, tidak boleh main-main, sebab apa yang kita kerjakan, harus dipertanggung jawabkan kelak,” begitu nasehat bapak yang selalu kuingat dan kuamalkan.
Aku berasal dari keluarga biasa. Bisa kuliah di kampus terbaik karena program beasiswa. Kalau tidak karena beasiswa, mana mampu bapak yang hanya seorang abdi sipil negara golongan 3 bisa membiayai kuliah kedokteranku. Alhamdulillah, aku dan adikku sama-sama dapat bersekolah di tempat bagus karena program bea siswa prestasi.
Maka dari itu, aku harus belajar giat. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar bisa lulus sesuai target. Supaya bapak dan ibu bangga punya anak yang berprestasi.
Namun begitu, aku tidak bisa menghindar dari rasa suka terhadap lawan jenis. Sekeras apapun aku berusaha menutup mata terhadap wanita, tetap saja hati tak bisa berbohong. Cinta hadir begitu saja, tanpa bisa kucegah, mungkin begitulah cara Alloh menghadirkan bahagia dalam hidupku.
Pertama kali aku bertemu dengan Jenar adalah saat aku baru saja selesai rapat dengan badan eksekutif mahasiswa (BEM). Waktu itu adalah hari terakhir registrasi ulang para mahasiswa baru.
Aku melihat Jenar sedang bersandar pada dinding. Sendiri di tempat yang sepi dari lalu lalang mahasiswa. Dia kulihat seperti sedang menghirup sesuatu. Saat itu aku belum tahu apa yang dihirup dalam-dalam oleh Jenar. Yang membuatku makin penasaran adalah tangan Jenar mengalami tremor, tapi berangsur mereda setelah menarik napas panjang sembari menghirup barang dalam genggaman.
Lama kuperhatikan dia, dari terlihat sangat panik lengkap dengan tangan yang mengalami tremor sampai ia tenang dan bisa berdiri dengan tegak. Jenar sempat terkejut, saat melihatku sedang memerhatikannya dari kejauhan. Ia seperti ketakutan lalu mengambil langkah cepat menjauh dariku.
Sebenarnya penasaran, tapi aku tidak seperti emak-emak biang gosip yang rela melakukan apa saja demi rasa ingin tahunya terpenuhi. Jadi saat itu, kubiarkan Jenar pergi. Aku belum kenal dengannya, bagiku dia hanya mahasiswa baru yang asing.
Pertemuan keduaku dengan Jenar adalah saat aku menunggu bus di halte. Aku melihat Jenar juga berada di halte yang sama denganku. Dia menyingkir dari kerumunan, berdiri sendiri di bagian halte paling pinggir. Seperti saat pertama kali aku melihatnya, ia sedang menghirup sesuatu dari genggaman tangan. Saat itu aku juga belum tahu apa yang dihirup oleh Jenar dan kenapa dia mengalami tremor?
Aku tidak pernah menyangka jika aku akan kembali bertemu dengan Jenar. Mungkin ini yang dinamakan jodoh pasti bertemu. Dih, apaan, sih? Padahal waktu itu aku belum kenal dengan Jenar dan tidak tahu kalau aku akan jatuh cinta padanya. Jatuh cinta yang sebenarnya hingga aku berani membawa Jenar pulang ke rumah, bertemu dengan orang tuaku.
Makin hari, makin sering aku melihatnya. Apalagi dia bergabung dengan organisasi yang sama denganku. Membuat rasa ingin tahuku menggelora, memancing rasa sukaku padanya.
Jenar adalah gadis yang unik menurutku. Dia ceria dan pintar, tapi selalu malu jika diminta berbicara di depan orang banyak. Jika gadis lain seusianya mengisi waktu luang dengan belanja, nonton konser, atau jalan-jalan ke mall. Tidak dengan Jenar. Gadis manis itu selalu mengisi waktu luang dengan tidur.
Aku pernah melihatnya duduk di selasar masjid dengan mata terpejam dan buku terbuka di pangkuan, terlihat jelas kalau dia sedang tidur. Sering kulihat Jenar di perpustakaan, kukira dia sedang konsentrasi membaca buku. Ternyata di balik posisi buku yang berdiri dengan halaman terbuka, Jenar sudah berada di alam mimpi. Kepalanya bersandar di atas meja, dengan kedua tangan memegang buku.
Pernah juga aku melihat Jenar duduk di kantin bersama teman-temannya. Awalnya kukira mereka sedang bercanda membicarakan gosip terbaru seputar kampus. Ternyata teman-teman Jenar sedang menertawakan Jenar yang tidur, menyandarkan kepala di atas meja dengan beralaskan tangannya sendiri.
Lucu sekali memang, dalam keadaan kantin yang ramai dan teman-teman yang berisik, Jenar bisa terbuai di alam mimpi tanpa terganggu sedikitpun.
Iseng sekali teman-teman Jenar, sengaja meninggalkan gadis itu pergi. Pengunjung kantin memerhatikan Jenar yang tidur pulas sendirian ditinggal oleh teman-temannya.
Kuhampiri Jenar, seketika semua yang memandangnya urung. Bukan rahasia jika aku termasuk salah satu mahasiswa paling disegani di kampus. Orang-orang enggan bermasalah denganku, sebab itu artinya bermasalah juga dengan teman-teman di belakangku.
Aku duduk di hadapan Jenar, melipat kedua tangan di atas meja, memerhatikan dia yang tidur dengan tenang. Wajah tidur Jenar membuatku tersenyum, gadis aneh dan lucu. Cantik, manis, pintar, tapi tidak bisa jaga image.
Sengaja kuambil satu buku yang tertumpuk di meja. Kuletakkan di dekat wajah Jenar dengan posisi berdiri, untuk menghalau sinar matahari yang masuk melalui jendela kaca. Entah mengapa aku ingin melindungi agar Jenar tidak terkena terpaan sinar matahari. Ingin melihat wajah Jenar yang tenang dalam tidur lebih lama.
Ditengah keasyikanku menikmati wajah lelap Jenar, tepat di sebelahku ada seseorang yang menjatuhkan tasnya. Suara debum dan kemerincing alat make up yang jatuh membuat berisik, mengusik tidur Jenar. Gadis itu membuka mata, lalu meluruskan tangan di atas meja, menggeliat.
Ia menatap sekitar sambil menutup mulut karena menguap. Aku menipiskan bibir, menahan senyum. Hampir tak bisa kutahan untuk mengulurkan tangan, membetulkan anak rambut yang menyembul dari jilbabnya. Alhamdulillah aku masih waras dan bisa menahan diri. Sehingga aku memilih bersedekap sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Menikmati pemandangan di depanku yang langka.
Jenar menoleh kiri-kanan sambil membetulkan jilbabnya. Memasukkan anak rambut lalu mengusap wajah, mungkin menghalau kantuk. Dia tergesa membereskan barang-barang di atas meja, sama sekali belum sadar kalau ada aku di depannya.
“Semalam lembur, ya? Ngapain? Ngerjain tugas atau nonton drama?” Jenar menghentikan gerakan, diam sejenak, lalu menegakkan kepala menatapku. Hanya beberapa detik, lalu dia mengedipkan mata, menundukkan pandangan.
Aku tersenyum, menemukan keunikkan Jenar yang lain. Membuatku ingin menggodanya, “kenapa? Akhwat nggak boleh menatap ikhwan lebih dari tiga detik, ya?”
“Maaf …,” ucap Jenar lirih.
“Kenapa minta maaf? Kamu, kan, nggak salah?” Aku membungkuk, mencari wajah Jenar. Tapi gadis itu tetap khusyuk dalam tundukkan.
“Maaf, saya harus pergi.” Kulihat dia menggantungkan tali tas punggung pada kedua bahunya.
“Minumanmu sudah dibayar sama teman-temanmu,” kuberikan struk pembayaran yang teeletak di atas meja sejak tadi. Jenar menerima, membacanya sekilas kemudian mengucapkan terima kasih padaku.
Dia terburu-buru berdiri dengan cepat, kemudian mengambil langkah meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Membuatku setengah berlari mengejarnya.
“Kenapa buru-buru? Bukannya tadi kamu lagi enak-enaknya tidur?” Tanyaku setelah berhasil menyejajarkan langkah.
“Maaf, saya harus segera masuk kelas.”
“Kamu dari jurusan ilmu kebidanan, kan?”
“Iya.”
“Boleh kenalan?”
Jenar menghentikan langkah, menatapku tapi sembari mengernyit. Sekali lagi membuatku kagum akan akhlaqnya. Ia menatapku hanya sejenak, mungkin tidak lebih dari lima detik.
“Kakak ketua BEM tahun lalu, kan? Yang kemarin ngisi acara ospek?”
“Sudah tahu kamu rupanya. Memang seterkenal itu aku.”
Aku tahu Jenar menahan senyum, dan itu sukses membuatku gemas. Ingin kucubit pipinya yang berlesung. Tapi tentu saja tidak kulakukan, aku adalah seorang ikhwan yang bisa menjaga diri.
“Sudah tahu namaku berarti?”
“Kak Ghufron, kan?”
“Wah! Curang, ini!”
“Kok, curang?”
“Kamu sudah tahu namaku, padahal aku belum tahu namamu. Itu, kan, curang namanya?”
Jenar menutup mulut dengan satu tangan, tertawa kecil karena gurauanku. Kami berbicara tapi dia sama sekali tidak menatap wajahku, selalu menunduk. Seolah lantai keramik lebih menarik dari pada wajahku.
“Mau ke kelas? Sepertinya tujuan kita searah.” Ucapku sembari menunjuk suatu arah. Lalu kami berjalan beriringan, menyusuri selasar yang ramai lalu-lalang para mahasiswa dengan segala aktivitasnya.
Siang itu adalah kali pertama aku berbincang dengan Jenar. Sama sekali tidak ada yang aneh, selain dia tidak mau menatapku. Semua pertanyaanku dijawab dengan jelas oleh Jenar. Sampai kami berpisah di persimpangan koridor, karena letak kelas kami berbeda.
Jenar berlari menuju ke kelasnya setelah mengangkat telepon. Temannya menelepon, karena sebentar lagi kelas akan dimulai. Buru-buru Jenar pergi, padahal kami belum berkenalan secara resmi. Tentu saja aku berteriak, tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengetahui nama bidadari berbalut gamis syar'i warna dusty itu.
“Aku belum tahu namamu.”
Gadis manis itu berbalik, senyumnya membuat kedua ceruk pipinya terlihat, “Jenar. Nama saya Jenar.”
“Nama lengkap?”
“Rinjani Jenar Adhitama.”
Aku mengacungkan ibu jari. Dalam hati aku berjanji, kalau siang itu bukan pertemuan terakhirku dengan Jenar. Akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Sebab aku ingin mengenalnya lebih jauh, ingin akrab dengannya.
Baru saja aku akan melangkah, sepatuku seperti menginjak sesuatu. Kutarik kakiku, memeriksa barang apa yang kuinjak. Kuambil benda berbungkus plastik yang ternyata adalah satu sachet kopi dengan merk paling familier.
Dahiku berkerut dalam, barang ini kemungkinan besar milik Jenar. Mungkin jatuh saat gadis itu mengambil ponsel dari saku gamisnya tadi. Yang membuatku penasaran. Kenapa Jenar membawa kopi dalam sachet kecil itu? Lalu kenapa sudah dalam keadaan terbuka dan dibungkus plastik? Sungguh mematik rasa ingin tahuku.
Setelah akrab dengan Jenar baru kutahu jika ia mempunyai trauma terhadap sesuatu. Sehingga ia harus membawa selalu kopi sachet di dalam tasnya. Tremor pada tangan adalah pertanda trauma sedang kambuh dan aroma kopilah yang dapat membuatnya tenang saat. Itu sebabnya aku sering melihatnya sedang menghirup kopi dalam genggaman tangan.
Aku tidak mempermasalahkan trauma Jenar, ingin sekali aku membantunya sembuh. Tapi Jenar selalu menolak, dia berkilah bahwa yang dialaminya bukan trauma tapi hanya semacam phobia. Mungkin karena aku orang asing baginya, jadi Jenar belum bisa berterus terang.
“Nggak apa, kok. Masih bisa kuatasi sendiri.” Begitu kata Jenar, saat aku menawarkan pengobatan.
Hubungan kami awalnya hanya pertemanan biasa. Kami sering berdiskusi, bertukar cerita, berbagi informasi. Dari ngobrol ringan, soal tugas dan kegiatan organisasi, meningkat menjadi membicarakan tentang masa depan.
Aku mengira hubunganku dengan Jenar selama ini sudah cukup begini saja. Kami mengakui perasaan masing-masing, tapi kami belum berkomitmen. Aku dan Jenar sepakat menyelesaikan kuliah dulu, baru memikirkan tentang pernikahan.
Kami tidak main-main dengan hubungan kami, terutama aku. Aku sangat serius, tidak pernah terbersit dalam benakku ingin mempernainkan Jenar. Mana berani aku mempermainkan gadis tersayang di keluarganya.
Tapi untuk menuju ke jenjang yang lebih serius, tentunya aku butuh perencanaan yang matang. Karena berumah tangga perlu kesiapan lahir, batin, mental dan spiritual, tidak sesederhana yang dibayangkan.
Lagi pula aku sudah menunjukkan keseriusanku kepada Jenar. Setiap kali aku mengajaknya pergi, aku selalu meminta ijin kepada pamannya. Aku juga meminta ijin langsung kepada kakaknya waktu aku berkunjung ke Jakarta beberapa waktu yang lalu. Bahkan aku sudah berkenalan dengan orang tua Jenar, walau hanya lewat video call.
Ternyata bapak dan ibu tidak sependapat denganku. Bagi orang tuaku, masih kurang serius jika aku belum ‘nembung’ (meminta) secara resmi pada orang tua Jenar. Kami orang jawa, tentu saja menjunjung tinggi adat istiadat jawa yang akrab dengan unggah-ungguh, sopan-santun.
“Jenar itu disini tidak tinggal sama orang tuanya, kan? Bapak nggak mau anak bapak dikira main belakang karena tidak segera nembung.” Begitu kata bapak beberapa waktu yang lalu. Usai Jenar berkunjung ke rumah, menjengukku karena aku sedang masuk angin.
“Ghufron sudah kenal sama ayah bundanya Jenar, Pak. Kakaknya juga sudah pernah ketemu waktu di Jakarta, iya, kan, Lin?” aku meminta pembenaran kepada Nalini.
Nalini lah orang paling tahu apa saja yang kulakukan dengan Jenar. Kemana pun aku pergi dengan Jenar, Nalini selalu ikut. Sebab aku tidak ingin pergi hanya berdua saja, khawatir tidak bisa menutup telinga dari bisikan setan.
“Ya, tetap saja tidak elok. Kalian itu sering wira-wiri bareng, rasanya tidak pantas kalau masih tanpa status. Setidaknya ada niat baik dari orang tua, Ghuf. Bapak juga punya anak perempuan, tidak ingin anak perempuan bapak dipermainkan sama laki-laki.”
“Ghufron nggak main-main, Pak. Hanya belum waktunya untuk kami menikah. Kami sudah punya target sendiri.”
“Ya, kalau gitu kalian ta’aruf saja, dulu. Kita silahturahmi sama keluarganya Jenar, biar tidak jadi fitnah. Ingat, Ghuf! Anak polah, bopo kepragah.” *
Aku jadi ingat tausiah gusku dulu waktu aku masih nyantri di pesantren. Nasehat yang dulu masih awam bagiku, kini aku mengerti maknanya.
“Wa in tu’arrifu fa atsbithu waqif. Waqif ‘alal maqshuuri chatman bil alif." (Bila engkau mengenalnya, maka pinanglah dan suntinglah dia sebagai pasanganmu dengan gagah perkasa seperti huruf alif.)©️
Karena bapak terus mendesak, akhirnya aku menyetujui keinginan bapak. Benar juga kata bapak, wanita butuh kepastian bukan sekedar harapan.
Kuajak Jenar pergi. Untuk pertama kalinya kami hanya pergi berdua, tanpa Nalini. Karena aku ingin bicara serius dengannya. Aku bertanya tempat mana yang paling ingin ia kunjungi selama di Jogja, ternyata banyak sekali.
“Candi ratu boko, Sindu kusuma edupark, kids fun, parangtritis, taman pelangi (monjali waktu malam hari) …” masih banyak lagi yang Jenar sebutkan, membuatku tertawa saja.
“Satu tempat saja yang paling pengen kamu kunjungi, Nduk.”
“Sekaten.”
Aku tertawa lagi. Bagaimana bisa aku mengajaknya ke sekaten? Acara yang dilaksanakan setiap bulan maulud itu. Sebagai gantinya aku mengajak Jenar ke suatu tempat, yang tidak Jenar sebutkan tapi kupastikan dia akan menyukainya.
Malam itu di Pendopo lawas, sisi timur alun-alun utara Yogyakarta. Ketika kami duduk diantara ratusan orang disana, sedang mendengarkan alunan musik dari duet pemilik suara emas. Yang lagu-lagunya menjadi top playing list di aplikasi me-tube. Aku membicarakan hal paling serius dengan Jenar.
Credit Foto by. kompasiana.
“Nduk, pernah tidak kamu bayangin kita kalau udah nikah seperti apa?”
Jenar mengangguk, “pernahlah, Mas.”
“Bayangin apa?”
“Jenar bayangin, kalau kita sudah nikah … habis maghrib kita duduk berhadapan. Mas nyimak hafalanku, benerin kalau aku salah.”
“Cuma itu?”
“Ehm … bayangin mas jemput aku pulang kerja, terus kita pulang bareng. Atau kita kerja di rumah sakit yang sama, berangkat bareng, makan siang bareng, gitu.”
Aku tersenyum, “sederhana banget, Nduk?"
“Bahagia bisa disederhanakan, Mas.”
Aku setuju dengan ucapan Jenar. Tidak perlu memikirkan hal yang terlalu jauh dari jangkauan, kalau membayangkan hal sederhana saja bisa membuat bahagia.
“Kalau mas gimana?”
Aku mengerutkan dagu, pura-pura berpikir. Sengaja membuat Jenar menunggu jawabanku. Padahal sudah kusimpan jawabanku sejak pertama kali mengenalnya.
“Aku pernah membayangkan kalau kita nikah, tinggal di rumah sendiri. Aku pakai sarung kotak-kotak, baca Al-qur’an. Kamu pakai gamis warna dusty, nyimak bacaanku. Waktu itu kamu habis ngajarin anak kita alif, ba, ta.” (Huruf hijaiyah).
Jenar menutup mulut, kebiasaan kalau dia sedang tertawa. Seolah malu jika giginya sampai terlihat. Itulah Jenar, serba berhati-hati dalam tingkah laku. Itu yang membuatku memantapkan hati untuk memperjuangkannya.
“Dik, akhir pekan ini bapak ibu mau silahturahmi sama orang tua kamu. Gimana?”
Malam itu kulihat wajah Jenar bersemu merah. Untuk pertama kalinya gadis itu menatapku lebih dari tiga detik. Hal itu membuat jantungku berdetak tanpa irama. Satu hal yang kusesali karena aku menatap ke dalam matanya.
Jenar benar seharusnya aku tidak menatapnya lebih dari tiga detik, karena pada detik ke empat dan seanjutnya aku telah jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pada bidadari dalam balutan gamis syar'i ini.
"Kamu mau, kan, Nduk? Membangun rumah tangga denganku?
.
.
.
Bersambung ....
Note :
*Peribahasa jawa yang artinya : Setiap tindakan yang dilakukan anak, orang tua akan terkena imbasnya.
©Dikutip dari tausiah nikah yang disampaikan oleh kakaknya author.😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Emi Wash
aduh... ikut baper deh...
betul jenar bahagia itu bisa sederhana ga muluk2...
2022-08-01
0
Parti
Mas ghufron suami idaman banget nih...sayang aku masih setia sama mas reyfanku terlope2 😍
2022-06-01
1
Chery Sii Kelinci Madu
aahhh... Jenar di lamar
2022-03-14
0