...🍁Tuhan menggariskan takdir bukan tanpa rencana, melainkan selalu ada pesan tersirat dari peristiwa yang tersurat.🍁...
Hara.
Jakarta.
Bagi kebanyakan orang, mungkin pagi hari menjadi waktu yang paling dinanti. Dimana sang surya menyapa bumi dengan gagahnya, suara cuitan burung-burung keluar dari dalam sangkar, semilir angin pagi yang membelai hari. Menjadi simponi paling indah, menghadirkan semangat untuk menjemput kesempatan baru.
Sebagaimana orang kebanyakan yang memulai aktivitas di pagi hari, sepasang asisten rumah tanggaku pun melakukan hal yang sama. Sejak matahari belum keluar dari peraduan, aku sudah mendengar suara berisik dari arah dapur.
Suara keran mengalir mengisi bak mandi, denting spatula beradu dengan wajan, gemuruh mesin cuci menggiling pakaian, sampai suara sapu lidi menggores halaman belakang. Melodi yang selalu kudengar setiap pagi, hampir sama sejak aku kecil hingga sekarang.
“Mas, Hara! Sudah jam enam ….” Suara mbok Jum berteriak dari dapur. Aku tahu dia melakukannya sambil masak atau mencuci panci bekas memasak sayur.
Enggan kujawab, karena aku sudah tahu kebiasaan mbok Jum. Selalu begitu cara dia membangunkanku, baru setengah 6 tapi mbok Jum bilang sudah jam 6. lima belas menit kemudian, mbok Jum kembali berteriak, “mas Hara! Sudah jam enam lebih, nanti terlambat.”
Aku menyeringai, karena kulihat jarum panjang masih di angka 10. Kujawab teriakan mbok Jum hanya dengan gumaman tidak jelas. Masih enggan aku keluar dari selimut, padahal aku ingat kalau hari ini aku harus berangkat pagi sekali.
“Aden! Kumaha, atuh jam segini belum bangun?” yang ini suara mang Saeb. Lengkap disertai dengan ketukan di pintu.
Kubuka mata dengan malas, menggeliat, meregangkan otot-otot tubuhku. Kubuang napas kasar setelah menguap lalu aku mengucek mata dengan kedua tanganku. Sungguh, masih malas sekali aku bangun. Tapi suara mang Saeb kembali kudengar, kali ini dia membuka pintu dan menyembulkan kepalanya, melongok ke dalam kamar.
“Aden! Tong hilaf, yak! Ke bandara jemput Aden Amir sekeluarga.”
“Iya, Mang ....”
Kusibak selimut, kuturunkan kedua kakiku. Hawa dingin seketika menyergap, ketika telapak kakiku menyentuh lantai keramik kamar. Membuatku mengusap wajah kasar dan terpaksa menarik tubuhku berdiri. Melangkah gontai meraih pintu, keluar dari kamar.
“Air panasnya sudah siap, Den.” Mang Saeb memberikan handuk kepadaku. Seperti biasa, asisten rumah tanggaku ini selalu sigap menyiapkan semua keperluanku.
“Sugeng enjing, Mas Hara!” (Selamat pagi, mas Hara?). Sapa mbok Jum begitu melihatku melangkah melewati dapur. Hanya kujawab dengan gumaman malas sembari masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah selesai mandi, kulihat meja makan sudah dihiasi beberapa piring dan mangkuk. Berisi nasi, sayur dan lauk-pauk. Aroma masakan yang baru saja matang menggelitik indra penciumanku. Mendesak perutku mengeluarkan bunyi, tanda cacing di perutku sedang melakukan demo besar-besaran.
Baru saja tanganku terulur hendak mengambil ayam goreng yang warna kecoklatannya menggugah selera. Tiba-tiba ada suara bernada tinggi dari belakang punggung, membuatku menarik kembali tangan yang sudah terulur.
“Kulino! Bar adus, urung andukan, urung nganggo klambi, wes arep mangan.” (Kebiasaan! Habis mandi, belum handukan, belum pakai baju, sudah mau makan.)
Aku memutar mata, mendesah tidak percaya. Pemilik rumah ini adalah aku, tapi seolah mereka yang berkuasa. Selalu mengatur apa saja yang kulakukan. Tapi anehnya, aku selalu menurut. Mungkin karena jiwa pelayanku yang sudah mendarah daging sejak kecil. Atau karena mereka yang mengasuhku sejak kecil, sehingga aku tidak pernah punya kekuatan untuk membantah.
Kudengar mbok Jum menghardik putra sulungnya dengan nada keras, “Yo ben nopo, to?” (Biarkan saja, kenapa, sih?)
Tapi suaranya melembut saat bicara padaku, “Mas Hara mau sarapan sekarang?”
“Nanti saja, Mbok.” Kutinggalkan meja makan yang penuh dengan makanan, berjalan masuk ke dalam kamar.
Handuk kukalungkan di leher, setelah kugunakan untuk mengusap rambut yang basah. Titik-titik air masih menetes dari rambutku, turun ke bahu, jatuh membasahi punggung dan dada telanjangku. Kuusap dengan handuk, tanpa mengambilnya dari leher.
Kuhampiri cermin yang terpasang pada pintu almari, menatap bayanganku disana. Kuusap dada sampai perut memerhatikan otot-ototku yang atletis. Lalu beralih kusentuh wajahku yang terlihat segar lengkap dengan tetesan air dari bagian rambut bagian depan.
Titik-titik kecil terlihat di sekitar rahang sampai dagu, kuusap dengan telapak tangan, terasa kasar. Kuambil alat cukur dari atas meja yang terletak di samping almari. Kubersihkan titik-titik kecil agar wajahku terlihat bersih dan mulus.
Setelah selesai, kusugar rambut dengan jemari, lalu ku taruh alat cukur kembali ke tempatnya semula. Aku menunduk, ketika jemariku menyentuh sesuatu saat meletakkan alat cukur.
Aku melihat sebuah buku teronggok begitu saja diantara barang-barangku. Kuambil buku yang tidak terlalu tebal itu, kuusap bagian depannya. Bersih, tak berdebu. Tentu saja karena mbok Jum selalu rajin membersihkan kamarku, ada atau tidak ada aku. Kutempati atau tidak.
“Mas Hara! Sarapan sudah siap!”
Baru saja akan kubuka buku itu, tapi suara mbok Jum membuyarkan angan. Ku letakkan kembali buku bersambul warna hijau lumut itu, “ya, Mbok.”
Kubuka pintu almari, mengambil satu set kemeja, celana panjang dan jas. Kupakai satu per satu sambil berkaca di depan cermin. Kupastikan penampilanku rapi maksimal dengan menyematkan dasi di leher dan mengoleskan pomed agar rambutku rapi.
Kuambil ponsel dan tablet dari atas meja, tapi buku bersampul hijau lumut menarik perhatianku. Entah mengapa aku ingin mengambilnya dan membawanya keluar kamar.
Wajah bergurat keriput menyapaku dengan senyum mengembang. Suara khas lengkap dengan pandangan mata teduhnya selalu menentramkan jiwa. Hatiku selalu merasa tenang setiap hari, ketika melihatnya.
“Sudah siap semua, Mas Hara?”
Aku mengangguk, kutarik sedikit kedua sudut bibir sebagai jawaban atas pertanyaannya. Mbok Jum menarik kursi untuk kududuki, seperti biasa yang sudah dia lakukan selama bertahun-tahun.
“Mobil sudah siap, Den.” Mang Saeb memberikan kunci mobil padaku. Pasti dia sudah selesai mencuci dan memanaskan mesin mobil. Seperti biasa yang juga sudah ia lakukan selama bertahun-tahun.
Mbok Jum dan mang Saeb adalah sepasang suami-istri yang bekerja sebagai asisten rumah tanggaku. Dulu, waktu masih ada papa dan mama, hanya mang Saeb yang bekerja disini. Sebagai sopir yang mengantar dan menjemputku ke sekolah.
Sedangkan untuk urusan intern rumah tangga, mama lebih suka melakukan pekerjaan sendiri. Dari masak, mencuci hingga membersihkan seluruh rumah. Mama pikir tidak perlu menggunakan asisten rumah tangga, karena rumah ini tidak terlalu besar, mama juga tidak terlalu repot.
Setelah mama dan papa meninggal, baru mbok Jum diminta pak Reza untuk mengasuhku. Karena waktu itu aku tidak mau tinggal bersama pak Reza.
Sejak saat itu, mbok Jum dan mang Saeb tinggal disini. Meninggalkan ketiga putra-putri mereka di kampung. Tapi sekarang putra sulung mereka ikut tinggal di rumah ini bersama kami.
Kuambil cangkir berisi kopi yang masih menguarkan uap panas, kuhirup dalam-dalam. Aroma kopi buatan mbok Jum memang tidak ada duanya, selalu nikmat menenangkan. Mungkin aku berlebihan, tapi belum pernah kurasakan kopi yang lebih nikmat dari pada kopi bikinan mbok Jum.
Aku pernah bertanya padanya, bagaimana cara membuat kopi seenak ini? Mbok Jum bilang, caranya sama dengan standart cara membuat kopi menggunakan mesin. Tidak ada yang beda dari jumlah biji kopi, proses memecah biji kopi hingga cara menyeduhnya. Tapi kenapa kopi bikinan mbok Jum selalu memiliki rasa yang khas.
‘Mungkin karena simbok bikinnya dengan cinta dan do’a. Dari mengambil biji kopi dari dalam wadah, memasukkannya ke dalam mesin, lalu menyeduh bubuk kopi itu. Simbok selalu memanjatkan do’a untuk mas Hara.’
Jawaban itu yang kudapat, jawaban absurd yang bagiku tidak masuk akal. Tapi kuiyakan saja jawaban yang membuatku merasa disayangi itu.
“Eh?” Lamunanku buyar, ketika sebuah suara mampir di telinga, tepat berasal dari balik punggungku. Membuatku menoleh, “Aden baca buku tentang wayang?”
Aku mengernyit ketika mang Saeb mengambil buku bersampul gambar wayang yang kuletakkan begitu saja di atas meja makan. Tepat di sebelah alas cangkir kopiku, bersama ponsel dan tabletku.
“Belum dibaca, Mang. Baru mau … nanti kalau ada waktu.”
Kuletakkan cangkir berisi kopi yang baru saja kusesap, beralih mengambil piring kosong kemudian mengisinya dengan nasi dan sayur dan lauk. Segera aku menyendok makanan, tapi belum juga sampai ke mulutku, mang Saeb menghalanginya, “baca do’a dulu, atuh. Aden mah gitu selalu lupa berdo’a.”
Aku mendesah tidak percaya. Mang Saeb dan mbok Jum ini selalu ribet, apa masalahnya dengan mereka jika aku lupa sekali saja makan tanpa berdo’a?
Aku menurut, meletakkan sendok yang sudah terangkat. Kutautkan kesepuluh jari, menangkupkannya di atas meja. Tepat ketika mang Saeb menarik kursi di sebelahku, aku menundukkan kepala, memanjatkan do’a. bersyukur kepada Tuhan atas limpahan berkat makanan yang tersedia pagi ini.
“Buku bagus ini …,” mang Saeb membuka buku bergambar wajah wayang, ketika aku selesai menggumamkan do’a. Dia melirikku seraya mengambil secarik kertas dari dalam buku, “seperti tulisan perempuan, dari pacarnya aden, ya?”
Aku tertawa, sampai harus minum air putih karena hampir tersedak makanan, “jangan bercanda, Mang. Sejak kapan saya punya pacar.”
Mang Saeb mengangkat bahu, ia meletakkan secarik kertas bertuliskan beberapa kalimat di atas meja. Aku hanya melihatnya sekilas, tapi bisa kubaca kata per kata yang tertulis pada kertas berwarna pink tersebut. Mang Saeb kemudian membolak-balik halaman buku dengan dahi berkerut. Tapi sejurus kemudian mang Saeb tersenyum.
“Apa isinya, Mang?”
“Ini tentang tokoh wayang yang tidak ada dalam kisah mahabharata, tapi selalu ada cerita tentang tokoh-tokoh ini setiap pagelaran wayang kulit.”
“Mamang tahu soal wayang? Mamang, kan, bukan orang jawa?”
Mang Saeb masih membolak-balik halaman buku, tapi aku tahu dia mendengarkanku. Karena selalu menjawab pertanyaanku, “mamang memang orang sunda. Tapi mertua mamang, bapaknya mbok Jum dulunya seorang dalang. Jadi mamang tahu sedikit banyak tentang wayang. Terutama tokoh-tokoh dalam buku ini.”
Aku melirik buku yang dipegang oleh mang Saeb. Gambar wajah wayang yang menjadi cover buku itu tidak asing bagiku. Tapi aku tidak tahu siapa namanya, sebab aku tidak tertarik dengan cerita wayang.
“Konon katanya, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh sunan kalijaga. Sebagai media penyebaran islam di tanah jawa. Jadi dulu … sunan kalijaga berdakwah dengan menggunakan wayang.”
Aku manggut-manggut mendengarkan cerita mang Saeb sembari menikmati sarapan. Nasi yang dipadukan dengan sayur asem dan ikan bandeng goreng lengkap dengan sambel terasi membuatku makan dengan lahap.
“Semar, bapak para manusia jawa. Tokoh yang digambarkan sebagai penasehat spiritual para raja. Gareng yang digambarkan sebagai tokoh yang kurus, bermakna prihatin, duka cita, kesedihan, dan nelangsa.”
Aku tidak meminta mang Saeb bercerita, tapi apa yang tertulis dalam sinopsis buku itu sepertinya membuat dia tertarik. Sehingga ia berbicara tanpa henti, menceritakan isi dari buku yang halaman pertamanya saja belum pernah kulihat.
“Petruk. Si pemberani yang selalu berbicara lantang. Simbol orang yang memberikan semua harta tanpa pamrih untuk disedekahakan, serta hati-hati dalam bertindak.”
“Yang terakhir, ini. Bagong. Karakter paling lucu sekaligus menyebalkan. Kata bapak mertua saya, bagong ini menjadi karakter punakawan yang paling disayang oleh tuan-tuannya. Sampai-sampai dewa saja enggan memarahi, padahal Bagong sering bicara ceplas-ceplos.”
“Dalam pagelaran wayang kulit, dalang sering memakai karakter Bagong untuk mengkritik pemerintah, atau untuk menyuarakan protes terhadap keadaan.”
“Wah, yang beli buku ini pasti suka banget sama wayang.” Mang Saeb melirikku yang sedang menikmati makanan, “tapi aden, kan, tidak suka wayang. Bahkan nggak tahu soal wayang, jadi ini pasti bukan buku punya aden.”
“Buku nunopo, to, Pak?” (Buku apa, ya, Pak?)
Kupelankan gerakan mengunyah makanan, memerhatikan Mang Saeb yang dahinya masih berkerut dalam sembari menatap buku dan aku bergantian. Sedangkan putra sulung mang Saeb telah mengambil tempat duduk di seberangku.
“Suwun, Mak.” (Makasih, Bu.) Ucapnya ketika mbok Jum meletakkan secangkir teh di depannya.
“Sudah, sudah! Makan jangan sambil bicara.” Mbok Jum telah bergabung bersama kami.
Ruang makan menjadi penuh, kursi yang mengelilingi meja makan telah terisi. Seperti biasa kami sarapan berempat dan seperti biasa pula, mereka baru mulai makan setelah aku selesai makan. Padahal aku tidak akan keberatan seandainya mereka makan duluan atau bersama denganku. Di rumah ini tidak ada majikan atau pembantu. Semua sama, karena kami saling membutuhkan.
Aku mengambil tablet, lalu mengaktifkannya. Kuperiksa jadwal Reyfan hari ini, yang telah kubuat semalam. Kuteliti lagi agar jangan sampai ada yang salah atau terlewat. Tak lupa kubuka berita terupdate dari situs online paling terpercaya, sekedar mendapatkan informasi terkini. Tentang harga saham, kurs rupiah sampai isu terbaru yang mungkin akan berpengaruh pada kondisi perusahaan.
Sembari memeriksa, tanganku yang bebas terulur untuk mengambil cangkir berisi kopi. Tapi jemariku justru menyentuh secarik kertas berwarna pink. Aku melirik kertas tersebut, kubaca lagi tulisan yang tergores dengan tinta hitam. Sederhana tapi membuatku ingin tersenyum, mengingat siapa pemilik tulisan tangan yang cukup rapi itu.
Aku baru saja akan mengambil secarik kertas itu, tapi urung karena kudengar deru mesin mobil memasuki halaman rumah. Sejenak kemudian suara itu hilang disusul dengan suara handle pintu dibuka dari luar.
“Assalamu’alaikum ….” Semua orang menjawab salam, kecuali aku, “wa’alaikum salam….”
Sesosok pria tampan dengan penampilan yang sangat rapi masuk ke dalam rumah, langsung menuju ruang makan. Seperti datang ke rumahnya sendiri saja, Reyfan menarik kursi sembari menyomot tempe goreng, lalu memakannya sambil duduk.
“Lah! Iki pye malah bos e malah wes tekan kene?” (Lah, ini bagaimana malah bos sudah sampai kemari?)
“Katanya aku sama Soleh suruh jemput bang Amir sekeluarga, kenapa kamu kemari?” Masih kusapukan telunjuk pada layar tablet, meneliti daftar pekerjaanku hari ini.
“Tadinya gitu, tapi Aneesha marah kalau aku nggak ikut jemput. Padahal aku capek banget, ngantuk … banget.” Gerutu Reyfan.
Mbok Jum beranjak dari duduk, padahal makanan di piringnya masih tersisa separuh. Dia pasti akan membuat minuman untuk Reyfan. Reyfan memang sering seperti ini, datang tak diundang, pulang tanpa pesan.
“Jadi … kita bertiga yang jemput?”
“Iya. Sekalian nanti kita kasih training ke abang sama Soleh. Biar kita tenang ninggalin mereka besok.”
“Maksudnya?”
“Karena akhir pekan ini, kita -aku, kamu dan Aneesha-akan pergi.”
“Kemana?”
“Liburaaaan ….”
Aku melihat Reyfan mengedipkan sebelah mata, tanda kalau dia sedang bercanda. Terbukti sejenak kemudian dia menatapku serius, “aku yang liburan, kamu tetep kerja. Siapin rumah Magelang buat terima tamu, keluarganya Ghufron mau datang. Nggak mungkin, kan, suruh datang ke Surabaya? Mereka tidak sekaya aku, jadi … ayah mau terima mereka di Magelang saja.”
“Kenapa nggak di rumahnya pak Dito?”
“Rumahnya om Dito sempit, mana nggak bisa parkir di depan rumah lagi, nggak nyaman.”
Aku menggaruk alis yang tentu saja tidak gatal. Mendengarkan dengan baik kalimat panjang kali lebar yang diucapkan oleh Reyfan. Tugas baru lagi, pekerjaan yang pasti akan melelahkan. Tapi aku senang, karena dengan pergi ke Jogja, artinya aku bisa bertemu dengan anak kecil menggemaskan yang selalu membayangi setiap langkahku, Naufal.
Apakah anak kecil itu berdo’a kepada Tuhan agar kami bisa segera bertemu? Karena sejak kembali ke Jakarta, aku belum pernah sekalipun berkunjung ke rumah bapak lagi. Hanya video call yang sedikit bisa mengobati rasa ingin bertemu yang menggebu.
Tunggu, Naufal! Sebentar lagi om datang….
Aku menarik sebelah sudut bibir, tersenyum smirk. Entah mengapa aku merasa bahagia akan bertemu dengan Naufal. Tapi sejenak kemudian aku merasa seperti seorang yang kedapatan mencuri, karena semua orang menatapku penuh curiga.
“Apa ini?”
Reyfan mengambil secarik kertas warna pink. Ia membaca isinya dengan dahi berkerut dalam, “ini-”
Bukan aku tidak ingin menjawab pertanyaan Reyfan, hanya sedang malas membahas sesuatu yang tidak penting. Jadi kutandaskan kopi, kuambil ponsel dan tablet dari atas meja, berlalu begitu saja dari ruang makan. Meninggalkan semua orang yang saling tatap tidak mengerti.
“Bang Amir sebentar lagi sampai.”
“Bukunya tidak jadi dibawa, Den?” Teriak mang Saeb yang hanya kujawab dengan lambaian tangan sambil lalu, tanpa menoleh ke belakang.
Hadiah yang keliru, untuk orang yang salah ….
.
.
.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Hearty 💕
Buku dari Jenar yaaa
2023-03-04
0
Rancito
Kirain jelangkung, dtg tak diundang, pulang tak diantar
2023-02-06
0
Emi Wash
itu buku dr jenar
2022-08-01
0