🍁Jangan menilai sesuatu hanya dari yang terlihat, seringkali durian yang manis justru yang kulitnya ada bekas dimakan tupai. Sebaliknya, buah kedondong yang kulitnya mulus ternyata biji dalamnya berserabut dan rasanya masam.🍁
Hara.
Dalam hidup, aku hanya menjalani yang sudah tersurat. Meski banyak rencana yang sudah kutulis, tapi semua hanya rencana tentang pekerjaan. Bukan soal kehidupan pribadiku. Aku nyaris tidak pernah memikirkan masa depanku sendiri, di luar konteks pekerjaan tentunya. Bagiku punya rumah, uang dan bisa menjalani hidup seperti yang kuinginkan itu sudah cukup.
Orang lain melihatku hampir sempurna, tanpa cela. Tapi mereka tidak tahu apa yang sudah kulalui sehingga aku bisa menjadi seperti sekarang ini. Mereka juga tidak tahu kenapa aku memilih jalan hidup seperti ini.
Mengapa aku tidak pernah memikirkan masa depanku sendiri.? Terutama soal menikah dan punya anak, sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikiranku.
Ketika malam ini aku duduk bertiga dengan mbok Jum dan mang Saeb, baru aku sadar, bahwa masa depanku mengkhawatirkan. Cenderung suram.
“Mas Hara sudah mendekati kepala 3, sudah waktunya menikah …,” mbok Jum menatap langit malam kota metropolitan yang bersemburat kekuningan. Bias dari pijar lampu kota yang berpendar.
“Iya, Den. Mumpung kami masih sehat, kami ingin sekali melihat aden bahagia,” mang Saeb menepuk bahuku.
Kami bertiga sedang duduk di kursi rotan yang terdapat di teras belakang rumah. Ditemani sepiring kue bolu buatan mbok Jum, aroma harum kopi menguar dari cangkir yang masih menguapkan uap panas. Udara kota metropolitan yang selalu gerah, malam ini menjadi sedikit sejuk. Mungkin karena musim kemarau.
“Sudah cukup mas Hara memikirkan orang lain, sekarang saatnya mikir diri sendiri, masa depan mas Hara sendiri. Memangnya mas Hara tidak ingin menikah dan punya anak seperti teman-teman mas Hara?” dari memandang langit malam, mbok Jum beralih menatapku. Wajah keriputnya tampak lelah, lengkap dengan mata teduh yang sedikit sayu.
“Belum kepikiran, Mbok. Masih nyaman seperti ini, saya belum ingin dibatasi.” Jawabku setelah menghisap rokok lalu menghembuskan asapnya ke udara.
“Apalagi yang mas Hara tunggu?” kudengar mbok Jum menghela napas panjang, “dua anak simbok sudah menikah, hidup bahagia bersama keluarga mereka. keduanya sudah punya rumah sendiri karena mas Hara. Sekarang Soleh juga sudah dapat pekerjaan yang bagus.”
“Iya, Mbok. Tapi Soleh tidak tahu diri, sudah numpang di sini, malah ingin menggeser tempatku.”
Mbok Jum dan mang Saeb tertawa. Sedangkan aku hanya tersenyum masam. Sepasang paruh baya yang terlihat lebih tua dari usianya ini termasuk orang penting dalam hidupku. Mereka yang merawatku, mengganti posisi orang tuaku yang telah pergi.
“Mang …,” panggilku. Mang Saeb menggerus batang rokok yang tinggal sepuntung, lalu fokus menatapku.
“Boleh saya bertanya?”
“Tentang apa, Den? Sejak kapan aden mau tanya saja pake minta ijin? Sejak pulang dari Jogja, mamang rasa aden jadi sedikit berubah. Tata bicaranya lebih sopan dan lebih pengertian sama orang lain. Mamang jadi curiga.”
Aku menggeleng tidak setuju, “nggak ada yang berubah, Mang. Saya begini saja dari dulu sampai sekarang.” Tentu saja aku tidak merasa ada yang berubah dalam sikap dan sifatku. Kecuali sekarang aku sering terbayang wajah mbak Nabila dan Naufal, tidak mungkin hal itu berpengaruh pada sikap dan tingkah lakuku, kan?
“Aden mau tanya soal apa?”
Aku menjentikkan jari untuk membuang abu pada ujung rokok, kuarahkan pandangan lurus pada mang Saeb dan mbok Jum. Teringat akan rasa penasaran yang kupendam lama. Hanya tersimpan di dalam hati, belum sempat terucap. Kini harus kutuntaskan, selagi ada kesempatan.
“Mamang, kan, sudah lama kerja disini. Lebih lama dari mbok Jum, jadi mamang pasti tahu seperti apa hidup papa dan mama saya dulu.”
Mang Saeb terlihat mengernyit, mungkin sedang mengingat-ingat tentang masa lalu. Aku diam, menunggu jawabannya.
“Wah! Kalau diceritakan semua, bisa seminggu nggak selesai, Den. Cerita tentang bapak dan ibu itu panjang banget ….”
“Mamang tahu, bagaimana mama dan papa bisa menikah?”
Mang Saeb tersenyum, tapi sejenak kemudian dia menghembuskan napas panjang. Aku tahu mang Saeb adalah saksi hidup perjalanan cinta mama dan papa. Karena dia sudah bekerja di sini, sejak sebelum papa dan mama menikah.
“Pak Yohan dan bu Widuri teman satu kantor. Mamang tidak tahu pasti mereka satu bagian atau tidak. Mamang cuma ingat, dulu sering disuruh bapak nganterin bu Widuri pulang ke rumah kontrakannya.”
Aku dan mbok Jum sama-sama diam, tidak ada yang ingin menyela cerita mang Saeb. Aku sengaja menggerus rokok, padahal masih tersisa setengah batang. Hanya untuk memperhatikan dengan baik penuturan mang Saeb tentang papa dan mama.
“Satu-satunya perempuan yang diajak pulang oleh pak Yohan, ya, hanya ibu. Tidak pernah ada perempuan lain yang dekat dengan pak Yohan selain bu Widuri. Aden harus tahu, perjalanan mereka untuk menikah tidak mudah. Karena mereka sama-sama tidak mendapat restu baik dari keluarga pak Yohan atau keluarga ibu.”
Ini cerita menarik, sebab aku tidak pernah tahu bagaimana mama dan papa bisa menikah. Dengan status mama yang bukan seorang gadis lajang.
“Waktu itu papa tahu tidak tentang status mama?”
“Tentu saja tahu, Den. Mamanya aden tidak pernah menyembunyikan statusnya. Bahkan bapak pernah mengantar ibu pulang ke Jogja. Bapak sendiri yang bilang sama suami ibu, tentang hubungan mereka.”
“Mang Saeb tahu waktu itu pak Wawan bilang apa?”
“Den … aden jangan menganggap ibu itu bukan perempuan baik-baik yang mudah tergoda laki-laki lain saat jauh dari suami. Ibu itu orang baik, Den.”
Aku tersenyum remeh, semua orang bilang mamaku orang baik. Termasuk mbak Nabila dan pak Wawan. Perempuan baik macam apa yang tega meninggalkan suami dan anaknya demi laki-laki lain? Apa karena papa lebih kaya dan tampan dari pada pak Wawan?
“Mas Hara! Cinta itu datang tanpa bisa dicegah, karena itu karunia Tuhan. Mungkin itu yang terjadi pada mama dan papa mas Hara dulu. Hubungan rumit yang harus mengorbankan banyak pihak untuk bersatu.” mbok Jum menepuk punggung tanganku pelan, aku tahu dia tidak ingin aku berpikir buruk tentang mama dan papa.
“Yang jelas, ibu tidak pernah melupakan anak-anaknya, Den. Ibu rutin kirim uang bulanan untuk mereka, ibu juga kadang-kadang mengunjungi mereka. Maka dari itu, waktu mereka dengar kabar ibu meninggal, mereka segera datang dan membawa pulang jenazah ibu untuk dimakamkan secara muslim. Seperti agama yang ibu anut semasa hidup.”
“Mama dan papa menikah dalam agama apa, Mang?”
Mang Saeb tertawa kecil, lalu menepuk bahuku. Ia menatapku penuh selidik, “kenapa tiba-tiba aden bertanya seperti ini? Apa yang aden lakukan di Jogja? Hem?”
“Selama di Jogja, saya tinggal di rumah pak Wawan, Mang. Pak Wawan dan mbak Nabila mengurus makam mama dengan baik, padahal mama sudah menyakiti mereka.”
Mang Saeb menggeleng tidak setuju, “itulah bentuk ikhlas yang sebenarnya, Den. Ikhlas tanpa kata ikhlas, tapi dilakukan dengan perbuatan yang tulus tanpa mengharap imbalan.”
“Pak Wawan itu orang baik, buktinya beliau mau menerima aden tinggal di rumahnya. Pantas saja aden berubah, jadi lebih manusiawi.” Mang Saeb mengakhiri kalimatnya dengan tawa.
“Mamang pikir selama ini aku tidak manusiawi?”
“Sedikit, Den. Hanya sedikit, aden susah sekali bergaul dengan orang lain, sih.”
Aku mengangkat bahu. Lebih memilih mengambil satu batang rokok, lalu menyulutnya. Kalau sudah begini, biasanya mang Saeb sudah tidak ingin memperpanjang cerita. Meskipun aku masih ingin mendengarnya. Dulu waktu aku kecil, mang Saeb dan mbok Jum sering menceritakan tentang mama dan papa, tapi hanya sebagian kecil. Masih banyak yang ingin kuketahui, masih banyak yang membuatku penasaran.
“Kalau aden ingin tahu bagaimana mama dan papanya aden menikah, aden lihat saja foto mereka. Ada album fotonya, kan?”
Aku baru ingat kalau ada album foto yang menyimpan kenangan masa lalu kami. Mama, papa dan aku waktu kecil. Aku juga baru ingat kalau ada foto mama dan papa dalam bingkai, terpasang pada dinding ruang tamu. Foto berukuran besar saat mama dan papa menikah.
“Mamang di sana, Den. Saat mama dan papa aden mengucap janji suci, pada saat pemberkatan pernikahan ….”
Aku tahu sekarang, bahwa mama dan papa menikah secara nasrani. Jadi mama ….
“Tidak lama setelah menikah, mamang lihat bu Widuri salat di situ,” mang Saeb menunjuk kamar belakang yang sekarang dipakai oleh Soleh untuk tidur.
“Jadi mama pindah agama lagi setelah menikah, Mang?”
Mang Saeb mengangguk, “setiap tahun pak Yohan ikut merayakan idul fitri, bu Widuri juga menyiapkan rumah untuk perayaan natal dan paskah. Mereka bahagia, meskipun hidup berbeda.”
“Tapi, Mas. Saran simbok, kalau mas Hara mau nikah, cari yang seiman sama mas Hara. Perbedaan keyakinan tidak selamanya bisa disatukan, Mas.”
“Sudah kubilang belum kepikiran nikah, Mbok.”
“Ya, kalau memang sudah ada incaran, sebaiknya bawa pulang, Den. Kenalin sama kita. Ya, kan, Mbok?”
“Ha ha ha. Mamang sama simbok bisa pingsan kalau saya bawa pulang wanita.”
“Simbok do’akan, semoga mas Hara menikah sebelum genap kepala tiga.”
Walau tidak setuju, tapi tetap kuaminkan ucapan mbok Jum. Bukankah Tuhan punya rencana untuk setiap makhlukNya? Entah do’a mana yang terkabul, kita hanya tinggal menerima takdir.
Malam itu kami habiskan dengan membicarakan banyak hal. Rasanya sudah lama aku tidak duduk bersama dengan mbok Jum dan mang Saeb seperti ini. Seperti waktu aku masih kecil dulu. Waktu mereka menemaniku mengerjakan tugas sekolah. Atau waktu mereka menemaniku menonton acara televisi.
Malam ini kugunakan kesempatan, sebelum besok aku pergi entah untuk berapa lama. Aku tidak tahu kapan lagi bisa mengobrol dengan mereka, kapan lagi aku punya kesempatan duduk bersama mereka. Dua orang yang sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri. Mereka ada saat aku kehilangan pegangan, mereka yang menopang, saat aku jatuh dan hampir kehilangan harapan hidup.
“Selama saya pergi, apa Cecilia pernah pulang, Mbok?”
“Tidak, Mas.” mbok Jum menggeleng, “hanya beberapa kali menelpon simbok tanya mas Hara pulang atau tidak.”
“Tetap bersihkan kamarnya, ya, Mbok. Siapa tahu kapan-kapan dia pulang.”
“Beres, Mas.”
“Aden ini, sayang banget sama Non Cecilia.”
“Kalau bukan saya yang perhatikan dia, siapa lagi, Mang? Ibunya saja sudah tidak peduli sama dia.”
Tanpa terasa malam makin larut, tapi tidak ada dari kami yang ingin mengakhiri obrolan. Ada saja yang menjadi topik pembicaraan, selesai satu ganti yang lain. Menyenangkan, aku merasa menjadi diriku sendiri jika sedang bersama mereka.
***
Yogyakarta.
Pesawat yang kutumpangi baru saja mendarat di Yogyakarta International Airport. Aku datang lebih dulu ke kota ini, sengaja mendahului Reyfan dan Aneesha yang baru akan berangkat besok sore. Karena banyak yang harus kuurus.
Tujuan pertamaku adalah, apartemen tempat tinggal Cecilia.
Adik sepupuku itu memberiku pelukan hangat ketika menyambut kedatanganku di depan pintu unitnya. Kuacak rambutnya yang berantakan, dia pasti baru saja bangun tidur.
“Pemotretan sampai tengah malam, baru tidur menjelang pagi.” Kilahnya sembari menggamit lenganku, masuk ke dalam apartemen, “kakak mau minum kopi? Atau sarapan?”
“Ini sudah siang, sarapan juga sudah telat,” aku mendudukkan diri di sofa, sementara Cecilia sibuk di mini bar. Dia meringis, menunjukkan gigi-giginya yang putih dan rapi.
“Kakak kemari, kok, nggak ngabarin?”
“Pengen tahu apa yang kamu lakukan, sampai jarang pulang.”
“Sibuk, Kak. Jadwal penuh,” Cecilia berjalan mendekat dengan membawa secangkir kopi yang masih menguarkan uap panas, lalu meletakkannya di meja.
“Kakak bukannya baru pulang ke Jakarta, ya? Kok, sudah sampai Jogja lagi?”
“Iya. Ada urusan.” Kuusap kepala adik sepupu kesayanganku itu, “kamu apa kabar, Ci?” Panggilan sayangku padanya.
“Baik, Kak. Sangat baik … Ci kangen, deh, sama kakak.” Seperti biasa Cecilia menyandarkan kepala dengan manja di bahuku. Persis seperti anak kecil bertemu dengan ayahnya, "nanti kita jalan, ya, Kak?"
“Nggak bisa, Ci. Kakak nggak bisa lama disini, kakak harus sudah sampai Magelang sore. Jadi kita hanya punya waktu sebentar, maaf, ya."
Cecilia menunjukkan wajah penuh kecewa, tapi sejurus kemudian ia menyeringai. Seperti menemukan sebuah ide cemerlang.
“Kita pesta di sini saja, Kak. Aku pesenin makanan sama minuman, gimana?”
“Oke!”
Sisa siang itu kuhabiskan dengan berpesta bersama Cecilia. Pesta ala kami adalah menghabiskan banyak makanan dan bir sambil berkaraoke ria. Meskipun dengan suara sumbang tak jelas, tapi sukses melepas penat dan beban hidup.
This is my life.
Jika orang lain memandang hidupku sempurna, itu memang benar. Bagiku tidak perlu memikirkan masa depan, jika dengan hidupku yang sekarang saja aku sudah bahagia. Aku juga bisa membahagiakan orang-orang di sekitarku, untuk apa aku memikirkan hal yang masih abu-abu?
Sama halnya tentang masa depan, aku masih enggan memikirkannya. Sebab bagiku menikah hanya akan membatasi gerakku, punya istri dan anak hanya akan merepotkanku.
Tentang menikah ... mungkin akan kupikirkan nanti, jika aku punya waktu luang. Saat ini aku hanya ingin menikmati hidup seperti yang kumau, hidup semauku ....
.
.
.
Bersambung....
Hai teman-teman ....
Insyaalloh bab selamjutnya akan up tiap 3 hari sekali, do'akan lebih cepat😁
Jadi boleh dong aku minta hadiah😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Emi Wash
ikhlas itu ilmu tingkat dewa....
2022-08-01
0
안니사
Wahhhh perjalanan sebenarnya baru akan segera dimulai nih kayaknya, seru seru seru!!!
2021-12-01
1
💐 💞mier🌹❤️
hidup itu buat dinikmati....untuk.cari bekal didunia yg lain ....jadi jalani ...nikmati syukuri 🥰🥰🥰
tak perlu repotkan mas hara 😂😂💪
2021-10-02
0