15. Bidadari dalam balutan gamis syar'i.

...🍁Awakdwe tau duwe bayangan, besok yen wes wayah omah-omahan … aku moco qur’an sarungan, kowe nyimak gamisan.🍁...

(Diambil dari lirik lagu berjudul 'Mendung Tanpo Udan'. Yang dipopulerkan oleh Ndarboy genk. Dengan penyesuaian, biar pas jadi versi santri.)

Ghufron Alghazali.

Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir fakultas ilmu kedokteran sebuah kampus terbaik di Yogyakarta. Juga termasuk kampus paling favorite se Indonesia. Banyak pelajar yang berebut untuk bisa menimba ilmu disini, dan aku salah satu dari sekian banyak orang yang beruntung.

Sejak kecil aku bercita-cita menjadi dokter. Oleh karena itu di awal kuliah, aku memberi target kepada diriku sendiri. Kapan harus lulus, lalu mengambil pendidikan spesialis. Kemana aku akan mengabdi sebagai dokter muda, agar bisa mendapat ijin praktek, sampai kapan aku akan menikah.

Semua sudah terencana, tertulis dalam buku catatan harianku. Yang selalu kubaca setiap malam, menjelang tidur. Agar pagi hari saat aku bangun, aku ingat apa tujuan hidup dan cita-citaku.

“Hidup harus serius, tidak boleh main-main, sebab apa yang kita kerjakan, harus dipertanggung jawabkan kelak,” begitu nasehat bapak yang selalu kuingat dan kuamalkan.

Aku berasal dari keluarga biasa. Bisa kuliah di kampus terbaik karena program beasiswa. Kalau tidak karena beasiswa, mana mampu bapak yang hanya seorang abdi sipil negara golongan 3 bisa membiayai kuliah kedokteranku. Alhamdulillah, aku dan adikku sama-sama dapat bersekolah di tempat bagus karena program bea siswa prestasi.

Maka dari itu, aku harus belajar giat. Memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar bisa lulus sesuai target. Supaya bapak dan ibu bangga punya anak yang berprestasi.

Namun begitu, aku tidak bisa menghindar dari rasa suka terhadap lawan jenis. Sekeras apapun aku berusaha menutup mata terhadap wanita, tetap saja hati tak bisa berbohong. Cinta hadir begitu saja, tanpa bisa kucegah, mungkin begitulah cara Alloh menghadirkan bahagia dalam hidupku.

Pertama kali aku bertemu dengan Jenar adalah saat aku baru saja selesai rapat dengan badan eksekutif mahasiswa (BEM). Waktu itu adalah hari terakhir registrasi ulang para mahasiswa baru.

Aku melihat Jenar sedang bersandar pada dinding. Sendiri di tempat yang sepi dari lalu lalang mahasiswa. Dia kulihat seperti sedang menghirup sesuatu. Saat itu aku belum tahu apa yang dihirup dalam-dalam oleh Jenar. Yang membuatku makin penasaran adalah tangan Jenar mengalami tremor, tapi berangsur mereda setelah menarik napas panjang sembari menghirup barang dalam genggaman.

Lama kuperhatikan dia, dari terlihat sangat panik lengkap dengan tangan yang mengalami tremor sampai ia tenang dan bisa berdiri dengan tegak. Jenar sempat terkejut, saat melihatku sedang memerhatikannya dari kejauhan. Ia seperti ketakutan lalu mengambil langkah cepat menjauh dariku.

Sebenarnya penasaran, tapi aku tidak seperti emak-emak biang gosip yang rela melakukan apa saja demi rasa ingin tahunya terpenuhi. Jadi saat itu, kubiarkan Jenar pergi. Aku belum kenal dengannya, bagiku dia hanya mahasiswa baru yang asing.

Pertemuan keduaku dengan Jenar adalah saat aku menunggu bus di halte. Aku melihat Jenar juga berada di halte yang sama denganku. Dia menyingkir dari kerumunan, berdiri sendiri di bagian halte paling pinggir. Seperti saat pertama kali aku melihatnya, ia sedang menghirup sesuatu dari genggaman tangan. Saat itu aku juga belum tahu apa yang dihirup oleh Jenar dan kenapa dia mengalami tremor?

Aku tidak pernah menyangka jika aku akan kembali bertemu dengan Jenar. Mungkin ini yang dinamakan jodoh pasti bertemu. Dih, apaan, sih? Padahal waktu itu aku belum kenal dengan Jenar dan tidak tahu kalau aku akan jatuh cinta padanya. Jatuh cinta yang sebenarnya hingga aku berani membawa Jenar pulang ke rumah, bertemu dengan orang tuaku.

Makin hari, makin sering aku melihatnya. Apalagi dia bergabung dengan organisasi yang sama denganku. Membuat rasa ingin tahuku menggelora, memancing rasa sukaku padanya.

Jenar adalah gadis yang unik menurutku. Dia ceria dan pintar, tapi selalu malu jika diminta berbicara di depan orang banyak. Jika gadis lain seusianya mengisi waktu luang dengan belanja, nonton konser, atau jalan-jalan ke mall. Tidak dengan Jenar. Gadis manis itu selalu mengisi waktu luang dengan tidur.

Aku pernah melihatnya duduk di selasar masjid dengan mata terpejam dan buku terbuka di pangkuan, terlihat jelas kalau dia sedang tidur. Sering kulihat Jenar di perpustakaan, kukira dia sedang konsentrasi membaca buku. Ternyata di balik posisi buku yang berdiri dengan halaman terbuka, Jenar sudah berada di alam mimpi. Kepalanya bersandar di atas meja, dengan kedua tangan memegang buku.

Pernah juga aku melihat Jenar duduk di kantin bersama teman-temannya. Awalnya kukira mereka sedang bercanda membicarakan gosip terbaru seputar kampus. Ternyata teman-teman Jenar sedang menertawakan Jenar yang tidur, menyandarkan kepala di atas meja dengan beralaskan tangannya sendiri.

Lucu sekali memang, dalam keadaan kantin yang ramai dan teman-teman yang berisik, Jenar bisa terbuai di alam mimpi tanpa terganggu sedikitpun.

Iseng sekali teman-teman Jenar, sengaja meninggalkan gadis itu pergi. Pengunjung kantin memerhatikan Jenar yang tidur pulas sendirian ditinggal oleh teman-temannya.

Kuhampiri Jenar, seketika semua yang memandangnya urung. Bukan rahasia jika aku termasuk salah satu mahasiswa paling disegani di kampus. Orang-orang enggan bermasalah denganku, sebab itu artinya bermasalah juga dengan teman-teman di belakangku.

Aku duduk di hadapan Jenar, melipat kedua tangan di atas meja, memerhatikan dia yang tidur dengan tenang. Wajah tidur Jenar membuatku tersenyum, gadis aneh dan lucu. Cantik, manis, pintar, tapi tidak bisa jaga image.

Sengaja kuambil satu buku yang tertumpuk di meja. Kuletakkan di dekat wajah Jenar dengan posisi berdiri, untuk menghalau sinar matahari yang masuk melalui jendela kaca. Entah mengapa aku ingin melindungi agar Jenar tidak terkena terpaan sinar matahari. Ingin melihat wajah Jenar yang tenang dalam tidur lebih lama.

Ditengah keasyikanku menikmati wajah lelap Jenar, tepat di sebelahku ada seseorang yang menjatuhkan tasnya. Suara debum dan kemerincing alat make up yang jatuh membuat berisik, mengusik tidur Jenar. Gadis itu membuka mata, lalu meluruskan tangan di atas meja, menggeliat.

Ia menatap sekitar sambil menutup mulut karena menguap. Aku menipiskan bibir, menahan senyum. Hampir tak bisa kutahan untuk mengulurkan tangan, membetulkan anak rambut yang menyembul dari jilbabnya. Alhamdulillah aku masih waras dan bisa menahan diri. Sehingga aku memilih bersedekap sembari menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Menikmati pemandangan di depanku yang langka.

Jenar menoleh kiri-kanan sambil membetulkan jilbabnya. Memasukkan anak rambut lalu mengusap wajah, mungkin menghalau kantuk. Dia tergesa membereskan barang-barang di atas meja, sama sekali belum sadar kalau ada aku di depannya.

“Semalam lembur, ya? Ngapain? Ngerjain tugas atau nonton drama?” Jenar menghentikan gerakan, diam sejenak, lalu menegakkan kepala menatapku. Hanya beberapa detik, lalu dia mengedipkan mata, menundukkan pandangan.

Aku tersenyum, menemukan keunikkan Jenar yang lain. Membuatku ingin menggodanya, “kenapa? Akhwat nggak boleh menatap ikhwan lebih dari tiga detik, ya?”

“Maaf …,” ucap Jenar lirih.

“Kenapa minta maaf? Kamu, kan, nggak salah?” Aku membungkuk, mencari wajah Jenar. Tapi gadis itu tetap khusyuk dalam tundukkan.

“Maaf, saya harus pergi.” Kulihat dia menggantungkan tali tas punggung pada kedua bahunya.

“Minumanmu sudah dibayar sama teman-temanmu,” kuberikan struk pembayaran yang teeletak di atas meja sejak tadi. Jenar menerima, membacanya sekilas kemudian mengucapkan terima kasih padaku.

Dia terburu-buru berdiri dengan cepat, kemudian mengambil langkah meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Membuatku setengah berlari mengejarnya.

“Kenapa buru-buru? Bukannya tadi kamu lagi enak-enaknya tidur?” Tanyaku setelah berhasil menyejajarkan langkah.

“Maaf, saya harus segera masuk kelas.”

“Kamu dari jurusan ilmu kebidanan, kan?”

“Iya.”

“Boleh kenalan?”

Jenar menghentikan langkah, menatapku tapi sembari mengernyit. Sekali lagi membuatku kagum akan akhlaqnya. Ia menatapku hanya sejenak, mungkin tidak lebih dari lima detik.

“Kakak ketua BEM tahun lalu, kan? Yang kemarin ngisi acara ospek?”

“Sudah tahu kamu rupanya. Memang seterkenal itu aku.”

Aku tahu Jenar menahan senyum, dan itu sukses membuatku gemas. Ingin kucubit pipinya yang berlesung. Tapi tentu saja tidak kulakukan, aku adalah seorang ikhwan yang bisa menjaga diri.

“Sudah tahu namaku berarti?”

“Kak Ghufron, kan?”

“Wah! Curang, ini!”

“Kok, curang?”

“Kamu sudah tahu namaku, padahal aku belum tahu namamu. Itu, kan, curang namanya?”

Jenar menutup mulut dengan satu tangan, tertawa kecil karena gurauanku. Kami berbicara tapi dia sama sekali tidak menatap wajahku, selalu menunduk. Seolah lantai keramik lebih menarik dari pada wajahku.

“Mau ke kelas? Sepertinya tujuan kita searah.” Ucapku sembari menunjuk suatu arah. Lalu kami berjalan beriringan, menyusuri selasar yang ramai lalu-lalang para mahasiswa dengan segala aktivitasnya.

Siang itu adalah kali pertama aku berbincang dengan Jenar. Sama sekali tidak ada yang aneh, selain dia tidak mau menatapku. Semua pertanyaanku dijawab dengan jelas oleh Jenar. Sampai kami berpisah di persimpangan koridor, karena letak kelas kami berbeda.

Jenar berlari menuju ke kelasnya setelah mengangkat telepon. Temannya menelepon, karena sebentar lagi kelas akan dimulai. Buru-buru Jenar pergi, padahal kami belum berkenalan secara resmi. Tentu saja aku berteriak, tidak mau kehilangan kesempatan untuk mengetahui nama bidadari berbalut gamis syar'i warna dusty itu.

“Aku belum tahu namamu.”

Gadis manis itu berbalik, senyumnya membuat kedua ceruk pipinya terlihat, “Jenar. Nama saya Jenar.”

“Nama lengkap?”

“Rinjani Jenar Adhitama.”

Aku mengacungkan ibu jari. Dalam hati aku berjanji, kalau siang itu bukan pertemuan terakhirku dengan Jenar. Akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Sebab aku ingin mengenalnya lebih jauh, ingin akrab dengannya.

Baru saja aku akan melangkah, sepatuku seperti menginjak sesuatu. Kutarik kakiku, memeriksa barang apa yang kuinjak. Kuambil benda berbungkus plastik yang ternyata adalah satu sachet kopi dengan merk paling familier.

Dahiku berkerut dalam, barang ini kemungkinan besar milik Jenar. Mungkin jatuh saat gadis itu mengambil ponsel dari saku gamisnya tadi. Yang membuatku penasaran. Kenapa Jenar membawa kopi dalam sachet kecil itu? Lalu kenapa sudah dalam keadaan terbuka dan dibungkus plastik? Sungguh mematik rasa ingin tahuku.

Setelah akrab dengan Jenar baru kutahu jika ia mempunyai trauma terhadap sesuatu. Sehingga ia harus membawa selalu kopi sachet di dalam tasnya. Tremor pada tangan adalah pertanda trauma sedang kambuh dan aroma kopilah yang dapat membuatnya tenang saat. Itu sebabnya aku sering melihatnya sedang menghirup kopi dalam genggaman tangan.

Aku tidak mempermasalahkan trauma Jenar, ingin sekali aku membantunya sembuh. Tapi Jenar selalu menolak, dia berkilah bahwa yang dialaminya bukan trauma tapi hanya semacam phobia. Mungkin karena aku orang asing baginya, jadi Jenar belum bisa berterus terang.

“Nggak apa, kok. Masih bisa kuatasi sendiri.” Begitu kata Jenar, saat aku menawarkan pengobatan.

Hubungan kami awalnya hanya pertemanan biasa. Kami sering berdiskusi, bertukar cerita, berbagi informasi. Dari ngobrol ringan, soal tugas dan kegiatan organisasi, meningkat menjadi membicarakan tentang masa depan.

Aku mengira hubunganku dengan Jenar selama ini sudah cukup begini saja. Kami mengakui perasaan masing-masing, tapi kami belum berkomitmen. Aku dan Jenar sepakat menyelesaikan kuliah dulu, baru memikirkan tentang pernikahan.

Kami tidak main-main dengan hubungan kami, terutama aku. Aku sangat serius, tidak pernah terbersit dalam benakku ingin mempernainkan Jenar. Mana berani aku mempermainkan gadis tersayang di keluarganya.

Tapi untuk menuju ke jenjang yang lebih serius, tentunya aku butuh perencanaan yang matang. Karena berumah tangga perlu kesiapan lahir, batin, mental dan spiritual, tidak sesederhana yang dibayangkan.

Lagi pula aku sudah menunjukkan keseriusanku kepada Jenar. Setiap kali aku mengajaknya pergi, aku selalu meminta ijin kepada pamannya. Aku juga meminta ijin langsung kepada kakaknya waktu aku berkunjung ke Jakarta beberapa waktu yang lalu. Bahkan aku sudah berkenalan dengan orang tua Jenar, walau hanya lewat video call.

Ternyata bapak dan ibu tidak sependapat denganku. Bagi orang tuaku, masih kurang serius jika aku belum ‘nembung’ (meminta) secara resmi pada orang tua Jenar. Kami orang jawa, tentu saja menjunjung tinggi adat istiadat jawa yang akrab dengan unggah-ungguh, sopan-santun.

“Jenar itu disini tidak tinggal sama orang tuanya, kan? Bapak nggak mau anak bapak dikira main belakang karena tidak segera nembung.” Begitu kata bapak beberapa waktu yang lalu. Usai Jenar berkunjung ke rumah, menjengukku karena aku sedang masuk angin.

“Ghufron sudah kenal sama ayah bundanya Jenar, Pak. Kakaknya juga sudah pernah ketemu waktu di Jakarta, iya, kan, Lin?” aku meminta pembenaran kepada Nalini.

Nalini lah orang paling tahu apa saja yang kulakukan dengan Jenar. Kemana pun aku pergi dengan Jenar, Nalini selalu ikut. Sebab aku tidak ingin pergi hanya berdua saja, khawatir tidak bisa menutup telinga dari bisikan setan.

“Ya, tetap saja tidak elok. Kalian itu sering wira-wiri bareng, rasanya tidak pantas kalau masih tanpa status. Setidaknya ada niat baik dari orang tua, Ghuf. Bapak juga punya anak perempuan, tidak ingin anak perempuan bapak dipermainkan sama laki-laki.”

“Ghufron nggak main-main, Pak. Hanya belum waktunya untuk kami menikah. Kami sudah punya target sendiri.”

“Ya, kalau gitu kalian ta’aruf saja, dulu. Kita silahturahmi sama keluarganya Jenar, biar tidak jadi fitnah. Ingat, Ghuf! Anak polah, bopo kepragah.” *

Aku jadi ingat tausiah gusku dulu waktu aku masih nyantri di pesantren. Nasehat yang dulu masih awam bagiku, kini aku mengerti maknanya.

“Wa in tu’arrifu fa atsbithu waqif. Waqif ‘alal maqshuuri chatman bil alif." (Bila engkau mengenalnya, maka pinanglah dan suntinglah dia sebagai pasanganmu dengan gagah perkasa seperti huruf alif.)©️

Karena bapak terus mendesak, akhirnya aku menyetujui keinginan bapak. Benar juga kata bapak, wanita butuh kepastian bukan sekedar harapan.

Kuajak Jenar pergi. Untuk pertama kalinya kami hanya pergi berdua, tanpa Nalini. Karena aku ingin bicara serius dengannya. Aku bertanya tempat mana yang paling ingin ia kunjungi selama di Jogja, ternyata banyak sekali.

“Candi ratu boko, Sindu kusuma edupark, kids fun, parangtritis, taman pelangi (monjali waktu malam hari) …” masih banyak lagi yang Jenar sebutkan, membuatku tertawa saja.

“Satu tempat saja yang paling pengen kamu kunjungi, Nduk.”

“Sekaten.”

Aku tertawa lagi. Bagaimana bisa aku mengajaknya ke sekaten? Acara yang dilaksanakan setiap bulan maulud itu. Sebagai gantinya aku mengajak Jenar ke suatu tempat, yang tidak Jenar sebutkan tapi kupastikan dia akan menyukainya.

Malam itu di Pendopo lawas, sisi timur alun-alun utara Yogyakarta. Ketika kami duduk diantara ratusan orang disana, sedang mendengarkan alunan musik dari duet pemilik suara emas. Yang lagu-lagunya menjadi top playing list di aplikasi me-tube. Aku membicarakan hal paling serius dengan Jenar.

Credit Foto by. kompasiana.

“Nduk, pernah tidak kamu bayangin kita kalau udah nikah seperti apa?”

Jenar mengangguk, “pernahlah, Mas.”

“Bayangin apa?”

“Jenar bayangin, kalau kita sudah nikah … habis maghrib kita duduk berhadapan. Mas nyimak hafalanku, benerin kalau aku salah.”

“Cuma itu?”

“Ehm … bayangin mas jemput aku pulang kerja, terus kita pulang bareng. Atau kita kerja di rumah sakit yang sama, berangkat bareng, makan siang bareng, gitu.”

Aku tersenyum, “sederhana banget, Nduk?"

“Bahagia bisa disederhanakan, Mas.”

Aku setuju dengan ucapan Jenar. Tidak perlu memikirkan hal yang terlalu jauh dari jangkauan, kalau membayangkan hal sederhana saja bisa membuat bahagia.

“Kalau mas gimana?”

Aku mengerutkan dagu, pura-pura berpikir. Sengaja membuat Jenar menunggu jawabanku. Padahal sudah kusimpan jawabanku sejak pertama kali mengenalnya.

“Aku pernah membayangkan kalau kita nikah, tinggal di rumah sendiri. Aku pakai sarung kotak-kotak, baca Al-qur’an. Kamu pakai gamis warna dusty, nyimak bacaanku. Waktu itu kamu habis ngajarin anak kita alif, ba, ta.” (Huruf hijaiyah).

Jenar menutup mulut, kebiasaan kalau dia sedang tertawa. Seolah malu jika giginya sampai terlihat. Itulah Jenar, serba berhati-hati dalam tingkah laku. Itu yang membuatku memantapkan hati untuk memperjuangkannya.

“Dik, akhir pekan ini bapak ibu mau silahturahmi sama orang tua kamu. Gimana?”

Malam itu kulihat wajah Jenar bersemu merah. Untuk pertama kalinya gadis itu menatapku lebih dari tiga detik. Hal itu membuat jantungku berdetak tanpa irama. Satu hal yang kusesali karena aku menatap ke dalam matanya.

Jenar benar seharusnya aku tidak menatapnya lebih dari tiga detik, karena pada detik ke empat dan seanjutnya aku telah jatuh cinta padanya. Jatuh cinta pada bidadari dalam balutan gamis syar'i ini.

"Kamu mau, kan, Nduk? Membangun rumah tangga denganku?

.

.

.

Bersambung ....

Note :

*Peribahasa jawa yang artinya : Setiap tindakan yang dilakukan anak, orang tua akan terkena imbasnya.

©Dikutip dari tausiah nikah yang disampaikan oleh kakaknya author.😁

Terpopuler

Comments

Emi Wash

Emi Wash

aduh... ikut baper deh...
betul jenar bahagia itu bisa sederhana ga muluk2...

2022-08-01

0

Parti

Parti

Mas ghufron suami idaman banget nih...sayang aku masih setia sama mas reyfanku terlope2 😍

2022-06-01

1

Chery Sii Kelinci Madu

Chery Sii Kelinci Madu

aahhh... Jenar di lamar

2022-03-14

0

lihat semua
Episodes
1 1. Gunung yang sulit ditaklukkan.
2 2. Sang Raja yang mengabdi sebagai pelayan
3 3. Sebuah Rahasia.
4 4. Calon Imam Idamanku.
5 5. Sister, the Best Partner of my life.
6 6. Menyelesaikan Masalah orang lain.
7 7. Tentang Dia
8 8. Merapah Asa.
9 9. Merapah Asa 2
10 10. Find Something Missing
11 11. Another Job, another experience.
12 12. It's Beautyful to fall in love
13 13. Teman beda level.
14 14. Inikah yang dinamakan Rindu?
15 15. Bidadari dalam balutan gamis syar'i.
16 16. Wrong gift for the wrong man
17 17. This is my life.
18 18. Ngebun-bun Enjang Anjejawah Sonten.
19 19. Traumatic atau Defensif?
20 20. Hari Yang Tidak Biasa.
21 21. Sebuah Ketulusan.
22 22. Balasan Kebaikan.
23 23. Sang Pejuang Cinta Sejati.
24 24. Hampa dalam Asa dan Rasa.
25 25. Seberkas Sinar.
26 26. Perasaan Tersembunyi.
27 27. Tentang rasa dan Asa ku.
28 28. Rindu Tanpa Temu.
29 29. Hati yang Gundah.
30 30. Gejolak Rasa
31 31. Ghufron Al-Ghazali S. Ked.
32 32. Jodoh Pasti Bertemu.
33 33. No Time To Take A Rest
34 34. Kejutan yang Indah.
35 35. Another Surprise.
36 36. Ikhtiar Maksimal.
37 37. Malaikat Tak Bersayap
38 38. Calon Menantu yang Bijaksana
39 39. Takdir Tidak Pernah Salah.
40 40. Akhir dari sebuah Tugas.
41 41. Patah Hati paling tragis.
42 42. Mengikhlaskan yang Harus dikhlaskan.
43 43. Titik Balik
44 44. Terjebak Hujan di Tengah Makam.
45 45. Terjebak Hujan di Makam (2)
46 46. Tentang Masa lalu.
47 47. Satu meja dalam perbedaan.
48 48. Tidak bisa lepas dari rasa bersalah.
49 49. Diantar Pulang.
50 50. Tanda Terima Kasih
51 51. Empaty
52 52. Gundah
53 53. Mengetuk Nurani
54 54. Peduli
55 55. Sengaja Tapi Bukan Rencana
56 56. Drama Bercanda
57 57. Melihat sisi Lemahmu
58 58. Dighosting (lagi)
59 59. Perempuan itu Unik.
60 60. Salah Kira.
61 61. Malu Bukan Karena Mau
62 62. Bersikap Aneh
63 63. Bermain dengan Hati.
64 64. Goyah dalam pengembaraan.
65 65. Jalan Takdir
66 66. Menjalankan Amanah
67 67. Pergi Berdua tanpa Rencana
68 68. 1. Pertemuan Membuka Luka
69 68. 2. Pertemuan Membuka Luka
70 69. Aroma Parfum dan Kenangan
71 70. Pria yang Punya Empaty
72 71. 1.Tentang Arah Pandang
73 71.2. Tentang Arah Pandang
74 72.1. Pertemuan Menyembuhkan Luka
75 72.2. Pertemuan Menyembuhkan Luka
76 73. Ingin Sembuh.
77 74. Malaikat Penolong
78 75. Putri Tidur
79 76. Bukan Karena Rindu
80 77. Luka yang Tak Biasa
81 78. Khawatir
82 79. Debar Kekaguman.
83 80. Mengalah.
84 81. Kaki Seribu bikin Cemburu
85 82. Heart Beat
86 83. Konseling yang Menyenangkan
87 84. Salah Kirim
88 85. Akibat Salah Kirim
89 86. Sikap Impulsif
90 87. Senandung Hati
91 88. Pay With Your Smile
92 89. Praduga Rasa
93 90. Merapah Rasa dalam Hati.
94 91. Merapah Rasa dalam Hati 2
95 92. Menolak Gejolak
96 93. Alasan Temu
97 94. Rindu dan Cemburu
98 95. Tertambat Hati
99 96. Ungkapan Perasaan
100 97. Curiga.
101 98. Rindu Berbalas Cemburu.
102 99. Bukan Saingan
103 100. Let Me Fight to Love You
104 101. Berhak Bahagia
105 102. Mencari jalan-Mu
106 103. The Birthday Surprise
107 104. Harapan dan Do'a yang Berbeda
108 105. Gara-Gara Kado
109 106. Romansa di Ujung Senja
110 107. Bukan Kencan
111 108. Kalau Hati Sudah Bicara
112 109. Sandiwara Amatiran
113 110. Kado Istimewa
114 111. Kado Istimewa part 2
115 112. Batas Toleransi Rasa
116 113. Torehan Kecewa
117 114. Torehan Kecewa 2
118 115. Ungkapan Rasa Terpendam
119 116. Titik Balik
120 117. Buah sebuah Kesalahan
121 118. Nasehat kakak
122 119. Perubahan Hara
123 120. Rasa yang Telah Tumbuh
124 121. Membalut Luka.
125 122. Menuntaskan Rindu
126 123. Secangkir Kopi untuk Membuka Sekat
127 127. Firasat
128 128. Terkuak
Episodes

Updated 128 Episodes

1
1. Gunung yang sulit ditaklukkan.
2
2. Sang Raja yang mengabdi sebagai pelayan
3
3. Sebuah Rahasia.
4
4. Calon Imam Idamanku.
5
5. Sister, the Best Partner of my life.
6
6. Menyelesaikan Masalah orang lain.
7
7. Tentang Dia
8
8. Merapah Asa.
9
9. Merapah Asa 2
10
10. Find Something Missing
11
11. Another Job, another experience.
12
12. It's Beautyful to fall in love
13
13. Teman beda level.
14
14. Inikah yang dinamakan Rindu?
15
15. Bidadari dalam balutan gamis syar'i.
16
16. Wrong gift for the wrong man
17
17. This is my life.
18
18. Ngebun-bun Enjang Anjejawah Sonten.
19
19. Traumatic atau Defensif?
20
20. Hari Yang Tidak Biasa.
21
21. Sebuah Ketulusan.
22
22. Balasan Kebaikan.
23
23. Sang Pejuang Cinta Sejati.
24
24. Hampa dalam Asa dan Rasa.
25
25. Seberkas Sinar.
26
26. Perasaan Tersembunyi.
27
27. Tentang rasa dan Asa ku.
28
28. Rindu Tanpa Temu.
29
29. Hati yang Gundah.
30
30. Gejolak Rasa
31
31. Ghufron Al-Ghazali S. Ked.
32
32. Jodoh Pasti Bertemu.
33
33. No Time To Take A Rest
34
34. Kejutan yang Indah.
35
35. Another Surprise.
36
36. Ikhtiar Maksimal.
37
37. Malaikat Tak Bersayap
38
38. Calon Menantu yang Bijaksana
39
39. Takdir Tidak Pernah Salah.
40
40. Akhir dari sebuah Tugas.
41
41. Patah Hati paling tragis.
42
42. Mengikhlaskan yang Harus dikhlaskan.
43
43. Titik Balik
44
44. Terjebak Hujan di Tengah Makam.
45
45. Terjebak Hujan di Makam (2)
46
46. Tentang Masa lalu.
47
47. Satu meja dalam perbedaan.
48
48. Tidak bisa lepas dari rasa bersalah.
49
49. Diantar Pulang.
50
50. Tanda Terima Kasih
51
51. Empaty
52
52. Gundah
53
53. Mengetuk Nurani
54
54. Peduli
55
55. Sengaja Tapi Bukan Rencana
56
56. Drama Bercanda
57
57. Melihat sisi Lemahmu
58
58. Dighosting (lagi)
59
59. Perempuan itu Unik.
60
60. Salah Kira.
61
61. Malu Bukan Karena Mau
62
62. Bersikap Aneh
63
63. Bermain dengan Hati.
64
64. Goyah dalam pengembaraan.
65
65. Jalan Takdir
66
66. Menjalankan Amanah
67
67. Pergi Berdua tanpa Rencana
68
68. 1. Pertemuan Membuka Luka
69
68. 2. Pertemuan Membuka Luka
70
69. Aroma Parfum dan Kenangan
71
70. Pria yang Punya Empaty
72
71. 1.Tentang Arah Pandang
73
71.2. Tentang Arah Pandang
74
72.1. Pertemuan Menyembuhkan Luka
75
72.2. Pertemuan Menyembuhkan Luka
76
73. Ingin Sembuh.
77
74. Malaikat Penolong
78
75. Putri Tidur
79
76. Bukan Karena Rindu
80
77. Luka yang Tak Biasa
81
78. Khawatir
82
79. Debar Kekaguman.
83
80. Mengalah.
84
81. Kaki Seribu bikin Cemburu
85
82. Heart Beat
86
83. Konseling yang Menyenangkan
87
84. Salah Kirim
88
85. Akibat Salah Kirim
89
86. Sikap Impulsif
90
87. Senandung Hati
91
88. Pay With Your Smile
92
89. Praduga Rasa
93
90. Merapah Rasa dalam Hati.
94
91. Merapah Rasa dalam Hati 2
95
92. Menolak Gejolak
96
93. Alasan Temu
97
94. Rindu dan Cemburu
98
95. Tertambat Hati
99
96. Ungkapan Perasaan
100
97. Curiga.
101
98. Rindu Berbalas Cemburu.
102
99. Bukan Saingan
103
100. Let Me Fight to Love You
104
101. Berhak Bahagia
105
102. Mencari jalan-Mu
106
103. The Birthday Surprise
107
104. Harapan dan Do'a yang Berbeda
108
105. Gara-Gara Kado
109
106. Romansa di Ujung Senja
110
107. Bukan Kencan
111
108. Kalau Hati Sudah Bicara
112
109. Sandiwara Amatiran
113
110. Kado Istimewa
114
111. Kado Istimewa part 2
115
112. Batas Toleransi Rasa
116
113. Torehan Kecewa
117
114. Torehan Kecewa 2
118
115. Ungkapan Rasa Terpendam
119
116. Titik Balik
120
117. Buah sebuah Kesalahan
121
118. Nasehat kakak
122
119. Perubahan Hara
123
120. Rasa yang Telah Tumbuh
124
121. Membalut Luka.
125
122. Menuntaskan Rindu
126
123. Secangkir Kopi untuk Membuka Sekat
127
127. Firasat
128
128. Terkuak

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!